• Tidak ada hasil yang ditemukan

Batimetri Wilayah Kajian Dangkal

Perairan dangkal perairan gugusan Pulau Kelapa dan Harapan memiliki kisaran kedalaman 1-3 meter. Wilayah ini didominasi oleh substrat pasir yang memiliki nilai reflektansi rendah karena substrat dengan butiran halus memantulkan energi ke banyak arah dan menghasilkan nilai radiansi yang menyebar (Jensen 2000). Pengukuran di 24 titik yang mewakili perairan berkedalaman dangkal dilakukan secara manual dengan menggunakan meteran (Gambar 1).

Terdapat 24 titik sampel yang setelah dilakukan perbandingan dengan kedalaman lapang dapat diketahui nilai determinasi (R2) dari kedalaman relatif pada masing-masing rasio kanal (Lampiran 1). Berdasarkan nilai kedalaman relatif tersebut, didapatkan rasio kanal Green/Red dengan nilai R2 tertinggi yaitu 0,6622; disusul dengan kanal Green/Yellow dengan R2= 0,5622; dan kanal Blue/Red dengan R2=0,5548. Nilai R2 pada rasio kanal Green/Red menunjukkan regresi linear yang positif menunjukkan terdapat hubungan positif antara nilai albedo yang ditampilkan panjang gelombang rasio kanal Green/Red dengan kedalaman manual lapang. Kanal Green (510-580 nm) dan Red (630-690 nm) di perairan dangkal mampu mendefinisikan kedalaman hingga 15 meter. Kedua kanal tersebut juga merupakan kanal utama yang digunakan dalam persamaan pendefinisian rasio kanal oleh Densham (2005). Kanal merah mengalami atenuasi yang lebih besar, sehingga hanya dapat mendefinisikan kedalaman perarain dangkal.

Menurut Madden (2011), kombinasi rasio relatif Green/Red dan

Green/Yellow mampu mendefinisikan dasar perairan pasir karena kanal Red

memiliki nilai reflektansi yang lebih tinggi terhadap segmen pasir. Bastian (2013) juga menggunakan kanal Green/Red dalam mendefinisikan wilayah perairan dangkal yang didominasi oleh pasir berdasarkan nilai determinasi antara kedalaman relatif dengan kedalaman pemeruman hasil pengukuran lapang. Kanal Green/Red

menunjukkan nilai rasio relatif lebih tinggi (0,7368) dibandingkan dengan

Green/Yellow (0,5374).

Perhitungan rasio kanal Stumpf et al. (2003) (persamaan 3), dapat diketahui nilai piksel yang dimiliki oleh data raster kedalaman relatif untuk menghasilkan nilai batimetri absolut. Wilayah kajian dangkal ini memiliki kisaran kedalaman perairan antara 0,04924-5,095929 meter (Gambar 6). Kondisi ini sesuai dengan profil dasar perairan hingga tubir gugusan Pulau Kelapan dan Harapan yang tergolong perairan dangkal.

10

Gambar 6 Peta kedalaman dangkal absolut rasio kanal Green/Red

Perbedaan antara nilai kedalaman perairan manual dibandingkan dengan nilai batimetri absolut kanal Green/Red (Gambar 7a). Berdasarkan titik pengambilan sampel, diketahui bahwa nilai selisih kedalaman tertinggi sebesar 0,316 meter dan terendah sebesar 0,003 meter, serta standar deviasi sebesar 0,098. Dari Gambar 7b diketahui bahwa terdapat selisih antara kedalaman manual dan kedalaman absolut kanal Green/Red kurang dari 0,4 meter (Gambar 7b).

(a)

(b)

Gambar 7 Selisih kedalaman manual dan absolut kanal Green/Red -2 -1,5 -1 -0,5 0 Ked alam an (m )

Titik manual Regresi Green/Red

0 2 4 6 8 0,05 0,11 0,16 0,21 0,26 0,32 More F re k uens i Kelas data

11

Wilayah Kajian Dalam

Pemisahan wilayah kajian dalam dilakukan berdasarkan wilayah kajian dengan nilai interpretasi optis berdasarkan substrat, wilayah ini diasumsikan didominasi oleh substrat dasar terumbu karang. Perairan dalam dibatasi dari wilayah tubir dengan jarak 75-200 meter tegak lurus ke arah laut dalam hingga kedalaman 32 meter. Perairan dalam gugusan Pulau Kelapa dan Harapan dikaji menggunakan 71 titik sampel yang merupakan titik pemeruman akustik single beam (Gambar 1).

Berdasarkan titik-titik tersebut diketahui nilai R2 sebesar 0,7204 pada rasio kanal Coastal Blue/Yellow, disusul R2= 0,7086 pada kanal Coastal Blue/Green, dan R2= 0,2488 pada kanal Blue/Green (Lampiran 1). Nilai R2 pada rasio kanal Coastal Blue/Yellow menunjukkan regresi linear yang positif, menunjukkan terdapat hubungan positif antara nilai albedo yang ditampilkan panjang gelombang rasio kanal tersebut dengan kedalaman manual lapang. Penelitian oleh Parthish (2011) menunjukkan kemampuan kanal Coastal Blue dalam mendefinisikan batimetri dibandingkan kanal Blue, sementara menurut Madden (2011) kanal Yellow dapat mengurangi kesalahan dalam pendefinisian batimetri pada saat diuji dalam rasio dengan kanal Blue dan Green.

Nilai batimetri absolut dapat diketahui dengan memasukkan persamaan regresi linear pada nilai piksel data raster kedalaman relatif menggunakan perhitungan Band Math. Perairan dangkal ini memiliki kisaran kedalaman perarian antara 0,000505-36,363 meter (Gambar 8). Sebanyak 46 titik dipakai dalam pendefinisian titik batimetri absolut. Kedalaman absolut yang memiliki selisih dengan hasil pengolahan citra dan pemeruman lebih dalam dari 6 m tidak digunakan karena nilai validasi yang rendah.

Gambar 8 Peta kedalaman absolut rasio kanal Coastal Blue/Yellow

Nilai kedalaman perairan pemeruman dibandingkan dengan nilai batimetri absolut dari kanal Coastal Blue/Yellow (Gambar 9a). Kesesuaian antara kedua nilai tersebut dilihat berdasarkan nilai standar deviasi sebesar 1,453; rentang selisih antar titik sampel berada pada nilai minimal 0,039 sampai 5,323 meter. Sebaran frekeuensi selisih pada data kedalaman juga menunjukkan bahwa terdapat 69,57% sebaran selisih kedalaman keseluruhan sebesar 3,058 meter (Gambar 9b).

12

(a)

(b)

Gambar 9 Selisih kedalaman manual dan absolut kanal Coastal Blue/Yellow

Kemampuan gelombang cahaya yang ditangkap oleh citra satelit dalam mendefinisikan kedalaman dengan nilai galat sampai dengan 5,32 meter hanya sampai kedalaman 36,36 meter. Presisi ini kurang tinggi jika dibandingkan dengan kemampuan pemeruman akustik yang dapat menjangkau wilayah lebih dalam. Hasil data kedalaman perairan dangkal dan dalam selanjutnya digabungkan dengan data kedalaman pemeruman. Sementara itu, pada keseluruhan data dilakukan penggabungan menggunakan metode interpolasi spline. Metode ini menggunakan fungsi matematis yang meminimalisir permukaan yang memiliki kelengkungan dan menghasilkan permukaan yang lebih halus.

Tampilan Visual Batimetri dan Analisis BTM

Kondisi batimetri gugusan Pulau Kelapa dan Harapan dikaji melalui pendekatan penginderaan jauh satelit dan akustik. Secara keseluruhan profil batimetri disajikan dalam ukuran piksel 2 meter dengan tujuan dapat mendefinisikan kompleksitas dasar perairan yang ada sedetail mungkin. Raster batimetri ditampilkan secara 2D, kemudian 5 transek garis diterapkan secara tegak lurus dari tubir untuk mendapat gambaran umum profil vertikal batimetri di sekitar Pulau Kelapa dan Harapan. Secara keseluruhan Pulau Kelapa dan Harapan memiliki profil kedalaman dengan rentang 0,001 sampai dengan 62,156 meter. Terdapat lima transek garis yang terdiri atas tiga transek yang mengarah ke perairan lepas (Timur, Selatan, dan Barat) dan dua transek menghubungkan antara dua tubir dari gugusan pulau yang berbeda (Utara dan Barat Daya). Kelima transek garis masing-masing ditarik dengan titik awal A hingga titik akhir B (Gambar 10).

