• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah Klebsiella pada Tempe

Klebsiella berhasil diisolasi dari tempe EMP dan WJB menggunakan EMBA dan SCA. Koloni Klebsiella berbentuk mukoid dan bulat serta berwarna ungu di bagian tengah pada EMBA (Gambar 5a) dan menghasilkan warna biru pada SCA (Gambar 5b). Seluruh isolat Klebsiella dari tempe EMP dan WJB menunjukkan karakteristik khusus Klebsiella. Klebsiella dapat diidentifikasi menggunakan EMBA berdasarkan koloni yang berbentuk mukoid dan bulat serta berwarna ungu di bagian tengah. Identifikasi bakteri dari famili

Enterobacteriaceae dilakukan menggunakan EMBA karena media ini merupakan media selektif dan diferensial (Madigan dan Martiniko 2006). EMBA disebut media selektif karena media ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif. Kandungan laktosa pada EMBA dapat digunakan untuk membedakan bakteri yang dapat memfermentasikan laktosa sehingga media ini disebut sebagai media diferensiasi. Bakteri yang dapat memfermentasikan laktosa pada EMBA akan membentuk koloni dengan inti berwarna gelap, sedangkan bakteri lain tidak berwarna. Pewarna yang terdapat pada EMBA, yaitu eosin Y dan methylene blue

merupakan indikator pH sehingga koloni berwarna ungu (Leininger et al. 2001). Seluruh isolat Klebsiella dari tempe EMP dan WJB yang tumbuh pada EMBA juga mampu mendegradasi sitrat sebagai sumber karbon dan energi. Proses degradasi sitrat akan menghasilkan natrium karbonat (Na2CO3) yang bersifat

12

alkali sehingga bromotiol biru pada media akan mengubah warna SCA dari hijau menjadi biru sebagai karakter khusus Klebsiella sp. (Ayu et al. 2014).

(a) (b)

Gambar 5 Koloni Klebsiella pada agar: (a) EMBA (b) SCA

Populasi Klebsiella pada tempe EMP dan WJB memiliki jumlah yang beragam, yaitu sekitar 5-8 log CFU/g (Gambar 6). Keberadaan Klebsiella pada

tempe sebelumnya telah dilaporkan oleh Mulyowidarso et al. (1990) dan

K. pneumoniae merupakan salah satu spesies utama yang diisolasi dari tempe dengan jumlah 6-7 log CFU/g. K. pneumoniae berperan dalam fermentasi tempe bersama dengan spesies dari famili Enterobacteriaceae lain, seperti C. diversus, Enterobacter agglomerans, Enterobacter cloacae, dan K. osaenae. Keberadaan bakteri ini diprediksi berasosiasi dengan proses perendaman kedelai, karena proses ini memungkinkan adanya pertumbuhan mikrob. Mikrob tersebut dapat memanfaatkan nutrisi yang terlarut dalam air rendaman sebagai substrat untuk pertumbuhan. Komposisi mikrob pada tempe ditentukan oleh berbagai faktor ekologi, seperti proses asidifikasi oleh BAL selama tahap perendaman, efek letal saat proses pemasakan, kontaminasi saat proses pendinginan, komposisi dan kesegaran inokulum, kondisi inkubasi, kondisi penyimpanan dan lain sebagainya (Nout dan Kiers 2005). Sebagian besar galur Klebsiella membutuhkan ion amonium atau nitrat sebagai sumber nitrogen dan karbon. Selain itu, beberapa isolat Klebsiella membutuhkan arginin atau adenin atau keduanya dan urasil sebagai faktor tumbuh (Brisse et al. 2006). Menurut Astuti et al. (2000), protein terlarut, kandungan nitrogen dan asam amino bebas mengalami peningkatan pada tempe, sehingga dapat digunakan sebagai sumber nitrogen untuk pertumbuhan

Klebsiella.

