• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Kualitas Air

5.2 Pembahasan

5.2.1 FCR (Food Convertion Rate)

Food Convertion Rate (FCR) atau rasio konversi pakan merupakan

perbandingan antara jumlah pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan berat badan yang dihasilkan (Mukti, 2012). Besar kecilnya nilai FCR dipengaruhi beberapa hal diantaranya kualitas dan kuantitas pakan, spesies, ukuran, dan kualitas air (National Research Council, 1993). Semakin tinggi nilai FCR

menunjukan kualitas pakan yang diberikan rendah dan semakin banyak pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1kg daging ikan (Effendi, 2004)

Berdasarkan perhitungan statistik pada tabel 5.1 diketahui nilai FCR untuk semua perlakuan pada ikan lele dumbo berkisar antara 0,9324-0,9954 dengan FCR tertinggi didapatkan pada perlakuan tanpa penambahan bakteri heterotrof pada media budidaya yakni sebesar 0,9954 yang berarti untuk menghasilkan 1 gram daging ikan dibutuhkan 0,9954 gram pakan. FCR terendah didapatkan pada perlakuan penambahan bakteri heterotrof C (Bacillus subtilis dan Bacillus licheniformis dengan total count 2x1012CFU) pada media budidaya yakni sebesar

0,9324 yang berarti untuk menghasilkan 1 gram daging ikan dibutuhkan 0,9324 gram pakan. Nilai FCR pada rata-rata setiap perlakuan masih berada dalam nilai FCR yang baik untuk ikan lele. Hal ini sesuai dengan pendapat Nasution, dkk. (2014) yang mengatakan bahwa nilai FCR dalam budidaya ikan berkisar ≤ 1.

Tingginya nilai FCR pada perlakuan tanpa penambahan bakteri heterotrof disebabkan adanya penumpukan bahan organik pada media budidaya yang tidak terdegradasi secara optimal. Bahan organik yang tidak terdegradasi secara optimal dapat menyebabkan kadar amonia tinggi, sehingga kualitas air pada media budidaya menjadi turun. Turunnya kualitas air pada media budidaya membuat ikan menjadi stress dan kehilangan nafsu makan (Sugama, 2002; Duborrow, et al., 1977 dalam Yuniasari, 2009).

Nilai FCR terendah didapat pada perlakuan penambahan bakteri heterotrof C yaitu sebesar 0,9324. Rendahnya nilai FCR disebabkan karena bakteri yang ada pada bakteri heterotrof C mampu mendegradasi kandungan bahan organik yang

ada pada media budidaya secara optimal. Sehingga peningkatan kandungan amonia pada media budidaya rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Amonia yang rendah membuat ikan tidak gampang stress dan nafsu makan juga optimal. Kualitas air yang normal dan sesuai dengan kisaran toleransi organisme budidaya selama pemeliharaan tidak membatasi pertumbuhan, konversi pakan, dan kelangsungan hidup organisme budidaya (Widarnani, dkk., 2012)

Menurut Parwanayoni (2008) dalam Iqbal (2011) bakteri heterotrof mengawali tahap degradasi senyawa organik dengan serangkaian reaksi enzimatis. Bakteri heterotrof secara umum memiliki enzim ekstraseluller berupa enzim protease, lipase, dan amilase yang membantu bakteri memecah senyawa organik dalam perairan Salah satu contoh bakteri heterotrof penghasil protease adalah Bacillus subtilis dan Bacillus licheniformis (Suarsini, 2006).

5.2.2 Retensi Protein

Retensi protein merupakan gambaran dari banyaknya protein yang diberikan dapat diserap dan dimanfaatkaan untuk membangun ataupun memperbaiki sel tubuh yang sudah rusak, serta dimanfaatkan tubuh ikan untuk metabolisme sehari-hari (Arifianto dan Liviawaty, 2005). Nilai retensi secara tidak langsung dipengaruhi oleh kualitas air media budidaya. Apabila kualitas air media budidaya buruk, maka dapat mempengaruhi penyerapan protein pada ikan budidaya.

Berdasarkan perhitungan statistik pada tabel 5.2 diketahui bahwa nilai rata-rata retensi protein semua perlakuan berkisar antara 58,0180%-78,4181% dengan kadar protein pakan yang diberikan sebesar 35%. Retensi protein tertinggi terlihat

pada perlakuan penambahan bakteri heterotrof C (Bacillus subtilis dan Bacillus licheniformis dengan total count 2x1012CFU) sebesar 78,4181%, yang berarti ikan

budidaya pada perlakuan penambahan bakteri heterotrof C mampu menyerap atau meretensi protein sebesar 78,4181% dari kadar protein pakan yang diberikan yaitu sebesar 35%. Retensi protein terendah terlihat pada perlakuan tanpa penambahan bakteri heterotrof pada media budidaya sebesar 58,0180%, yang berarti ikan budidaya pada perlakuan tanpa penambahan bakteri heterotrof mampu menyerap atau meretensi protein sebesar 58,0180% dari kadar protein pakan yang diberikan. Tingginya nilai retensi protein pada perlakuan penambahan bakteri heterotrof C karena dipengaruhi oleh kinerja bakteri yang terkandung dalam bakteri heterotrof C yaitu Bacillus subtilis dan Bacillus licheniformis. Kedua bakteri tersebut (Bacillus subtilis dan Bacillus licheniformis) merupakan bakteri non pathogen yang mampu mendegradasi bahan organik pada media budidaya (Iman, dkk., 2002; Ganjar, 2005 dalam Ardilawati, 2013; Linggarjati, 2013). Sehingga kualitas air pada media budidaya kembali optimal. Hal ini terlihat dari kadar amonia pada perlakuan penambahan bakteri heterotrof C lebih rendah bila dibandingkan perlakuan lainnya.