-20 -15 -10 -5 0 Ked alam an (m )

Pemeruman Regresi Coastal Blue/Yellow

0 5 10 15 0,79 1,55 2,30 3,06 3,81 4,57 5,32 More F re k uens i Kelas data

13

Gambar 10 Tampilan batimetri dan transek garis profil batimetri

Kenampakan dasar laut yang diperoleh melalui pendefinisian citra satelit dan pemeruman didukung pula dengan studi lapang. Transek sepanjang 20 meter diletakkan di lima stasiun pada tiga kedalaman (6, 8, dan 10 meter) yang mewakili strata kedalaman lereng tubir gugusan Pulau Kelapa dan Harapan. Kelima stasiun tersebut ditentukan berdasarkan titik koordinat awal dan akhir pengamatan lapang. Dari setiap garis lurus dilakukan ekstraksi nilai surface to planar area pada perangkat BTM dari setiap piksel yang dilewati oleh transek garis lurus. Masing-masing nilai tersebut disajikan pada tiga grid yang berbeda yaitu 1, 2, dan 5 meter. Ketiga grid tersebut menunjukkan tingkat surface to planar area dari hasil pengukuran batimetri memiliki nilai tidak kurang dari 1, nilai yang lebih besar mendefinisikan tingkat kompleksitas yang lebih tinggi (Gambar 11, Lampiran 2).

Titik sampel di posisi 106 o35’34’’ BT dan 5o39’8’’ LS menunjukkan nilai

surface to planar area pada grid 1 meter (a; 4,82) yang lebih terkonsentrasi namun dengan nilai yang lebih rendah jika dibandingkan dengan grid 2 meter (b; 5,84), sementara pada titik sampel yang sama di grid 5 meter nilainya jauh lebih rendah (c; 1,53). Berdasarkan ketiga pendekatan grid tersebut, dipilih grid 2 meter karena dapat menampilkan nilai surface to planar area yang akurat dan mendekati citra WorldView-2 yang memiliki ukuran grid citra berukuran 1,84 meter.

(a) (b) (c)

Gambar 11 Profil surface to planar area Stasiun Timur Pulau Kelapa dan Harapan dengan grid (a) 1, (b) 2, dan (c) 5 meter

14

Transek garis di Stasiun Timur membentang secara tegak lurus dari wilayah sebelum tubir menuju ke perairan terbuka. Gambar 12 menjelaskan profil batimetri dan kompleksitas dasar berdasarkan surface to planar area dan in situ rugosity. Stasiun Timur memiliki profil lereng terumbu yang landai dan berfluktuatif pada kisaran 10-12 meter, kemudian menurun dengan terjal hingga kedalaman 30 meter (Gambar 12a). Kompleksitas dasar perairan yang diamati menggunakan surface to planar area memiliki nilai tertinggi pada kedalaman 6 meter (Gambar 12b). Stasiun ini secara keseluruhan memiliki kompleksitas paling beragam dibandingkan stasiun lainnya karena memiliki profil batimetri yang paling beragam karena profil geomorfologi lereng yang fluktuatif pada wilayah tubir (Gambar 12c).

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 12 Stasiun Timur (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai

surface to planar area setiap kedalaman(c) profil batimetri vertikal transek CD (d) visual surface to planar area

Profil lereng batimetri di Stasiun Selatan dan kompleksitas dasar perairan berdasarkan nilai surface to planar area dan in situ rugosity ditunjukkan pada Gambar 13. Profil rataan terumbu memiliki kedalaman 1,15-1,67 meter yang kemudian menurun landai setelah melewati punggung terumbu dan mencapai kedalaman 22 meter. Kondisi dasar perairan selanjutnya bersifat homogen di kedalaman terdalam. Secara umum kondisi dasar perairan di Selatan tergolong homogen dengan nilai surface to planar area yang seragam (Gambar 13b,d). Faktor yang menyebabkan nilai yang homogen adalah profil batimetri wilayah perairan tersebut memiliki kondisi yang relatif datar dan landai secara keseluruhan, meskipun lereng yang terbentuk cukup terjal di kedalaman 7-12 meter (Gambar 13c).

