• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Kedalaman Perairan Berdasarkan DTM Model

Data kedalaman yang berasal dari multibeam echosounder relatif sangat rapat dan sudah teratur. Oleh karena itu nilai grid yang dihasilkan melalui data ini sangat banyak. Selain itu juga radius elliptical yang dihasilkan memiliki nilai yang kecil. Search ellipse 1 dan 2 dari data ini bernilai 0,0501. Berdasarkan nilai tersebut, dapat diperoleh informasi bahwa jarak antara titik satu dan titik yang lainnya sangat dekat. Sehingga simpul yang dihasilkan juga memiliki jarak yang sangat dekat. Selain itu, nilai search ellipse angle yang dihasilkan memiliki nilai 0. Artinya bahwa titik satu dan titik lain yang akan mengalami proses gridding masih berada dalam garis horizontal yang sama. Jumlah simpul atau node yang dihasilkan cukup banyak, nilai ini diperoleh melaui informasi grid size yang dihasilkan. Ukuran geometri dari data ini yaitu 100 x 45. Nilai 100 menyatkan banyaknya baris dan 45 menyatakan banyaknya kolom. Sehingga total terdapat 4500 simpul yang dihasilkan. Tabel 2 menyajikan informasi hasil grid menggunakan moving average.

Tabel 2 Hasil gridding moving average

Paremeter Nilai

Search Elipse 0,0501

Search ellipse angle 0o (degree)

Grid Size 100 x 45 Total Nodes 4500 Grid Geometry X Spacing 0.000923165 Y Spacing 0.000926160 Blanked Nodes 0

Blank Value 1.70141E+038

Berdasarkan data, garis kontur atau isodepth akan menghubungkan data pada kedalaman yang sama. Gambar 5 merupakan tampilan grid kontur secara sederhana yang dihasilkan dari proses gridding. Berdasarkan tampilan, terlihat bahwa profil kedalaman di lokasi penelitian memiliki kontur kedalaman yang lebih dalam pada sisi tengah. Daerah di bagian tepi cenderung memiliki bentuk dan profil yang rerlatif landai.

Garis kontur yang digunakan untuk menggambarkan kondisi dasar perairan. Rentang kedalaman di lokasi penelitian berada pada 525 – 700 meter dengan interval kedalaman yang digunakan adalah 20 meter. Berdasarkan rentang tersebut, maka perairan ini termasuk kedalam katagori perairan laut dalam.

Gambar 5 Grid kontur yang dihasilkan dari prosess gridding

Pembuatan grid konturing yang telah dilakukan sebelumnya merupakan ploting data yang bersifat 2 dimensi. Representasi 3 dimensi secara sederhana dibangun melalui proses wireframe. Data yang dibutuhkan untuk membangun tipe file ini sudah menggunakan vektor Z sebagai nilai kedalaman yang di plot secara vertikal. Wireframe data dibentuk melalui hubungan nilai kedalaman Z disepanjang jalur survei pada titik koordinatnya. Masing-masing koordinat tersebut akan mengalami titik potong atau intersection tepat pada simpulnya. Setiap titik simpul trsebut akan memiliki nilai kedalaman. Gambar 6 merupakan hasil pembentukan 3 dimensi dengan menggunakan data wireframe. Bentuk topografi dasar laut akan lebih jauh jelas terlihat ketika data-data tersebut diplot.

Gambar 6 Wireframe 3 dimensi data kedalaman

Berdasarkan gambar tersebut, terlihat adanya cekungan dasar laut di tengah lokasi pengambilan data. Cekungan tersebut berbentuk seperti palung yang sangat luas dan dalam. Wireframe pada dasarnya cukup informatif memberikan gambaran kondisi perairan. Namun belum cukup baik jika disajikan dalam proses pembuatan peta. Proses rendering yang dilakukan dalam penelitian ini memanfaatkan metodologi penggabungan dari beberapa layer yang telah terbentuk. Output atau

Kedala

ma

hasil umum yang diperoleh ketika kita melakukan survei hydrografi dengan bantuan echosounder adalah batimetri beserta legendanya.