Jumlah populasi Klebsiella pada penelitian ini mencapai 5-6 log CFU/g untuk tempe berumur 24 jam, tempe umur 48 jam mencapai 7 log CFU/g dan 8 log CFU/g pada tempe berumur 72 jam (Gambar 6). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah populasi Klebsiella meningkat berdasarkan tingkat kematangan tempe. Perubahan jumlah bakteri berdasarkan tingkat kematangan tempe selama masa penyimpanan juga dilaporkan oleh Hassanein et al. (2015). Bubuk tempe segar/fresh tempe (umur 24 jam) memiliki jumlah mikrob yang lebih rendah

13 dibandingkan bubuk tempe semangit/overripe tempe (umur 72 jam). Tempe semangit juga memiliki intensitas rasa dan aroma yang lebih kuat serta warna yang lebih gelap dibandingkan dengan tempe segar. Batas masa simpan tempe adalah sekitar 3 hari (72 jam), setelah masa itu tempe tidak cocok lagi untuk dikonsumsi yang ditandai dengan tekstur yang terlalu lembek, warna lebih gelap dan berbau menyengat atau disebut tempe bosok (Puteri et al. 2015). Tempe jenis ini biasa digunakan sebagai bumbu dan bahan masakan (Andriani et al. 2014).

Gambar 6 Jumlah Klebsiella pada tempe EMP dan WJB umur 24, 48 dan 72 jam Keberadaan Klebsiella pada penelitian ini dievaluasi dari dua sampel tempe di Bogor, yaitu tempe EMP dan WJB. Jumlah populasi Klebsiella pada tempe EMP lebih tinggi jika dibandingkan dengan WJB (Gambar 6). Hal ini sejalan dengan penelitian Barus et al. (2008) bahwa jumlah Enterobacteriaceae

pada tempe EMP segar lebih tinggi yaitu sekitar 8 log CFU/mL dibandingkan dengan tempe WJB yaitu sekitar 5 log CFU/mL. K. pneumoniae merupakan salah satu bakteri dominan pada tempe EMP dan Klebsiella sp. pada tempe WJB. Ayu

et al. (2014) telah mengisolasi 58 isolat bakteri dari tempe EMP dan WJB. Berdasarkan analisis gen 16S rRNA, K. pneumoniae teridentifikasi pada 13 isolat dari tempe EMP dan 10 isolat dari tempe WJB.

Tempe EMP dan WJB memiliki perbedaan pada metode pembuatan dan laru yang digunakan. Pengrajin tempe EMP menggunakan laru onggok, sedangkan pengrajin tempe WJB menggunakan laru Raprima. Laru onggok merupakan laru komersial termodifikasi yang dibuat dengan mencampurkan laru komersial dengan onggok. Proses pencampuran ini berkontribusi pada peningkatan jumlah Klebsiella pada tempe EMP, sehingga jumlah bakteri ini pada tempe EMP lebih tinggi dibandingkan dengan tempe WJB. Jumlah

Enterobacteriaceae pada laru onggok juga lebih tinggi dibandingkan pada laru Raprima (Nurdini et al. 2015). Tempe EMP dibuat menggunakan metode Pekalongan dengan satu kali perebusan, sedangkan tempe WJB menggunakan metode Malang dengan dua kali perebusan. Proses perebusan tempe WJB lebih banyak dibandingkan tempe EMP, sehingga hal ini memungkinkan adanya

14

penurunan jumlah Klebsiella pada tempe WJB. A’yun (2015) juga melaporkan bahwa proses perebusan dapat menurunkan jumlah Enterobacteriaceae, kecuali spesies bakteri resisten panas (Mulyowidarso et al. 1989).

Tempe sebagai makanan fermentasi tradisional Indonesia sebagian besar diproduksi oleh industri rumah tangga berskala kecil mencapai lebih dari 100,000 pengrajin yang tersebar di seluruh provinsi Indonesia (Astuti et al. 2000). Konsumsi tempe mengalami peningkatan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara lain. Hal ini terjadi karena kandungan nutrisi yang terkandung dalam tempe sangat lengkap, seperti protein, asam amino esensial, kalsium, asam lemak esensial, vitamin B, isoflavon, asam folat dan lain sebagainya (Babu et al. 2009). Selain kandungan nutrisi tempe yang sangat lengkap, tempe juga memiliki rasa dan tekstur yang menarik serta mudah untuk dicerna. Karakteristik tempe tersebut dapat terbentuk melalui proses fermentasi berupa dinamika berbagai komposisi mikrob. Fermentasi tidak hanya bertujuan untuk pengawetan makanan, tetapi juga dapat memodifikasi organoleptik dari suatu makanan dan peningkatan nilai nutrisi (Nout dan Kiers 2005).

Produksi tempe berbeda dari pengrajin satu ke pengrajin yang lain serta dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Proses pembuatan tempe tidak hanya melibatkan Rhizopus spp. sebagai mikrob utama, tetapi juga melibatkan mikrob lain seperti bakteri. Proses pembuatan tempe melalui fermentasi terdiri dari dua tahap, yaitu fermentasi oleh aktivitas bakteri dan kapang. Fermentasi oleh aktivitas bakteri terjadi selama proses perendaman kedelai, sedangkan fermentasi oleh aktivitas kapang terjadi setelah proses inokulasi Rhizopus spp. (Kustyawati 2009). Mikrob penting yang berperan dalam proses fermentasi tempe, terdiri atas kapang, serta dua kelompok bakteri yaitu kelompok bakteri penghasil asam laktat dan kelompok bakteri penghasil vitamin B12 (Okada 1989).

Keberadaan berbagai macam mikrob pada tempe dikarenakan oleh proses pembuatan tempe di Indonesia masih bersifat konvensional dan dalam kondisi yang tidak terkontrol. Pertumbuhan bakteri diawali oleh kelompok bakteri penghasil asam laktat, yaitu pada tahap perendaman kedelai yang ditandai dengan perubahan air rendaman menjadi lebih kental. Sejumlah BAL terdeteksi dalam air rendaman tersebut yang menyebabkan pH air menjadi kurang dari 4. Penurunan pH tersebut berperan penting dalam proses fermentasi oleh Rhizopus spp. yang juga dapat mencegah pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan. Saat pertumbuhan kapang terjadi, pH akan mengalami peningkatan dari 4 menjadi 6-6.5 atau mendekati pH netral. Kelompok bakteri penghasil vitamin B12 yang menyukai pH netral akan mengalami pertumbuhan dan menambahkan vitamin B12 ke dalam tempe. Jumlah vitamin B12 pada tempe dipengaruhi oleh tingkat kesegaran tempe (freshness). Tempe segar mengandung vitamin B12 yang lebih sedikit dibandingkan dengan tempe yang disimpan lebih lama (Okada 1989).

Keuth dan Bisping (1993) mengisolasi kapang dan bakteri dari tempe dan air rendaman untuk menentukan peran dari masing-masing mikrob tersebut dalam pembentukan vitamin. Vitamin B12 merupakan vitamin khas tempe yang tidak dapat diproduksi oleh kapang. Sejumlah 37 isolat bakteri dapat tumbuh pada media tanpa vitamin B12 yang menunjukkan bahwa bakteri ini dapat menghasilkan vitamin B12. Isolat bakteri tersebut diidentifikasi sebagai Enterobacteriaceae, yaitu Enterobacter spp., C. freundii dan K. pneumoniae. K. pneumoniae

15 tempe dipengaruhi oleh suhu fermentasi, penambahan kobalt dan 5,6-dimetilbenzimidazol (Keuth dan Bisping 1994). Jumlah populasi Klebsiella

sebagai bakteri penghasil vitamin B12 yang cukup tinggi menunjukkan kandungan vitamin B12 pada tempe EMP dan WJB secara kualitatif.

Amplifikasi Gen cbiG

DNA genom tempe EMP dan WJB berhasil diekstraksi menggunakan

Wizard® Genomic DNA Purification Kit (Promega) (Gambar 7). Ekstrak DNA genom tempe EMP dan WJB digunakan sebagai cetakan (template) untuk amplifikasi gen cbiG. Amplifikasi gen cbiG menunjukkan bahwa setiap sampel tempe berhasil teramplifikasi menggunakan primer cbiG-F dan cbiG-R dengan gen target ±755 bp (Gambar 8) serta cbiG-Fnew2 dan cbiG-Rnew2 dengan gen target ±250 bp (Gambar 9). Gambar 8 dan 9 menunjukkan bahwa E. coli P100 sebagai kontrol negatif tidak mempunyai gen cbiG, sedangkan Klebsiella sp. 135 hasil isolasi dari tempe Indonesia sebagai kontrol positif mempunyai gen cbiG yang ditunjukkan dengan pita berukuran ±755 dan ±250 bp.

