• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kompleksitas Dasar Perairan Terumbu Karang Dengan Benthic Terrain Modeler Dan In Situ Rugosity Di Pulau Kelapa Dan Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kompleksitas Dasar Perairan Terumbu Karang Dengan Benthic Terrain Modeler Dan In Situ Rugosity Di Pulau Kelapa Dan Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPLEKSITAS DASAR PERAIRAN TERUMBU KARANG

DENGAN

BENTHIC TERRAIN MODELER

DAN

IN SITU

RUGOSITY

DI PULAU KELAPA DAN HARAPAN,

KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

ALEXANDRA MAHESWARI WASKITA

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kompleksitas Dasar Perairan Terumbu Karang dengan Benthic Terrain Modeler dan in situ Rugosity di

Pulau Kelapa dan Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016

Alexandra Maheswari Waskita

(4)
(5)

ABSTRAK

ALEXANDRA MAHESWARI WASKITA. Kompleksitas Dasar Perairan Terumbu Karang dengan Benthic Terrain Modeler dan in situ Rugosity di Pulau Kelapa dan

Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta. Dibimbing oleh SYAMSUL BAHRI AGUS dan ADRIANI SUNUDDIN.

Kompleksitas dasar perairan terumbu karang yang tinggi dapat menyediakan relung ekologi yang lebih bagi beragam makhluk hidup yang berasosiasi dengan ekosistem tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi kompleksitas dasar perairan terumbu karang menggunakan Benthic Terrain Modeler (BTM) pada ArcGIS 10.2 dan

pengukuran in situ (rugosity dan keragaan life form) berdasarkan pembagian strata

kedalaman di Perairan Pulau Kelapa dan Harapan. Survey lapang dilakukan pada 17-21 Maret 2015 untuk mengumpulkan data dan ground check batimetri, pengamatan

terumbu karang, dan pengukuran in situ rugosity di 6, 8 dan 10 meter. Dari lima stasiun

pengamatan, kompleksitas dasar perairan tertinggi ditemukan di Timur dan Barat berdasarkan surface to planar area BTM, sedangkan berdasarkan in situ rugosity di

Utara dan Selatan. Nilai in situ rugosity berpengaruh terhadap surface to planar area

(BTM)untuk kedalaman 8 meter. Life form terumbu yang memengaruhi kompleksitas

dasar perairan in situ adalah Dead Coral with Algae (6 meter), Hard Coral (8 meter),

dan abiotik (10 meter). Kondisi terumbu karang di Pulau Kelapa-Harapan tergolong sedang dengan life form dominan Coral Massive, sehingga kurang mampu membentuk

dasar perairan yang kompleks walalupun hasil BTM mendefinisikan kompleksitas secara detail pada grid 2 meter.

Kata kunci: Benthic Terrain Modeler, dasar perairan, terumbu karang, WorldView-2.

ABSTRACT

ALEXANDRA MAHESWARI WASKITA. Coral Reef Seafloor Surface Complexity using Benthic Terrain Modeler and in situ Rugosity on Kelapa and Harapan Island,

Seribu Islands, Jakarta. Supervised by SYAMSUL BAHRI AGUS and ADRIANI SUNUDDIN.

High complexity of coral reef substrate can provide more ecological niche for diverse living organisms associated with coral reef ecosystem. This research aimed to identify the seafloor complexity using Benthic Terrain Modeler (BTM) towards in situ

measurement (rugosity and benthic life forms) according to depth strata in Kelapa and Harapan Island. Field survey was conducted on 17-21 March 2015, for gathering bathymetric data set, ground checking WorldView-2 imagery, observing coral reef condition and measuring in situ rugosity at 6, 8 and 10 m. Among 5 survey sites, the

highest seafloor complexity was observed at the East and West of Kelapa-Harapan Island reffering to BTM analysis, while highest in situ rugosity was resulted for the

North and South. The inluence of in situ rugosity towards suface to planar area (BTM)

was prominent at 8 meter depth. Benthic life forms affecting in situ complexity of the

reef substrate were Dead Coral with Algae (6 meter), Hard Coral (8 meter) and abiotics (10 meter). Coral reef condition in Kelapa-Harapan islands was considered fair and dominated by Coral Massive, thus featured insignificant affecting complexity despite detail map of seafloor complexity resulted by BTM analysis at 2 meter grid.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

KOMPLEKSITAS DASAR PERAIRAN TERUMBU KARANG

DENGAN

BENTHIC TERRAIN MODELER

DAN

IN SITU

RUGOSITY

DI PULAU KELAPA DAN HARAPAN,

KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2016

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan YME atas anugerah dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan penelitian dengan judul ”Kompleksitas Dasar Perairan Terumbu Karang dengan Benthic Terrain Modeler dan in situ Rugosity di Pulau Kelapa

dan Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di tahap perguruan tinggi, sekaligus sebagai karya terakhir penulis di strata S1.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Syamsul Bahri Agus, S.Pi, M.Si selaku pembimbing I, Ibu Adriani Sunuddin, S.Pi, M.Si selaku pembimbing II sekaligus pembimbing akademik, dan kepada Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc selaku Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan atas kesempatan dan bimbingan yang telah diberikan. Tak lupa, ucapan terima kasih diberikan kepada teman seperjuangan ITK 48, Fisheries Diving Club, rekan penelitian lapang Maret 2015, serta

semua orang yang telah membantu dalam penulisan karya ilmiah ini. Penulis mengucapkan terima kasih terlebih kepada kedua orang tua yang selalu mendukung kegiatan penulis sehingga dapat diselesaikan dengan baik.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Maret 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Lokasi Penelitian 2

Pengambilan data 3

Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Batimetri 9

Tampilan Visual Batimetri dan Rugosity 12

Profil Terumbu Karang 18

SIMPULAN DAN SARAN 24

Simpulan 24

Saran 25

DAFTAR PUSTAKA 25

LAMPIRAN 27

(12)

DAFTAR TABEL

1. Spesifikasi kanal-kanal spektral citra WorldView-2 (Sumber: Upike dan

Comp 2010) 3

DAFTAR GAMBAR

1. Lokasi penelitian di Perairan Pulau Kelapa dan Harapan 2

2. Pengambilan data in situ rugosity, dimodifikasi dari Fuad (2010) 4 3. Pengambilan data kondisi terumbu karang dengan PIT 4

4. Diagram alir analisis data 5

5. Hasil masking wilayah darat 6

6. Peta kedalaman dangkal absolut rasio kanal Green/Red 10 7. Selisih kedalaman manual dan absolut kanal Green/Red 10 8. Peta kedalaman absolut rasio kanal Coastal Blue/Yellow 11 9. Selisih kedalaman manual dan absolut kanal Coastal Blue/Yellow 12 10. Tampilan batimetri dan transek garis profil batimetri 13

11. Profil surface to planar area Stasiun Timur Pulau Kelapa dan Harapan

dengan grid (a) 1 meter, (b) 2 meter, dan (c) 5 meter 13

12. Stasiun Timur (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai surface to planar area setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal transek CD (d)

visual surface to planar area 14

13. Stasiun Selatan (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai surface to planar area setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal transek CD (d)

visual surface to planar area 15

14. Stasiun Barat Daya (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai surface to planar area setiap kedalaman(c) profil batimetri vertikal transek CD (d)

visual surface to planar area 15

15. Stasiun Barat (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai surface to planar area setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal transek CD (d)

visual surface to planar area 16

16. Stasiun Utara (a) profil batimetri vertikal AB (b) nilai surface to planar area

setiap kedalaman(c) profil batimetri vertikal transek CD (d) visual surface to

planar area 17

17. Hasil analisis surface to planar area BTM di keseluruhan Stasiun dan strata

kedalaman 6, 8, dan 10 meter 17

18. Profil in siturugosity Pulau Kelapa dan Harapan pada strata kedalaman 6, 8,

dan 10 meter 18

19. Nilai rugosity berdasarkan pengukuran in situ dan BTM grid 2 meter di

keseluruhan stasiun (p< 0,05) 19

20. Nilai rugosity berdasarkan pengukuran in situ dan BTM grid 2 meter 19 21. Tutupan kategori dasar perairan di gugusan Pulau Kelapa dan Harapan 20

22. Tutupan kategori dasar perairan di gugusan Pulau Kelapa dan Harapan di

kedalaman (a) 6, (b) 8, dan (c) 10 meter 21

23. Hubungan in siturugosity dengan persen tutupan (a) dead coral with Algae

(b) karang hidup 21

24. Persen penutupan berdasarkan bentuk pertumbuhan terumbu karang di lima

Stasiun Pulau Kelapa dan Harapan 22

(13)

26. Bentuk pertumbuhan terumbu karang yang ditemukan di Perairan Pulau Kelapa dan Harapan (a) Dead Coral with Algae, (b) Coral Massive, (c) Coral