D C

15

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 13 Stasiun Selatan (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai

surface to planar area setiap kedalaman(c) profil batimetri vertikal transek CD (d) visual surface to planar area

Transek vertikal di Stasiun Barat Daya menghubungkan antara dua tubir dari gugusan pulau yang berbeda. Dasar perairan membentuk lereng yang menanjak ke kedalaman yang lebih dangkal kedalaman 5,8 meter lalu semakin rendah hingga menuju wilayah tubir dan rataan terumbu (Gambar 14a). Nilai surface to planar area tertinggi terdapat di strata kedalaman 8 meter yang disusul oleh kedalaman 10 dan 6 meter (Gambar 14b). Wilayah ini memiliki struktur geomorfologi yang cukup kompleks karena memiliki perubahan nilai kedalaman saat melewati dasar perairan sebelum kembali menuju tubir (Gambar 14c).

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 14 Stasiun Barat Daya (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai

surface to planar area setiap kedalaman(c) profil batimetri vertikal transek CD (d) visual surface to planar area

Stasiun Barat memiliki kondisi dasar perairan dengan profil lereng terumbu yang landai hingga mencapai kedalaman 15 meter. Profil kedalaman selanjutnya

D C

D C

16

membentuk lereng menuju kanal bawah laut dengan kedalaman 24,5 meter, kemudian kembali ke kedalaman dengan rata-rata 14,05 meter. (Gambar 15a). Secara umum melalui tampilan batimetri dan pengamatan lapang, Stasiun Barat memiliki karakteristik lereng yang landai di kedalaman 6-10 meter (Gambar 15c). Kompleksitas dasar perairan menjelaskan nilai surface to planar yang beragam di setiap kedalaman dan nilai tertinggi terdapat di kedalaman 10 meter (Gambar 15b,d). Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh beragamnya nilai kedalaman di Stasiun Selatan di wilayah lereng terumbu dan terdapatnya kanal bawah laut yang mempengaruhi profil kedalaman secara signifikan (Gambar 15c).

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 15 Stasiun Barat (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai surface to planar area setiap kedalaman(c) profil batimetri vertikal transek CD (d) visual surface to planar area

Stasiun Utara memiliki kondisi umum batimetri yang paliing berbeda karena transek garis lurus yang diambil melintasi sebuah gobah. Profil batimetri menurun dengan profil lereng curam di kedalaman 3-10 meter, kemudian menurun landai hingga kedalaman 25 meter. Kontur dasar pun semakin dangkal karena melewati gobah dengan lebar ±80 meter. Kemudian profil batimetri kembali landai dan semakin dangkal hingga menuju tubir dan kedalaman 2 meter (Gambar 16a). Berdasarkan sampel surface to planar area yang diambil di beberapa strata kedalaman, wilayah 6 dan 8 meter memiliki kompleksitas yang lebih tinggi (Gambar 16b). Wilayah lereng yang diamati langsung di lapang berada pada wilayah lereng terumbu (Gambar 16c) memiliki kondisi kompleksitas yang cukup kompleks (Gambar 16d). Stasiun Utara terdiri atas kondisi dasar perairan yang beragam karena terdiri atas beberapa struktur geomorfologi antara lain rataan terumbu, lereng terumbu, dan gobah.

D C

17

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 16 Stasiun Utara (a) profil batimetri vertikal AB (b) nilai surface to planar area setiap kedalaman(c) profil batimetri vertikal transek CD (d) visual surface to planar area

Secara umum kompleksitas berdasarkan hasil analisis menggunakan surface to planar area BTM memiliki rentang nilai mendekati 0 untuk wilayah homogen dan menjauhi 0 untuk wilayah yang kompleks. Dasar Perairan Pulau Kelapa dan Harapan memiliki nilai surface to planar area tertinggi di Stasiun Timur pada kedalaman 6 dan 8 meter (4,12; 3,28), serta Barat 10 meter (3,12). Wilayah tersebut termasuk ke dalam stasiun yang menghadap ke arah perairan lepas dan terpapar langsung oleh arus dari luar gugusan pulau. Wilayah dengan kompleksitas terendah terdapat di Stasiun Utara di setiap strata kedalaman 6, 8, dan 10 meter yaitu masing-masing 1,72; 1,72; dan 1,29 (Gambar 17). Kondisi ini membutuhkan dukungan hasil pengamatan kompleksitas dasar perairan terumbu karang di lapang.