Gambar 7 Hasil ekstraksi DNA genom: (M) Marker 1kb DNA Ladder (Thermoscientific), (A1,B1,C1) tempe umur 24 jam, (A2,B2,C2) tempe umur 48 jam, (A3,B3,C3) tempe umur 72 jam

Amplifikasi gen cbiG menggunakan primer cbiG-F dan cbiG-R dengan gen target ±755 bp menunjukkan bahwa sampel tempe EMP dan WJB memiliki gen cbiG yang ditunjukkan dengan pita berukuran ±755 bp (Gambar 8). Amplifikasi gen cbiG menggunakan primer cbiG-Fnew2 dan cbiG-Fnew2 bp menunjukkan bahwa sampel tempe EMP dan WJB memiliki gen cbiG yang ditunjukkan dengan pita berukuran ±250 bp dan pita hasil amplifikasi menggunakan primer ini menunjukkan intensitas yang beragam (Gambar 9). Tempe umur 24 jam menghasilkan intensitas pita yang lebih tipis dibandingkan dengan tempe umur 48 jam, begitu pula tempe umur 48 jam menghasilkan intensitas pita yang lebih tipis dibandingkan dengan tempe umur 72 jam. Intensitas pita ini secara semi kuantitatif menunjukkan jumlah gen cbiG yang dimiliki oleh setiap sampel. Tempe umur 24 jam memiliki gen cbiG lebih sedikit

16

dibandingkan dengan tempe umur 48 jam, begitu juga tempe umur 48 jam memiliki gen cbiG yang lebih sedikit dibandingkan dengan tempe umur 72 jam. Pita yang ditunjukkan oleh tempe EMP secara keseluruhan lebih tebal dibandingkan dengan tempe WJB. Hal ini mengindikasikan bahwa tempe EMP memiliki gen cbiG yang lebih banyak dibandingkan dengan tempe WJB. Hasil ini juga dilaporkan oleh Alvin (2014) bahwa hasil amplifikasi gen cbiG pada tempe EMP menunjukkan pita yang lebih tebal dibandingkan dengan tempe WJB, begitu pula dengan jumlah kopi gen cbiG dan kandungan vitamin B12.

Gambar 8 Hasil amplifikasi menggunakan primer cbiG-F dan cbiG-R: (M) Marker 1kb DNA Ladder (Thermoscientific), (K-) E. coli P100, (K+)

Klebsiella sp. 135, (A1,B1,C1) tempe umur 24 jam, (A2,B2,C2) tempe umur 48 jam, (A3,B3,C3) tempe umur 72 jam

Gambar 9 Hasil amplifikasi menggunakan primer cbiG-Fnew2 dan cbiG-Rnew2: (M) Marker 1kb DNA Ladder (Thermoscientific), (K-) E. coli P100, (K+) Klebsiella sp. 135, (K) kedelai, (N) NTC, (A1,B1,C1) tempe umur 24 jam, (A2,B2,C2) tempe umur 48 jam, (A3,B3,C3) tempe umur 72 jam

Vitamin B12 atau kobalamin memiliki beberapa bentuk, seperti siano-, metil-, deoksiadenosil-, dan hidroksil-kobalamin (O’leary dan Samman 2010). Kobalamin

17 sebagaimana kobinamida merupakan turunan dari uroforfirinogen III sebagai prekursor pada sintesis heme, siroheme, dan klorofil. Bagian I dari jalur biosintesis kobalamin (Cob I) merupakan proses konversi uroforfirinogen II menjadi kobinamida. Bagian II (Cob II) merupakan proses biosintesis dimetilbenzimidazol (DMB). Bagian III (Cob III) merupakan proses pengikatan kobinamida, DMB, dan grup fosforibosil dari nikotinat mononukleotida secara kovalen (Gambar 10) (Lawrence dan Roth 1995).