Penggunaan DTM dapat digunakan oleh hydrografer sebagai visualisasi dari dasar perairan. Pembuatan peta topografi dasar laut yang tepat nantinya diharapkan dijadikan sebagai informasi utama untuk pelayaran kapal maupun kepentingan taktis lainnya yang berhubungan dengan kelauatan. Pada penelitian di lokasi pemeruman, kedalaman yang terukur berada pada rentang kedalaman 525– 700 meter. Berdasarkan hasil ini, maka dapat dikategorikan bahwa perairan tersebut termasuk kedalam kategori perairan dalam. Lokasi penelitian ini berada pada perairan samudera, tepatnya Samudera Hindia. Kondisi perairan paling landai dalam penelitian ini berada pada sisi sebelah kiri atas dan kiri bawah. Profil kedalaman batimetri di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Profil kedalaman 3 dimensi di lokasi penelitian

Ketelitian Pemeruman

Nilai yang diperoleh dalam pengukuran tingkat error berada pada rentang 1 hingga maksimum 1,2. Hasil yang diperoleh ini susuai dengan standar IHO yang menyatakan bahawa untuk orde 2, tingkat kesalahan tidak boleh melebihi nilai maksimum pegukuran dalam penelitian ini. Sebuah catatan penting yang harus diperhatikan bahwa jika faktor kesalahan yang kita ukur melebihi dari nilai standar yang diberlakukan maka data tersebut tidak bisa kita gunakan sebagai pedoman untuk navigasi. Survei tersebut harus dilakukan ulang hingga nilai faktor kesalahan tidak melebihi dari nilai maksimum. Gambar 8 merupakan grafik ketelitian pemeruman di lokasi penelitian.

Gambar 8 Grafik ketelitian pemeruman orde 2 di lokasi penelitian

Ketelitian data pemeruman erat kaitannya dengan data pasang surut. Jika pada saat pemeruman di lokasi menunjukkan adanya pasang, maka data kedalaman hasil sounding akan memberikan nilai yang kurang akurat karena adanya perbedaan nilai kedalaman akibat adanya perbedaan ketinggian muka air. Lokasi pemeruman berada pada perairan laut lepas, proses perhitungan nilai pasang surut pada penelitian menggunakan nilai yang dihasilkan dari GPS tide. Instrumen ini akan merekam secara periodik pergerakan permukaan naik turunnya permukaan air..

Berdasarkan data hasil perekaman, ketinggian air tertinggi berada pada 1,3 meter. Nilai tersebut sudah dimasukkan kedalam salah satu parameter yang menjadi petimbangan dalam pembuatan peta batimetri. Gambar 9 merupakan grafik pasang surut di lokasi penelitian. Jenis pasang surut dilokasi penelitian merupakan jenis pasang surut campuran ganda. Nilai Formzhal (F) yang diperoleh dari hasil perhitungan adalah 0,5. Berdasarkan data pasang surut ini maka, lokasi tersebut terjadi dua kali pasang air laut dan dua kali surut dengan periode yang berbeda.

Gambar 9 Grafik pasang surut di lokasi penelitian

Pola arah beam (Directivity pattern)

Directivity pattern yang diterima oleh transducer mengisyaratkan rekaman perjalanan gelombang suara. Pola ini terbentuk berdasarkan waktu terima sinyal oleh transducer. Sinyal yang kembali lebih cepat akan menghasilkan pola yang lebih tinggi. Sehingga hasil pola ini merupakan representasi dari topografi dasar

laut untuk penerapan beam yang berada pada zona specular. Zona ini berada pada nomor beam antara 40 - 80 untuk port dan nomor beam 120 – 160 untuk sisi starport.

