• Tidak ada hasil yang ditemukan

ECC diketahui sebagai penyakit yang disebabkan multifaktorial etiologi. Adanya bakteri penyebab karies seperti Streptococcus mutans, Streptoccus sobrinus

maupun Lactobasillus sp. mendukung terjadinya ECC. Walaupun begitu bakteri

Streptococcus mutans diketahui sebagai bakteri penyebab utama ECC. 2,15,16,19,22-24 Faktor-faktor resiko seperti sosioekonomi, pemberian ASI, pemberian minuman botol, cara kelahiran anak, waktu mulai sikat gigi anak, dan penggunaan pasta gigi berfluor juga dapat mempengaruhi terjadinya ECC.11,13,21,28

Pada penelitian ini didapati bahwa korelasi antara pengalaman karies anak (def-t) dan jumlah Streptococcus mutans pada anak menunjukkan nilai korelasi yang cukup tinggi yaitu sebesar 0,958 (tabel 3). Analisis regresi antara def-t dan jumlah

Streptococcus mutans menunjukkan bahwa pada indeks karies nilai Sig (0,000) < α (0,05) hal ini berarti bahwa koefisien indeks karies signifikan. Sedangkan pada jumlah Streptococcus mutans nilai Sig (0,069) > α (0,05) hal ini berarti bahwa konstanta Streptococcus mutans tidak signifikan. Dari hasil analisis regresi tersebut didapat persamaan regresi linear yaitu Y = 1828,55 X(def-t). Dimana setiap kenaikan 1 nilai def-t diikuti oleh kenaikan jumlah Streptococcus mutans sebesar 1828,55 (tabel 4). Menurut Caufield dkk (1992), kolonisasi bakteri Streptococcus mutans dan bakteri kariogenik lainnya di dalam rongga mulut dapat menjadi penyebab terjadinya karies.26 Menurut Wan dkk (2001) kolonisasi Streptococcus mutans dalam rongga mulut sendiri dipengaruhi oleh kebiasaan makan anak dan juga oral hygine anak.3

nilai korelasi yang tinggi berdasarkan analistik statistik pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Axelsson dkk (1987), Bratthal dan Ericsson (1994). Berdasarkan penelitian tersebut terdapat korelasi yang kuat antara jumlah kolonisasi

Streptococcus mutans dengan lesi karies aproksimal.43

Rata-rata indeks karies yang didapat dari 30 orang anak di PAUD Ar- Raudhatul Hasanah Medan menunjukkan angka yang cukup tinggi yaitu sebesar 5,66 ± 5,02. Menurut Indeks def-t WHO nilai ini termasuk dalam kriteria tinggi (4,5-6,6). Sedangkan rata-rata jumlah Streptococcus mutans adalah 11824 ± 9589,9 (tabel 2). Menurut Axelsson jumlah Streptococcus mutans > 1juta CFU/ml termasuk kategori resiko karies tinggi sedangkan jumlah Streptococcus mutans < 100.000 CFU/ml termasuk kategori karies rendah. Oleh karena itu, walaupun terdapat korelasi yang cukup kuat antara def-t dan jumah Streptococcus mutans tetapi bakteri Streptococcus mutans tidak dapat dikatakan sebagai satu-satunya penyebab utama terjadinya karies pada murid PAUD Ar-Raudhatul Hasanah Medan. Rata-rata def-t yang cukup tinggi mungkin tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah Streptococcus mutans di dalam rongga murut tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor resiko lainnya.43

Berdasarkan jenis kelamin, persentasi anak-anak perempuan yang menderita karies dengan kategori tinggi lebih banyak dari anak-anak laki-laki. Pada anak perempuan kategori karies tinggi sebanyak 6 orang (37,5%) dari 16 anak sedangkan pada anak laki-laki terdapat 4 (28,6%) dari 14 orang anak (tabel 6). Menurut Teivens dkk (1996) pada anak perempuan pertumbuhan gigi permanen terjadi lebih cepat 6 sampai 12 bulan dibandingkan dengan anak laki-laki.43 Berdasarkan teori ini perlekatan bakteri Streptococcus mutans pada permukaan gigi juga akan terjadi lebih

cepat pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Mungkin hal ini lah yang menyebabkan anak dengan kategori karies tinggi lebih banyak pada anak perempuan daripad laki-laki. Walaupun begitu pengaruh orak hygine yang biasanya lebih baik pada anak perempuan dibanding laki-laki, tidak menutup kemungkinan anak laki-laki menunjukkan angka def-t yang lebih tinggi dari anak perempuan.