Gambar 17 Hasil analisis surface to planar area BTM di keseluruhan Stasiun dan strata kedalaman 6, 8, dan 10 meter

0 1 2 3 4 5 Surf ace t o pl anar are a B TM 6 8 10 Kedalaman (m) Timur Selatan Barat Daya Barat Utara D C

18

Profil Terumbu Karang

Melalui pendekatan ekologi, dilakukan kajian kompleksitas dasar perairan terumbu karang Pulau Kelapa dan Harapan. Kajian ini menghasilkan nilai matematis yang dapat mendefinisikan seberapa kompleks perairan tersebut. Wilayah yang homogen dinyatakan dengan nilai mendekati 0, sementara kompleksitas lebih tinggi dinyatakan dengan nilai yang mendekati 1.

Pulau Kelapa dan Harapan memiliki struktur kompleksitas yang beragam di setiap stasiun dan berdasarkan tiga strata kedalaman yang berkisar antara 0,095 (homogen) hingga 0,434 (kompleks). Secara keseluruhan, nilai yang paling kompleks terdapat di Stasiun Utara (0,434) dan Stasiun Barat (0,39) pada kedalaman 6 meter, serta Stasiun Selatan (0,4025) pada kedalaman 8 meter. Sementara itu, berdasarkan strata kedalamannya, perairan kedalaman 6 meter yang memiliki nilai kompleksitas tertinggi terdapat di Stasiun Utara (0,434), kedalaman 8 meter di Stasiun Selatan (0,403), dan kedalaman 10 meter di Stasiun Utara (0,291). Stasiun Timur menunjukkan nilai in situ rugosity terendah yaitu secara berurutan berdasarkan setiap strata kedalaman 0,184; 0,196; dan 0,095 (Gambar 18, Lampiran 3).

Gambar 18 Profil in siturugosity Pulau Kelapa dan Harapan pada strata kedalaman 6, 8, dan 10 meter

Hasil kajian in situ rugosity dan surface to planar area (BTM) memiliki beberapa perbedaan. Stasiun Timur yang memiliki nilai surface to planar area

tertinggi di kedalaman 6 dan 8 meter di sisi lain menunjukkan nilai in situ rugosity

terendah di setiap kedalaman. Nilai in situ rugosity yang rendah dapat disebabkan oleh tutupan dasar perairan yang didominasi oleh patahan terumbu karang mati yang ditumbuhi alga (Dead Coral with Algae) yang diidentifikasi melalui pendekatan pengukuran lapang. Pendekatan surface to planar area

mengidentifikasi kompleksitas dengan cakupan area yang lebih luas dan menunjukkan struktur geomorfologi yang lebih kompleks yang ditunjukkan oleh warna merah yang mendominasi tampilan visualnya (Gambar 13d). Hal tersebut menunjukkan bahwa Stasiun Timur memiliki profil yang kompleks di masa lalu namun telah ditutupi oleh terumbu karang yang mati di saat ini. Menurut Hubbart (1997), susunan fosil terumbu yang ada merupakan susunan yang saling bertumpukan dari beberapa generasi dari terumbu karang yang ada.

Nilai surface to planar BTM dan in situ rugosity menunjukkan adanya hubungan keterkaitan yang positif pada grid 1, 2, maupun 5 meter. Nilai pada grid 2 meter menunjukkan nilai determinasi (R2) tertinggi yaitu sebesar 0,3686 (Gambar

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 6 8 10 in si tu rugosi ty Kedalaman (m) Timur Selatan Barat Daya Barat Utara

19 19, Lampiran 6); grid 5 meter sebesar 0,3196; dan grid 1 meter 0,3177 (Lampiran 5 dan 7). Ketiga nilai tersebut menunjukkan nilai kompleksitas berdasarkan pendekatan analisis surface to planar area BTM berpengaruh nyata terhadap in situ rugosity (dB=28; p<0,05).

