• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Larutan Material Berpendar (Luminesence) Kekentalan dan kelarutan larutan

Larutan material berpendar (luminesence) dengan campuran bahan asetat, glutaraldehida, dan polivinil alkohol (PVOH), dari konsentrasi kitosan-asetat 0; 0,05; dan 0,11 M memiliki nilai ukuran 166,25±0,8 nm hingga 598,13±0,49 nm, sebaran indeks 0,318±0,001 hingga 0,530±0,001, dan viskositas 221,87±3,70 cPs hingga 1178,00±6,40 cPs. Kondisi larutan material berpendar (luminesence) seiring bobot masa terlarut dalam pelarut (Tabel 1).

Tabel 1 Ukuran, sebaran indeks, dan viskositas larutan material berpendar (luminessence)

Material Ukuran (nm) Sebaran indeks Viskositas (cPs)

Kitosan-asetat 0 M 598,13±0,49a 0,318±0,001c 221,87±3,70c Kitosan-asetat 0,05 M 372,62±1,00b 0,530±0,001a 544,00±6,40b Kitosan-asetat 0,11 M 166,25±0,80c 0,368±0,001b 1178,00±6,40a Keterangan: Angka-angka yang diikuti subskrip berbeda (a, b, c) pada kolom yang sama

menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

Analisis ragam menunjukkan bahwa konsentrasi kitosan-asetat memberikan pengaruh terhadap ukuran (Lampiran 1c), sebaran indeks (Lampiran 2c), dan viskositas (Lampiran 3c) larutan material berpendar (luminesence). Uji lanjut Duncan menunjukkan konsentrasi konsentrasi kitosan 0,11 M memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap kitosan 0 dan 0,05 M (Lampiran 1d, 2d, 3d). Perbedaan ini diduga akibat ukuran dan sebaran indeks larutan yang semakin rendah memberikan dampak terhadap kekentalan yang semakin tinggi, sehingga menimbulkan ikatan struktur dari masing-masing bahan penyusun (kitosan-asetat,

11

gluataraldehida, dan PVOH) semakin kuat pada larutan, selain tingkat kemurniannya (derajat deasetilasi (DD) pada kitosan).

Larutan kitosan-asetat 0,11 M menunjukkan hasil dengan tingkat kelarutan yang baik, memiliki ukuran dan sebaran indeks larutan yang rendah serta kekentalan yang tinggi. Hal ini menunjukkan terjadinya ionisasi yang sempurna antara gugus amina, aldehida, dan hidrogen (Kanatt et al. 2012), di sisi lain berdampak pula terhadap kekentalan yang meningkat akibat terbentuknya ikatan struktur imina dari proses ionisasi tersebut (Zhang et al. 2007). Chattopadhyay dan Inamdar (2010) menjelaskan bahwa derajat deasetilasi (DD) menunjukkan jumlah gugus amino bebas dalam rantai molekul kitosan, yang juga menentukan sifat kelarutan polimernya. Konsentrasi glutaraldehida juga menurunkan difusi dan kondensasi uap air dalam larutan, sesuai Mao et al. (2002) bahwa agen hidrofilik membawa suasana higroskopis pada larutan.

Peningkatan nilai kelarutan dapat mempengaruhi sifat pendaran yang dihasilkan, Haidekker et al. (2005) menjelaskan bahwa proses ionisasi yang sempurna dan meningkatkan terbentuknya ikatan imina, secara simultas dapat meningkatkan intensitas emisi pendaran (luminesence) yang dihasilkan. Dragan

et al. (2013) juga menjelaskan bahwa pengaruh struktur dan jumlah molekul pada larutan juga berperan penting dalam menghasilkan fluorophore.