Berkas pantulan pada nadir akan memiliki nilai yang lebih tinggi, sedangkan nilai pada sisi terluar relatif bervariasi dan lebih lemah. Energi yang paling tinggi berada urutan beam ke 91. Beam ini tepat berada di tengah dari elemen yang ada di transmitter. Energi suara yang dipancarkan pada daerah nadir mengalami pemusatan energi, sehingga hampir semua energi akustik kembali menuju sistem penerimaan sinyal akustik (Lurton 2016). Grafik hubungan antara jumlah beam pada suatu sistem pemancaran gelombang suara dan pola arah energi gelombang yang dihasilkan dapat dilihat pada sangat Gambar 10.

Pola arah energi gelombang suara yang dihasilkan dari masing-masing jenis tipe transducer pada umumnya sama.. Rentang nilai yang dihasilkan dalam analisis pola pancaran suara multibeam berada pada 0 - -40 dB. Terlihat bahwa sisi terluar mengalami pelemah enargi maksimal sebesar 40 kali dari energi yang berada pada nadir. Kondisi in disebabkan oleh adanya pengaruh kolom perairan seperti peristiwa penyerapan atau absorbsi suara.

Gambar 10 Directivity pattern multibeam echososunder

Mosaik dari Nilai Hambur Balik (Backscatter)

Setiap titik pancaran gelombang akustik yang mengenai dasar perairan akan menghasilkan nilai hambur balik. Nilai tersebut merupakan informasi secara spasial yang menerangkan kondisi dasar perairan. Mosaik dari seluruh data dapat direpresentasikan melalui sebuah mosaik yang dibentuk secara digital. Mosaik yang dihasilkan pada proses perekaman data adalah sebuah citra gambar. Gambar 11 merupakan mosaik yang dihasilkan dari nilai hambur balik dari dasar perairan. Rentang yang diperoleh dari hasil mosaik berada pada -41,2147 dB hingga -27,0031 dB. Nilai-nilai tersebut diperoleh dari hasil rasio antara power yang dipancarkan oleh transducer dan energi yang diterima oleh receiver.

Berdasarkan hasil mosaik yang diperoleh, informasi mengenai sebaran nilai hambur balik di lokasi penelitian dapat dipetakan. Tampilan mosaik yang dihasilkan adalah sebuah citra berwarna hitam putih. Warna putih merupakan gambaran mengenai kondisi yang memiliki nilai hambur balik yang tinggi. Warna ini merepresentasikan bahwa pada lokasi tersebut tipe dasar perairan lebih keras

dibandingkan kondisi disekelilignya. Warna yang lebih gelap menjelaskan bahwa pada kondisi tersebut memiliki nilai hambur balik yang lebih lemah. Nilai hambur balik yang lemah merepresentasikan bahwa di lokasi tersebut, tipe dasar perairan yang ditemui adalah jenis yang relatif halus. Tampilan mosaik nilai hambur balik cukup informatif memberikan gambaran umum mengenai pendugaan tipe substrat dasar laut berdasarkan nilai hambur balik yang dihasilkan dari proses ekstraksi data.

Gambar 11 Mosaik nilai backscatter di lokasi penelitian

Angular Respone Analisis dan Kurva Nilai Hambur Balik

Pengaruh sudut pancaran gelombang akustik dari multibeam echosounder sangat besar. Besar kecilnya sudut datang akan mempengaruhi luas sapuan area yang dihasilkan. Area sapuan yang dihasilkan akan mengakibatkan sinyal yang dipancarkan jauh dari titik nadir akan semakin lemah. Pelemahan sinyal tersebut diakibatkan oleh adanya jarak yang lebih jauh untuk mengenai dasar perairan khususnya pada pancaran gelombang suara yang berasal dari beam terluar.

Dalam penelitian ini, setiap lintasan survei dibagi menjadi masing-masing 15 bagian. Jumlah ini berada pada sisi kiri dan kanan dari transducer. Sehigga total terdapat 30 bagian dalam satu lintasan survei. Masing-masing sinyal dari sudut datang yang berbeda akan menghasilkan intensitas nilai hambur balik yang tidak sama. Sehingga nilai intensitas yang dihasilkan pun juga akan berbeda disetiap patchnya. Gambar 12 merupakan hubungan antara nilai hambur balik dan sudut datang.

Hasil Clustering Nilai Hambur Balik

Berdasarkan selang nilai hambur balik, jumlah kelas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 3 kelas. Variabel yang digunakan dalam proses ini terdiri dari 3, yaitu : hambur balik (backscattter), ukuran diameter sedimen dan nilai phi. Jumlah data yang dapat diekstraksi sebanyak 101.248 titik diseluruh area pengambilan data. Gambar 14 menyatakan statistik perhitungan data yang disajikan dalam bentuk histogram. Dari total 101.249 data, maka diperoleh : Kelas pertama berjumlah 41.367 data, kelas kedua bejumlah 20.549 data dan kelas ketiga berjumlah 39.332 data. Total data yang berhasil dikelaskan menggunakan K-means ini berjumlah sama dengan total data asli yang diperoleh melalui proses ekstraksi raw data.

Gambar 13 Histogram pembagian kelas data multibeam

Jumlah iterasi yang dihailkan dalam penelitian ini adalah sebanyak 19 kali. Penentuan jumlah iterasi secara tepat menjadi salah satu kendala yang dihadapi dalam penggunakaan metode klasifikasi ini. Masih diperlukan try and error untuk menghasilkan nilai centroid yang stabil. Jika iterasi masih belum menunjukkan nilai 0 sebagai titik stabil, maka jumlah iterasi yang kita berikan perlu untuk ditambah. Gambar 14 merupakan grafik iterasi yang dilakukan dalam proses pengkelasan data.

Pada masing-masing kelas, terlihat bahwa pola yang dihasilkan sama pada tiap kelas data. Perubahan iterasi pertama cenderung tinggi, hal ini karena titik tengah yang digunakan dalam iterasi pertama ini adalah nilai acak dari kumpulan data. Proses iterasi berikutnya menunjukkan bahwa terjadi perubahan yang signifikan terhadap nilai tengah. Hal ini menjadi alasan mengapa metode ini sangat efektif dan effisien dalam melakukan pengelompokkan data. Tiap proses iterasi memperlihatkan bahwa terjadi penurunan perubahan nilai tengah dan menjadi indikator bahwa titik tengah yang diperoleh lebih stabil dari sebelumnya. Namun untuk beberapa kasus pengkelasan dengan metode K-means ini, tidak menutup kemungkianan bahwa nilai awal yang diambil merupakan nilai yang sudah dekat dengan nilai tengah yang stabil. Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian ini, rentang hambur balik yang dihasilkan relatif sempit. Dengan rentang ini proses iterasi relatif lebih singkat dibandingkan dengan data yang memiliki rentang nilai hambur balik yang lebar.

Gambar 14 Grafik perubahan nilai tengah pada proses klasikasi

Dalam penentuan kelas, salah satu yang menjadi pertimbangan pengelompokan data adalah jarak terhadap titik pusat dari masing-masing data. Hal ini juga menjadi dasar suatu nilai akan masuk kedalam kelas ke n dari suatu populasi data. Jika jarak terhadap titik centroid terlalu jauh, maka data terebut akan secara otomatis mencari dan mengelompok kedalam suatu kelas yang titik centroidnya berada paling dekat. Nilai minimum jarak centroid untuk kelas pasir adalah 0.0014, kelas lanau sebesar 0.0029 dan jenis sedimen lempung sebesar 0.7435. Jarak maksimum antara titik centroid dan titik data untuk kelas pasir sebesar 6,3098, lanau sebesar 3,2396 dan kelas lempung sebesar 1,8474.

Rentang yang diperoleh dari hasil jarak centroid dan nilai minimum atau maksimum relatif dekat. Hal ini terjadi karena data multibeam yang dimiliki memiliki kuantitas data yang sangat banyak dan sangat padat, sehingga data tersebut berada pada jarak yang tidak jauh untuk nilai yang memang berada dekat dengan titik centroid. Informasi mengenai jarak titik tengah (centroid) ke masing-masing kelas dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jarak maksimum dan minimum data terhadap titik centroid

Parameter 1 (Pasir) 2 (Lanau) 3 (Lempung) Jumlah data 37234 39713 24301

Jarak minimum terhadap nilai centroid 0,001 0,002 0,000 Rata-rata jarak terhadap nilai centroid 1,670 1,030 0,725 Jarak maksimum terhadap nilai centroid 6,309 3,239 1,847

Berdasarkan hasil pengelompokan data (Tabel 4), maka dapat dihasilkan rentang nilai dari masing-masing kelas berdasarkan 3 jenis sedimen dasar laut di lokasi penelitian. Pasir berada pada 27,000 29,649 dB. Lanau berada pada -29,650 - -35,456 dB. Jenis sedeimen lempung berada pada -35,457 - -41,214 dB. Secara fisik, pasir memiliki ukuran diameter partikel paling besar dibanding jenis lainnya. Diameter sedimen direpresentasikan menggunakan unit phi sebagai satuannya. Nilai phi terbesar diperoleh dari jenis sedimen lempung. Berdasarkan data ini, maka dapat disimpulkan bahwa jenis sedimen yang memiliki ukuran diameter yang besar akan memiliki nilai phi yang kecil.

Tabel 4 Karakteristik fisik jenis sedimen dasar perairan berdasarkan hasil klasifikasi

Penelitian yang dilakukan oleh (Hamilton 1970) menganalisis jenis sedimen dasar laut dan mengukur diameter sedimen tersebut pada skala laboratoium. Pengukuran ini relatif lebih baik dilakukan karena masing-masing jenis sedimen diperlakukan secara khusus sehingga diperoleh fraksi sedimen dalam bentuk kering. Namun hasil penelitian dengan menggunakaan multibeam echosounder ini menghasilan nilai yang mendekati dengan uji hasil laboratorium yang pernah dilakukan sebelumnya. Tabel 5 dibawah ini merupakan hasil pengukuran skala laboratorim yang pernah dilakukan.

Tabel 5 Hasil uji laboratorium pengukuran diameter pertikel Jenis Sedimen Diameter Partikel (mm)

Hamilton 1970 SIMRAD Dufek 2012

Pasir 0.153 0,582 0,125

Lanau 0.016 0,045 0,045

Lempung 0.001 0,012 0,002

Nilai hambur balik pasir lebih tinggi dibandingkan dengan lanau dan lempung, hal ini dikarenakan secara fisik pasir lebih keras dan lebih kasar. Ketika gelombang suara mengenai jenis sedimen ini, sinyal untuk kembali ke receiver sangat besar sehingga intensitas yang dihasilkan masih relatif tinggi dibandingkan dengan jenis lainya. Grafik intensitas hambur balik yang diperoleh pun juga lebih tinggi. Jenis sedimen lanau cenderung lebih lemah nilai intensitasnya dibandingkan pasir. Jenis sedimen ini jauh lebih halus dan lunak dibandingkan pasir. Sinyal yang mengenai sedimen ini lebih banyak mengalami penyerapan dibandingkan penghamburan. Sedimen yang paling rendah nilai intensitasnya yaitu lempung. Struktur sedimen ini lebih halus dibandingkan pasir dan lanau. Dalam klasifikasi Wenworth, lempung merupakan jenis sedimen yang paling halus dari seluruh jenis sedimen yang ada. Hampir seluruh energi yang dipancarkan akan diserap kedalam jenis sedimen ini. Hal ini yang menyebabkan nilai intensias yang dihasilkan sangat kecil. Grafik nilai intensitas dari masing-masing jenis sedimen dapat dilihat pada Gambar 16. Parameter Cluster 1 (Pasir) 2 (Lanau) 3 (Lempung) Hambur balik (dB) -27.000 -29.650 -35.457 Diameter (mm) 0.123 0.018 0.003 Phi (ϕ) 3.030 5.781 8.546

