• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komputasi Dan Analisis Sinyal Akustik Multibeam Echosounder Menggunakan Anglur Range Analisis (Ara) Dan K Means Untuk Klasifikasi Dasar Perairan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komputasi Dan Analisis Sinyal Akustik Multibeam Echosounder Menggunakan Anglur Range Analisis (Ara) Dan K Means Untuk Klasifikasi Dasar Perairan"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

KOMPUTASI DAN ANALISIS SINYAL AKUSTIK

MULTIBEAM ECHOSOSUNDER MENGGUNAKAN

ANGULAR RANGE ANALYSIS (ARA) DAN K-MEANS

UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul berjudul Komputasi dan Analisis Sinyal Akustik Multibeam Echosounder Menggunakan Angular Range Analysis (ARA) dan K-Means untuk Klasifikasi Dasar Perairan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016

(4)

RINGKASAN

FAHRULIAN. Komputasi dan Analisis Sinyal Akustik Multibeam Echosounder Menggunakan Anglur Range Analisis (ARA) dan K-Means untuk Klasifikasi Dasar Perairan. Dibimbing oleh HENRY MUNANDAR MANIK and INDRA JAYA

Pemetaan dasar perairan menggunakan metode multibeam sonar masih terus dilakukan di seluruh dunia. Multibeam memiliki kemampuan untuk melakukan pemeruman dengan cakupan yang luas, tingkat akurasi yang tinggi dan banyak digunakan untuk mengetahui karakteristik dasar perairan. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk mengetahui tipe dasar perairan dan hubungannya terhadap sudut datang gelombang akustik yaitu melalui Angular Range Analysis (ARA). Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan nilai hambur balik menggunakan ARA, menampilkan mosaik hambur balik (backscatter) data multibeam, melakukan klasifikasi dasar perairan berdasarakan nilai hambur balik, ukuran sedimen (grain size), impedansi, dan tingkat kekasaran (roughness) akustik, menentukan jenis sedimen dasar laut menggunakan metode ARA

Akuisis data akustik dilakukan dengan menggunakan multibeam echosounder Kongsberg EM 120 di perairan antara Pulau Nias dan Pulau Sumatera, tepatnya pada koordinat 103λ’0’’N – 1040’30’’N dan λ7034’30’’E – λ703λ’0’’E dengan menggunakan kapal riset SONNE milik Jerman. Pengolahan data nilai hambur balik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak CARIS HIPS and SIPS. Analisis nilai hambur balik dilakukan dengan menggunakan XLStat. Penyajian informasi secara spasial dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS. Pengolahan data diawali oleh penerapan koreksi data terhadap pengaruh attitude, swath, dan navigation editor. Proses selanjutnya yaitu menghasilkan mosaik backscatter melalui proses GeoBaR (Georeference Backscatter). Ekstraksi GeoBaR akan menghasilkan nilai intensitas hambur balik di lokasi penelitian dalam satuan decibel (dB). Metode yang digunakan untuk mengelompokkan atau mensegmentasi data hambur balik adalah K-means. Jumlah kelas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 3 kelas berdasarkan scale class yang dibuat oleh Wenworth pada tahun 1922.

Berdasarkan hasil clustering, diperoleh bahwa nilai hambur balik berada pada rentang -41,214 hingga -27,000 decibel (dB). Terdapat 3 jenis utama tipe dasar perairan di lokasi penelitian, yaitu pasir, lanau, dan lempung. Nilai intensitas terbesar dihasilkan oleh sedimen pasir. Parameter yang sangat menentukan kuat lemahnya sinyal kembali adalah ukuran diameter sedimen (mm), phi (ϕ) dan kekasaran (RMS) di sepanjang area survei. Ukuran diameter sedimen pada penelitian ini berada pada rentang 0.003 mm hingga 0.123 mm. Nilai phi yang diperoleh berada pada rentang 3,030 hingga 8,546. Berdasarkan karakteristik nilai kekasaran, pasir merupakan jenis sedimen yang paling kasar dibandingkan dengan jenis lainnya.

(5)

SUMMARY

FAHRULIAN. Computation Acoustic Multibeam Echosounder Signal for Seabed Classificastion. Supervised by HENRY MUNANDAR MANIK and INDRA JAYA Seabed mapping using multibeam sonar was being conducted throughout the world. Multibeam have ability to sound with a broad scope, high accuracy and widely used to determined characteristics of seabed. One approach that used to find out bottom types and relationship between angle of incidence is Angular Range Analysis (ARA). The aim of this reserach was generated backscatter using ARA, showing mosaic of backscatter from multibeam data, classification based on backscatter value, sediment size, impedance of acoustic, level of roughness, and determine sediment type.

Acquisitions data conducted using Simrad Kongsberg EM 120 multibeam echosounder between Nias Island and Sumatera Island on 103λ’0’’N – 1040’30’’N dan 97034’30’’E – 9703λ’0’’E using SONNE Vessel Research from German. Backscatter data processing was done by using Caris HIPS and SIPS. Backscatter analysing performed by using XLStat. Visualization of spatial information performed by using ArcGIS. Data processing begins by correction of attitude, swath, and navigation editor. The next process was produced mosaic backscatter through GeoBaR process (Georeference Backscatter Raster). Extraction data of GeoBaR will be produced intensity values in decibel (dB) unit. The values of the mosaic then do the classification process. The method that used for classifying or segmentation backscatter data was K-means algorithm. In this research, the number of classes used three classes based on the class scale made by Wenworth in 1922.

Based on the results of clustering data, found that the value of backscatter was at -41,214 to -27,000 decibels (dB). There are 3 types of sediment : sand, silt, and clay. The highest intensity obtained from sand. Based on characteristics, sand has more dense than the silt and clay. The parameters that determine strength of backscatter was sediment diameter (mm), phi (ϕ) and roughness Root Means Square (RMS). Range value of size of sediments are in t 0,003 mm to 0,123 mm. Phi value are in 3.030 to 8.546. Based on characteristics of roughness, sand is the most rough sediment than the others.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Kelautan (TEK)

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

RANGE ANALISIS (ARA) DAN K-MEANS UNTUK

KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN

(8)
(9)

Judul Tesis : Komputasi dan Analisis Sinyal Akustik Multibeam Echosounder Menggunakan Anglur Range Analisis (ARA) dan K-Means untuk Klasifikasi Dasar Perairan

Nama : Fahrulian NIM : C552130011

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Henry M Manik, S.Pi MT Ketua

Prof Dr.Ir. Indra Jaya, M.Sc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Teknologi Kelautan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

(10)

PRAKATA

Kegiatan penelitian merupakan sebuah kegiatan wajib yang harus ditempuh oleh mahasiswa sebagai syarat untuk mendapatkan gelar di lingkungan akademik, khususnya pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penelitian merupakan sebuah indikator penguasaan materi yang diperoleh selama di bangku kuliah.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr.Ir. Henry M Manik, S.Pi MT dan Prof. Dr. Ir Indra Jaya, M.Sc sebagai komisi pembimbing yang telah membantu dalam menyusun dan memberikan arahan terhadap arahan penelitian yang akan dilaksanakan. Kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) yag telah memberikan beasiswa selama menekuni pendidikan pascasarja ini. Selain itu juga kepada kedua orang tua yang terus memberikan semangat dan doa selama menempuh pendidikan magister di IPB; serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Tesis ini.

Semoga karya ilmiah ini tidak semata-mata menjadi syarat kelulusan dari program magister pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan kontribusi dan bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya. Penulis mengakui bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan, saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan sehingga kedepan bisa menjadi lebih baik.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2016

(11)

DAFTAR ISI

Proses Gridding Multibeam dengan Moving Average 6

Digital Terrain Model 7

Angular Range Analysis (ARA) 7

Kekasaran (Roughness) 8

Ukuran Butiran (Grain Size) 8

Clustering Sedimen Dasar Laut Menggunakan K-means 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Profil Kedalaman Perairan Berdasarkan DTM Model 10

Ketelitian Pemeruman 12

Pola arah beam (Directivity pattern) 13

Mosaik dari Nilai Hambur Balik (Backscatter) 14

Angular Respone Analisis dan Kurva Nilai Hambur Balik 15

Hasil Clustering Nilai Hambur Balik 16

Kekasaran berdasarkan RMS 19

Spesifikasi Kapal Riset SONNE German 28

Contoh Data Hambur Balik (Backscatter) 29

Contoh Perhitungan Nilai Backscatter Pada Beam Tertentu 31

(12)

DAFTAR TABEL

1. Jenis piranti lunak dan peranannya dalam penelitian dan sumber perolehan 4

2. Hasil gridding moving average 10

3. Jarak maksimum dan minimum data terhadap titik centroid 17 4. Karakteristik fisik jenis sedimen dasar perairan berdasarkan hasil

klasifikasi 18

5. Hasil uji laboratorium pengukuran diameter pertikel 18

DAFTAR GAMBAR

1. Lokasi Penelitian 3

2. Diagram alir proses ekstraksi data multibeam 5

3. Diagram alir pengolahan data hambur balik 6

4. Skematik K-means clustering 9

5. Grid kontur yang dihasilkan dari prosess gridding 11

6. Wireframe 3 dimensi data kedalaman 11

7. Profil kedalaman 3 dimensi di lokasi penelitian 12 8. Grafik ketelitian pemeruman orde 2 di lokasi penelitian 13

9. Grafik pasang surut di lokasi penelitian 13

10.Directivity pattern multibeam echososunder 14

11.Mosaik nilai backscatter di lokasi penelitian 15 12.Grafik hubungan nilai hambur balik dan sudut datang 15

13.Histogram pembagian kelas data multibeam 16

14.Grafik perubahan nilai tengah pada proses klasikasi 17 15.Grafik nilai intensitas dari jenis sedimen di lokasi penelitian 19

16.Grafik kekasaran jenis sedimen pasir 20

17.Grafik kekasaran jenis sedimen lanau 20

18.Grafik kekasaran jenis sedimen lempung 20

19.Peta sebaran sedimen menggunakan data multibeam echosounder 21

DAFTAR LAMPIRAN

1. Spesifikasi SIMRAD EM 120 26

2. System Draw SIMRAD EM12 27

3. Spesifikasi Kapal Riset SONNE German 28

4. Contoh Data Hambur Balik (Backscatter) 29

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemetaan dasar perairan menggunakan metode multibeam echosounder masih terus dilakukan diseluruh dunia. Multibeam memiliki kemampuan untuk melakukan pemeruman dengan cakupan yang luas, tingkat akurasi yang tinggi dan dipercaya sangat baik digunakan untuk mengetahui karakteristik dasar perairan (Anderson et al. 2007, Anderson et al. 2008, Fernandes and Chakraborty 2009, Brown et al. 2011, Che Hasan et al. 2011, Fahrulian et al. 2012, Manik et al. 2015). Karakterisasi dasar perairan merupakan salah satu tujuan utama dari pemetaan dasar perairan dan menjadi hal yang sangat penting untuk diketahui (Park et al. 2011).

Proses perolehan data dilakukan dengan memanfaatkan gelombang suara (sound wave) yang dipancarkan oleh transduser ke dasar perairan dan membawa informasi nilai kedalaman dan hambur balik (backscatter). Pemanfaatan raw data juga mampu menghasilkan informasi mengenai jenis substrat dasar laut, ukuran masing-masing substrat hingga dapat mengetahui pola penyebaran secara spasial jenis dasar perairan melalui hambur balik. Penentuan informasi ini dilakukan berdasarkan nilai hambur balik yang diterima oleh receiver dari instrumen yang digunakan. Hasil ekstrak data ini juga dapat digunakan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kajian analisis bentik habitat berdasarkan jenis (Kenny et al. 2003, Gavrilov et al. 2005).

Salah satu pendekatan yang digunakan untuk melihat hubungan antara sudut gelombang akustik yang dipancarkan dan hambur balik yang diterima oleh receiver pada instrumen akustik adalah Angular Range Analysis (ARA). Teknik ini dikembangkan oleh Luciano Fonseca dan Brian Calder pada tahun 2005. Metode ini kemudian diapliksikan untuk menganalisis sedimen pada suatu perangkat lunak. Teknik ini juga digunakan untuk melihat pola yang ditimbulkan atau respon fitur dasar perairan dan kekuatan pantulannya berdasarkan sudut pancaran gelombang akustik yang dipancarkan (de moustier 1991, Le Chenadec et al. 2003, Fonseca et al. 2009, Che Hasan et al. 2012, Che Hasan et al. 2014). Namun analisis ini terbatas oleh adanya kemampuan instrumen akustik yang digunakan. Hasil mosaik yang dihasilkan dari pemrosesan signal berbanding terbalik dengan resolusi spasial yang diberikan. Hal ini dapat dikatakan bahwa ketika analisis mengenai respon sudut menghasilkan nilai yang tinggi, maka resolusi yang dihasilkan akan rendah (Fonseca and Mayer 2007)

(14)

Perumusan Masalah

Pengetahuan mengenai kondisi dan sebaran distribusi sedimen di dasar laut perlu untuk dikaji dan diketahui sebagai arsip geologi yang harus dimiliki oleh Negara Indonesia. Hal ini disebabkan karena pengetahuan jenis sedimen mampu memberikan berbagai informasi dan memiliki nilai ekonomis tersendiri. Penelitian mengenai distribusi sebaran sedimen ini mampu digunakan untuk pengelolaan lingkungan pesisir seperti perencanaan bangunan infrastruktur wilayah pantai, bahkan tidak menutup kemungkinan untuk digunakan di laut lepas. Penggunaan multibeam echosounder sebagai instrumen yang dianggap mampu untuk melakukan pemetaan secara luas dan resolusi yang tinggi diharapkan mampu dijadikan pilihan yang tepat untuk mendapatkan seluruh informasi sebaran jenis sedimen.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menghasilkan nilai hambur balik menggunakan metode Angular Range Analysis (ARA).

2. Menampilkan mosaik hambur balik data multibeam.

3. Melakukan klasifikasi dasar laut berdasarakan nilai hambur balik, ukuran sedimen (grain size), dan tingkat kekasaran (roughness) akustik.

4. Menghasilkan peta sebaran jenis sedimen berdasarkan hasil klasifikasi.

Manfaat Penelitian

(15)

METODE

Tempat dan Waktu

Data multibeam (spesifikasi alat dan system ada pada Lampiran 1 dan 2) diakuisisi melalui kerjasama riset Indonesia dan German. Panjang lintasan survei yang digunakan dalam penelitian ini sepanjang 2,1 Nautical Mile (nmi). Pemrosesan data penelitian dilaksanakan di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan (AIK), Fakultas Perikanan dan Kelautan (FPIK) IPB. Waktu pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2015 – Juni 2016. Gambar 1 merupakan jalur survei yang digunakan selama proses akuisis data multibeam.

Gambar 1 Lokasi Penelitian

Alat dan Bahan

(16)

Tabel 1 Jenis piranti lunak dan peranannya dalam penelitian dan sumber perolehan

No Piranti lunak Peranan Sumber

1 Windows 7 Ultimate Sistem operasi http://windows.microsoft.co m/en-us/windows-8/meet

5 XLStat 2014 Analisis statistik https://www.xlstat.com/en/do wnload

Sumber Data Utama Diperoleh dari Instansi BPPT

9 Fladermaus Pembuatan Base

Surface 3D

https://confluence.qps.nl/disp lay/dwn/Fledermaus

Pengumpulan Data

(17)

mosaik hambur balik. Gambar 2ini menjelaskan diagram alir proses ekstraksi data multibeam

Gambar 2 Diagram alir proses ekstraksi data multibeam

Data hambur balik memberikan semua informasi yang ada disepanjang perjalanan gelombang suara yang dipancarkan dari transducer hingga mengenai dasar perairan, termasuk data kolom perairan. Analisis utama dalam pemrosesan signal akustik sangat bergantung dari ketersediaan data ini. Data backscatter dari dasar perairan kemudian diekstrak kembali untuk diproses menjadi sebuah gambar yang telah terkoreksi geoference berbasis raster atau dikenal dengan istilah GeoBaR (Fonseca and Mayer 2007). Beberapa GeoBaR yang telah terbentuk kemudian di overlay atau digabungkan dalam satu layer dan membentuk sebuah mosaik dari data hambur balik yang masih dalam format raster data.

(18)

Gambar 3 Diagram alir pengolahan data hambur balik

Proses Gridding Multibeam dengan Moving Average

Perhitungan nilai dari metode ini didasarkan pada fungsi jarak. Jika nilai yang di rata-ratakan memiliki kedekatan terhadap nilai output, maka nilai output diperoleh oleh nilai itu sendiri. Metode ini didasarkan pada mencari nilai rata-rata dari sekumpulan data yang dimiliki dengan menggunakan n data sebagai faktor perata-rataan. Semakin tinggi nilai n yang digunakan, maka suatu kumpulan data akan menghasilkan grafik yang lebih halus. Algoritma pembentuk metode ini dibentuk melalui dua tahapan :

1. Untuk semua nilai output, jarak terhadap titik disekelilingnya ditentukan melaui pembobotan dari masing-masing nilai tersebut. Terdapat dua metrik utama dalam kasus ini :

Inverse Distance : weighted =

1

Lintasanar decrease : weighted = 1- dengan :

d = Jarak relatif satu titik terhadap titik output n = Faktor perata-rata

2. Untuk seluruh titik, nilai dihitung sebagai jumlah seluruh pembobotan dan nilai dari masing-masing titik dibagi dengan jumlah pembobotan atau dikenal dengan istilah weighted average. Secara metematis ditulis melalui persamaan:

...……….……… (1a)

(19)

Nilai output = ∑ �� . ����

Digital Terain Model (DTM) menerapkan prinsip digital dan numerik yang memperkecil skala dari ukuran sebenarnya dan bertujuan agar pengguna mampu untuk memahaminya (Meyer 1985). Beberapa input data dibutuhkan dalam proses konstruksi ini. Semakin banyak informasi yang dimasukkan maka akan menghasilkan data yang semakin baik. Secara matematis konsep ini ditulis dalam : KP = f (uP , vP ) ....……….….….(3a) K = 1, 2, 3, . . . ,m ...………..…………. (3b) P = 1, 2, 3, . . . , n ....….………. (3c) dengan :

Kp = Nilai atribut tipe kth lokasi p (uP,vP) = Pasangan titik koordinat titik p m = Jumlah total informasi (m ≥ 1) n = Jumlah titik sample

Angular Range Analysis (ARA)

Secara keseluruhan masing-masing beam yang terintegrasi memiliki sudut secara total. Pengaruh sudut yang dihasilkan sangat besar terhadap nilai hambur balik yang diterima. Sinyal yang berasal dari nadir memiliki nilai intensitas yang lebih besar dibandingkan dengan yang jauh dari nadir. Analysis pengaruh sudut multibeam terhadap nilai hambur pada awalnya diadopsi dari Jackson et al. (1986) dan dikembangkan lagi menjadi metode yang dikenal dengan Geocoder (Fonseca and Calder 2007, Fonseca and Mayer 2007, Fonseca 2009)

Analisis nilai hambur balik dari sinyal berdasarkan sudut yang terbentuk terdiri dari nilai hambur balik permukaan dasar perairan pada daerah insonifikasi yang tercover oleh lebarnya sapuan beam dan nilai volume hamburbaliknya. Integrasi keduanya menjadi kunci analisis nilai hambur balik berdasarkan fungsi sudut (Fonseca 2001).