Nilai retensi terendah terlihat pada perlakuan tanpa penambahan bakteri heterotrof. Rendahnya nilai retensi pada perlakuan tanpa penambahan bakteri heterotrof karena kualitas air media budidaya mengalami penurunan yang ditandai dengan peningkatan kandungan amonia yang lebih tinggi bila dibanding dengan perlakuan lainnya. Tanpa adanya penambahan bakteri hetertotrof pada media budidaya menyebabkan proses degradasi bahan organik pada air budidaya tidak

optimal, sehingga terjadi peningkatan kandungan amonia yang lebih tinggi. Amonia pada media budidaya dapat menyebabkan toksik bagi ikan budidaya (Parwanayoni, 2008 dalam Iqbal, 2011). Amonia dapat menyebabkan kematian apabila kadar amonia melebihi 0,8mg/l (Stickney, 2005).

Pemberian pakan dengan kadungan protein tinggi yang didukung dengan kualitas air media budidaya yang memenuhi syarat dapat membantu ikan mengoptimalkan proses penyerapan protein pada pakan, sehingga ikan budidaya dapat memenuhi kebutuhan proteinnya. Banyaknya jumlah protein yang mampu diserap atau dimanfaatkan ikan budidaya berbanding lurus terhadap cepat atau lambatnya pertumbuhan ikan budidaya. Semakin banyak protein yang mampu dimanfaatkan maka semakin cepat pertumbuhan ikan budidaya (Hendrawati, 2011).

5.2.3 Kualitas Air

Menurut Gustav (1998) dalam Rukmana (2003) kualitas air memegang peranan penting terutama dalam kegiatan budidaya. Penurunan kualitas air dapat mengakibatkan kematian, pertumbuhan terhambat, timbulnya hama penyakit dan peningkatan nilai rasio konversi pakan. Kualitas air adalah kelayakan perairan untuk mendukung kehidupan dan pertumbuhan ikan yang ditentukan oleh fisika dan kimia air (Wijanarko, 2002). Kualitas air yang dianggap penting yaitu suhu, oksigen terlarut, dan pH.

Suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Suhu air akan mempengaruhi laju pertumbuhan, laju metabolisme serta nafsu makan ikan (Effendi, 2003). Berdasarkan

pengukuran kualitas air dari awal hingga akhir penelitian terlihat bahwa suhu air terendah terjadi pada pagi hari dan suhu tertinggi terjadi pada sore hari. Suhu selama penelitian berkisar antara 26,6o C hingga 30o C. Hal ini sesuai dengan pendapat Cahyono (2009) bahwa kisaran suhu optimal yang dibutuhkan untuk pemeliharaan ikan lele dumbo yakni antara 200-300C. Dengan demikian fluktuasi suhu pada pemeliharaan ikan lele dumbo masih berada dalam kondisi normal dengan kisaran yang dapat ditolerir oleh ikan lele dumbo. Peningkatan suhu perairan sebesar 10oC pada media budidaya menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen (Effendi, 2003).

Hasil pengukuran pH selama penelitian berkisar antara 7,22-8,26. Suyanto (2003) bependapat bahwa nilai pH yang yang diperlukan oleh ikan lele dumbo selama pemeliharaan berkisar 6,5-8. Dengan demikian nilai pH pada semua perlakuan selama pemeliharaan ikan lele dumbo masih berada pada kisaran normal. pH dibawah 6,5 atau lebih dari 9 dapat menurunkan kemampuan reproduksi dan pertumbuhan ikan (Swingle, 19969 dalam Boyd, 1982)

DO selama pemeliharaan masih berada dibatas normal yang dibutuhkan oleh ikan lele dumbo yaitu berkisar 6,3-8,4 mg/l. Menurut Cahyono (2009) Nilai DO yang ideal untuk pemeliharaan ikan lele dumbo adalah 5 mg/l. Konsentrasi DO dalam berpengaruh terhadap proses metabolisme yang dapat berpengaruh pada laju pertumbuhan dan konversi pakan (Mahyuddin, 2010). Hal ini didukung oleh Kordi dan Tancung (2007) yang menyatakan bahwa penurunan kadar DO akan berpengaruh terhadap pemberian pakan, apabila kadar DO kurang dari 6 mg/l maka nafsu makan ikan akan menurun. Turunnya kadar DO disebabkan

berbagai hal atara lain adanya pembusukan, air tidak mengalir, kenaikan suhu, serta kepadatan ikan terlalu tinggi.

Kadar amonia pada semua perlakuan masih berada batas aman, yakni berkisar antara 0,1168 mg/l-0,1722 mg/l. Menurut Popma and Lovshin (1996) kadar amonia dapat menyebabkan kematian pada ikan apabila mencapai 0,2mg/l. Kadar amonia tertinggi terlihat pada perlakuan tanpa pemberian bakteri heterotrof dan kadar amonia terendah terlihat pada perlakuan pemberian bakteri heterotrof C (Bacillus subtilis dan Bacillus licheniformis dengan total count 2x1012CFU). Hal ini dikarenakan pemberian bakteri heterotrof mampu menurunkan kadar konsentrasi amonia (Wulandari, 2013).

VI KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait