• Tidak ada hasil yang ditemukan

Subjek pada penelitian ini berkisar antara usia 16-71 tahun dengan rerata 47,58 tahun. Kelompok usia terbanyak adalah kelompok usia 41-60 yaitu sebanyak 19 subjek (57,58 %) yang terlihat pada tabel 4.1 Meskipun tidak sama persis namun sejalan dengan peneliti-peneliti lainnya yang mendapatkan kelompok umur 41-60 tahun merupakan proporsi tertinggi pada populasi dengan kisaran 25-50% (Pua et al. 2008; Liu et al. 2010; Puspitasari 2011).

Hal ini disebabkan karena sistem mekanisme perbaikan DNA yang mengalami mutasi (DNA repair) sudah kurang berfungsi dengan baik dan penurunan daya tahan tubuh pada usia lebih dari 40 tahun. Mekanisme perbaikan DNA dibutuhkan guna memperbaiki rangkaian asam amino pada kode genetik DNA yang mengalami mutasi. Jika mekanisme perbaikan DNA ini mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya maka mutasi gen DNA yang sudah terjadi akan menyebabkan pertumbuhan sel tidak terkendali (Soehartono et al. 2007).

Pada penelitian ini perbandingan subjek dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah 2,3:1 (Tabel 4.1). Beberapa penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan baik di Medan maupun negara lain juga menunjukkan penderita KNF laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan rata-rata perbandingan 2-3:1 (Chang & Adami 2006; Harahap 2009; Puspitasari 2011; Turkoz et al. 2011).

Penderita KNF lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan dilaporkan pada hampir semua penelitian, hal ini diduga ada hubungannya dengan kebiasaan hidup serta pekerjaan yang menyebabkan laki-laki sering terpapar dengan karsinogen penyebab KNF. Paparan uap, asap debu dan gas kimia di tempat kerja meningkatkan risiko KNF 2-6 kali, sementara paparan formaldehid meningkatkan risiko 2-4 kali (Chang & Adami 2006). Terjadi peningkatan angka insidensi dan

kematian akibat KNF pada pekerja tambang, pandai besi, pembuat roti, para petani dan penebang kayu (Turkoz et al. 2011).

Tipe histopatologi terbanyak yang ditemukan pada penelitian ini adalah tipe non keratinizing squamous cell carcinoma, yaitu sebanyak 18 subjek (54,55%) (tabel 4.1).

Wei et al. (2011) mengutip laporan Cao et al. (2006) yang menyatakan bahwa 97,6% dari 1.142 kasus KNF di Guangdong merupakan tipe non keratinizing squamous cell carcinoma, 1,7% tipe undifferentiated carcinoma dan 0,5% merupakan tipe keratinizing squamous cell carcinoma.

Hasil yang berbeda didapatkan oleh Alabi et al. (2010) di Nigeria yang menemukan tipe terbanyak adalah undifferentiated carcinoma sebesar 70%, tipe keratinizing squamous cell carcinoma sebesar 20% dan tipe

non-keratinizing squamous cell carcinoma sebesar 10 %.

Karsinoma nasofaring tipe non keratinizing squamous cell carcinoma

dan undifferentiated carcinoma paling banyak dijumpai di daerah endemik KNF, seperti di Cina Selatan, Asia Tenggara dan Afrika Utara. Sementara KNF tipe 1 lebih sering dijumpai di Eropa dengan prognosis yang lebih buruk (Licitra et al. 2003; Guigay et al. 2006).

Pada penelitian ini, ukuran tumor primer terbanyak yang ditemukan adalah ukuran T4. Pembesaran kelenjar getah bening terbanyak dijumpai adalah N3 dan stadium terbanyak dijumpai adalah stadium 4.

Pada stadium dini KNF memiliki gejala yang tidak khas dan mirip dengan infeksi saluran nafas atas bahkan sering secara klinis tidak menimbulkan gejala sampai tumor menyerang struktur yang berdekatan baru menghasilkan gejala sehingga kurang mendapat perhatian dari penderita maupun dokter pemeriksa. Penegakkan diagnosis dari KNF sulit karena lokasi anatomisnya dimana letak tumor yang tersembunyi di nasofaring sehingga sulit diperiksa. Bahkan pembesaran getah bening di leher juga tidak menimbulkan nyeri sehingga pasien sering kali mengabaikan pembesaran ini. Selain itu peralatan yang kurang memadai,

pengetahuan yang kurang dan kondisi sosial ekonomi yang rendah dari penderita seringkali menjadi kendala dalam menegakkan diagnosis penyakit ini. Oleh karena itu gejala dini dari KNF sering terlewatkan dan pasien terdiagnosis setelah ukuran tumor dan pembesaran kelenjar getah bening telah berukuran besar serta mencapai stadium yang lanjut.