Backscattering = Surface backscattering + Volume backscattering

Surface backscattering :

� �, � = F(�, � ; ξ, ρ(ξ,), v(ξ,), δ(ξ,),� , ) ……...……….. (4) dengan :

� = Antarmuka (interface) hambur balik penampang melintang (cross section) per unit solid angle per unit

f = Frekuensi (Hz)

ρ = Rasio densitas sedimen terhadap densitas massa air

v = Rasio kecepatan suara pada sedimen terhadap kecepatan suara kolom air δ = Parameter rasio imajiner terhadap jumlah gelombang suara pada sedimen

(20)

= Spektral eksponen dasar perairan ξ = Volume gas / total volume sedimen

Volume backscattering :

� = ( ��ℎ+� � � ) � | −� � | �

��|� � | I |� � | ………..(5)

dengan :

�ℎ = Backscattering cross section pada wilayah distribusi gelembung gas

� = Parameter volume scattering R(θ) = Koefisien refleksi

P(θ) = Fungsi kompleks kehilangan energi

� � = Koefisien atenuasi dalam dB/m untuk sedimen = Kecepatan suara di air

Kekasaran (Roughness)

Kekasaran (roughness) menjadi kontributor yang paling utama dalam proses terjadinya penghamburan gelombang akustik, menyebabkan reverberasi dan propagasi suara di dasar perairan. Suatu gelombang akustik yang dipancarkan ke dasar peraran yang memiliki tingkat kekasaran yang cenderung tinggi, akan menghasilkan pola hamburan yang tidak beraturan. Demikian sebaliknya, kondisi fisik dasar perairan yang relatif stabil akan menghasilkan pola pantulan yang lebih beraturan. Penentuan nilai kekasaaran topografi dasar perairan dapat dihitung melalui perumusan Reyligh parameter (RMS). Kekasaran permukaan dasar perairan diperoleh melalui fungsi kedalaman atau batimetri itu sendiri. Data hasil sapuan multibeam sangat merepresentasikan kondisi dasar perairan. Halus kasarnya permukaan dapat secara jelas diamati dengan metode ini. Algoritma penentuan kekasaran permukaan dapat dilakukan dengan menggunakan (Lurton 2010) :

Rp = 2kh Cos θ ………(6) dengan :

k = Jumlah gelombang

h = Root Means square kedalaman θ = Sudut datang gelombang suara

Ukuran Butiran (Grain Size)

Pendugaan jenis sedimen menggunakan gelombang akustik didasarkan pada ukuran dari masing-masing jenis sedimen tersebut. Sedimen dengan karakteristik keras akan memiliki nilai hambur balik yang lebih besar jika dibandingkan jenis sedimen bertekstur halus. Hal ini menjadi dasar dalam penentuan jenis sedimen pada penelitian ini. Sebuah algoritma digunakan untuk diaplikasikan pada pengukuran jenis sedimen berdasarkan hasil hambur balik yang diperoleh. Jenis sedimen dihitung melalui logaritma negatif basis 2 dari ukuran diameter tipe sedimen dalam satuan milimeter (Hamilton and Parnum 2011).

Ukuran butiran (ɸ) = - Log2 (d/d0) = -3,32 Log10 (d/d0) ……….… (7)

dengan :

(21)

Clustering Sedimen Dasar Laut Menggunakan K-means

Nilai hambur balik yang diperoleh melalui ekstraksi data kemudian diamatai rentang nilai terendah hingga tertinggi. Dari sebaran rentang nilai tersebut ditentukan jumlah kelas atau k tipe sedimen perairan berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh Wenworth pada tahun 1983. Parameter yang digunakan sebagai input K-means terdiri dari nilai hambur balik,diameter jenis sedimen dalam satuan mm dan ɸ. Algoritma yang digunakan adalah (MacQueen 1967) :

J(V) = ∑= ∑ (‖� − � ‖)= ………. (8)

dengan :

c = Jumlah data atau titik point c = Jumlah cluster

‖� − � ‖ = Euclidean Distance (ED) � dan �

K-means bekerja dengan memanfaatkan nilai tengah (centroid) pada sekumpulan data. Data yang memiliki kesamaan sifat akan mengelompok mendekati nilai centroid. Proses ini tidak dilakukan sekali, perlu adanya iterasi atau pengulangan hingga proses klasifikasi stabil. Skematik K-Means clustering dapat dilihat pada Gambar 4. Proses perhitungan nilai iterasi untuk menghasilkan nilai centroid yang baru dapat menggunakan algoritma sebagai berikut (Telgarsky and Vattani 2010) :

� =

| | ∑ = � ……… (9)

dengan :

= Jumlah data dalam � ℎ kluster

(22)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Kedalaman Perairan Berdasarkan DTM Model

Data kedalaman yang berasal dari multibeam echosounder relatif sangat rapat dan sudah teratur. Oleh karena itu nilai grid yang dihasilkan melalui data ini sangat banyak. Selain itu juga radius elliptical yang dihasilkan memiliki nilai yang kecil. Search ellipse 1 dan 2 dari data ini bernilai 0,0501. Berdasarkan nilai tersebut, dapat diperoleh informasi bahwa jarak antara titik satu dan titik yang lainnya sangat dekat. Sehingga simpul yang dihasilkan juga memiliki jarak yang sangat dekat. Selain itu, nilai search ellipse angle yang dihasilkan memiliki nilai 0. Artinya bahwa titik satu dan titik lain yang akan mengalami proses gridding masih berada dalam garis horizontal yang sama. Jumlah simpul atau node yang dihasilkan cukup banyak, nilai ini diperoleh melaui informasi grid size yang dihasilkan. Ukuran geometri dari data ini yaitu 100 x 45. Nilai 100 menyatkan banyaknya baris dan 45 menyatakan banyaknya kolom. Sehingga total terdapat 4500 simpul yang dihasilkan. Tabel 2 menyajikan informasi hasil grid menggunakan moving average.

Tabel 2 Hasil gridding moving average

Paremeter Nilai

Search Elipse 0,0501

Search ellipse angle 0o (degree)

Grid Size 100 x 45

Berdasarkan data, garis kontur atau isodepth akan menghubungkan data pada kedalaman yang sama. Gambar 5 merupakan tampilan grid kontur secara sederhana yang dihasilkan dari proses gridding. Berdasarkan tampilan, terlihat bahwa profil kedalaman di lokasi penelitian memiliki kontur kedalaman yang lebih dalam pada sisi tengah. Daerah di bagian tepi cenderung memiliki bentuk dan profil yang rerlatif landai.

(23)

Gambar 5 Grid kontur yang dihasilkan dari prosess gridding

Pembuatan grid konturing yang telah dilakukan sebelumnya merupakan ploting data yang bersifat 2 dimensi. Representasi 3 dimensi secara sederhana dibangun melalui proses wireframe. Data yang dibutuhkan untuk membangun tipe file ini sudah menggunakan vektor Z sebagai nilai kedalaman yang di plot secara vertikal. Wireframe data dibentuk melalui hubungan nilai kedalaman Z disepanjang jalur survei pada titik koordinatnya. Masing-masing koordinat tersebut akan mengalami titik potong atau intersection tepat pada simpulnya. Setiap titik simpul trsebut akan memiliki nilai kedalaman. Gambar 6 merupakan hasil pembentukan 3 dimensi dengan menggunakan data wireframe. Bentuk topografi dasar laut akan lebih jauh jelas terlihat ketika data-data tersebut diplot.

Gambar 6 Wireframe 3 dimensi data kedalaman

Berdasarkan gambar tersebut, terlihat adanya cekungan dasar laut di tengah lokasi pengambilan data. Cekungan tersebut berbentuk seperti palung yang sangat luas dan dalam. Wireframe pada dasarnya cukup informatif memberikan gambaran kondisi perairan. Namun belum cukup baik jika disajikan dalam proses pembuatan peta. Proses rendering yang dilakukan dalam penelitian ini memanfaatkan metodologi penggabungan dari beberapa layer yang telah terbentuk. Output atau

Kedala

ma

(24)

hasil umum yang diperoleh ketika kita melakukan survei hydrografi dengan bantuan echosounder adalah batimetri beserta legendanya.

Penggunaan DTM dapat digunakan oleh hydrografer sebagai visualisasi dari dasar perairan. Pembuatan peta topografi dasar laut yang tepat nantinya diharapkan dijadikan sebagai informasi utama untuk pelayaran kapal maupun kepentingan taktis lainnya yang berhubungan dengan kelauatan. Pada penelitian di lokasi pemeruman, kedalaman yang terukur berada pada rentang kedalaman 525– 700 meter. Berdasarkan hasil ini, maka dapat dikategorikan bahwa perairan tersebut termasuk kedalam kategori perairan dalam. Lokasi penelitian ini berada pada perairan samudera, tepatnya Samudera Hindia. Kondisi perairan paling landai dalam penelitian ini berada pada sisi sebelah kiri atas dan kiri bawah. Profil kedalaman batimetri di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Profil kedalaman 3 dimensi di lokasi penelitian

Ketelitian Pemeruman

Nilai yang diperoleh dalam pengukuran tingkat error berada pada rentang 1 hingga maksimum 1,2. Hasil yang diperoleh ini susuai dengan standar IHO yang menyatakan bahawa untuk orde 2, tingkat kesalahan tidak boleh melebihi nilai maksimum pegukuran dalam penelitian ini. Sebuah catatan penting yang harus diperhatikan bahwa jika faktor kesalahan yang kita ukur melebihi dari nilai standar yang diberlakukan maka data tersebut tidak bisa kita gunakan sebagai pedoman untuk navigasi. Survei tersebut harus dilakukan ulang hingga nilai faktor kesalahan tidak melebihi dari nilai maksimum. Gambar 8 merupakan grafik ketelitian pemeruman di lokasi penelitian.

(25)

Gambar 8 Grafik ketelitian pemeruman orde 2 di lokasi penelitian

Ketelitian data pemeruman erat kaitannya dengan data pasang surut. Jika pada saat pemeruman di lokasi menunjukkan adanya pasang, maka data kedalaman hasil sounding akan memberikan nilai yang kurang akurat karena adanya perbedaan nilai kedalaman akibat adanya perbedaan ketinggian muka air. Lokasi pemeruman berada pada perairan laut lepas, proses perhitungan nilai pasang surut pada penelitian menggunakan nilai yang dihasilkan dari GPS tide. Instrumen ini akan merekam secara periodik pergerakan permukaan naik turunnya permukaan air..

Berdasarkan data hasil perekaman, ketinggian air tertinggi berada pada 1,3 meter. Nilai tersebut sudah dimasukkan kedalam salah satu parameter yang menjadi petimbangan dalam pembuatan peta batimetri. Gambar 9 merupakan grafik pasang surut di lokasi penelitian. Jenis pasang surut dilokasi penelitian merupakan jenis pasang surut campuran ganda. Nilai Formzhal (F) yang diperoleh dari hasil perhitungan adalah 0,5. Berdasarkan data pasang surut ini maka, lokasi tersebut terjadi dua kali pasang air laut dan dua kali surut dengan periode yang berbeda.

Gambar 9 Grafik pasang surut di lokasi penelitian

Pola arah beam (Directivity pattern)

(26)

laut untuk penerapan beam yang berada pada zona specular. Zona ini berada pada nomor beam antara 40 - 80 untuk port dan nomor beam 120 – 160 untuk sisi starport.

Berkas pantulan pada nadir akan memiliki nilai yang lebih tinggi, sedangkan nilai pada sisi terluar relatif bervariasi dan lebih lemah. Energi yang paling tinggi berada urutan beam ke 91. Beam ini tepat berada di tengah dari elemen yang ada di transmitter. Energi suara yang dipancarkan pada daerah nadir mengalami pemusatan energi, sehingga hampir semua energi akustik kembali menuju sistem penerimaan sinyal akustik (Lurton 2016). Grafik hubungan antara jumlah beam pada suatu sistem pemancaran gelombang suara dan pola arah energi gelombang yang dihasilkan dapat dilihat pada sangat Gambar 10.

Pola arah energi gelombang suara yang dihasilkan dari masing-masing jenis tipe transducer pada umumnya sama.. Rentang nilai yang dihasilkan dalam analisis pola pancaran suara multibeam berada pada 0 - -40 dB. Terlihat bahwa sisi terluar mengalami pelemah enargi maksimal sebesar 40 kali dari energi yang berada pada nadir. Kondisi in disebabkan oleh adanya pengaruh kolom perairan seperti peristiwa penyerapan atau absorbsi suara.

Gambar 10 Directivity pattern multibeam echososunder

Mosaik dari Nilai Hambur Balik (Backscatter)

Setiap titik pancaran gelombang akustik yang mengenai dasar perairan akan menghasilkan nilai hambur balik. Nilai tersebut merupakan informasi secara spasial yang menerangkan kondisi dasar perairan. Mosaik dari seluruh data dapat direpresentasikan melalui sebuah mosaik yang dibentuk secara digital. Mosaik yang dihasilkan pada proses perekaman data adalah sebuah citra gambar. Gambar 11 merupakan mosaik yang dihasilkan dari nilai hambur balik dari dasar perairan. Rentang yang diperoleh dari hasil mosaik berada pada -41,2147 dB hingga -27,0031 dB. Nilai-nilai tersebut diperoleh dari hasil rasio antara power yang dipancarkan oleh transducer dan energi yang diterima oleh receiver.

(27)

dibandingkan kondisi disekelilignya. Warna yang lebih gelap menjelaskan bahwa pada kondisi tersebut memiliki nilai hambur balik yang lebih lemah. Nilai hambur balik yang lemah merepresentasikan bahwa di lokasi tersebut, tipe dasar perairan yang ditemui adalah jenis yang relatif halus. Tampilan mosaik nilai hambur balik cukup informatif memberikan gambaran umum mengenai pendugaan tipe substrat dasar laut berdasarkan nilai hambur balik yang dihasilkan dari proses ekstraksi data.

Gambar 11 Mosaik nilai backscatter di lokasi penelitian

Angular Respone Analisis dan Kurva Nilai Hambur Balik

Pengaruh sudut pancaran gelombang akustik dari multibeam echosounder sangat besar. Besar kecilnya sudut datang akan mempengaruhi luas sapuan area yang dihasilkan. Area sapuan yang dihasilkan akan mengakibatkan sinyal yang dipancarkan jauh dari titik nadir akan semakin lemah. Pelemahan sinyal tersebut diakibatkan oleh adanya jarak yang lebih jauh untuk mengenai dasar perairan khususnya pada pancaran gelombang suara yang berasal dari beam terluar.

Dalam penelitian ini, setiap lintasan survei dibagi menjadi masing-masing 15 bagian. Jumlah ini berada pada sisi kiri dan kanan dari transducer. Sehigga total terdapat 30 bagian dalam satu lintasan survei. Masing-masing sinyal dari sudut datang yang berbeda akan menghasilkan intensitas nilai hambur balik yang tidak sama. Sehingga nilai intensitas yang dihasilkan pun juga akan berbeda disetiap patchnya. Gambar 12 merupakan hubungan antara nilai hambur balik dan sudut datang.

(28)

Hasil Clustering Nilai Hambur Balik

Berdasarkan selang nilai hambur balik, jumlah kelas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 3 kelas. Variabel yang digunakan dalam proses ini terdiri dari 3, yaitu : hambur balik (backscattter), ukuran diameter sedimen dan nilai phi. Jumlah data yang dapat diekstraksi sebanyak 101.248 titik diseluruh area pengambilan data. Gambar 14 menyatakan statistik perhitungan data yang disajikan dalam bentuk histogram. Dari total 101.249 data, maka diperoleh : Kelas pertama berjumlah 41.367 data, kelas kedua bejumlah 20.549 data dan kelas ketiga berjumlah 39.332 data. Total data yang berhasil dikelaskan menggunakan K-means ini berjumlah sama dengan total data asli yang diperoleh melalui proses ekstraksi raw data.

Gambar 13 Histogram pembagian kelas data multibeam

Jumlah iterasi yang dihailkan dalam penelitian ini adalah sebanyak 19 kali. Penentuan jumlah iterasi secara tepat menjadi salah satu kendala yang dihadapi dalam penggunakaan metode klasifikasi ini. Masih diperlukan try and error untuk menghasilkan nilai centroid yang stabil. Jika iterasi masih belum menunjukkan nilai 0 sebagai titik stabil, maka jumlah iterasi yang kita berikan perlu untuk ditambah. Gambar 14 merupakan grafik iterasi yang dilakukan dalam proses pengkelasan data.

(29)

Gambar 14 Grafik perubahan nilai tengah pada proses klasikasi

Dalam penentuan kelas, salah satu yang menjadi pertimbangan pengelompokan data adalah jarak terhadap titik pusat dari masing-masing data. Hal ini juga menjadi dasar suatu nilai akan masuk kedalam kelas ke n dari suatu populasi data. Jika jarak terhadap titik centroid terlalu jauh, maka data terebut akan secara otomatis mencari dan mengelompok kedalam suatu kelas yang titik centroidnya berada paling dekat. Nilai minimum jarak centroid untuk kelas pasir adalah 0.0014, kelas lanau sebesar 0.0029 dan jenis sedimen lempung sebesar 0.7435. Jarak maksimum antara titik centroid dan titik data untuk kelas pasir sebesar 6,3098, lanau sebesar 3,2396 dan kelas lempung sebesar 1,8474.

Rentang yang diperoleh dari hasil jarak centroid dan nilai minimum atau maksimum relatif dekat. Hal ini terjadi karena data multibeam yang dimiliki memiliki kuantitas data yang sangat banyak dan sangat padat, sehingga data tersebut berada pada jarak yang tidak jauh untuk nilai yang memang berada dekat dengan titik centroid. Informasi mengenai jarak titik tengah (centroid) ke masing-masing kelas dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jarak maksimum dan minimum data terhadap titik centroid

Parameter 1

Jarak minimum terhadap nilai centroid 0,001 0,002 0,000 Rata-rata jarak terhadap nilai centroid 1,670 1,030 0,725 Jarak maksimum terhadap nilai centroid 6,309 3,239 1,847

(30)

Tabel 4 Karakteristik fisik jenis sedimen dasar perairan berdasarkan hasil klasifikasi

Penelitian yang dilakukan oleh (Hamilton 1970) menganalisis jenis sedimen dasar laut dan mengukur diameter sedimen tersebut pada skala laboratoium. Pengukuran ini relatif lebih baik dilakukan karena masing-masing jenis sedimen diperlakukan secara khusus sehingga diperoleh fraksi sedimen dalam bentuk kering. Namun hasil penelitian dengan menggunakaan multibeam echosounder ini menghasilan nilai yang mendekati dengan uji hasil laboratorium yang pernah dilakukan sebelumnya. Tabel 5 dibawah ini merupakan hasil pengukuran skala laboratorim yang pernah dilakukan.

Tabel 5 Hasil uji laboratorium pengukuran diameter pertikel Jenis Sedimen Diameter Partikel (mm)

Hamilton 1970 SIMRAD Dufek 2012

Pasir 0.153 0,582 0,125

Lanau 0.016 0,045 0,045

Lempung 0.001 0,012 0,002

(31)

Gambar 15 Grafik nilai intensitas dari jenis sedimen di lokasi penelitian Berdasarkan Gambar 6, terdapat nilai hambur balik dari jenis sedimen yang berbeda memiliki nilai yang sama. Kondisi ini dipengaruhi oleh faktor kedalaman dan kemiringan perairan dari masing-masing lokasi ditemukannya sedimen. Jenis sedimen pasir, lanau dan lempung yang diperoleh dari grafik merupakan representasi dari masing-masing jenis sedimen yang diperoleh dari patch yang berbeda namun masih dalam satu area penelitian. Kondisi ideal untuk membandingkan respon sudut dari masing-masing jenis akan terlihat jelas jika lokasi pemeruman memiliki kontur topografi yang datar. Perbedaan yang signifikan dari masing-masing jenis sedimen barada pada daerah mainlobe gelombang suara, yaitu pada sudut datang 0 – 10 derajat. Sedangkan pada daerah sidelobe, sinyal yang diperoleh cenderung sulit unutk dianalisis.

Kekasaran berdasarkan RMS

Nilai kekasaran permukaan yang diperoleh di lokasi penelitian cukup bervariasi. Fluktuasi tinggi rendahnya jumlah data terhadap nilai root means square pada reyleigh parameter menjadi dasar penentuan tingkat kekasaran. Semakin fluktuatif pola yang dihasilkan, maka jenis substrat akan semakin kasar. Nilai kekasaran dibuat dalam rentang nilai yang sama, hal ini bertujuan agar dari masing-masing jenis dapat dibandingkan satu dan lainnya. Rentang nilai RMS yang digunakan antara -30 hingga 30.

(32)

Gambar 16 Grafik kekasaran jenis sedimen pasir

Lempung memiliki tingkat kekasaran yang lebih rendah dan dicirikan dengan pola kekasaran yang relatif lebih halus bila dibandingkan dengan pasir. Rentang nilai kekasaran jenis ini berada pada -22,16 – 20,92. Gambar 18 merupakan grafik nilai kekasaran yang dihasilkan dari lempung. Berdasarkan gambar, terlihat bahwa struktur diameter partikel lempung tersusun lebih rapi.

Gambar 17 Grafik kekasaran jenis sedimen lanau

Lempung merupkan jenis sedimen yang paling halus dalam klasifikasi jenis dasar perairan. Pada penelitian ini, rentang nilai kekasaran berada pada -19,23 – 18,75. Pola grafik kekasaran yang dihasilkan memiliki nilai fluktuasi terkecil bila dibanding dua jenis lainnya. Gambar 19 merupakan profil kekasaran (roughness) jenis sedimen lempung. Berdasarkan gambar, kita dapat melihat bahwa ukuran diameter partikel relatif memiliki fluktuasi yang rendah terhadap nilai root means square.

(33)

Sebaran jenis tipe dasar sedimen di lokasi penelitian terdegradasi membentuk pola yang teratur. Masing-masing jenis sedimen mengelompok pada suatu wilayah tertentu berdasarkan jenis sedimennya masing-masing. Gambar 19 merupakan peta sebaran kelas sedimen dan nilai phi dari dari jenis sedimen tersebut. Berdasarkan gambar, cukup jelas terlihat lokasi dari masing-masing tipe jenis sedimen. Informasi ini menjadi sangat penting untuk berbagai kepentingan. Berdasarkan uraian yang telah disebutkan sebelumnya, multibeam echosunder terbukti mampu dan dapat dioptimalkan dalam penggunaannya dalam proses klasifikasi dasar perairan..

Gambar 19 Peta sebaran sedimen menggunakan data multibeam echosounder

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Metode Angular Range Analysis (ARA) dapat digunakan untuk menghasilkan nilai hambur balik dan memiliki resolusi angular yang sangat tinggi. Secara spasial nilai tersebut dapat divisualisasikan dalam bentuk mosaik untuk melihat nilai intensitas hambur balik sebarannya. Nilai hambur balik berada pada rentang -27,00 dB hingga -41,93 dB. Hasil klasifikasi menggunakan metode K-Means berdasarkan nilai hambur balik, ukuran diameter sedimen (grain size) dan kekasaran diperoleh hasil bahwa jenis sedimen yang ditemukan di lokasi penelitian terdiri dari : pasir, lanau, dan lempung. Semakin tinggi nilai hambur balik, mengindikasikan jenis sedimen dasar laut yang makin keras.

Saran

(34)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson JT, Holliday V, Kloser R, Reid D, Simard Y. 2007. Acoustic seabed classification of marine physical and biological landscapes International Council for the Exploration of the Sea.

Anderson JT, Van Holliday D, Kloser R, Reid DG, Simard Y. 2008. Acoustic seabed classification: Current practice and future directions. ICES Journal of Marine Science: Journal du Conseil. 65(6): 1004-1011. 10.1093/icesjms/fsn061

Balaji RRBB. 2007. On euclidean distance matrices Linear Algebra and its Applications. 24(08–117. 10.1016/j.laa.2006.05.013

Batson R, Edwards K, Eliason E. 1975. Computer-generated shaded-relief images. Journal of Research of the US Geological Survey. 3(4): 401-408.

Bora DJ, Gupta Ak. 2014. Effect of different distance measures on the performance of k-means algorithm: An experimental study in matlab. International Journal of Computer Science and Information Technologies. Vol. 5 (2)(2501-2506.

Brown CJ, Smith SJ, Lawton P, Anderson JT. 2011. Benthic habitat mapping: A review of progress towards improved understanding of the spatial ecology of the seafloor using acoustic techniques. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 92(3): 502-520. 10.1016/j.ecss.2011.02.007

Cammarano M. 2004. Depicting terrain with shaded relief maps. Internet: http://graphics. stanford. edu/~ mcammara/vis2004/paper. pdf.

Che Hasan R, Ierodiaconou D, Laurenson L. 2012. Combining angular response classification and backscatter imagery segmentation for benthic biological habitat mapping. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 97(1-9. 10.1016/j.ecss.2011.10.004

Che Hasan R, Ierodiaconou D, Laurenson L, Schimel A. 2014. Integrating multibeam backscatter angular response, mosaic and bathymetry data for benthic habitat mapping. PLoS One. 9(5): e97339. 10.1371/journal.pone.0097339

Che Hasan R, Ierodiaconou D, Rattray A, Monk J, Laurenson L. 2011. Applications of multibeam echosounder data and video observations for biological monitoring on the south east australian continental shelf. ISG & ISPRS. Shah Alam, Malaysia.

de moustier AD. 1991. Angular dependence of 12-khz seafloor acoustic backscatter. J. Acoust. Soc. Am. . 90 (1), July 1991(

Dufek T. 2012. Backscatter analysis of multibeam sonar data in the area of the valdivia fracture zone using geocoder in caris hips&sips and ivs3d

fledermausHafenCity Universität Hamburg.

Ellingsen K. 2002. Acoustic classification of seabed habitats using the qtc view™ system. ICES Journal of Marine Science. 59(4): 825-835. 10.1006/jmsc.2002.1198

(35)

Fernandes W, Chakraborty. 2009. Multi-beam backscatter image data processing techniques employed to em 1002 system. Pages 93-99. in Pillai PRSS, M.H, ed. Proceedings of the International Symposium on Ocean Electronics (SYMPOL-2009).

Fonseca. 2009. Angular range analysis of acoustic themes from stanton banks ireland: A link between visual interpretation and multibeam echosounder angular signatures. Applied Acoustics. 70(10): 1298-1304. 10.1016/j.apacoust.2008.09.008

Fonseca L, Mayer L. 2007. Remote estimation of surficial seafloor properties through the application angular range analysis to multibeam sonar data. Marine Geophysical Researches. 28(2): 119-126. 10.1007/s11001-007-9019-4

Fonseca L, Calder B. 2007. Clustering acoustic backscatter in the angular response space. Proceedings of the US hydrographic conference. Norfolk, VA. Fonseca L, Brown C, Calder B, Mayer L, Rzhanov Y. 2009. Angular range analysis

of acoustic themes from stanton banks ireland: A link between visual interpretation and multibeam echosounder angular signatures. Applied Acoustics. 70(10): 1298-1304.

Fonseca LEND. 2001. A model for backscattering angular response of gassy sediments: Applications to petroleum exploration and development programs.

Gavrilov A, Siwabessy P, Parnum I. 2005. Multibeam echo sounder backscatter analysis. CRC For Coastal Zone Estuary and Watermay Management. Perth. 12p.

Gosciewski D. 2014. Reduction of deformations of the digital terrain model by merging interpolation algorithms. Computers & Geosciences. 64(61-71. Hamilton EL. 1970. Sound velocity and related properties of marine sedeiment,

north pacific. Journal of Geophysical Research. 75(23): 4423-4466.10.1029/JB023p04423.

Hamilton EL. 1980. Geoacoustic modeling of the sea floor. The Journal of the Acoustical Society of America. 68(5): 1313-1340.

Hamilton LJ, Parnum I. 2011. Acoustic seabed segmentation from direct statistical clustering of entire multibeam sonar backscatter curves. Continental Shelf Research. 31(2): 138-148. 10.1016/j.csr.2010.12.002

Humborstad O. 2004. Roxann bottom classification system, sidescan sonar and video-sledge: Spatial resolution and their use in assessing trawling impacts. ICES Journal of Marine Science. 61(1): 53-63. 10.1016/j.icesjms.2003.10.001

Jackson DR, Winebrenner DP, Ishimaru A. 1986. Application of the composite roughness model to high‐frequency bottom backscattering. The Journal of the Acoustical Society of America. 79(5): 1410-1422.

Kenny A, Cato I, Desprez M, Fader G, Schüttenhelm R, Side J. 2003. An overview of seabed-mapping technologies in the context of marine habitat classification. ICES Journal of Marine Science: Journal du Conseil. 60(2): 411-418.

(36)

and application to multibeam echosounder data. Pages 897-903. OCEANS 2003. Proceedings: IEEE.

Lubczonek J, Stateczny A. 2003. Concept of neural model of the sea bottom surface. Pages 861-866. Neural networks and soft computing, Springer.

Lurton X. 2010. An introduction to underwater acoustics. Verlag Berlin Heidelberg Springer.

Lurton X. 2016. Modelling of the sound field radiated by multibeam echosounders for acoustical impact assessment. Applied Acoustics. 101(201-221.

MacQueen J. 1967. Some methods for classification and analysis of multivariate observations. Pages 281-297. Proceedings of the fifth Berkeley symposium on mathematical statistics and probability: Oakland, CA, USA.

Maleika W. 2014. Moving average optimization in digital terrain model generation based on test multibeam echosounder data. Geo-Marine Letters. 35(1): 61-68. 10.1007/s00367-014-0389-8

Manik HM, Yulius D, Udrekh. 2015. Development and application of mb system software for bathymetry and seabed computation. International Journal of Software Engineering and Its Applications. 9(6): 143-160.

Meyer WJ. 1985. Concepts of mathematical modeling. New York Courier Corporation.

Oyelade OJO, O. O ; Obagbuwa, I. C. 2010. Application of k-means clustering algorithm for prediction of students’ academic performance. International Journal of Computer Science and Information Security. Vol 7, No 1(292 - 295.

Park Y, Lee S, Jung S. 2011. Characterization of backscattering signal of 300 khz multibeam echo sounder. Proceeding of Symposium on Ultrasonic Electronics.

Pujiyati S, Hartati S, Priyono W. 2010. Efek ukuran butiran, kekasaran, dan kekerasan dasar perairan terhadap nilai hambur balik hasil deteksi hydroakustik 4t.

Stateczny A. 2000. The neural method of sea bottom shape modelling for the spatial maritime information system. Pages 251-259. International conference on maritime engineering and ports.

Stephens D, Diesing M. 2014. A comparison of supervised classification methods for the prediction of substrate type using multibeam acoustic and legacy grain-size data. PLoS ONE. 9(4): e93950. 10.1371/journal.pone.0093950 Telgarsky M, Vattani A. 2010. Hartigan's method: K-means clustering without

(37)
(38)

Spesifikasi SIMRAD EM 120

Parameter Value

Main operational frequency 12 kHz

Maximum ping rate 5 khz

Number of beams for each ping 191

Beamwidths (1 x 1), (1 x 2), (2 x 2), (2 x 4) Degree Beam spacing Equidistant or equiangle

Coverage sector Up to 150 degrees

Transmit beam steering Stabilized for roll, pitch and yaw Receive beam steering Stabilized for roll

Depth range from transdusers 20 to 11.000 metres

Depth resolution 10 to 40 cm

Pulse lengths 2, 5 and 15 ms

(39)
(40)

Spesifikasi Kapal Riset SONNE German

Year of Construction 1969

Owner Partenreederei MS SONNE

Length 97,6 m

Beam 14,2 m

Draught Max 6.8 m

Speed Max 2.5 knot

Nautical Crew 26 Persons

(41)

Contoh Data Hambur Balik (Backscatter)

Lat Long depth Amp(db)

(42)
(43)

Contoh Perhitungan Nilai Backscatter Pada Beam Tertentu

BSθ = ∑�= ���,�

=

=

�.�. �

.

s �

dA = Beam footprint

� = Sudut beam da = Faktor kedalaman c = Kecepatan suara τ = Panjang pulsa p = Jumlah ping

���,� = Nilai backscatter

Contoh :

Sudut beam (θ) = 40o

� = 1,5o

c = 1500 m/s

τ = 150 s = 0,15m/s

=

�.�. �

.

s �

=

. ,

c s

.

s . ,

Jumlah ping yang digunakan = 20

Jumlah nilai hambur balik hingga ping ke 20 = 0.002999

�� = . 0.002999

(44)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1 Lokasi Penelitian
Tabel 1 Jenis piranti lunak dan peranannya dalam penelitian dan sumber perolehan
Gambar 2 Diagram alir proses ekstraksi data multibeam
Gambar 3 Diagram alir pengolahan data hambur balik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berkaitan dengan prinsip dasar dari tujuan komunikasi maka keberdayaan yang diukur dalam penelitian ini adalah : Kemampuan kelompok tani dalam mengelola informasi pertanian

Asas ini mengatakan , bahwa tidak ada satupun percobaan yang dapat dilakukan sedemikian rupa sehingga memberikan ketidakpastian di bawah batas-batas yang

• Untuk menampilkan klas-klas obyek tersebut, lakukan pengeditan kelas, dengan mengklik Edit pada menu bar lalu pilih Edit Class/Region Color and Name sehingga

Terdapat penagihan klaim Rawat Jalan rdapat penagihan klaim Rawat Jalan yang dilanjutkan yang dilanjutkan dengan Rawat nap sebanyak !.

421 70713000966 JEISSY SYEANETTE SOEBYANTORO ANALIS KEUANGAN TIDAK LULUS ANALIS ANGGARAN TIDAK LULUS ANALIS KEBIJAKAN PERTAMA LULUS 422 70713000194 JEKLIN FEIBE LASUT ANALIS

Kegiatan pengabdian masyarakat ini dilaksanakan oleh dua dosen dari dua prodi Universitas Amikom Yogyakarta yang berbeda yang bermitra dengan Pokdarwis, Bumdes, masyarakat sekitar

Hasil penelitian menunjukkan bank syariah milik swasta lebih baik dari bank milik pemerintah, ini menunjukkan bahwa bank- bank swasta mempunyai kinerja yang lebih

Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Kota Tangerang Selatan sebagai salah satu satuan kerja perangkat daerah