Gambar 19 Nilai rugosity berdasarkan pengukuran in situ dan BTM grid 2 meter di keseluruhan stasiun (p< 0,05)

Dalam analisis keterkaitan, diukur pula korelasi antara nilai in situ rugosity

dari setiap strata kedalaman stasiun dengan nilai hasil analisis BTM. Kompleksitas di perairan kedalaman 8 meter memiliki nilai determinasi sebesar 0,912 disusul oleh kedalaman 10 meter (R2=0,524) dan 6 meter (R2=0,275) yang menunjukkan nilai determinasi yang positif (Gambar 20). Tingginya kesesuaian di kedalaman 8 meter dapat disebabkan oleh terumbu karang yang diamati di kedalaman 8 meter masih mendapat pengaruh dari kondisi di kedalaman 7 dan 9 meter yang termasuk ke dalam wilayah kajian kedalaman 6 meter (5-7 meter) dan 10 meter (9-11 meter), mengingat lokasinya yang berada di antara dua kedalaman yang dikaji.

Gambar 20 Nilai rugosity berdasarkan pengukuran in situ dan BTM grid 2 meter di setiap strata kedalaman (p<0,05)

Berdasarkan kondisi lapang, diketahui bahwa kategori substrat dasar perairan di kedalaman 6 meter didominasi oleh karang mati yang ditumbuhi alga (Dead Coral with Algae), kedalaman 8 meter didominasi oleh karang hidup, dan di kedalaman 10 meter didominasi oleh kategori abiotik yaitu pasir, patahan karang

y = -5,081x + 3,9211 R² = 0,275 y = -9,6525x + 5,2297 R² = 0,912 y = -9,2549x + 4,2995 R² = 0,524 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 0 0,2 0,4 0,6 0,8 su rfa ce to p la n a r a rea B TM in situ rugosity 6 meter 8 meter 10 meter Linear (6 meter) Linear (8 meter) Linear (10 meter) y = 5,7477x - 1,8077 R² = 0,3686 0 1 2 3 4 5 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 surf ac e to pl anar ar ea B TM in situ rugosity

20

(rubble), dan komponen tidak hidup lainnya (Gambar 22). Kondisi tingginya tutupan karang hidup di kedalaman 8 meter dapat menjadi salah satu faktor tingginya hubungan antara in situ rugosity dan surface to planar area BTM, karena jenis substrat dasar perairan yang dapat dideteksi oleh panjang gelombang sinar tampak satelit dan gelombang akustik adalah karang hidup.

Secara ekologi, dasar Perairan Pulau Kelapa dan Harapan merupakan bagian dari habitat beberapa organisme dasar yaitu ekosistem terumbu karang. Ekosistem ini dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori substrat dasar yang ditemukan dalam pengamatan lapang antara lain karang hidup (Hard Coral), karang lunak (Soft Coral), karang mati ditumbuhi alga (Dead Coral with Algae), Macro Algae, komponen abiotik, dan Sponge yang termasuk Other Fauna. Penggolongan jenis terumbu karang dilakukan berdasarkan kondisi batimetri dan bentang alam suatu perairan. Secara keseluruhan, profil terumbu karang berdasarkan bentang habitat Pulau Kelapa dan Harapan adalah patch reef yang merupakan profil bentang terumbu di Kepulauan Seribu.

Jenis kategori bentik terumbu di gugusan Pulau Kelapa dan Harapan didominasi oleh dead coral with algae (26,67-45,53%), hard coral (26,67-35,83%), dan abiotik (15-32,5%) (Gambar 21) (Lampiran 4a). Tutupan ketiga jenis kategori tersebut berbeda nyata jika dibandingkan dengan kategori Macro Algae, Soft Coral, dan komponen bentik hidup lainnya yang secara keseluruhan tutupannya tidak lebih dari 11,67%. Wilayah yang didominasi oleh Dead Coral with Algae berada di Stasiun Barat Daya, Barat, dan Selatan yang merupakan wilayah yang berada di antara gugusan pulau lain dan memiliki jarak antar tubir yang cukup dekat. Hard Coral paling banyak ditemukan di Stasiun Barat yang berada pada wilayah luar lereng terumbu, di samping itu juga ditemukan di Selatan dan Barat Daya yang terletak di antara gugusan pulau lainnya.