Gambar 10 Jalur biosintesis kobalamin pada bakteri enterik. Singkatan: Ado, adenosil; Cbi, kobinamida; CN, siano; FMN, flavin mononukleotida; UroIII, uroforfirinogen III

Vitamin B12 hanya disintesis oleh beberapa bakteri dan arkea dan membutuhkan lebih dari 30 gen. Sebagian besar spesies bakteri enterik dapat mensintesis kobalamin baik dalam kondisi aerobik maupun anaerobik. Spesies

Klebsiella memproduksi kobalamin pada kondisi anaerobik melalui ketiga jalur biosintesis kobalamin (Cob I, II, dan III) (Lawrence dan Roth 1996). Lawrence and Roth (1995) melaporkan bahwa E. coli memproduksi kobalamin hanya melalui dua jalur biosintesis kobalamin, yaitu Cob II dan Cob III tanpa melalui Cob I. Cob I sebagai bagian I dari jalur biosintesis kobalamin dikodekan oleh gen

cbiABCDETFGHIJKLMNOQP. Oleh karena itu, keberadaan Klebsiella pada penelitian ini ditandai oleh keberadaan gen cbiG yang tidak dimiliki oleh E.coli.

Jalur sintesis vitamin B12 dapat dilakukan secara aerobik maupun anaerobik. Gen pengkode enzim yang berkontribusi pada biosintesis secara aerobik ditandai dengan awalan cob, sedangkan anaerobik ditandai dengan awalan

cbi (Marten et al. 2002). Biosintesis vitamin B12 pada Klebsiella terjadi secara anaerobik, sehingga gen pensintesis vitamin B12 yang dideteksi adalah gen cbiG. Fungsi gen cbiG sangat sulit untuk diprediksi, karena kesamaan protein CbiG dengan protein lain yang fungsinya sudah diketahui terlalu sedikit. Roessner dan Scott (2006) menjelaskan fungsi gen cbiG, yaitu sebagai pembuka cincin lakton dan mendeasilasi kobalt-prekorin-5A menjadi kobalt-prekorin-5B dari jalur biosintesis kobalamin secara anaerobik.

18

Jumlah Kopi Gen cbiG pada Tempe

Jumlah kopi gen cbiG pada tempe EMP dan WJB berhasil dikuantifikasi menggunakan qPCR. Kuantifikasi jumlah kopi gen cbiG menunjukkan hasil yang beragam, yaitu 2-3 log dan mengalami peningkatan berdasarkan tingkat kematangan tempe (Gambar 11). qPCR dapat menunjukkan jumlah kopi gen cbiG

yang dimiliki oleh setiap sampel tempe secara kuantitatif. Kuantifikasi jumlah kopi gen cbiG menggunakan qPCR diawali dengan mengkonstruksi kurva standar. Kurva standar merupakan perbandingan nilai Ct dan log jumlah kopi gen cbiG dari standar. Kurva standar tersebut menunjukkan hubungan linear antara nilai Ct dan log dari jumlah kopi gen cbiG (R2 > 0.97) sehingga dapat digunakan untuk menentukan jumlah kopi gen cbiG sampel berdasarkan nilai Ct masing-masing sampel.

Gambar 11 Jumlah kopi gen cbiG pada tempe EMP dan WJB umur 24, 48 dan 72 jam

Hasil kuantifikasi jumlah kopi gen cbiG menggunakan qPCR sejalan dengan hasil amplifikasi gen cbiG yang sebelumnya sudah dilakukan menggunakan PCR secara semi kuantitatif. Jumlah kopi gen cbiG pada tempe EMP dan WJB mengalami peningkatan berdasarkan tingkat kematangan tempe. Peningkatan jumlah kopi gen cbiG berdasarkan tingkat kematangan tempe diprediksi berkorelasi dengan jumlah populasi Klebsiella. Korelasi antara jumlah Klebsiella

dan jumlah gen cbiG disajikan pada Gambar 12 yang menunjukkan terdapat hubungan linear antara jumlah Klebsiella dan jumlah kopi gen cbiG pada setiap umur tempe (R2 > 0.804).