Dari umur anak didapati bahwa kategori karies tinggi paling banyak pada anak umur 4 tahun yaitu terdapat 5 (45,5%) dari 11 orang anak (tabel 7). Menurut Wan dkk (2003) waktu paling optimal perlekatan Streptococcus mutans adalah pada saat usia anak 0 sampai 24 bulan dan akan bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah gigi yang bererupsi.21

Berdasarkan status pendidikan ibu dan sosial ekonomi orang tua ternyata anak-anak yang dilahirkan dari ibu dengan latar pendidikan akademis masih banyak yang memiliki pengalaman karies yaitu sebanyak 17 orang (56,7%) (tabel 8). Pengalaman karies yang tinggi ini mungkin dipengaruhi dengan faktor resiko lain seperti intake gula ataupun oral hygine anak. Sedangkan berdasarkan penghasilan, orang tua yang memiliki penghasilan lebih kecil sama dengan 1 juta sampai 3 juta rupiah menunjukkan anggka yang paling banyak yaitu 16 orang (53,3%) (tabel 9). Namun, apabila dilihat dari persentasi kategori kariesnya dan dibandingkan dengan orang tua yang memiliki penghasilan 3-5 juta per bulan tidak terlalu berbeda.

Anak-anak yang dilahirkan dengan usia normal sebanyak 27 orang (90%) dan yang dilahirkan secara prematur sebanyak 3 orang (10%) (tabel 10). Bayi yang dilahirkan dengan berat badan kurang dan bayi prematur diperkirakan memiliki level

kolonisasi Streptococcus mutans yang tinggi.32 Hal ini mungkin berkaitan dengan enamel hipoplasia yang sering terjadi pada anak yang dilahirkan secara prematur.

Anak-anak yang dilahirkan dengan cara operasi caesar juga ternyata cukup banyak yaitu 22 orang (73,3%) dan yang dilahirkan secara normal sebanyak 8 orang (26,7%). Dari anak yang dilahirkan dengan jalan operasi caesar menunjukan jumlah anak dengan kategori karies tinggi paling banyak yaitu 7 dari 22 orang (31,8%) dibandingkan anak yang dilahirkan secara normal (tabel 11). Menurut Li Y dan Caufield (2005) anak-anak yang dilahirkan dengan operasi caesar lebih cepat mengalami perlekatan bakteri Streptococcus mutans dibandingkan dengan anak yang dilahirkan dengan cara normal.1

Apabila kita bandingankan berdasarkan distribusi kategori kariesnya, pada anak-anak yang tidak diberikan ASI sama sekali menunjukkan persentasi yang cukup tinggi yaitu terdapaat 2 (50%) dari 4 orang anak yang termasuk kategori karies tinggi. Walaupun dari hasil pemeriksaan jumlah anak yang diberikan ASI sampai dengan usia lebih dari 12 bulan lebih banyak yaitu 14 ( 46,7%) dari 30 orang anak, tetapi hanya terdapat 4 orang anak (28,6%) dari 14 anak yang termasuk kategori karies tinggi (tabel 12). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sugito dkk (2007) antara pemberian ASI dan terjadinya ECC tidak menunjukkan hubungan yang signifikan antara keduanya.35 Penelitian di US yang dilakukan oleh The 3rd National Health and Nutrition Examination Survey tidak menemukan adanya hubungan antara karies dental dengan menyusui. Pemberian ASI juga menunjukan banyak manfaat kesehatan bagi bayi. ASI memberikan perlindungan terhadap penyakit infeksi gastrointestinal, otitis media dan nekrose enterocolisitis.33

Dari tabel 13 anak-anak yang di berikan ASI kurang dari 3 kali sehari hanya 2 orang (6,7%) yang memiliki pengalaman karies dan keduanya termasuk dalam kategori sedang. Frekuensi pemberian yang tidak diberikan secara berlebihan tamapaknya menunjukan efek yang lebih bagus terhadap terjadinya ECC. Tetapi bukan berarti anak tidak perlu diberikan ASI sama sekali. Pada anak yang diberikan ASI sambil tertidur terdapat jumlah anak dengan kategori karies tinggi sebanyak 7 (23,3%) dari 30 orang anak (tabel 14). Sedangkan pada anak yang diberikan ASI sambil tertidur terdapat 7 (23,3%) dari 30 anak yang termasuk kategori karies tinggi. Hal ini mungkin dsebabkan oleh berkurangnya aliran saliva pada saat anak tertidur dan juga menggenangnya cairan ASI didalam rongga mulut anak pada saat dia tertidur, sehingga pemaparan laktosa yang terkandung didalam ASI terhadap pemukaan gigi semakin tinggi.6

Berdasarkam riwayat pemberian minuman botol, terdapat 14 orang anak (46,7%) dari 30 orang anak yang diberikan minuman botol sampai dengan umur 25 bulan atau lebih (tabel 15). Tetapi bila diperhatikan dari distribusi riwayat penggunaan minuman botol dan distribusi riwayat pemberian ASI, tampaknya ada beberapa anak yang diberikan ASI dan juga minuman botol sekaligus. Pemberian minuman botol yang paling banyak adalah susu formula.

Jumlah anak yang menyikat gigi diatas usia 3 tahun masih cukup tinggi yaitu sebanyak 22 orang (73,3%) (tabel 16). Padahal sebaiknya penyikatan gigi anak dilakukan segera setelah gigi anak erpsi .penyikatan gigi anak selain untuk menghilangkan plak juga membantu dalam mengaplikasikan fluoride yang tergandung didalam pasta gigi. 6 Berdasarkan frekuensi penyikatan gigi anak, anak-

anak yang menyikat gigi kurang dari 2 kali sehari menunjukkan jumlah yang lebih banyak yaitu sebanyak 13 orang (43,3%) (tabel 17). Lima dari 13 orang anak tersebut termasuk kedalam kategori karies tinggi. Penyikatan gigi anak yang baik seharusnya dilakukan minimal dua kali sehari padasat pagi setelah sarapan dan malam hari sebelum tidur.

Pada umumnya penggunaan pasta gigi berfluor sudah cukup banyak pada murid PAUD Ar-Raudhatul Hasanah Medan yaitu sekitar 21 orang (70%) tetapi masih didapati anak-anak yang hanya menggunakan sikat gigi saja tanpa memakai pasta gigi yaitu sebanyak 2 orang (tabel 18). Fluor memiliki peran penting dalam pertumbuhan gigi anak. Fluor dapat meningkatkan kualitas dan kekuatan dari enamel gigi dan menciptakan lebih banyak permukaan yang resisten terhadap asam di permukana gigi. Fluor dapat menurunkan insiden terjadinya karies sekitar 50-70%. 11,25 Namun, jumlah anak yang termasuk kategori karies tinggi dalam kelompok anak yang menggunakan pasta gigi berfluor masih cukup tinggi yaitu sebanyak 6 dari 21 orang anak. Hal ini mungkin berhubungan dengan pengawasan ibu terhadap penyikatan gigi anak. Anak-anak yang berusia di bawah 7 tahun sebaiknya di awasi penyikatan giginya. Karena pada usia di bawah 7 tahun perkembangan motorik anak masih belum sempurna.

Dari tabel 19, jumlah anak yang berobat kedokter gigi sebanyak 14 orang (46,7%) dan 7 orang diantaranya termasuk kategori karies tinggi. Bila dibandingkan dengan anak yang tidak pernah berobat ke dokter gigi hanya terdapat 2 orang anak yang termasuk kategori karies tinggi. Hal ini menggambarkan bahwa kunjungan anak

kedokter gigi dilkukan apabila anak mengeluh sakit akibat karies yang dialaminya dan untuk melakukan tidakan pengobatan bukan tindakan pencegahan atau preventif.

Dokumen terkait