Kenampakan (visual) larutan

Kenampakan secara visual pada cahaya tampak larutan material berpendar (luminesence) dan sinar UV yang disajikan pada Gambar 3. Kenampakan yang dihasilkan di bawah cahaya tampak berwarna kekuningan seiring peningkatan konsentrasi kitosan-asetat (Gambar 3a), sedangkan di bawah sinar UV memberikan warna pendaran yang bersimultan dengan peningkatan konsentrasi kitosan-asetat (Gambar 3b). Perbedaan tersebut diduga akibat jumlah ionisasi yang simultan terhadap pembentukan ikatan gugus fungsi, yang juga berdampak terhadap kenampakan larutan berpendar (luminesence) yang dihasilkan. Menurut Lopez-Mata et al. (2013), warna kekuningan merupakan karakteristik alami dari gugusو β-(1-4)-2 amino-2-deoksi-D-glukopiranosa yang terdapat pada rantai kitosan, serta gradasi warna kekuningan juga dipengaruhi oleh konsentrasi glutraldehida yang digunakan (Leceta et al. 2013).

Gambar 3 Kenampakan (visual) larutan material berpendar (luminesence) pada cahaya tampak (kitosan-asetat 0(3a1), 0,05(3a2), dan 0,11(3a3) M), dan sinar UV (kitosan-asetat 0(3b1), 0,05(3b2), dan 0,11(3c3) M).

3a1 3a2 3a3

12

Warna larutan diduga merupakan salah satu faktor penting dalam serapan cahaya berupa sifat pendar (luminesence), karena dapat mempengaruhi proses absorbansi dan emisi yang dihasilkan. Peningkatan jumlah pelarut dapat meningkatkan emisi pendaran (luminesence) (Haidekker et al. 2005) dan mempengaruhi ikatan struktur dalam menghasilkan sifat pendaran (Dragan et al.

2013). Sifat pendaran diduga terjadi akibat adanya ikatan rangkap tak jenuh antara gugus aldehida dan gugus protein (amina) pada kitosan (Ma et al. 2006), ilustrasi yang disajikan pada Gambar 4a. Di sisi lain, PVOH memiliki struktur polimer sintetis yang dapat mempertahankan ikatan kimia (Stammen et al. 2001), sehingga dapat meningkatkan ketahanan terhadap air (water resistance) dan berperan sebagai agen penghalang udara (DeMerlis dan Schoneker 2003, Sakurada 1985), sehingga dapat bersifat sebagai cover luminesence (Gambar 4b).

Gambar 4 Ilustrasi dugaan sifat pendaran (luminesence) akibat taut-silang gugus aldehida (glutaraldehida) dan gugus protein (kitosan) disadur dari Ma et al. (2005) (4a) dan ilustrasi struktur polimer sintetis PVOH sebagai luminesence coverings disadur dari dos Reis et al (2006) (4b).

Karakteristik Film Material Berpendar (Luminesence) Kenampakan (visual) film

Kenampakan film material berpendar (luminesence) secara makroskopis dan mikroskopis memperlihatkan bahwa transparansi film cenderung menurun

(4b) (4a)

13

seiring peningkatan konsentrasi kitosan-asetat yang digunakan. Film material berpendar (luminesence) yang terbentuk berupa lembaran plastik tipis transparan dengan warna sedikit kekuningan (Gambar 5).

Film material berpendar (luminesence) memperlihatkan warna kekuningan di bawah cahaya tampak seiring peningkatan konsentrasi kitosan-asetat (Gambar 5a), sedangkan di bawah sinar UV memberikan warna pendaran yang bersimultan dengan peningkatan konsentrasi kitosan-asetat (Gambar 5b). Struktur polimer pada bahan penyusun dan suhu pengeringan diduga mempengaruhi proses pembentukan warna pada film material berpendar (luminesence). Warna kekuningan pada film merupakanوkarakteristikوalamiوdariوgugusوβ-(1-4)-2 amino-2-deoksi-D-glukopiranosa pada kitosan (Lopez-Mata et al. (2013). Gradasi warna kekuningan diduga dipengaruhi glutaraldehida yang digunakan (Leceta et al. 2013), sekaligus reaksi maillard selama proses pemanasan memberikan warna kecoklatan (El-Hefian et al. 2009). Reaksi pencoklatan film terstabilkan oleh polivinil alkohol (PVOH) dalam bentuk suspensi ketika dalam bentuk larutan saat terkena suhu melebihi 50°C (Ravichandran dan Kumari 2011). Penggunaan suhu yang lebih tinggi dapat meningkatkan reaksi pencoklatan (Mayachiew dan Devahastin 2008), yang menyebabkan kenampakan film semakin kekuningan.

Gambar 5 Kenampakan (visual) film material berpendar (luminesence) pada cahaya tampak (kitosan-asetat 0(5a1), 0,05(5a2), dan 0,11(5a3) M), dan sinar UV (kitosan-asetat 0(5b1), 0,05(5b2), dan 0,11(5c3) M). Warna film diduga merupakan salah satu faktor penting dalam serapan cahaya berupa sifat pendar (luminesence), karena menunjukkan proses absorbansi dan emisi pada film. Ikatan struktur pada film diduga dapat menghasilkan sifat pendaran (Dragan et al. 2013) dengan adanya ikatan rangkap tak jenuh antara gugus aldehida dan gugus protein (amina) pada kitosan (Ma et al. 2006) yang disajikan pada Gambar 4a. Penambahan polivinil alkohol (PVOH) juga memberikan serapan pada gugus kitosan (dos Reis et al. 2006), sehingga dapat bersifat sebagai cover luminesence. Ilustrasi struktur polimer sintetis PVOH sebagai luminesence coverings pada material film kitosan-glutaraldehidadisajikan pada Gambar 4b.

Pengamatan dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) perbesaran 1000× pada permukaan film material berpendar (luminesence), menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi kitosan-asetat 0,11 M memperlihatkan adanya sebaran granula yang lebih banyak dibanding kitosan-asetat 0,05 dan 0 M. Granula film material berpendar (luminesence) pada pemberian konsentrasi kitosan-asetat 0,11 M ini terdistribusi merata, banyak, dan

(5a1) (5a2) (5a3)

14

seragam. Costa-Junior et al. (2011) melaporkan bahwagranula merupakan bentuk khas dari komposit PVOH dalam membran. Kenampakan film material berpendar (luminesence) lebih detail dengan menggunakan SEM perbesaran 500× (Gambar 6b) hingga 1000× (Gambar 6a) disajikan pada Gambar 6.

Film material berpendar (luminesence) dari pemberian konsentrasi kitosan-asetat 0,11 M memiliki permukaan yang tidak berpori dengan kerapatan yang tinggi (Gambar 6a). Lopez-Mata et al. (2013) menjelaskan bahwa kitosan akan menghasilkan membran dengan permukaan yang tidak berpori dan memiliki kerapatan yang kuat. Proses pengeringan lama menghasilkan permukaan film yang tidak terlalu berpori dan dapat mentransmitansikan cahaya dengan baik (Chen et al. 2010). Pengamatan film secara melintang (cross-section) terlihat menunjukkan peningkatan kerapatan seiring peningkatan konsentrasi kitosan-asetat (Gambar 6b). Menurut Hu et al. (2013), kerapatan dan granula yang terbentuk pada film sangat efektif dalam menghasilkan pendaran (Hu et al. 2013).

Gambar 6 Struktur mikroskopi film material berpendar (luminesence), kenampakan pada bagian permukaan (kitosan-asetat 0 (6a1), 0,05 (6a2), dan 0,11 (6a3) M), serta secara melintang (kitosan-asetat 0 (6b1), 0,05 (6b2), dan 0,11 (6b3) M).