Gambar 15 Grafik nilai intensitas dari jenis sedimen di lokasi penelitian Berdasarkan Gambar 6, terdapat nilai hambur balik dari jenis sedimen yang berbeda memiliki nilai yang sama. Kondisi ini dipengaruhi oleh faktor kedalaman dan kemiringan perairan dari masing-masing lokasi ditemukannya sedimen. Jenis sedimen pasir, lanau dan lempung yang diperoleh dari grafik merupakan representasi dari masing-masing jenis sedimen yang diperoleh dari patch yang berbeda namun masih dalam satu area penelitian. Kondisi ideal untuk membandingkan respon sudut dari masing-masing jenis akan terlihat jelas jika lokasi pemeruman memiliki kontur topografi yang datar. Perbedaan yang signifikan dari masing-masing jenis sedimen barada pada daerah mainlobe gelombang suara, yaitu pada sudut datang 0 – 10 derajat. Sedangkan pada daerah sidelobe, sinyal yang diperoleh cenderung sulit unutk dianalisis.

Kekasaran berdasarkan RMS

Nilai kekasaran permukaan yang diperoleh di lokasi penelitian cukup bervariasi. Fluktuasi tinggi rendahnya jumlah data terhadap nilai root means square pada reyleigh parameter menjadi dasar penentuan tingkat kekasaran. Semakin fluktuatif pola yang dihasilkan, maka jenis substrat akan semakin kasar. Nilai kekasaran dibuat dalam rentang nilai yang sama, hal ini bertujuan agar dari masing-masing jenis dapat dibandingkan satu dan lainnya. Rentang nilai RMS yang digunakan antara -30 hingga 30.

Berdasarkan tiga jenis sedimen dasar laut, pasir memiliki tingkat kekasaran yang lebih ekstrim dibandingkan jenis lainnya. Hal ini terlihat dari pola grafik yang dihasilkan. Rentang nilai kekasaran berada pada -17,8 – 24,46. Tinggi rendahnya pola yang dihasilkan dapat disebabkan kedalaman RMS. Kondisi ini dapat dilihat dari titik puncak maupun lembah dari grafik yang dihasilkan. Grafik kekasaran jenis sedimen pasir dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16 Grafik kekasaran jenis sedimen pasir

Lempung memiliki tingkat kekasaran yang lebih rendah dan dicirikan dengan pola kekasaran yang relatif lebih halus bila dibandingkan dengan pasir. Rentang nilai kekasaran jenis ini berada pada -22,16 – 20,92. Gambar 18 merupakan grafik nilai kekasaran yang dihasilkan dari lempung. Berdasarkan gambar, terlihat bahwa struktur diameter partikel lempung tersusun lebih rapi.

Gambar 17 Grafik kekasaran jenis sedimen lanau

Lempung merupkan jenis sedimen yang paling halus dalam klasifikasi jenis dasar perairan. Pada penelitian ini, rentang nilai kekasaran berada pada -19,23 – 18,75. Pola grafik kekasaran yang dihasilkan memiliki nilai fluktuasi terkecil bila dibanding dua jenis lainnya. Gambar 19 merupakan profil kekasaran (roughness) jenis sedimen lempung. Berdasarkan gambar, kita dapat melihat bahwa ukuran diameter partikel relatif memiliki fluktuasi yang rendah terhadap nilai root means square.

Gambar 18 Grafik kekasaran jenis sedimen lempung

Sebaran jenis tipe dasar sedimen di lokasi penelitian terdegradasi membentuk pola yang teratur. Masing-masing jenis sedimen mengelompok pada suatu wilayah tertentu berdasarkan jenis sedimennya masing-masing. Gambar 19 merupakan peta sebaran kelas sedimen dan nilai phi dari dari jenis sedimen tersebut. Berdasarkan gambar, cukup jelas terlihat lokasi dari masing-masing tipe jenis sedimen. Informasi ini menjadi sangat penting untuk berbagai kepentingan. Berdasarkan uraian yang telah disebutkan sebelumnya, multibeam echosunder terbukti mampu dan dapat dioptimalkan dalam penggunaannya dalam proses klasifikasi dasar perairan..

Gambar 19 Peta sebaran sedimen menggunakan data multibeam echosounder

Dokumen terkait