Submassive, dan (d) Coral Foliose 24

DAFTAR LAMPIRAN

1. Regresi linear dan determinasi setiap rasio kanal citra WorldView-2 27

2. Nilai kompleksitas dasar perairan menggunakan surface to planar area BTM

di kedalaman 6, 8, dan 10 meter dengan grid 1, 2, dan 5 meter 28

3. Kompleksitas dasar perairan in situ di Pulau Kelapa dan Harapan berdasarkan

kedalaman 6, 8, dan 10 m dengan ke-4 ulangan 29

4. Persentase tutupan (a) kategori dasar perairan dan (b) terumbu karang di

Pulau Kelapa dan Harapan 30

5. Nilai determinasi rugosity berdasarkan pengukuran in situ dan BTM dengan

grid 1 meter dan analisis ragam regresi linear sederhana 31

6. Nilai determinasi rugosity berdasarkan pengukuran in situ dan BTM grid 2

meter dan analisis ragam regresi linear sederhana 32

7. Nilai determinasi rugosity berdasarkan pengukuran in situ dan BTM grid 5

meter dan analisis ragam regresi linear sederhana 33

8. Nilai korelasi tutupan dead coral with algae dengan rugosity menggunakan

analisis analisis ragam regresi linear sederhana 34

9. Nilai korelasi tutupan karang hidup dengan rugosity menggunakan analisis

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang sebagian besar dijumpai di perairan tropis. Ekosistem ini memiliki peran yang krusial bagi keberlangsungan hidup biota laut. Distribusi dan struktur komunitas ikan terumbu juga dipengaruhi oleh seberapa kompleks kondisi suatu habitat terumbu karang (Wedding et al. 2008). Tingginya keanekaragaman spesies karang dapat

mempengaruhi beragamnya jenis dan populasi ikan terumbu yang hidup di dalamnya, karena terumbu karang yang dibentuknya akan memiliki kompleksitas struktur dasar perairan yang kompleks sehingga menyediakan relung ekologi yang lebih dibandingkan dengan spesies tunggal (Talbot 1965). Struktur habitat penyusun sistem terumbu karang yang kompleks juga dapat menyebabkan beragamnya relung hidup dari ikan-ikan terumbu yang ada (Adriani 2002). Komunitas terumbu karang yang memiliki luasan tutupan tertentu dapat membentuk suatu struktur yang kompleks. Menurut Magno dan Villanoy (2006) kondisi kekasaran dan ketidakseragaman suatu permukaan dapat dinyatakan sebagai rugosity.

Kompleksitas dasar perairan merupakan karakter yang dapat diukur menggunakan beberapa pendekatan. Berdasarkan pendekatan konvensional, pengukuran dilakukan dengan membandingkan panjang transek rantai yang mengikuti kenampakan vertikal substrat dasar dengan transek garis lurus (Risk 1972; Aronson dan Precht 2007; Fuad 2010). Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi, sistem penginderaan jauh juga dapat membantu dalam pendefinisian kompleksitas dasar laut. Dikembangkan oleh Wright et al. (2012), Benthic Terrain Modeler (BTM) merupakan sebuah alat dalam perangkat lunak

ArcGIS ESRI yang digunakan untuk melakukan analisis spasial. BTM mampu mendefinisikan struktur geomorfologi, kemiringan lereng (slope), dan

kompleksitas dasar perairan (rugosity). Hasil yang didapatkan berupa skema

klasifikasi dari ekosistem terumbu karang, pada kasus ini diterapkan di Tutuila, Amerika Samoa, Samudera Pasifik. Klasifikasi yang dihasilkan dinilai sesuai dalam pengembangan pemetaan habitat yang memiliki biodiversitas tinggi di wilayah Pasifik Barat (Lundblad 2006). Wedding et al. (2008) juga telah mengaplikasikan

perangkat BTM untuk melihat keterkaitan kompleksitas dasar perairan dengan komunitas ikan terumbu di Hawaii. Hasil penelitian Wedding dapat mengkaji pada unit grid yang lebih luas (10, 15, dan 25 meter).

Pendefinisian kondisi batimetri melalui kajian pengolahan citra satelit telah dilakukan oleh beberapa peneliti hingga saat ini. Penelitian Stumpf et al. (2003)

mendefinisikan batimetri perairan laut dangkal dengan perbandingan (rasio) antar delapan kanal yang berbeda pada citra WorldView-2 dan menghasilkan rasio

Blue/Green sebagai kanal terbaik untuk menentukan kedalaman perairan. Penelitian

lain menjelaskan bahwa kanal Coastal Blue/Yellow, Red/Green, Green/Yellow, dan Yellow/Red juga mampu mendefinisikan batimetri perairan dangkal (Alsubatie

(16)

2

Penilaian kompleksitas dasar perairan dapat berperan dalam perencanaan dan pengelolaan lingkungan pesisir. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut mengenai distribusi spasial dan bentuk fisik dari wilayah terumbu karang dan pesisir menjadi sangat dibutuhkan. Hal inilah yang mendasarkan penelitian serupa dilakukan di Indonesia khususnya di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi kompleksitas dasar perairan terumbu karang menggunakan Benthic Terrain Modeler dan secara in situ

berdasarkan pembagian strata kedalaman di Perairan Pulau Kelapa dan Harapan.

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengamatan lapang dilakukan pada 17-21 Maret 2015 di Pulau Kelapa dan Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta di Stasiun T (Timur), S (Selatan), KH-BD (Barat Daya), KH-B (Barat) dan KH-U (Utara) (Gambar 1). Pengolahan data dilakukan pada April-November 2015 di Laboratorium Pemetaan dan Pemodelan Geospasial, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan.

(17)

3

Alat dan Bahan

Penelitian berlangsung dengan bantuan alat dan bahan yang berfungsi untuk mendukung pelaksanaan penelitian dan analisis yang dilakukan. Alat yang digunakan dalam kajian in situ rugosity antara lain alat tulis bawah air, kamera

bawah air, roll meter sepanjang 100 meter sebagai transek garis, transek rantai, set

alat penyelaman SCUBA, dan GPS Garmin 60 CSX. Pemeruman dasar laut menggunakan single beam Garmin GPS MAP 585. Pengukuran pasang surut

menggunakan Mobile Real Time Tide Instrument (Moritide). Tahapan analisis data

dilakukan menggunakan laptop, perangkat lunak ESRI ArcGIS 10.2 yang dilengkapi oleh toolbox BTM (Wright et al. 2012), perangkat lunak ER Mapper,

ENVI, dan Microsoft Excel.

Bahan yang digunakan dalam analisis dasar perairan terdiri atas citra multispektral WorldView-2 yang diakuisisi pada 5 Oktober 2013 yang memiliki 8 kanal (Tabel 1). Citra WorldView-2 mengorbit pada ketinggian 770 km di atas permukaan bumi dengan resolusi multispektral hingga 2 meter. WorldView-2 memiliki waktu rata-rata akuisisi data 1,1 hari dan dapat mengumpulkan hingga 1 juta km2 citra dengan 8 kanal per hari (Upike dan Comp 2010).

Tabel 1 Spesifikasi kanal-kanal spektral citra WorldView-2 (Sumber: Upike dan Comp 2010)

Kanal Spektral Panjang

Gelombang

Coastal Blue 400-450 nm

Blue 450-510 nm

Data pengamatan lapangan diperoleh melalui hasil pemeruman lapang kedalaman perairan dasar di wilayah Pulau Kelapa dan Harapan menggunakan Garmin GPS MAP 585 (frekuensi 50/200 kHz). Data pasang surut digunakan dalam melakukan koreksi terhadap hasil pemeruman. Data pasang surut direkam menggunakan Moritide di perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Data

pengamatan lapang juga terdiri atas kondisi rugosity menggunakan transek rantai

dan kondisi terumbu karang menggunakan transek garis.

Pengambilan data

In situ Rugosity dan Pertumbuhan Karang

Rugosity diukur dengan meletakkan rantai besi sepanjang 5 m pada

(18)

4

diletakkan di atas substrat dasar perairan, mengikuti tinggi dan rendahnya topografi terumbu karang. Nilai kompleksitas didapatkan dengan membandingkan antara panjang permukaan dasar substrat dibandingkan dengan panjang horizontal dari transek garis (Aronson dan Precht 2007; Fuad 2010).

Pengukuran dengan rantai besi dilakukan sebanyak 4 kali untuk memenuhi proporsi transek garis sepanjang 20 meter (Gambar 2). Pengulangan pada pengambilan data rugosity dan pertumbuhan terumbu karang dilakukan sebanyak 3

kali ulangan di kedalaman 6, 8, dan 10 meter. Kedalaman tersebut mewakili wilayah lereng terumbu yang umumnya ditumbuhi karang dan komponen bentik terumbu lain di perairan Kepulauan Seribu.

Gambar 2 Pengukuran data in situ rugosity, dimodifikasi dari Fuad (2010)

Kajian kondisi terumbu karang dilakukan dengan menggunakan metode

Point Intercept Transect (PIT). Pencatatan meliputi bentuk pertumbuhan karang

dan substrat yang dilakukan di setiap 0,5 meter dengan panjang transek garis sepanjang 20 meter (Gambar 3).

Gambar 3 Skema pendataan terumbu karang dengan Point Intercept Transect Pemeruman Dasar Perairan

Bentuk dasar perairan dikaji menggunakan metode akustik yaitu dengan melakukan pemeruman mengelilingi Perairan Pulau Kelapa dan Harapan dengan transek zig-zag dimulai dari perairan dangkal (3 m) hingga mencapai perairan dalam (50 m) dengan jarak antar transek sejauh 30-100 m (Gambar 1). Instrumen yang digunakan adalah Garmin GPSMAP 585 yang termasuk tipe single beam echosounders (SBES). SBESmenghasilkan perum gema yang sempit, yang dalam

pengukurannya membutuhkan pengaturan gerak kapal agar posisi transducer cukup

stabil (de Jong et al. 2002).