Berdasarkan tabel 4.2 ekspresi TNF-α positif paling banyak ditemukan pada karsinoma nasofaring dengan ukuran tumor primer T3-T4 yaitu sebanyak 16 jaringan karsinoma nasofaring (59,30%) dibandingkan dengan dengan ukuran tumor primer T1-T2 yaitu sebanyak 11 jaringan karsinoma nasofaring (40,70%).

Pada penelitian ini dapat terlihat bahwa distribusi ekspresi TNF-α positif semakin meningkat sejalan dengan membesarnya ukuran tumor dimana lebih banyak ekspresi TNF-α positif yang ditemukan pada ukuran T3-T4 dibandingkan dengan T1-T2. Setelah dilakukan Fisher’s exact test, ditemukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna (p=0,242) antara ekspresi TNF-α dengan ukuran tumor primer karsinoma nasofaring.

Cui et al. (2008) melalui penelitian untuk melihat ekspresi TNF-α pada karsinoma payudara juga mendapatkan bahwa ekspresi TNF-α positif banyak ditemukan pada ukuran tumor 20-50 mm dibandingkan dengan ukuran <20 mm, serta tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α positif dengan ukuran tumor primer (p=0,269). Garcia- Tunon et al. (2006) menemukan hal yang sama pada karsinoma payudara yaitu tidak ada hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α dengan ukuran tumor primer (p=0,944) sedangkan ekspresi TNF-α positif justru didapatkan lebih banyak pada ukuran tumor T1-T2.

Feng et al. (2011) melalui penelitian pada tumor kandung kemih menemukan hal yang berbeda yaitu ekspresi TNF-α memiliki hubungan yang bermakna dengan ukuran tumor (p=0,018) dimana ekspresi TNF-α paling banyak ditemukan pada ukuran tumor yang besar (≥ 3cm).

bermakna antara konsentrasi serum TNF-α dengan ukuran tumor primer pada karsinoma payudara.

TNF-α dapat meningkatkan proliferasi sel tumor, dimana TNF-α bertindak sebagai mutagen yang menyebabkan proliferasi dan kelangsungan hidup dari sel tumor tanpa memicu diferensiasi sel. TNF-α tidak hanya bertindak sebagai autokrin growth factor namun juga dapat memicu ekspresi growth factors yang lain seperti amphiregulin, EGFR, dan TGF-α sehingga dapat meningkatkan proliferasi sel tumor (Wu & Zhou 2010).

Perdebatan peran ganda TNF-α sebagai “necrosis factor” dan “promoting factor” dapat dijelaskan melalui tingkatan kadar TNF-α pada berbagai keadaan dan situasi. Ketika TNF-α diberikan dengan dosis sangat tinggi maka akan bertindak sebagai antiangiogenik dan faktor nekrosis, namun jika TNF-α di produksi oleh tumor dan tumor-associated macrophages atau sel stroma pada kadar fisiologis maka akan bertindak sebagai promotor dalam pertumbuhan tumor, rekruitmen makrofag baru serta menstimulasi faktor angiogenik dan growth factors. (Dobrycka et al. 2009).

Bagaimana peran TNF-α sebagai regulator dalam anti-tumoregenik maupun pro-tumoregenik belum begitu jelas, mungkin keadaan ini terkait dengan organ yang terkena, keadaan dalam sel dan zat karsinogen (Wang & Lin 2008).

Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara TNF-α dengan ukuran tumor pada penelitian ini.

Pada penelitian ini dilakukan pengelompokkan ukuran kelenjar getah bening menjadi kelompok N0-N1 dan N2-N3, ditemukan ekspresi TNF-α positif paling banyak dijumpai pada kelompok ukuran kelenjar getah bening N2-3 yaitu sebanyak 19 jaringan karsinoma nasofaring (70,40%), dibandingkan dengan N0-N1 sebanyak 8 jaringan karsinoma nasofaring (29,60%).

Hasil Fisher’s exact test (tabel 4.3) antara ekspresi TNF-α dengan kelompok ukuran kelenjar getah bening menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α dengan ukuran kelenjar getah bening karsinoma nasofaring (p=0,605).

Garcia-Tunon et al. (2006) melalui penelitian terhadap karsinoma payudara juga menemukan tidak ada hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α dengan ukuran kelenjar getah bening (p=0,357).