Keterangan: DCA=Dead Coral with Algae, HC=Hard Coral, MA=Macro Algae, SC=Soft Coral, OT=komponen bentik hidup lainnya

Gambar 21 Tutupan beberapa kategori bentik terumbu di dasar perairan Pulau Kelapa dan Harapan

Kompleksitas dasar perairan Pulau Kelapa dan Harapan yang ditemukan menunjukkan hasil tertinggi di kedalaman 8 (surface to planar area) dan 6 meter (in situ rugosity). Hasil pengukuran tersebut dikaji lebih lanjut berdasarkan stratifikasi tiap kedalamannya. Kategori dominan yang ditemukan di seluruh stasiun adalah Dead Coral with Algae dan Hard Coral. Dead Coral with Algae

mendominasi perairan di kedalaman 6 meter (46%), Hard Coral di 8 meter (33%), dan abiotik di 10 meter (35,5%) (Gambar 22).

0 20 40 60 80 Abiotik DCA HC MA SC OT Tu tu pan (%)

Kategori substrat dasar

Timur Selatan Barat Daya Barat Utara

21

(a)

(b)

(c)

Keterangan : DCA=Dead Coral with Algae, HC=Hard Coral, MA=Macro Algae, SC=Soft Coral, OT=komponen bentik hidup lainnya

Gambar 22 Tutupan beberapa kategori bentik terumbu di gugusan Pulau Kelapa dan Harapan di kedalaman (a) 6, (b) 8, dan (c) 10 meter Jenis kategori merupakan bentuk gambaran paling umum dalam mendeskripsikan kompleksitas dasar perairan. Berdasarkan kategori substrat dasar yang dominan, dilakukan analisis korelasi untuk mengetahui seberapa besar in situ rugosity berhubungan dengan persentase Dead Coral with Algae dan karang hidup (Hard Coral). Jenis substrat dasar Dead Coral with Algae yang mendominasi keseluruhan Perairan Pulau Kelapa dan Harapan menunjukkan adanya hubungan yang sangat rendah dengan in siturugosity (r=0,094; dB=28; p<0,05) (Gambar 23a, Lampiran 8). Sementara itu, dalam kasus ini tutupan karang hidup menunjukkan hubungan yang sangat rendah antara persen tutupan karang hidup dengan nilai in siturugosity (r=0,056; dB=28; p<0,05) (Gambar 23b, Lampiran 9).

Gambar 23 Hubungan in siturugosity dengan persen tutupan (a) dead coral with Algae (b) karang hidup

0 20 40 60 80 Abiotik DCA HC MA SC OT Tu tu pan (%) Kategori Timur Selatan Barat Daya Barat Utara 0 20 40 60 80 Abiotik DCA HC MA SC OT T u tu p an ( % ) Kategori Timur Selatan Barat Daya Barat Utara 0 20 40 60 80 Abiotik DCA HC MA SC OT T u tu p an ( %) Kategori Timur Selatan Barat Daya Barat Utara (a) (b) y = -0,139x + 1,5728 r = 0,094 0 0,5 1 1,5 2 0 0,5 1 1,5 lo g(tu tu pa n DCA (% )) in situ rugosity y = 0,0536x + 1,4249 r = 0,056 0 0,5 1 1,5 2 0 0,5 1 1,5 lo g (tu tu pa n HC (% )) in situ rugosity

22

Menurut Fuad (2010), persentase tutupan terumbu karang dapat menunjukkan hubungan keterkaitan yang tinggi terhadap kompleksitas terumbu karang. Berdasarkan analisis yang dilakukannya di Taman Nasional Bunaken, diketahui bahwa terdapat hubungan positif antara persentase tutupan karang dengan kompleksitas yang diukur (r=0,565, p<0,01). Hal tersebut berbeda dengan hasil pengukuran dan perbandingan kompleksitas yang dilakukan di Pulau Kelapa dan Harapan disebabkan karena kondisi tutupan terumbu karang dan kompleksitas yang berbeda. Terumbu karang di Taman Nasional Bunaken memiliki persentase tutupan terumbu karang lebih tinggi (44-47%) dibandingkan dengan Pulau Kelapa dan Harapan (26,67-35,83%) (Gambar 21).

Berdasarkan bentuk pertumbuhannya, tutupan terumbu karang tertinggi di Perairan Pulau Kelapa dan Harapan terdiri atas jenis Coral Foliose, Coral Massive, dan Coral Submassive. Coral Foliose merupakan jenis terumbu karang lembaran dan ditemukan hingga tutupan 20,83% di Stasiun Barat dan mendominasi tutupan di seluruh strata kedalaman. Bentuk pertumbuhan kedua tertinggi, Coral Massive

Dokumen terkait