Ketebalan, kuat tarik, kemuluran, elastisitas (modulus Young) film

Ketebalan, kekuatan tarik dan pertambahan panjang film material berpendar (luminesence) bersinergi terhadap interaksi antara molekul-molekul yang membentuk jaringan pada film. Modulus Young merupakan parameter yang menggambarkan derajat kekakuan dan tingkat kekerasan atau ketahanan pada deformasi elastis pada film (Rotta et al. 2011). Film material berpendar (luminesence) dengan bahan kitosan-asetat, glutaraldehida, dan PVOH memiliki karakteristik ketebalan, kuat tarik, kemuluran, dan elastisitas (modulus Young) yang cenderung meningkat. Peningkatan nilai terjadi secara simultan terhadap konsentrasi kitosan-asetat 0,11 M, yaitu ketebalan 180,30±6,89 µm, kuat tarik 137,33±19,66 N, kemuluran 116,10±22,71%, dan elastisitas (modulus Young) 7,60±0,20 (Tabel 2).

6a1 6a2 6a3

15

Tabel 2 Ketebalan, kuat tarik, kemuluran, dan elastisitas (modulus Young) film material berpendar (luminesence)

Material Ketebalan Kuat tarik Kemuluran Modulus Young

(µm) (N) (%) (104 N/m2)

Kitosan-asetat 0 M 124,6±0,35a 33,67±3,51a 158,87±6,91c 1,32±0,11a Kitosan-asetat 0,05 M 156,6±0,85b 54,00±2,65a 74,82±2,19a 4,50±0,10b Kitosan-asetat 0,11 M 180,30±0,89c 137,33±19,66b 116,10±22,71b 7,60±0,20c Keterangan: Angka-angka yang diikuti subskrip berbeda (a, b, c) pada kolom yang sama

menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Ketebalan

Ketebalan film material berpendar (luminesence) dengan bahan asetat, glutaraldehida, dan polivinil alkohol (PVOH), dari konsentrasi kitosan-asetat yang diberikan memiliki nilai berkisar antara 124,6±0,35 cPs hingga 180,3±0,89 cPs, dengan nilai tertinggi pada kitosan-asetat 0,11 M. Peningkatan nilai ketebalan film material berpendar (luminesence) seiring bobot masa terlarut dalam fase liquid (larutan) (Tabel 2). Analisis ragam menunjukkan bahwa konsentrasi kitosan-asetat memberikan pengaruh terhadap ketebalan material berpendar (luminesence) (Lampiran 4c). Uji lanjut Duncan menunjukkan konsentrasi kitosan-asetat 0,11 M memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap kitosan-asetat 0 dan 0,05 M (Lampiran 4d). Perbedaan ini diduga akibat perbedaan jumlah partikel yang juga mempengaruhi pembentukan ikatan struktur polimer pada film.

Menurut El-Hefian et al. (2011), partikel kitosan terlarut berpotensi lebih tinggi menghasilkan ikatan struktur lebih padat, dengan retakan dan sebaran partikel permukaan film yang merata. Peningkatan jumlah molekul terlarut meningkatkan interaksi antarmolekul penyusunnya. Struktur taut silang (cross- linking) yang terbentuk akibat ikatan molekul glutaraldehida dan kitosan berkontribusi terhadap ketebalan material film (Kumar et al. 2010) serta meningkatkan jumlah ikatan hidrogen antara gugus hidroksil dari kitosan dan glutaraldehida yang berbanding lurus dengan pengaruh struktur tautan silang (cross-linking). Bonilla et al. (2014) juga menambahkan bahwa peningkatan ketebalan seiring konsentrasi kitosan-asetat disebabkan oleh lapisan hidrasi yang semakin lebar pada rantai kitosan. Massa glutaraldehida dan PVOH pada setiap konentrasi kitosan-asetat adalah sama, sehingga perbedaan ketebalan hanya disumbang dari perbedaan konsentrasi kitosan-asetat.

Jumlah molekul pendaran (luminesence) yang terlarut berbanding lurus dengan ketebalan film dan distribusi homogenitas komposit yang dihasilkan (Huang et al. 2007). Griffini et al. (2015) melaporkan ketebalan film memiliki pengaruh terhadap respon pendaran (luminesence) yang dapat menghasilkan peningkatan pergerakan elektron (electroluminesence) dengan nilai ketebalan film 40µm hingga 200µm (Huanga et al. 2014), sehingga peningkatan nilai ketebalan film dapat meningkatkan sifat pendaran (luminesence) yang dihasilkan.

Kuat tarik dan kemuluran

Kekuatan tarik dan pertambahan panjang film bersinergi terhadap interaksi antara molekul-molekul yang membentuk jaringan pada film. Modulus Young merupakan parameter yang menggambarkan derajat kekakuan dan tingkat kekerasan atau ketahanan pada deformasi elastis pada film (Rotta et al. 2011). Peningkatan nilai kuat tarik film simultan terhadap konsentrasi kitosan-asetat

16

dengan nilai berkisar 33,67±3,51 N hingga 137,33±19,66 N (Tabel 2). Analisis ragam menunjukkan bahwa konsentrasi kitosan-asetat memberikan pengaruh terhadap kuat tarik material berpendar (luminesence) (Lampiran 5c). Uji lanjut Duncan menunjukkan konsentrasi konsentrasi kitosan-asetat 0,11 M memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap kitosan-asetat 0 M dan 0,05 M, namun konsentrasi kitosan 0,05 M memiliki hasil yang tidak berbeda nyata dengan kitosan-asetat 0 M (Lampiran 5d). Ketidaknyataan perbedaan tersebut diduga karena kekuatan ikatan struktur yang terbentuk akibat taut-silang meningkat seiring pertambahan kitosan-asetat, sehingga menghasilkan ikatan struktur yang padat. Menurut Kim et al. (2008), kekuatan tarik film lebih di dominasi oleh pengaruh konsentrasi kitosanyang terionisasi dalam pembentukan ikatan polimer.

Perpanjangan putus (kemuluran) merupakan gambaran persentase pertambahan panjang maksimal model film hingga terdeformasi. Peningkatan nilai kemuluran film simultan terhadap konsentrasi kitosan-asetat dengan nilai berkisar 74,82±2,19% hingga 158,87±6,91% (Tabel 2). Analisis ragam menunjukkan bahwa konsentrasi kitosan-asetat memberikan pengaruh terhadap kemuluran material berpendar (luminesence) (Lampiran 6c). Uji lanjut Duncan menunjukkan konsentrasi kitosan-asetat 0,11 M memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap kitosan-asetat0 dan 0,05 M (Lampiran 6d). Perbedaan nilai kuat tarik dan kemuluran ini diduga akibat terbentuknya ikatan hidrogen yang kuat dari interaksi kitosan, glutaraldehida dan PVOH. Adanya gugus CH2 dan OHُ pada PVOH dan ikatan rangkap tak jenuh C=N dari kitosan-asetat dan glutaraldehida (gugus imina) akan membentuk ikatan hidrogen pada gugus hidrokarbon (Gambar 4b). Menurut Zhou et al. (1990) dan Stammen et al. (2001), ikatan hidrogen yang kuat akan meningkatkan nilai kuat tarik dan kemuluran pada film kitosan. Gugus OH pada glutaraldehida menjembatani polimerisasi pada struktur ikatan antara kitosan dan PVOH, sehingga dapat memperlambat pemutusan ikatan hidrogen keduanya (Mao et al. 2002). Interaksi gugus OH, NH2, dan C=O dalam film juga berkorelasi positif dengan karakteristik mekanik film yang dihasilkan (Bahrami

et al. 2003).

Elastisitas (modulus Young)

Elastisitas dilakukan untuk mengetahui tingkat fleksibelitas film (Stammen et al. 2001; El Hefian et al. 2012). Kitosan membentuk struktur polimer semi-amorf berbentuk film sehingga elastisitas merupakan adaptasi struktur rigid/kristal. Elastisitas merupakan batas elastis terhadap daya maksimal yang diberikan pada luasan film, dan kemudian kembali ke posisi normal (setimbang). Peningkatan elastisitas film simultan terhadap konsentrasi kitosan-asetatdengan nilai berkisar 1,32±0,11 hingga 7,60±0,20 (104 N/m2) (Tabel 2).

Analisis ragam menunjukkan bahwa konsentrasi kitosan memberikan pengaruh terhadap elastisitas material berpendar (luminesence) (Lampiran 7c). Uji lanjut Duncan menunjukkan konsentrasi kitosan-asetat0,11 M memberikan hasil yang berbeda nyata dengan kitosan-asetat0 dan 0,05 M (Lampiran 7d). Deformasi polimer yang diperlihatkan oleh film kitosan-asetat (0 M) termasuk dalam kategori elastis-plastis 1,32±0,11 20 (104 N/m2), sedangkan film kitosan-asetat 0,05 dan 0,11 M memiliki pola elastis-rapuh, yang mengindikasikan bahwa lapisan tersebut dapat kembali posisi normal setelah diberikan gaya tarikan dengan nilai 4,50±0,10dan 7,60±0,20 (104 N/m2). Sifat plastis film akan semakin

17

mengalami kemuluran tetapi tidak dapat kembali ke bentuk semula setelah mencapai puncak kuat tarik (Amimori et al. 2003).

Ikatan struktur pendaran (luminesence) yang tinggi, akan meningkatkan nilai elastisitas pada film. Huang et al. (2007) menjelaskan bahwa konsentrasi molekul pendaran (luminesence) akan memberikan struktur ikatan yang lebih kuat, serta memiliki pengaruh terhadap respon pendaran (luminesence) (Griffini et al. 2015). Pengaruh struktur pada kitosan, glutaraldehida, dan PVOH juga berperan penting dalam pembentukan elastisitas (Dragan et al. 2013), pembentukan ikatan rangkap tak jenuh antara gugus aldehida dan gugus protein (amina) pada kitosan (Ma et al. 2006) dan penguatan ikatan intermolekul OH dari PVOH memberikan kekuatan struktur pada film, sehingga menghasilkan sifat film yang elastis-rapuh.

Spektrum transmitansi gugus fungsi film

Analisis FTIR pada bahan-bahan yang digunakan, meliputi struktur gugus fungsi dari kitosan-asetat, glutaraldehida, dan PVOH, serta hasil taut-silang (cross-linking) antara kitosan dan glutaraldehida (Lampiran 8) dan film material berpendar (luminesence) disajikan pada Gambar 7.

Kitosan-asetat menunjukkan serapan pada 3350 cm-1 dengan nilai transmitansi 1,4% yang menunjukkan gugus amina sekunder (N-H stretching

simetri) berintensitas medium, serta pada 1580 cm-1 dengan nilai transmitansi 12,3% yang menunjukkan gugus amina (N-H bending) berintensitas strong.

Gugus amina merupakan salah satu ion utama pada kitosan; sebagai zwitterion

gugus alkohol dan hidrokarbon (Begum et al. 2011). Glutaraldehidamenunjukkan serapan pada 1720 cm-1 dengan nilai tranmitansi 60,1% yang menunjukkan gugus aldehida (C=O stretching asimetri) berintensitas medium, serta pada 1389 cm-1 dengan nilai tranmitansi 23,3% yang menunjukkan gugus aldehida (C-H bending) berintensitas strong. Ikatan taut-silang (cross-linking) kitosan-asetat dan glutaraldehida terjadi akibat ikatan gugus amina dan aldehida (Gambar 4a) membentuk gugus imina (C=N stretching asimetri) pada 1641 cm-1 dengan nilai tranmitansi 9,2%. PVOH menunjukkan serapan gugus vinil (C=O stretching

asimetri) pada 1771cm-1 (T 60,6%). Secara spesifik, pita lebar tersebut berkaitan dengan rentangan -OH dari ikatan hidrogen baik antar atau inter molekul (Parida et al. 2011).

Karakteristik spektrum gugus fungsi dilakukan juga pada film material berpendar (luminesence) kitosan-aetat 0; 0,05; dan 0,11 M yang disajikan pada Gambar 7e. Hasil analisis gugus fungsi pada Lampiran 9 menunjukkan perbedaan serapan bilangan gelombang dan tranmitansi pada seiring pertambahan konsentrasi kitosan-asetat. Gugus fungsi yang diamati meliputi alkohol, aldehid, vinil, dan imina terhadap nilai transmitasnsi dan stretching atau bending pita serapan. Gugus imina (C=N stretching asimetri) terbentuk pada material dengan pemberian kitosan 0,05 dan 0,11 M pada 1690-1640 cm-1 (OchemOnline 2013). Terjadi pergeseran nilai serapan gugus imin seiring penambahan konsentrasi, yakni pada 1661 cm-1 (kitosan-asetat 0,05 M) ke 1666 cm-1 (kitosan-asetat 0,11 M) yang akan mempengaruhi nilai tranmitansi yang dihasilkan. Kitosan-asetat 0,05 dan 0,11 M berturut-turut memiliki nilai transmitansi gugus imina 3% dan 2%, sehingga serapan gugus imina meningkat seiring pertamabahan konstrasi

18

kitosan-asetat. Menurut Ma et al. (2005), peningkatan molekul gugus imina akan memberikan peningkatan intensitas pendaran yang dihasilkan.

Gambar 7 Spektrum transmitansi kitosan-asetat (7a), glutaraldehida (7b),

) taut-silang kitosan-glutaraldehida(7c), PVOH (7d), filmmaterial berpendar (luminesence) (7e) meliputi kitosan 0M ( ), kitosan 0,05M ( ) dan kitosan 0,11M ( ).

Pengaruh gugus vinil (C=O stretching asimetri) dari PVOH memberikan pergeseran bilangan gelombang 1771 cm-1 ke 1780 cm-1 dengan nilai transmitansi

(7a) ) (7b) (7c) (7d) PVO H (7e) Bilangan gelombang (cm-1)

19

kitosan-asetat 0 M 36,2% cm-1; 0,05 M 61,7%; dan 0,11 M 80,8%. Pergerakan bilangan gelombang yang rendah (energi rendah) menunjukkan inter atau intra molekuler ikatan hidrogen pada PVOH yang dilemahkan (Yoon et al. 2011). Interaksi PVOH yang kuat dengan molekul glutaraldehida-kitosan dapat secara efektif memperkuat ikatan taut silang sebagai luminesence coverings dan meningkatkan efisiensi pendaran (luminesence) yang dihasilkan (Gambar 4b).

Karakteristik Spektrum Pendaran (Luminesence) Spektrum absorbansi pendaran (luminesence)

Analisis spektrum absorbansi menggunakan spektrometer ultraviolet visible (UV-Vis) dilakukan untuk mengamati pola spektrum warna pada cahaya pendaran (panjang gelombang 200-800 nm). Material berpendar (luminesence) menunjukkan puncak serapan absorbansi pada panjang gelombang 300-340 (larutan) dan 400-440 nm (film) (Gambar 8). Hasil pengukuran spektrum absorbansi menunjukkan adanya serapan cahaya akibat transisi ionik dari cahaya yang ditembakkan dalam struktur material berpendar. Bruno dan Svoronos (2005) menjelaskan sifat panjang gelombang 280-450 nm menunjukkan korelasi terhadap cahaya berwarna ungu (violet), sehingga material berpendar (luminesence) ini memiliki serapan terhadap sinar berwarna ungu.

Gambar 8 Spektrum absorbansi pendaran (luminesence) dalam bentuk larutan (8a) dan film (8b) meliputi kitosan 0, 0,05, dan 0,11 M.

Material berpendar (luminesence) dalam bentuk larutan maupun film memiliki perbedaan serapan yang spesifik. Huang et al. (2007) menjelaskan jumlah molekul terlarut berbanding lurus terhadap daya absorbansi yang

(8a)

20

dihasilkan. Nilai absorbansi pada konsentrasi kitosan-asetat mengalami peningkatam yang simultan yang diakibatkan serapan cahaya oleh ikatan struktur pada gugus imina (C=N). Fernandes et al. (2009) dalam penelitiannya mengenai kertas berpendar (lumminesence) menjelaskan bahwa analisis spektrum absorbansi yang dilakukan pada material kertas tanpa atau dilapisi kitosan memberikan perbedaan absorbansi cahaya, namun memiliki serapan panjang gelombang yang sama, yakni 350-450 nm. Akibat struktur ikatan yang dimilikinya, Wu et al. (2005) menjelaskan sistem polimer memiliki peningkatan serapan cahaya pada panjang gelombang 350 nm hingga 450 nm. Kitosan merupakan kopolimer 2-glukosamin dan N-asetil-2-glukosamin (Domard dan Rinaudo 1982) dan PVOH merupakan agen plastisizer yang tersusun dari polimer sintetis (Sakurada 1985), sehingga sifat polimer tersebut juga yang menyebabkan serapan cahaya pada panjang gelombang yang hampir sama.

Spektrum emisi pendaran (luminesence)

Analisis spektrum pendaran (luminesence) menggunakan spektrometer fluoresen (FL) dilakukan untuk mengamati pola spektrum emisi pada panjang gelombang 200-800 nm yang disajikan pada Gambar 9. Setelah pengukuran eksitasi pada panjang gelombang 390-420 nm (7,69×1014 - 7,14×1014 Hz) menggunakan laser violet diode (Halkyard et al. 1998), diketahui intensitas emisi cahaya yang dihasilkan pada material berpendar (luminesence) pada panjang gelombang 500-510 nm (Gambar 9).

Gambar 9 Spektrum emisi pendaran (luminesence) dalam bentuk larutan (9a) dan film (9b) kitosan 0, 0,05, dan 0,11 M.

Fenomena pendaran yang terjadi pada material kitosan tersebut juga disebabkan oleh adanya dimers dengan elektron eksitasi dengan susunan interaksi

spktrum emisi spektrum emisi (9a) (9b) eksitasi eksitasi

21

antara molekul gugus imina (Pucci et al. 2005). Bruno dan Svoronos (2005) menjelaskan korelasi panjang gelombang emisi terhadap sifat warna pendaran yang meliputi warna ungu pada 280-450 nm, biru 450-495, hijau 495-570 nm, kuning 570-590 nm, orange 590-620 nm, dan merah 620-750. Hasil puncak emisi menunjukkan adanya peningkatan intensitas pada panjang gelombang 450-550 yang berkolerasi terhadap sifat pendaran warna biru-hijau. Perhitungan frekuensi terhadap panjang gelombang yang dihasilkan menghasilkan nilai 6,66×1014 Hz hingga 5,45×1014 Hz.

Hasil analisis spektro FL menunjukkan puncak spektrum emisi tertinggi pada kitosan-asetat 0,11 M dengan nilai intensitas 23.448 (a.u.) dalam material larutan (Gambar 9a) dan 2.665 (a.u.) dalam material film (Gambar 9b). Peningkatan intensitas pendaran tersebut diduga akibat meningkatnya jumlah ikatan gugus fungsi imina (Gambar 4a) terhadap hasil taut-silang antara kitosan-asetat dan glutaraldehida, serta ikatan OH yang membentuk coverings luminesence (Gambar 4b) dari PVOH. Menurut Cao et al. (2007), reaksi pendaran dalam bentuk larutan mengalami pasivasi akibat perangkap energi oleh gugus OH yang menstabilkan emisi (cahaya pendaran) dari pada bentuk padatan (film). Hal tersebut terjadi akibat proses pengeringan yang menyebabkan hilangan gugus OH, sehingga PVOH sebagai coverings luminesence berbentuk film lebih rendah.

Dokumen terkait