Analisis Data

Penelitian ini menggabungkan tiga aspek ilmu dan teknologi kelautan yaitu penginderaan jauh satelit dan sistem informasi geografis, akustik, serta hidrobiologi. Berdasarkan pendekatan penginderaan jauh satelit dan akustik kelautan diperoleh set data mentah berupa kedalaman perairan (batimetri). Data batimetri menjadi masukan dalam analisis BTM yang mengukur kompleksitas dasar perairan berdasarkan kajian surface to planar area. Pendekatan hidrobiologi melalui kajian in situ rugosity dan kondisi terumbu karang yang menggambarkan kompleksitas

(19)

5

Gambar 4 Diagram alir analisis data

Batimetri Pemeruman Koreksi data pemeruman

Data kedalaman yang diperoleh dari hasil pemeruman akustik dikoreksi terhadap pasang surut lokal dan selisih jarak dari permukaan air laut terhadap dudukan transducer saat pemeruman. Data pemeruman yang dihasilkan berupa

nilai elevasi dengan susunan data titik koordinat bujur (X) dan lintang (Y), serta nilai kedalaman (Z), yang kemudian diplotkan dalam perangkat lunak ArcGIS.

Batimetri Citra Crop dan Masking Citra

Pertama-tama dilakukan pemotongan citra sesuai wilayah pengamatan kemudian masking citra (Gambar 5). Langkah masking dilakukan dengan raster color slice yang bertujuan untuk memisahkan wilayah lautan, daratan, serta obyek

(20)

6

Gambar 5 Hasil masking wilayah darat Koreksi radiometrik

1) Konversi digital number (DN) menjadi radiansi

Citra WorldView-2 memiliki nilai digital atau piksel (DN) yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain proses absorpsi dan hambur balik. Proses tersebut terjadi pada radiansi elektromagnetik (REM) dan menyebabkan adanya perubahan sudut datang serta menyimpangnya pantulan REM. Oleh karena itu DN pada suatu citra tidak dapat secara langsung digunakan dan harus dikonversi menjadi nilai radiansi spektral minimum. Nilai tersebut menjelaskan jumlah radiansi spektral yang masuk ke dalam bukaan satelit, serta telah dikonversi menjadi sinyal digital (Upike dan Comp 2010; Green

et al. 2000). Hal ini dilakukan melalui proses kalibrasi radiometrik yang

dirumuskan melalui Persamaan 1 sebagai berikut:

����� �,�� = � ��� �� �,� � (1)

Dimana: LλPixel,Band = nilai radiansi piksel citra [W-m-2-sr-1-µm-1], KBand =

nilai absolut faktor kalibrasi radiometrik [W-m-2-sr-1-count-1], qPixel,Band =

adalah nilai piksel yang telah dikoreksi; dan ΔλBand = nilai efektif pada

masing-masing kanal [µm].

2) Konversi radiansi spektral menjadi reflektansi

Dari kanal citra WorldView-2 reflektansi nilai permukaan dapat dihasilkan dengan menerapkan Persamaan 2:

����� �,�� = �� �,� � ��

2

��� �� � � �� (2) Dimana: ρλPixel,Band = nilai rata-rata reflektansi tiap kanal, LλPixel,Band = piksel

citra spektral top-of atmosphere radiansi pada setiap kanal, dES = jarak

bumi-matahari dalam satuan austronomis (AU) pada saat perekaman cita. EsunλBand = nilai iradiansi matahari pada tiap kanal, θ = sudut zenith

matahari (Upike dan Comp 2010). Nilai kuantitatif yang digunakan seluruhnya didapatkan dari metadata citra WorldView-2.

3) Koreksi atmosferik

Koreksi dilakukan untuk menghilangkan nilai atenuasi atau gangguan akibat partikel atmosfer. Karbon dioksida, aerosol, dan ozon yang adalah faktor absorbsi dapat menggangu radiasi serta menyebabkan pengukuran nilai reflektasi tidak sesuai dengan nilai yang sebenarnya (Green et al. 2000).

(21)

7

Rasio relatif batimetri

Dalam pengolahan lanjutan dibutuhkan citra yang telah dikonversi menjadi

Digital Elevation Model (DEM). DEM merupakan representasi bentuk permukaan

bumi dalam format grid matriks. Data yang dimiliki diwakili oleh sistem koordinat X dan Y memiliki sifat distribusi spasial, sementara medan diwakili oleh nilai ketinggian atau kedalaman pada koordinat Z.

Perbedaan nilai pantulan dasar (bottom albedo) pada kedalaman yang konstan

akan menghasilkan rasio yang sama. Sementara itu penggunaan rasio relatif batimetri Stumpf et al. (2003) dapat menunjukkan bahwa perubahan pada

kedalaman lebih mempengaruhi dibandingkan dengan perubahan pada bottom albedo tersebut. Nilai kedalaman suatu titik di daerah penelitian diperoleh dari

Persamaan 3:

� = 1ln � �ln � � − (3)

Dimana: Z = estimasi kedalaman, m1 = koefisien kalibrasi, Rw(� = nilai reflektansi

per kanal, m0 = faktor koreksi untuk kedalaman 0, dan n = konstanta untuk menjaga

nilai rasio tetap positif. Koefisien m1 dan m0 masing-masing diperoleh dari hasil

regresi rasio kanal yang dipilih terhadap kedalaman lapangan.

Pendefinisian batimetri di perairan Pulau Harapan dan Kelapa dilakukan dengan menggunakan kanal 1-5 citra WorldView-2, sementara kanal ke-6 sampai 8 tidak digunakan karena dianggap kurang efektif dalam mendefinisikan kedalaman (Doxani et al. 2012). Terdapat sepuluh kombinasi rasio yang dihasilkan yaitu di

antaranya berdasarkan persamaan kedalaman relatif kanal Blue/Green (Stumpf et al. 2003), Green/Yellow dan Green/Red (Madden 2011), kanal Coastal Blue/Yellow

(Alsubaie 2012), serta kanal-kanal lainnya yaitu Coastal Blue/Blue, Coastal Blue/Green,Coastal Blue/Red, Blue/Yellow, Blue/Red, dan Yellow/Red.

Pengambilan titik sampel

Pemisahan wilayah dilakukan berdasarkan perbedaan interpretasi optik substrat (Doxani et al. 2012), sehingga wilayah kajian dibagi menjadi dua yaitu

perairan dangkal dan dalam. Perairan dangkal mencakup substrat dominan pasir dan patahan karang sampai ke tubir dan perairan dalam yaitu wilayah tubir ke perairan yang lebih dalam. Perairan dangkal diwakili oleh titik-titik sampel di Stasiun Timur dermaga Pulau Kelapa Dua dan Barat Daya Pulau Kelapa, serta perairan dalam diwakili oleh titik-titik sampel di sekeliling perairan luar tubir gugusan Pulau Kelapa dan Harapan (Gambar 1).

Perairan dangkal diwakili oleh sebanyak 24 titik sampel dengan pengukuran manual di wilayah yang mewakili rentang kedalaman dangkal. Perairan dalam diwakili sejumlah 71 titik sampel yang diambil berdasarkan titik pemeruman akustik. Selanjutnya dilakukan perbandingan antara titik kedalaman sampel dengan nilai rasio relatif pada kanal. Perbandingan antara kedua titik tersebut dapat menghasilkan nilai determinasi (R2) yang menunjukkan tingginya pengaruh

(22)

8

Kombinasi batimetri citra dan perum untuk kedalaman absolut

Dilakukan penggabungan antara data batimetri absolut dari citra dan data pemeruman menggunakan interpolasi spline with barriers. Proses ini dilakukan

untuk menyesuaikan resolusi spasial data batimetri citra WorldView-2 dengan hasil pemeruman. Metode spline mengestimasi nilai dengan meminimalisir nilai kurva

permukaan secara keseluruhan. Penggunaan barrier atau pembatas dapat

menunjukkan keberadaan perbedaan garis, wilayah yang curam, maupun bentuk lainnya yang menujukkan bentuk permukaan.

Hasil interpolasi menghasilkan profil batimetri gugusan Pulau Kelapa dan Harapan. Tampilan disajikan dalam bentuk penampang melintang menggunakan perangkat lunak, sementara secara 3D ditampilkan profil vertikal batimetri berdasarkan garis transek yang dibuat.

Benthic Terrain Modeler (BTM) Rugosity

Untuk melakukan analisis rugosity yang digunakan dalam toolbox

(perangkat) BTM yang terinstalasi dalam perangkat lunak ArcGIS 10.2 adalah

surface to planar area. Perhitungan dilakukan dengan membandingkan permukaan

tiga dimensi dengan permukaan, serta luasan wilayah permukaan pada daerah pengamatan secara horizontal (Wedding et al. 2008). Teknik ini dioperasikan

menggunakan metode triangulasi pada tiga grid piksel yang saling berdekatan (3x3

neighborhood). Hasil permukaan yang dibentuk kemudian dihitung nilai rasionya

terhadap bidang lurus yang sesuai dengan area permukaan.

Kompleksitas dan kondisi terumbu karang In situRugosity

Kompleksitas dasar perairan dikaji menggunakan pendekatan in siturugosity

yang diukur menggunakan transek rantai yang dibentangkan mengikuti lekukan dan naikan kontur dasar perairan (Persamaan 4). Kompleksitas tertinggi dinyatakan dengan nilai C mendekati 1 dan terendah dengan nilai mendekati 0.

� = − �⁄ (4)

Dimana: C = nilai rugosity, d = panjang transek rantai apabila dibentangkan

mengikuti kontur dasar perairan, sementara l = panjang transek rantai apabila dibentangkan dalam satu garis lurus (Aronson dan Precht 2007; Fuad 2010).

Kajian aspek rugosity atau kompleksitas habitat dasar perairan ini diperkuat

dengan dilakukannya validasi di lima titik stasiun pengamatan (Gambar 1). Hasil analisis rugosity menggunakan BTM selanjutnya divalidasi dengan menggunakan

regresi linear terhadap nilai in siturugosity. Kondisi hidup terumbu karang

Data karang dan bentik yang diperoleh menggunakan metode Point Intercept Transect selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan persentase penutupan terumbu

karang menggunakan rumus English et al. (1997):

�� = ��� % (5)

Dimana: Li = persentase penutupan karang (%), li = panjang transisi antar titik antar

life form kategori ke-i, dan N = panjang total transek. Berdasarkan hasil perhitungan

(23)

9 (DCA), Dead Coral (DC),Soft Coral (SC), Macro Algae, Other Fauna, dan Abiotik.

Jenis substrat karang keras hidup (Hard Coral) kemudian dibagi ke dalam beberapa

bentuk pertumbuhan antara lain Acropora Coral Branching (ACB), Acropora Coral Encrusting (ACE), Acropora Coral Submassive (ACS), Acropora Coral Tubulate (ACT), Coral Branching (CB), Coral Encrusting (CE), Coral Foliose

(CF), Coral Massive (CM), Coral Submassive (CSM), Coral Mushroom (CMR), Coral Milepora (CME), Coral Tubipora (CTU), Coral Heliopora (CHE) (English et al. 1997).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Batimetri

Wilayah Kajian Dangkal

Perairan dangkal perairan gugusan Pulau Kelapa dan Harapan memiliki kisaran kedalaman 1-3 meter. Wilayah ini didominasi oleh substrat pasir yang memiliki nilai reflektansi rendah karena substrat dengan butiran halus memantulkan energi ke banyak arah dan menghasilkan nilai radiansi yang menyebar (Jensen 2000). Pengukuran di 24 titik yang mewakili perairan berkedalaman dangkal dilakukan secara manual dengan menggunakan meteran (Gambar 1).

Terdapat 24 titik sampel yang setelah dilakukan perbandingan dengan kedalaman lapang dapat diketahui nilai determinasi (R2) dari kedalaman relatif pada

masing-masing rasio kanal (Lampiran 1). Berdasarkan nilai kedalaman relatif tersebut, didapatkan rasio kanal Green/Red dengan nilai R2 tertinggi yaitu 0,6622;

disusul dengan kanal Green/Yellow dengan R2= 0,5622; dan kanal Blue/Red dengan

R2=0,5548. Nilai R2 pada rasio kanal Green/Red menunjukkan regresi linear yang

positif menunjukkan terdapat hubungan positif antara nilai albedo yang ditampilkan

panjang gelombang rasio kanal Green/Red dengan kedalaman manual lapang.

Kanal Green (510-580 nm) dan Red (630-690 nm) di perairan dangkal mampu

mendefinisikan kedalaman hingga 15 meter. Kedua kanal tersebut juga merupakan kanal utama yang digunakan dalam persamaan pendefinisian rasio kanal oleh Densham (2005). Kanal merah mengalami atenuasi yang lebih besar, sehingga hanya dapat mendefinisikan kedalaman perarain dangkal.

Menurut Madden (2011), kombinasi rasio relatif Green/Red dan Green/Yellow mampu mendefinisikan dasar perairan pasir karena kanal Red

memiliki nilai reflektansi yang lebih tinggi terhadap segmen pasir. Bastian (2013) juga menggunakan kanal Green/Red dalam mendefinisikan wilayah perairan

dangkal yang didominasi oleh pasir berdasarkan nilai determinasi antara kedalaman relatif dengan kedalaman pemeruman hasil pengukuran lapang. Kanal Green/Red

menunjukkan nilai rasio relatif lebih tinggi (0,7368) dibandingkan dengan

Green/Yellow (0,5374).

Perhitungan rasio kanal Stumpf et al. (2003) (persamaan 3), dapat diketahui

(24)

10

Gambar 6 Peta kedalaman dangkal absolut rasio kanal Green/Red

Perbedaan antara nilai kedalaman perairan manual dibandingkan dengan nilai batimetri absolut kanal Green/Red (Gambar 7a). Berdasarkan titik

pengambilan sampel, diketahui bahwa nilai selisih kedalaman tertinggi sebesar 0,316 meter dan terendah sebesar 0,003 meter, serta standar deviasi sebesar 0,098. Dari Gambar 7b diketahui bahwa terdapat selisih antara kedalaman manual dan kedalaman absolut kanal Green/Red kurang dari 0,4 meter (Gambar 7b).

(a)

(b)

Gambar 7 Selisih kedalaman manual dan absolut kanal Green/Red -2

-1,5 -1 -0,5 0

Ked

alam

an

(m

)

Titik manual Regresi Green/Red

0 2 4 6 8

0,05 0,11 0,16 0,21 0,26 0,32 More

F

re

k

uens

i

(25)

11

Wilayah Kajian Dalam

Pemisahan wilayah kajian dalam dilakukan berdasarkan wilayah kajian dengan nilai interpretasi optis berdasarkan substrat, wilayah ini diasumsikan didominasi oleh substrat dasar terumbu karang. Perairan dalam dibatasi dari wilayah tubir dengan jarak 75-200 meter tegak lurus ke arah laut dalam hingga kedalaman 32 meter. Perairan dalam gugusan Pulau Kelapa dan Harapan dikaji menggunakan 71 titik sampel yang merupakan titik pemeruman akustik single beam (Gambar 1).

Berdasarkan titik-titik tersebut diketahui nilai R2 sebesar 0,7204 pada rasio

kanal Coastal Blue/Yellow, disusul R2= 0,7086 pada kanal Coastal Blue/Green, dan

R2= 0,2488 pada kanal Blue/Green (Lampiran 1). Nilai R2 pada rasio kanal Coastal Blue/Yellow menunjukkan regresi linear yang positif, menunjukkan terdapat

hubungan positif antara nilai albedo yang ditampilkan panjang gelombang rasio

kanal tersebut dengan kedalaman manual lapang. Penelitian oleh Parthish (2011) menunjukkan kemampuan kanal Coastal Blue dalam mendefinisikan batimetri

dibandingkan kanal Blue, sementara menurut Madden (2011) kanal Yellow dapat

mengurangi kesalahan dalam pendefinisian batimetri pada saat diuji dalam rasio dengan kanal Blue dan Green.

Nilai batimetri absolut dapat diketahui dengan memasukkan persamaan regresi linear pada nilai piksel data raster kedalaman relatif menggunakan perhitungan Band Math. Perairan dangkal ini memiliki kisaran kedalaman perarian

antara 0,000505-36,363 meter (Gambar 8). Sebanyak 46 titik dipakai dalam pendefinisian titik batimetri absolut. Kedalaman absolut yang memiliki selisih dengan hasil pengolahan citra dan pemeruman lebih dalam dari 6 m tidak digunakan karena nilai validasi yang rendah.

Gambar 8 Peta kedalaman absolut rasio kanal Coastal Blue/Yellow

Nilai kedalaman perairan pemeruman dibandingkan dengan nilai batimetri absolut dari kanal Coastal Blue/Yellow (Gambar 9a). Kesesuaian antara kedua nilai

(26)

12

(a)

(b)

Gambar 9 Selisih kedalaman manual dan absolut kanal Coastal Blue/Yellow

Kemampuan gelombang cahaya yang ditangkap oleh citra satelit dalam mendefinisikan kedalaman dengan nilai galat sampai dengan 5,32 meter hanya sampai kedalaman 36,36 meter. Presisi ini kurang tinggi jika dibandingkan dengan kemampuan pemeruman akustik yang dapat menjangkau wilayah lebih dalam. Hasil data kedalaman perairan dangkal dan dalam selanjutnya digabungkan dengan data kedalaman pemeruman. Sementara itu, pada keseluruhan data dilakukan penggabungan menggunakan metode interpolasi spline. Metode ini menggunakan

fungsi matematis yang meminimalisir permukaan yang memiliki kelengkungan dan menghasilkan permukaan yang lebih halus.

Tampilan Visual Batimetri dan Analisis BTM

Kondisi batimetri gugusan Pulau Kelapa dan Harapan dikaji melalui pendekatan penginderaan jauh satelit dan akustik. Secara keseluruhan profil batimetri disajikan dalam ukuran piksel 2 meter dengan tujuan dapat mendefinisikan kompleksitas dasar perairan yang ada sedetail mungkin. Raster batimetri ditampilkan secara 2D, kemudian 5 transek garis diterapkan secara tegak lurus dari tubir untuk mendapat gambaran umum profil vertikal batimetri di sekitar Pulau Kelapa dan Harapan. Secara keseluruhan Pulau Kelapa dan Harapan memiliki profil kedalaman dengan rentang 0,001 sampai dengan 62,156 meter. Terdapat lima transek garis yang terdiri atas tiga transek yang mengarah ke perairan lepas (Timur, Selatan, dan Barat) dan dua transek menghubungkan antara dua tubir dari gugusan pulau yang berbeda (Utara dan Barat Daya). Kelima transek garis masing-masing ditarik dengan titik awal A hingga titik akhir B (Gambar 10).

-20

0,79 1,55 2,30 3,06 3,81 4,57 5,32 More

(27)

13

Gambar 10 Tampilan batimetri dan transek garis profil batimetri

Kenampakan dasar laut yang diperoleh melalui pendefinisian citra satelit dan pemeruman didukung pula dengan studi lapang. Transek sepanjang 20 meter diletakkan di lima stasiun pada tiga kedalaman (6, 8, dan 10 meter) yang mewakili strata kedalaman lereng tubir gugusan Pulau Kelapa dan Harapan. Kelima stasiun tersebut ditentukan berdasarkan titik koordinat awal dan akhir pengamatan lapang. Dari setiap garis lurus dilakukan ekstraksi nilai surface to planar area pada

perangkat BTM dari setiap piksel yang dilewati oleh transek garis lurus. Masing-masing nilai tersebut disajikan pada tiga grid yang berbeda yaitu 1, 2, dan 5 meter. Ketiga grid tersebut menunjukkan tingkat surface to planar area dari hasil

pengukuran batimetri memiliki nilai tidak kurang dari 1, nilai yang lebih besar mendefinisikan tingkat kompleksitas yang lebih tinggi (Gambar 11, Lampiran 2).

Titik sampel di posisi 106 o35’34’’ BT dan 5o39’8’’ LS menunjukkan nilai surface to planar area pada grid 1 meter (a; 4,82) yang lebih terkonsentrasi namun

dengan nilai yang lebih rendah jika dibandingkan dengan grid 2 meter (b; 5,84), sementara pada titik sampel yang sama di grid 5 meter nilainya jauh lebih rendah (c; 1,53). Berdasarkan ketiga pendekatan grid tersebut, dipilih grid 2 meter karena dapat menampilkan nilai surface to planar area yang akurat dan mendekati citra

WorldView-2 yang memiliki ukuran grid citra berukuran 1,84 meter.

(a) (b) (c)

Gambar 11 Profil surface to planar area Stasiun Timur Pulau Kelapa dan

(28)

14

Transek garis di Stasiun Timur membentang secara tegak lurus dari wilayah sebelum tubir menuju ke perairan terbuka. Gambar 12 menjelaskan profil batimetri dan kompleksitas dasar berdasarkan surface to planar area dan in situ rugosity.

Stasiun Timur memiliki profil lereng terumbu yang landai dan berfluktuatif pada kisaran 10-12 meter, kemudian menurun dengan terjal hingga kedalaman 30 meter (Gambar 12a). Kompleksitas dasar perairan yang diamati menggunakan surface to planar area memiliki nilai tertinggi pada kedalaman 6 meter (Gambar 12b). Stasiun

ini secara keseluruhan memiliki kompleksitas paling beragam dibandingkan stasiun lainnya karena memiliki profil batimetri yang paling beragam karena profil geomorfologi lereng yang fluktuatif pada wilayah tubir (Gambar 12c).

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 12 Stasiun Timur (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai

surface to planar area setiap kedalaman(c) profil batimetri vertikal

transek CD (d) visual surface to planar area

Profil lereng batimetri di Stasiun Selatan dan kompleksitas dasar perairan berdasarkan nilai surface to planar area dan in situ rugosity ditunjukkan pada

Gambar 13. Profil rataan terumbu memiliki kedalaman 1,15-1,67 meter yang kemudian menurun landai setelah melewati punggung terumbu dan mencapai kedalaman 22 meter. Kondisi dasar perairan selanjutnya bersifat homogen di kedalaman terdalam. Secara umum kondisi dasar perairan di Selatan tergolong homogen dengan nilai surface to planar area yang seragam (Gambar 13b,d). Faktor

yang menyebabkan nilai yang homogen adalah profil batimetri wilayah perairan tersebut memiliki kondisi yang relatif datar dan landai secara keseluruhan, meskipun lereng yang terbentuk cukup terjal di kedalaman 7-12 meter (Gambar 13c).

(29)

15

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 13 Stasiun Selatan (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai

surface to planar area setiap kedalaman(c) profil batimetri vertikal

transek CD (d) visual surface to planar area

Transek vertikal di Stasiun Barat Daya menghubungkan antara dua tubir dari gugusan pulau yang berbeda. Dasar perairan membentuk lereng yang menanjak ke kedalaman yang lebih dangkal kedalaman 5,8 meter lalu semakin rendah hingga menuju wilayah tubir dan rataan terumbu (Gambar 14a). Nilai surface to planar area tertinggi terdapat di strata kedalaman 8 meter yang disusul oleh kedalaman 10

dan 6 meter (Gambar 14b). Wilayah ini memiliki struktur geomorfologi yang cukup kompleks karena memiliki perubahan nilai kedalaman saat melewati dasar perairan sebelum kembali menuju tubir (Gambar 14c).

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 14 Stasiun Barat Daya (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai

surface to planar area setiap kedalaman(c) profil batimetri vertikal

transek CD (d) visual surface to planar area

Stasiun Barat memiliki kondisi dasar perairan dengan profil lereng terumbu yang landai hingga mencapai kedalaman 15 meter. Profil kedalaman selanjutnya

D C

(30)

16

membentuk lereng menuju kanal bawah laut dengan kedalaman 24,5 meter, kemudian kembali ke kedalaman dengan rata-rata 14,05 meter. (Gambar 15a). Secara umum melalui tampilan batimetri dan pengamatan lapang, Stasiun Barat memiliki karakteristik lereng yang landai di kedalaman 6-10 meter (Gambar 15c). Kompleksitas dasar perairan menjelaskan nilai surface to planar yang beragam di

setiap kedalaman dan nilai tertinggi terdapat di kedalaman 10 meter (Gambar 15b,d). Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh beragamnya nilai kedalaman di Stasiun Selatan di wilayah lereng terumbu dan terdapatnya kanal bawah laut yang mempengaruhi profil kedalaman secara signifikan (Gambar 15c).

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 15 Stasiun Barat (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai surface to planar area setiap kedalaman(c) profil batimetri vertikal transek

CD (d) visual surface to planar area

Stasiun Utara memiliki kondisi umum batimetri yang paliing berbeda karena transek garis lurus yang diambil melintasi sebuah gobah. Profil batimetri menurun dengan profil lereng curam di kedalaman 3-10 meter, kemudian menurun landai hingga kedalaman 25 meter. Kontur dasar pun semakin dangkal karena melewati gobah dengan lebar ±80 meter. Kemudian profil batimetri kembali landai dan semakin dangkal hingga menuju tubir dan kedalaman 2 meter (Gambar 16a). Berdasarkan sampel surface to planar area yang diambil di beberapa strata

kedalaman, wilayah 6 dan 8 meter memiliki kompleksitas yang lebih tinggi (Gambar 16b). Wilayah lereng yang diamati langsung di lapang berada pada wilayah lereng terumbu (Gambar 16c) memiliki kondisi kompleksitas yang cukup kompleks (Gambar 16d). Stasiun Utara terdiri atas kondisi dasar perairan yang beragam karena terdiri atas beberapa struktur geomorfologi antara lain rataan terumbu, lereng terumbu, dan gobah.

(31)

17

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 16 Stasiun Utara (a) profil batimetri vertikal AB (b) nilai surface to planar area setiap kedalaman(c) profil batimetri vertikal transek CD

(d) visual surface to planar area

Secara umum kompleksitas berdasarkan hasil analisis menggunakan surface to planar area BTM memiliki rentang nilai mendekati 0 untuk wilayah homogen

dan menjauhi 0 untuk wilayah yang kompleks. Dasar Perairan Pulau Kelapa dan Harapan memiliki nilai surface to planar area tertinggi di Stasiun Timur pada

kedalaman 6 dan 8 meter (4,12; 3,28), serta Barat 10 meter (3,12). Wilayah tersebut termasuk ke dalam stasiun yang menghadap ke arah perairan lepas dan terpapar langsung oleh arus dari luar gugusan pulau. Wilayah dengan kompleksitas terendah terdapat di Stasiun Utara di setiap strata kedalaman 6, 8, dan 10 meter yaitu masing-masing 1,72; 1,72; dan 1,29 (Gambar 17). Kondisi ini membutuhkan dukungan hasil pengamatan kompleksitas dasar perairan terumbu karang di lapang.

Gambar 17 Hasil analisis surface to planar area BTM di keseluruhan Stasiun dan

(32)

18

Profil Terumbu Karang

Melalui pendekatan ekologi, dilakukan kajian kompleksitas dasar perairan terumbu karang Pulau Kelapa dan Harapan. Kajian ini menghasilkan nilai matematis yang dapat mendefinisikan seberapa kompleks perairan tersebut. Wilayah yang homogen dinyatakan dengan nilai mendekati 0, sementara kompleksitas lebih tinggi dinyatakan dengan nilai yang mendekati 1.