Nikiteas et al. (2005) juga menemukan tidak ada hubungan yang bermakna antara kadar serum TNF-α dengan penyebaran kelenjar getah bening (p>0,05) pada karsinoma kolorektal.

Akan tetapi Feng et al. (2011) melalui penelitian pada tumor kandung kemih menemukan hal yang berbeda yaitu adanya hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α dengan penyebaran kelenjar getah bening (p=0,016). Demikian juga dengan Leek et al. (1998) menemukan hal yang sama pada karsinoma payudara.

TNF-α merupakan sitokin pro-inflammatory yang poten dan dapat merangsang sel tumor untuk menginduksi molekul-molekul yang terlibat dalam metastase. MMP 2 dan 9 sebagai enzim degradasi membran basal dari sel dapat di induksi oleh TNF-α sehingga sel kanker dapat bermigrasi. Motilitas dari beberapa sel kanker juga dipengaruhi oleh TNF-α (Waterston & Bower 2004).

TNF-α dapat meningkatkan aktivitas invasif pada beberapa jenis karsinoma (Aggarwal et al. 2006). Hal ini dapat terjadi dengan cara menginduksi MMP 2, -3, -9 dan -12 atau melalui α2β1 integrin (Wang & Lin 2008).

Hal ini mungkin yang menyebabkan ekspresi TNF-α lebih banyak ditemukan pada ukuran kelenjar getah bening N2-N3 walaupun tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna secara statistik.

Dari tabel 4.4, dijumpai ekspresi TNF-α positif paling banyak pada stadium lanjut yaitu stadium III-IV yaitu sebanyak 25 jaringan karsinoma nasofaring (92,60%), sedangkan stadium I-II hanya 2 jaringan karsinoma

nasofaring (7,40%). Hasil Fisher’s exact test menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α dengan stadium klinis karsinoma nasofaring (p=0,142).

Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Dobrzycka et al. (2009) pada karsinoma ovarium yang juga menemukan ekspresi TNF-α positif paling banyak pada stadium lanjut yaitu stadium III-IV namun tidak ada hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α dengan stadium klinis (p>0,05).

Tesarova et al. (2000) pada penelitian terhadap karsinoma payudara juga menemukan ekspresi TNF-α positif paling banyak pada stadium lanjut yaitu stadium III-IV namun tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar serum TNF-α dengan stadium klinis (p>0,05).

Hewala et al. (2010) pada penelitian terhadap karsinoma payudara menemukan hal yang berbeda yaitu adanya hubungan yang bermakna antara kadar serum TNF-α dengan stadium klinis (p=0,030).

Dobrzycka et al. (2009) melakukan penelitian untuk melihat kadar serum TNF-α di dalam plasma dari pasien yang menderita karsinoma ovarium mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara kadar serum TNF-α dengan stadium klinis (p<0,001) dengan ekspresi TNF-α positif paling banyak pada stadium lanjut yaitu stadium III-IV.

TNF-α dapat bertindak sebagai growth factor pada beberapa jenis tumor, menginduksi kemo-resisten dan menyebabkan kerusakan DNA serta menghambat perbaikan DNA dengan cara meningkatkan aktivitas dari nitric oxide (NO). TNF-α juga dapat memicu angiogenesis dengan cara menjadi mediator beberapa faktor pro-angiogenik seperti VEGF, VEGFR2, bFGF, IL-8, platelet-activating factor, NO, ICAM-1, E-selectin

dan thymidine phosphorylase. Tumor remodeling akibat aktivitas fibroblas dan makrofag, motilitas sel tumor, invasi tumor melalui induksi matrix metalloproteinases (MMPs), juga dipengaruhi oleh TNF-α. Sehingga TNF-α diduga mempengaruhi pertumbuhan tumor, invasi serta metastase

dimana hal tersebut mempengaruhi stadium dari tumor (Szlosarek, Charles & Balkwill 2006).

Pada penelitian ini perbandingan jumlah penderita KNF masing-masing stadium tidak seimbang karena lebih banyak penderita KNF yang sudah stadium lanjut datang berobat dibandingkan stadium dini. Hal ini mungkin menyebabkan tidak ditemukannya hubungan yang bermakna pada stadium klinis berdasarkan ekspresi TNF-α pada penelitian ini.

Pada penelitian ini, MVD tinggi banyak ditemukan pada ukuran tumor primer T3-T4 yaitu sebanyak 11 jaringan karsinoma nasofaring (61,10%) dibandingkan dengan T1-T2 sebanyak 7 jaringan karsinoma nasofaring (38,90%). Setelah dilakukan uji statistik (Fisher’s exact test), tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna pada frekuensi ukuran tumor primer (T) berdasarkan MVD (p=0,316) (tabel 4.5). Sesuai dengan Chebib et al. (2007) melalui penelitian terhadap karsinoma hepatoseluler menyatakan bahwa microvessel density tidak berhubungan dengan ukuran tumor (p=0,276) dengan MVD tinggi paling banyak ditemukan pada ukuran tumor ≥ 5 cm.

Vermeulen et al. (1999) melalui penelitian karsinoma kolorektal dan Tae et al. (2000) melalui penelitian karsinoma kepala dan leher juga menemukan hal yang sama yaitu tidak ada hubungan yang bermakna antara microvessel density dengan ukuran tumor (p>0,05).

Hasil yang berbeda di dapat oleh Choi et al. (2005) yang menyatakan menyatakan ada hubungan yang bermakna antara ukuran tumor primer karsinoma payudara dengan MVD (p=0,0001), begitu juga Poon et al. (2002), pada penelitian karsinoma hepatoseluler (p<0,001).

Pertumbuhan tumor dan metastase bergantung kepada angiogenesis dan limfangiogenesis pada fase pertumbuhan cepat dari tumor. Pada penelitian terdahulu oleh Muthukaruppan dan rekan (1982) menemukan bahwa sel kanker yang berada di daerah tanpa sirkulasi darah dapat tumbuh sampai ukuran diameter 1-2 mm3, kemudian berhenti tumbuh. Namun sel kanker dapat tumbuh hingga lebih besar dari 2 mm3 apabila

berada pada daerah dimana angiogenesis mungkin terjadi. Tanpa adanya dukungan vaskuler, tumor dapat menjadi nekrotik atau bahkan mengalami apoptosis (Nishida et al. 2006). Hal ini mungkin yang menyebabkan MVD tinggi lebih banyak ditemukan pada ukuran tumor primer T3-T4, walaupun tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna setelah dilakukan uji statistik.

Berdasarkan tabel 4.6, MVD tinggi banyak ditemukan pada ukuran kelenjar getah bening N2-N3 yaitu sebanyak 13 jaringan karsinoma nasofaring (72,20%) dibandingkan N0-N1 sebanyak 5 jaringan karsinoma nasofaring (27,80%). Namun Fisher’s exact test menunjukkan tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara pembesaran kelenjar getah bening leher dengan MVD (p=0,512). Sesuai dengan penelitian Svagzdys et al. (2009) terhadap karsinoma rektum dan Evoric et al. (2005) melalui penelitian terhadap karsinoma sel skuamosa pada kepala dan leher, yang tidak menemukan adanya hubungan yang bermakna antara MVD dengan ukuran kelenjar getah bening (p>0,05).

Berbeda dengan penelitian Gallo et al. (2001) terhadap karsinoma kepala dan leher, yang menemukan bahwa MVD berkorelasi secara statistik dengan pembesaran kelenjar getah bening (p=0,0001).

Beberapa studi menunjukkan bahwa tumor yang memiliki tingkat vaskularisasi tinggi mempunyai kemungkinan yang sangat signifikan untuk mengalami metastase kelenjar limfe lokoregional dibandingkan dengan tumor yang memiliki vaskularisasi rendah (Hasan, Byers & Jayson 2002). Untuk menghasilkan metastase, tumor harus mendapat akses ke sistem pembuluh darah, bertahan dalam sirkulasi, menghindari sistem imun, menetap pada sistem pembuluh darah mikro organ target dan memicu tumor angiogenesis. Oleh karena itu angiogenesis diperlukan pada awal proses ini, karena semakin banyak pembuluh darah tumor semakin besar kemungkinan tumor untuk masuk ke dalam sirkulasi (Weidner N 1995).

Sel tumor pada manusia sangat heterogen dan memiliki subpopulasi sel dengan unsur-unsur biologi yang berbeda. Selain itu proses perkembangan metastase terdiri dari banyak langkah yang saling berhubungan dan untuk menghasilkan metastase sel tumor harus melewati semua langkah tersebut (Hasan, Byers & Jayson 2002). Hal ini lah yang mungkin menyebabkan pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan bermakna antara pembesaran kelenjar getah bening leher dengan MVD.

Tabel 4.7 menunjukkan MVD tinggi banyak ditemukan pada stadium III- IV yaitu 16 jaringan karsinoma nasofaring (88,90%) dibandingkan stadium I-II yang hanya 2 jaringan (11,10%). Fisher’s exact test antara MVD dengan stadium klinis karsinoma nasofaring pada penelitian ini menemukan tidak ada hubungan yang bermakna antara stadium klinis berdasarkan MVD (p=0,626).

Penelitian ini sesuai dengan Taweevisit, Keelawat & Thoner (2010) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara MVD dan stadium tumor walaupun MVD tinggi banyak ditemukan pada stadium III-IV pada undifferentiated Karsinoma nasofaring.

Berbeda dengan El Gehani et al. (2011) pada karsinoma kandung kemih menemukan hubungan yang bermakna antara stadium tumor dengan MVD (p=0,002). Guang-Wu et al. (2000) juga menemukan adanya peningkatan MVD yang bermakna pada stadium lanjut (stadium III dan IV) bila dibandingkan dengan stadium dini (stadium I dan II) (p < 0,01).

Pada tahun 1971, Folkman menyatakan bahwa perkembangan tumor dan metastasis sangat bergantung pada angiogenesis sehingga jika dilakukan inhibisi terhadap angiogenesis dapat menghambat perkembangan tumor (Carmeliet & Jain 2000).

Angiogenesis adalah hal yang sangat dibutuhkan dalam nutrisi dan oksigenasi sel tumor. Hal ini penting untuk proliferasi dan penyebaran metastasis neoplasma padat (Taweevisit, Keelawat & Thoner 2010).

Sel tumor dapat menghasilkan tumor angiogenesis factor (TAF) yang menyebabkan migrasi dan proliferasi sel endotel. Pada saat bersamaan sel endotel juga menghasilkan faktor pertumbuhan (seperti PDGF) yang menstimulasi pertumbuhan tumor. Interaksi antara sel endotel dengan sel tumor membentuk jaringan vaskuler. Namun, karena jaringan kapiler ini belum matang maka sel tumor dapat berpenetrasi ke dalam pembuluh darah sehingga dapat bermetastasis ke tempat lain (Guang Wu et al. 2000).

Angiogenesis dapat mempengaruhi pertumbuhan dan metastasis tumor sehingga akan mempengaruhi stadium klinis dari tumor. Namun pada penelitian ini justru tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara MVD dengan stadium klinis secara statistik. Data distribusi stadium klinis subjek penelitian menunjukkan distribusi yang tidak seimbang antara stadium lanjut dan stadium awal. Hal ini mungkin yang menyebabkan tidak ditemukan hubungan yang bermakna secara statistik.

Pada penelitian ini ditemukan tidak adanya korelasi positif antara ekspresi TNF-α dan MVD dengan koefisien korelasi 1,000 dan tingkat kemaknaan p=0,630 (Diagram 4.1 dan tabel 4.8).

Hasil ini berbeda dengan penelitian Feng et al. (2011) pada karsinoma kandung kemih yang menemukan adanya korelasi positif dengan koefisien korelasi 0,53 dengan tingkat kemaknaan tinggi (p=0,000) antara tingkat ekspresi TNF-α dengan gambaran MVD.

Hewala et al. (2010) melalui penelitiannya pada karsinoma payudara juga menemukan korelasi positif antara tingkat ekspresi TNF-α dengan gambaran MVD (r=0,379; p=0,039).

Angiogenesis merupakan suatu persyaratan untuk pertumbuhan dan metastasis tumor. Neovaskularisasi memberikan bukan hanya jalur untuk suplai nutrisi, namun juga merupakan saluran sel tumor untuk masuk ke sirkulasi, oleh karena pembuluh darah yang baru berproliferasi memiliki

membran basal yang lebih mudah dimasuki oleh sel tumor dibandingkan dengan pembuluh darah matur (Poon et al. 2002).

Kemokin seperti IL-8 dan Groα beserta growth factor lain seperti FGF, PDGF dan thymidine phospholyrase berperan penting dalam neovaskularisasi. Molekul-molekul ini menarik sel endotel dan menyebabkan migrasi dari kapiler ke dalam tumor. TNF-α telah diketahui dapat meningkatkan ekspresi dari IL-8 dan Groα pada beberapa sel tumor. Peningkatan pewarnaan TNF-α berkorelasi dengan peningkatan

thymidine phospholyrase sebagai enzim yang penting dalam angiogenesis (Szlosarek, Charles & Balkwill 2006).

Namun studi terhadap sifat angiogenik dari TNF-α memberikan hasil yang kontradiktif. TNF-α dapat memicu angiogenesis pada invivo dan menstimulasi migrasi dari sel endotel, tetapi TNF-α menginhibisi aktivitas dari mitogen seperti bFGF dan VEGF di dalam sel endotel pada invitro (Chen et al. 2004). Hal ini yang mungkin menyebabkan tidak ditemukannya korelasi yang positif antara TNF-α dan MVD pada penelitian ini.

Dokumen terkait