Tempe EMP memiliki jumlah kopi gen cbiG yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan WJB. Alvin (2014) juga menemukan bahwa log jumlah kopi gen cbiG untuk tempe EMP secara umum lebih tinggi yaitu 1.983 dibandingkan dengan tempe WJB yaitu 0.392. Jumlah Klebsiella dan jumlah kopi gen cbiG

lebih tinggi pada tempe EMP dibandingkan dengan tempe WJB. Walaupun kecenderungan tersebut sama, jumlah Klebsiella lebih tinggi dibandingkan dengan

19 jumlah kopi gen cbiG. Hal ini mengindikasikan bahwa dari banyak Klebsiella, hanya beberapa yang memiliki gen cbiG sebagai indikator dari gen pensintesis vitamin B12 yang dimiliki oleh Klebsiella. qPCR menghasilkan deteksi otomatis dan kuantifikasi dari produk gen sampel tertentu. Oberst et al. (1998) melaporkan bahwa qPCR telah digunakan untuk deteksi dan kuantifikasi E.coli O157:H7 pada makanan dan sampel klinis, juga pada sampel lingkungan (Ibekwe dan Grieve 2003).

Gambar 12 Korelasi antara jumlah Klebsiella dan jumlah kopi gen cbiG (R2 > 0.804). (E24) EMP 24 jam, (E48) EMP 48 jam, (E72), EMP 72 jam, (W24) WJB 24 jam, (W48) WJB 48 jam, (W72), WJB 72 jam

K. pneumoniae merupakan bakteri penghasil vitamin B12 pada tempe, sehingga jumlah populasi Klebsiella pada tempe diprediksi mempengaruhi jumlah vitamin B12 pada tempe tersebut. Hal ini didukung oleh penelitian Purawisastra et al. (1994) yang melaporkan bahwa penggunaan laru campuran dari suspensi biakan murni R. oligosporus dan suspensi K. pneumoniae dengan perbandingan jumlah sel 1:1 menghasilkan tempe yang mengandung vitamin B12 lebih tinggi (0.062 – 0.167 ng/g) dibandingkan laru kontrol tanpa penambahan K. pneumoniae

(0.0143 – 0.033 ng/g). Jumlah K. pneumoniae dalam laru selama masa penyimpanan (6 minggu) mengalami penurunan, namun vitamin B12 yang dihasilkan masih dalam jumlah yang relatif stabil.

Watanabe (2007) melaporkan bahwa kandungan vitamin B12 pada kedelai sangat rendah bahkan tidak terdeteksi, namun kandungan vitamin B12 pada hati dilaporkan mencapai 833 ng/g. Tempe sebagai makanan fermentasi kedelai juga mengandung vitamin B12 sekitar 7-80 ng/g. Jumlah vitamin B12 pada tempe yang disimpan lebih lama akan lebih banyak dibandingkan dengan tempe segar (Okada 1989). Beberapa hasil analisis mikrobiologi menunjukkan kadar vitamin B12 yang berbeda pada setiap sampel tempe Indonesia. Alvin (2014) menggunakan analisis molekuler untuk menentukan kandungan vitamin B12 pada tempe EMP dan WJB. Vitamin B12 pada tempe EMP terdeteksi lebih tinggi, yaitu sejumlah 3 ng/g

20

sedangkan tempe WJB 1.5 ng/g. Jumlah kandungan vitamin B12 ini menunjukkan korelasi linear dengan log jumlah kopi gen cbiG. Keberadaan Klebsiella selaku bakteri penghasil vitamin B12 dan gen cbiG selaku gen pensintesis vitamin B12 pada tempe diprediksi memiliki korelasi linear dengan jumlah vitamin B12 pada tempe tersebut. Kandungan vitamin B12 pada tempe tergolong lebih rendah jika dibandingkan dengan hati, sehingga memerlukan penanganan khusus pada sampel dan referensi standar (Abano dan Dadzie 2014).

Dokumen terkait