Pulau Kelapa dan Harapan memiliki struktur kompleksitas yang beragam di setiap stasiun dan berdasarkan tiga strata kedalaman yang berkisar antara 0,095 (homogen) hingga 0,434 (kompleks). Secara keseluruhan, nilai yang paling kompleks terdapat di Stasiun Utara (0,434) dan Stasiun Barat (0,39) pada kedalaman 6 meter, serta Stasiun Selatan (0,4025) pada kedalaman 8 meter. Sementara itu, berdasarkan strata kedalamannya, perairan kedalaman 6 meter yang memiliki nilai kompleksitas tertinggi terdapat di Stasiun Utara (0,434), kedalaman 8 meter di Stasiun Selatan (0,403), dan kedalaman 10 meter di Stasiun Utara (0,291). Stasiun Timur menunjukkan nilai in situ rugosity terendah yaitu secara

berurutan berdasarkan setiap strata kedalaman 0,184; 0,196; dan 0,095 (Gambar 18, Lampiran 3).

Gambar 18 Profil in siturugosity Pulau Kelapa dan Harapan pada strata

kedalaman 6, 8, dan 10 meter

Hasil kajian in situ rugosity dan surface to planar area (BTM) memiliki

beberapa perbedaan. Stasiun Timur yang memiliki nilai surface to planar area

tertinggi di kedalaman 6 dan 8 meter di sisi lain menunjukkan nilai in situ rugosity

terendah di setiap kedalaman. Nilai in situ rugosity yang rendah dapat disebabkan

oleh tutupan dasar perairan yang didominasi oleh patahan terumbu karang mati yang ditumbuhi alga (Dead Coral with Algae) yang diidentifikasi melalui

pendekatan pengukuran lapang. Pendekatan surface to planar area

mengidentifikasi kompleksitas dengan cakupan area yang lebih luas dan menunjukkan struktur geomorfologi yang lebih kompleks yang ditunjukkan oleh warna merah yang mendominasi tampilan visualnya (Gambar 13d). Hal tersebut menunjukkan bahwa Stasiun Timur memiliki profil yang kompleks di masa lalu namun telah ditutupi oleh terumbu karang yang mati di saat ini. Menurut Hubbart (1997), susunan fosil terumbu yang ada merupakan susunan yang saling bertumpukan dari beberapa generasi dari terumbu karang yang ada.

Nilai surface to planar BTM dan in situ rugosity menunjukkan adanya

hubungan keterkaitan yang positif pada grid 1, 2, maupun 5 meter. Nilai pada grid 2 meter menunjukkan nilai determinasi (R2) tertinggi yaitu sebesar 0,3686 (Gambar

(33)

19 19, Lampiran 6); grid 5 meter sebesar 0,3196; dan grid 1 meter 0,3177 (Lampiran 5 dan 7). Ketiga nilai tersebut menunjukkan nilai kompleksitas berdasarkan pendekatan analisis surface to planar area BTM berpengaruh nyata terhadap in situ rugosity (dB=28; p<0,05).

Gambar 19 Nilai rugosity berdasarkan pengukuran in situ dan BTM grid 2 meter

di keseluruhan stasiun (p< 0,05)

Dalam analisis keterkaitan, diukur pula korelasi antara nilai in situ rugosity

dari setiap strata kedalaman stasiun dengan nilai hasil analisis BTM. Kompleksitas di perairan kedalaman 8 meter memiliki nilai determinasi sebesar 0,912 disusul oleh kedalaman 10 meter (R2=0,524) dan 6 meter (R2=0,275) yang menunjukkan nilai

determinasi yang positif (Gambar 20). Tingginya kesesuaian di kedalaman 8 meter dapat disebabkan oleh terumbu karang yang diamati di kedalaman 8 meter masih mendapat pengaruh dari kondisi di kedalaman 7 dan 9 meter yang termasuk ke dalam wilayah kajian kedalaman 6 meter (5-7 meter) dan 10 meter (9-11 meter), mengingat lokasinya yang berada di antara dua kedalaman yang dikaji.

Gambar 20 Nilai rugosity berdasarkan pengukuran in situ dan BTM grid 2 meter

di setiap strata kedalaman (p<0,05)

Berdasarkan kondisi lapang, diketahui bahwa kategori substrat dasar perairan di kedalaman 6 meter didominasi oleh karang mati yang ditumbuhi alga (Dead Coral with Algae), kedalaman 8 meter didominasi oleh karang hidup, dan di

kedalaman 10 meter didominasi oleh kategori abiotik yaitu pasir, patahan karang

(34)

20

(rubble), dan komponen tidak hidup lainnya (Gambar 22). Kondisi tingginya

tutupan karang hidup di kedalaman 8 meter dapat menjadi salah satu faktor tingginya hubungan antara in situ rugosity dan surface to planar area BTM, karena

jenis substrat dasar perairan yang dapat dideteksi oleh panjang gelombang sinar tampak satelit dan gelombang akustik adalah karang hidup.

Secara ekologi, dasar Perairan Pulau Kelapa dan Harapan merupakan bagian dari habitat beberapa organisme dasar yaitu ekosistem terumbu karang. Ekosistem ini dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori substrat dasar yang ditemukan dalam pengamatan lapang antara lain karang hidup (Hard Coral), karang lunak

(Soft Coral), karang mati ditumbuhi alga (Dead Coral with Algae), Macro Algae,

komponen abiotik, dan Sponge yang termasuk Other Fauna. Penggolongan jenis

terumbu karang dilakukan berdasarkan kondisi batimetri dan bentang alam suatu perairan. Secara keseluruhan, profil terumbu karang berdasarkan bentang habitat Pulau Kelapa dan Harapan adalah patch reef yang merupakan profil bentang

terumbu di Kepulauan Seribu.

Jenis kategori bentik terumbu di gugusan Pulau Kelapa dan Harapan didominasi oleh dead coral with algae (26,67-45,53%), hard coral (26,67-35,83%),

dan abiotik (15-32,5%) (Gambar 21) (Lampiran 4a). Tutupan ketiga jenis kategori tersebut berbeda nyata jika dibandingkan dengan kategori Macro Algae, Soft Coral,

dan komponen bentik hidup lainnya yang secara keseluruhan tutupannya tidak lebih dari 11,67%. Wilayah yang didominasi oleh Dead Coral with Algae berada di

Stasiun Barat Daya, Barat, dan Selatan yang merupakan wilayah yang berada di antara gugusan pulau lain dan memiliki jarak antar tubir yang cukup dekat. Hard Coral paling banyak ditemukan di Stasiun Barat yang berada pada wilayah luar

lereng terumbu, di samping itu juga ditemukan di Selatan dan Barat Daya yang terletak di antara gugusan pulau lainnya.

Keterangan: DCA=Dead Coral with Algae, HC=Hard Coral, MA=Macro Algae,

SC=Soft Coral, OT=komponen bentik hidup lainnya

Gambar 21 Tutupan beberapa kategori bentik terumbu di dasar perairan Pulau Kelapa dan Harapan

Kompleksitas dasar perairan Pulau Kelapa dan Harapan yang ditemukan menunjukkan hasil tertinggi di kedalaman 8 (surface to planar area) dan 6 meter

(in situ rugosity). Hasil pengukuran tersebut dikaji lebih lanjut berdasarkan

stratifikasi tiap kedalamannya. Kategori dominan yang ditemukan di seluruh stasiun adalah Dead Coral with Algae dan Hard Coral. Dead Coral with Algae

mendominasi perairan di kedalaman 6 meter (46%), Hard Coral di 8 meter (33%),

dan abiotik di 10 meter (35,5%) (Gambar 22).

(35)

21

(a)

(b)

(c)

Keterangan : DCA=Dead Coral with Algae, HC=Hard Coral, MA=Macro Algae,

SC=Soft Coral, OT=komponen bentik hidup lainnya

Gambar 22 Tutupan beberapa kategori bentik terumbu di gugusan Pulau Kelapa dan Harapan di kedalaman (a) 6, (b) 8, dan (c) 10 meter Jenis kategori merupakan bentuk gambaran paling umum dalam mendeskripsikan kompleksitas dasar perairan. Berdasarkan kategori substrat dasar yang dominan, dilakukan analisis korelasi untuk mengetahui seberapa besar in situ rugosity berhubungan dengan persentase Dead Coral with Algae dan karang hidup

(Hard Coral). Jenis substrat dasar Dead Coral with Algae yang mendominasi

keseluruhan Perairan Pulau Kelapa dan Harapan menunjukkan adanya hubungan yang sangat rendah dengan in siturugosity (r=0,094; dB=28; p<0,05) (Gambar 23a,

Lampiran 8). Sementara itu, dalam kasus ini tutupan karang hidup menunjukkan hubungan yang sangat rendah antara persen tutupan karang hidup dengan nilai in siturugosity (r=0,056; dB=28; p<0,05) (Gambar 23b, Lampiran 9).

Gambar 23 Hubungan in siturugosity dengan persen tutupan (a) dead coral with Algae (b) karang hidup

(36)

22

Menurut Fuad (2010), persentase tutupan terumbu karang dapat menunjukkan hubungan keterkaitan yang tinggi terhadap kompleksitas terumbu karang. Berdasarkan analisis yang dilakukannya di Taman Nasional Bunaken, diketahui bahwa terdapat hubungan positif antara persentase tutupan karang dengan kompleksitas yang diukur (r=0,565, p<0,01). Hal tersebut berbeda dengan hasil pengukuran dan perbandingan kompleksitas yang dilakukan di Pulau Kelapa dan Harapan disebabkan karena kondisi tutupan terumbu karang dan kompleksitas yang berbeda. Terumbu karang di Taman Nasional Bunaken memiliki persentase tutupan terumbu karang lebih tinggi (44-47%) dibandingkan dengan Pulau Kelapa dan Harapan (26,67-35,83%) (Gambar 21).

Berdasarkan bentuk pertumbuhannya, tutupan terumbu karang tertinggi di Perairan Pulau Kelapa dan Harapan terdiri atas jenis Coral Foliose, Coral Massive,

dan Coral Submassive. Coral Foliose merupakan jenis terumbu karang lembaran

dan ditemukan hingga tutupan 20,83% di Stasiun Barat dan mendominasi tutupan di seluruh strata kedalaman. Bentuk pertumbuhan kedua tertinggi, Coral Massive

banyak ditemukan di Utara, Barat Daya (10,83%), Timur (8,33%), dan Barat (7,5%) Pulau Kelapa dan Harapan. Coral Massive ini merupakan bentuk pertumbuhan

yang solid dan kokoh. Berbeda dengan bentuk pertumbuhan karang lainnya, bentuk pertumbuhan terbanyak ke-3, Coral Submassive ditemukan di seluruh Stasiun

Pulau Kelapa dan Harapan dengan persen tutupan tidak lebih dari 9,17% (Gambar 24) (Lampiran 4b).

Keterangan: ACB=Acropora Coral Branching, CB=Coral Branching, E=Coral Encrusting, CF=Coral Foliose, CM=Coral Massivc, CMR=Coral Mushroom,

CS=Coral Submassive

Gambar 24 Persen penutupan berdasarkan bentuk pertumbuhan terumbu karang di lima Stasiun Pulau Kelapa dan Harapan

Persentase tutupan bentuk pertumbuhan terumbu karang juga dikaji berdasarkan setiap stasiun dan kedalaman pengamatan (Gambar 25a, b, c). Bentuk pertumbuhan Coral Massive tertinggi ditemukan di Stasiun Timur (27,5% di 6

meter), Barat Daya (20% di 8 meter), dan Utara (27,5% di 6 meter; 22,5% di 10 meter). Bentuk pertumbuhan Coral Foliose tertinggi terdapat di Stasiun Barat (20%

di 6 meter; 22,5% di 8 meter; 10% di 10 meter) dan Stasiun Barat Daya (12,5% di 8 meter; 10% di 10 meter). Persentase tutupan Coral Submassive tertinggi

(37)

23

(a)

(b)

(c)

Keterangan: ACB=Acropora Coral Branching, CB=Coral Branching, E=Coral Encrusting, CF=Coral Foliose, CM=Coral Massivc, CMR=Coral Mushroom,

CS=Coral Submassive

Gambar 25 Bentuk pertumbuhan karang hidup di lima Stasiun Pulau Kelapa dan Harapan pada strata kedalaman (a) 6, (b) 8, dan (c) 10 meter

Dalam kondisi lapang di Pulau Kelapa dan Harapan ditemukan terumbu karang jenis lembaran dengan persen penutupan tertinggi di Stasiun Barat (Gambar 26d). namun jenis karang bercabang baik dari bentuk pertumbuhan Acropora Coral Branching maupun Coral Branching hanya ditemukan dengan persen penutupan

tidak lebih dari 3,33%. Faktor-faktor yang menentukan antara lain kondisi perairan di gugusan pulau tersebut yang mengalami sedimentasi, serta substrat yang menjadi dasar bagi terumbu karang untuk tumbuh didominasi oleh Dead Coral with Algae

atau patahan karang bercabang yang telah mati dan ditumbuhi alga (Gambar 26a) dan pasir berlumpur. Coral Massive (Gambar 26b) yang ditemukan di Stasiun

Timur, Barat Daya, Barat, dan Utara; dan Coral Submassive (Gambar 26c) yang

(38)

24

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 26 Bentuk pertumbuhan terumbu karang yang ditemukan di Perairan Pulau Kelapa dan Harapan (a) Dead Coral with Algae, (b) Coral Massive, (c) Coral Submassive, dan (d) Coral Foliose

Jenis pertumbuhan dan pola tutupan terumbu karang yang ditemukan mempengaruhi kompleksitas dasar perairan, sehubungan dengan seberapa beragamnya struktur yang dibentuk. Menurut Knudby dan LeDrew (2007), jenis karang bercabang memiliki nilai kompleksitas tinggi pada grid spasial yang sempit, sementara koloni jenis karang tabulate (meja) dan karang foliose (lembaran)

memiliki nilai kompleksitas tinggi pada grid spasial yang lebih luas. Dalam pengukuran di lapang, jenis Coral Massive mendominasi keseluruhan dasar

perairan dengan tutupan yang cukup tinggi, yaitu 2,5-12%. Berbeda halnya dengan terumbu karang dengan jenis pertumbuhan Acropora Coral Branching dan Coral Branching yang memiliki nilai kompleksitas lebih tinggi hanya terdapat dengan

persentase tutupan yang rendah, yaitu 2,5-5%. Formasi terumbu karang di Pulau Kelapa dan Harapan yang didominasi oleh Coral Massive membentuk struktur yang

kurang kompleks. Hal ini mempengaruhi nilai kompleksitas dasar perairan terumbu karang di setiap kedalaman.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kompleksitas dasar perairan yang tinggi ditemukan di Stasiun Timur dan Barat mengacu pada surface to planar area BTM, sedangkan in situ rugosity

tertinggi terdapat di Stasiun Utara dan Selatan. Nilai in situ rugosity paling

(39)

25

surface to planar area BTM mampu menggambarkan kompleksitas terumbu karang

dan geomorfologi dasar perairan pada grid 2 meter.

Saran

Perlu dilakukan analisis dan bahasan lebih lanjut mengenai keterkaitan antara kompleksitas dasar perairan di wilayah yang berbeda kondisi maupun tipe terumbu karangnya (misalnya di jenis bentang terumbu fringing reef, atol, atau barrier reef;

serta terumbu karang dengan persentase tutupan yang lebih tinggi).

DAFTAR PUSTAKA

Adriani. 2002. Hubungan antara Keanekaragaman Bentang Terumbu (Reefscape Diversity) dengan Keanekaragaman Ikan (Fish Diversity) di Ekosistem

Terumbu Karang Nusa Penida, Bali [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Alsubaie NM. 2012. The Potential of Using Worldview-2 Imagery for Shallow Water Depth Mapping. Alberta (CA).University of Calgary.

Aronson RB dan Precht WF. 1995. Landscape patterns of reef coral diversity: A test of the intermediate disturbance hypothesis. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 192: 1-14.

Bastian B. 2013. Pemetaan Batimetri 3D Perarian Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Menggunakan Citra WorldView-2 [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Hubbart DK. 1997. Reef in dynamic system: In Birkeland, C. (ed.) 1997. Life and Death of Coral Reefs. New York, London (US, GB): Chapman & Hall.

de Jong CD, Lachapelle G, Skone S, Elema IA. 2002. Hydrography. Delft: Delft

University.

Densham M. 2005. Bathymetric Mapping with Quickbird Data. California (US). Naval Postgraduate School.

Doxani G, Papadopoulou, Lafazani P, Pikridas C, Tsakiri-Strati M. 2012.

Shallow-water bathymetry over variable bottom types using multispectral Worldview-2 image. Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Vol. 39 (BB): 159-164.

English SC, Wilkinson, Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Townsvile: Australian Institute of Marine Science.

Fuad MAZ. 2010. Coral Reef Rugosity and Coral Biodiversity Bunaken National Park, North Sulawesi, Indonesia [Thesis]. Enschede (NE): National Institute for Geo-Information Science and Earth Observation.

Green EP, Mumby PJ, Edwards AJ, Clark CD. 2000. Remote Sensing Handbook for Tropical Coastal Management. Paris: UNESCO Publishing.

Knudby A dan LeDrew E. 2007. Measuring Structural Complexity on Coral Reefs. Proceedings of the American Academy of Underwater Sciences 26th Symposium.

(40)

26

Lundblad ER, Wright DJ, Miller J, Larkin EM, Rinehart R, Naar DF, Donahue BT, Anderson SM, Battista T. 2006. A benthic terrain classification scheme for American Samoa. Marine Geodesy 29: 89-111.

Madden CK. 2011. Contribution to Remote Sensing of Shallow Water Depth with The WorldView-2 Yellow Band. California (US). Naval Postgraduate School.

Parthish D, Gopinath G, Ramakrishnan SS. 2011. Coastal Bathymetry by Coastal Blue. Tamilnadu (IN). Anna University.

Risk MJ. 1972. Fish Diversity on a Coral Reef in the Virgin Islands. California (US): NOAA Miami Regional Library.

Stumpf RP, Kristine Holderied, Sinclair M. 2003. Determination of water depth with high-resolution satellite imagery of variable bottom type. Limnol. Oceanogr. 48(1, part 2): 547-556

Upike T dan Comp C. 2010. Radiometric Use of WorldView-2 Imagery. [diacu 2015 Mar 6] Tersedia dari:

https://www.digitalglobe.com/sites/default/files/Radiometric_Use_of_Wor ldView-2_Imagery%20(1).pdf

Wedding LM, Friedlander AM, McGranaghan M, Yost RS, Monaco ME. 2008. Using bathymetric lidar to define nearshore benthic habitat complexity: Implications for management of reef fish assemblages in Hawaii. Remote Sensing of Environment 112: 4159-4165

(41)

27 Lampiran 1 Regresi linear dan determinasi setiap rasio kanal citra WorldView-2 Wilayah kajian dangkal

Rasio kanal regresi linear Persamaan Koefisien determinasi 1:2 y = 1,7341x – 2,1542 0,1599 1:3 y = 1,3464x – 1,9605 0,1881 1:4 y = 0,08x – 1,3028 0,0013 1:5 y = -0,7123x – 0,5701 0,1622 2:3 y = 1,0385x – 2,288 0,0933 2:4 y = -0,7357x – 0,0548 0,1835

2:5 y = -0,7449x + 0,0798 0,5548 3:4 y = -1,4376x + 1,0417 0,5622 3:5 y = -0,7394x + 0,056 0,6622

4:5 y = -1,6466x + 0,5755 0,4803

Wilayah kajian dalam

Rasio kanal regresi linear Persamaan Determinasi 1:2 y = -29,371x + 1,9196 0,2079

1:3 y = -42,076x + 10,144 0,7086 1:4 y = -18,101x + 12,499 0,7204

1:5 y = -6,4945x – 1,3969 0,1758

2:3 y = -17,761x + 5,5 0,2488

2:4 y = -2,6672x – 6,1387 0,0411 2:5 y = -0,8064x – 11,763 0,0066 3:4 y = 2,848x – 17,838 0,0075 3:5 y = 6,0613x – 29,37 0,1009 4:5 y = 3,2532x – 24,607 0,0949 Keterangan:

Kanal citra WorldView-2: (1) Coastal Blue

(2) Blue

(3) Green

(4) Yellow

(42)

28

Lampiran 2 Nilai kompleksitas dasar perairan menggunakan surface to planar area BTM di kedalaman 6, 8, dan 10 meter dengan grid 1, 2, dan 5

meter

Stasiun

Surface to planar area

1x1 m2 2x2 m2 5x5 m2 KH-T-06 4,360516 4,118334 1,385432

KH-T-08 2,930675 3,27512 1,371815

KH-T-10 2,800296 3,008926 1,326658 KH-S-06 1,89324383 1,452083 1,141972 KH-S-08 1,89324383 1,452083 1,141972 KH-S-10 1,89324383 1,452083 1,141972 KH-BD-06 2,251638 2,557344 1,213534 KH-BD-08 2,155231 3,188174 1,209225 KH-BD-10 2,593679 2,994446 1,083782

KH-B-06 2,218982 2,12115 1,116458

KH-B-08 2,155231 2,910118 1,116719 KH-B-10 2,553413 3,117638 1,083782 KH-U-06 1,646966 1,722479 1,073042 KH-U-08 1,751593 1,722853 1,069938 KH-U-10 1,272707 1,290035 1,06051 Rata-rata 2,239791 2,425524 1,169121 Maksimum 4,360516 4,118334 1,385432 Minimum 1,272707 1,290035 1,06051

Keterangan:

Stasiun ditunjukkan dalam Gambar 1.

(43)

29 Lampiran 3 Kompleksitas dasar perairan in situ di Pulau Kelapa dan Harapan

berdasarkan kedalaman 6, 8, dan 10 m dengan ke-4 ulangan

Stasiun

in situ Rugosity (Ulangan)

Rata-rata

I II III IV

KH-T-06 0,16 0,12 0,1 0,356 0,184

KH-T-08 0,02 0,2 0,34 0,222 0,1955

KH-T-10 0,14 0,04 0,04 0,16 0,095

KH-S-06 0,01 0,33 0,194 0,33 0,216

KH-S-08 0,466 0,194 0,52 0,43 0,4025

KH-S-10 0,18 0,228 0,276 0,276 0,24

KH-BD-06 0,29 0,222 0,188 0,414 0,2785

KH-BD-08 0,08 0,406 0,258 0,26 0,251

KH-BD-10 0,02 0,308 0,392 0,102 0,2055

KH-B-06 0,296 0,464 0,18 0,62 0,39

KH-B-08 0,08 0,12 0,356 0,348 0,226

KH-B-10 0,162 0,2 0,216 0,262 0,21

KH-U-06 0,502 0,632 0,348 0,254 0,434

KH-U-08 0,26 0,5 0,36 0,216 0,334

KH-U-10 0,04 0,44 0,162 0,52 0,2905

Keterangan:

Stasiun ditunjukkan dalam Gambar 1.

(44)

30

Lampiran 4 Persentase tutupan (a) kategori dasar perairan dan (b) terumbu karang di Pulau Kelapa dan Harapan

(a)

Stasiun Timur Selatan Barat Daya Barat Utara

Hard Coral 27,500 31,667 30,000 35,833 26,667

Macro Algae 5,000 1,667 1,667 5,833 0,000

Sand 25,833 25,000 15,000 25,833 0,000

Soft Coral 11,667 5,833 6,667 0,833 0,000

Sponge 0,000 0,000 0,833 5,000 0,000

Dead Coral

with Algae 26,667 35,833 45,833 26,667 40,833

Rubble 3,333 0,000 0,000 0,000 1,667

(b)

Stasiun Timur Selatan Barat Daya Barat Utara

CSM 9,167 10,000 4,167 6,667 0,000

CMR 0,000 3,333 0,000 0,000 2,500

CM 12,500 8,333 10,833 7,500 12,500

ACB 1,667 2,500 0,833 0,000 0,000

CB 0,833 2,500 3,333 0,000 0,833

CE 1,667 0,833 2,500 0,833 3,333

(45)

31 Lampiran 5 Nilai determinasi rugosity berdasarkan pengukuran in situ dan BTM

dengan grid 1 meter dan analisis ragam regresi linear sederhana

Analisis Ragam Ringkasan

Kelompok data Jumlah Total

Rata-rata Ragam

Kolom 1 15 34,37066 2,291377 0,526631

Kolom 2 15 3,9525 0,2635 0,008589

Tabel Sisik Ragam

Sumber

keragaman JK dB KT F hitung P F tabel

Regresi 30,84215 1 30,84215 115,2503 1,96E-11 4,195972

Sisa 7,493083 28 0,26761

Total 38,33523 29

Keterangan:

JK : jumlah kuadrat dB : derajat bebas KT : kuadrat tengah

P : nilai peluang kesalahan

y = 4,4135x - 0,9591 R² = 0,3177

0 1 2 3 4 5

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1

surf

ac

e to pl

anar ar

ea

BT

M

(46)

32

Lampiran 6 Nilai determinasi rugosity berdasarkan pengukuran in situ dan BTM

grid 2 meter dan analisis ragam regresi linear sederhana

Analisis Ragam Ringkasan

Kelompok data Jumlah Total

Rata-Regresi 35,05762 1 35,05762 90,07839 3,01E-10 4,195972

Sisa 10,89732 28 0,38919

P : nilai peluang kesalahan

(47)

33 Lampiran 7 Nilai determinasi rugosity berdasarkan pengukuran in situ dan BTM

grid 5 meter dan analisis ragam regresi linear sederhana

Analisis Ragam Ringkasan

Kelompok data Jumlah Total

Rata-rata Ragam

Kolom 1 15 17,53681 1,169121 0,012102

Kolom 2 15 3,9525 0,2635 0,008589

Tabel Sisik Ragam

Sumber

keragaman JK dB KT F hitung P F tabel

Regresi 6,151117 1 6,151117 594,5443 2,12E-20 4,195972

Sisa 0,289686 28 0,010346

Total 6,440803 29

Keterangan:

JK : jumlah kuadrat dB : derajat bebas KT : kuadrat tengah

P : nilai peluang kesalahan

y = 0,671x + 0,6749 R² = 0,3196

0 1 2 3 4 5

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1

surfac

e to plana

r ar

ea

B

TM

Gambar

Gambar 1 Lokasi penelitian di Perairan Pulau Kelapa dan Harapan
Tabel 1  Spesifikasi kanal-kanal spektral citra WorldView-2 (Sumber: Upike dan
Gambar 2 Pengukuran data in situ rugosity, dimodifikasi dari Fuad (2010)
Gambar 4 Diagram alir analisis data
+7

Referensi

Dokumen terkait

Definisi di q atas menggambarkan bahwa q ganjaran merupakan q suatu alat pendidikan q yang dapat q digunakan untuk memberikan respon positif atas perbuatan baik dan

Dalam rangka penguatan budaya literasi, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan sebagai salah satu unit utama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah berikhtiar

Sehingga diharapkan dapat di akses kapanpun dan dimana pun.Pembuatan Sistem Informasi Geografis berbasis android ini dibuat menggunakan MapInfo Professional 9.0

Berdasarkan tabel 4.7 diperoleh nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0.675, hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh kuat antara variabel harga (X1), pelayanan

Berdasarkan kriteria interpretasi data 75% termasuk kualifikasi cukup valid, karena tampilan media animasi secara keseluruhan sudah cukup baik untuk digunakan dalam

Karya yang dihasilkan bergaya surrealis antara bonsai kontemporer dan bola dunia (bumi) dengan menggunakan beberapa teknik, antara lain teknik anyam kawat, las,

Jumlah oleoresin jahe merah yang release dari mikrokapsul berdasarkan perubahan konsentrasi kitosan sebagai bahan dinding mikrokapsul dan volume glutaraldehyde

adanya kontrak tersebut tidak mematuhi materi atau isi dari Undang-Undang pertambangan tebaru terkait Pasal 169 tentang pegantian sistem kontrak karya ke sistem izin