• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 METODE PENELITIAN

5.2. Pembahasan

Menurut hasil penelitian ini, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2014 yang mempunyai kebiasaan merokok adalah sebanyak 24 orang atau 27,9%. Hasil penelitian ini juga mendekati dengan hasil survey WHO (2006) yang dilakukan oleh Indonesia Global Health Professional Survey (GHPS) yaitu 21,1%, survey tersebut dilakukan di salah satu Fakultas Kedokteran di Jawa.

Apabila distribusi responden dinilai berdasarkan periode merokok, mayoritas responden sudah merokok selama 3 tahun yaitu sebanyak 8 responden(33,3%) dengan rata-rata periode merokok keseluruhan responden adalah 3,54 tahun. Hal ini mengungkapkan bahwa sebagian besar responden memulai kebiasaan merokok pada saat menduduki bangku SMA. Hasil ini sesuai dengan survey yang dilakukan RISKESDAS (2010) tentang umur mulai merokok terbanyak adalah 15-19 tahun yaitu 33,1%. Periode merokok terkecil responden adalah 1 tahun yaitu sebanyak 2 orang atau 8,3%, angka tersebut menyatakan bahwa responden tersebut mulai merokok pada saat masuk kuliah. Periode merokok terlama yang tercatat pada penelitian ini adalah 7 tahun yaitu satu responden (4,2%). Kebiasaan merokok selain disebabkan faktor-faktor dari dalam diri, juga disebabkan dari faktor lingkungan. Remaja mulai merokok dikatakan oleh Erickson (Komasari & Helmi, 2000) berkaitan dengan adanya krisis aspek psikososial yang dialami pada masa perkembangannya yaitu masa ketika mereka sedang mencari jati dirinya, perilaku merokok bagi remaja merupakan perilaku simbolisasidari kematangan, kekuatan, kepemimpinan, dan daya tarik terhadap lawan jenis.

Berdasarkan jumlah batang rokok yang dihisap setiap harinya, sebanyak 9 responden (37,5%) mengkonsumsi 20 batang rokok per hari yang merupakan frekuensi terbanyak. Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Prihatin (2012) di FIP UNY yang menyatakan mahasiswa sebagian besar mengkonsumsi 11-20 batang rokok setiap hari. Akantetapi hasil penelitian ini berbeda denganhasil penelitian yang dilakukan Nurlailah (2010) di Universitas Islam Negeri yang menyatakan 60,8% responden penelitian tersebut mengkonsumsi 1-10 batang rokok setiap harinya. Perbedaan ini terjadi kemungkinan karena lokasi, jumlah sampeldan karateristik responden yang berbeda dengan penelitian yang saya lakukan. Konsumsi batang rokok pada responden penelitian ini setelah keseluruhannya di rata-rata, menunjukkan responden mengkonsumsi paling tidak 16 batang setiap hari.Hal ini menyatakan bahwa responden harus membeli 1 bungkus rokok ukuran sedang setiap hari.Walaupun demikian didapati 10

responden yang mengkonsumsi rokok setiap harinya lebih dari 16 batang yang berarti bahwa responden harus membeli lebih dari 1 bungkus rokok setiap harinya.

Dalam penelitian ini, daripada 24 responden yang diteliti, 23 responden atau 95,8% merupakan perokok ringan, hanya 1 responden (4,2%) yang diklasifikasikan sebagai perokok sedang dan tidak ada responden yang diklasifikasikan sebagai perokok berat. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Mayasari (2009) yang dilakukan terhadap perokok remaja Kota Medan di tahun 2007 dan mendapatkan hasil bahwa 89,43% perokok remaja di kategorikan perokok ringan. Kedua penelitian ini menggunakan klasifikasi perokok yang sama yaitu indeks brinkman. Perhitungan klasifikasi perokokindeks brinkman didapat dengan cara melihatperkalian antara lama periode merokok dan jumlah batang rokok yang dikonsumsi setiap harinya, dikatakan ringan jika hasilnya <200, sedang 200-600 dan berat jika >600.

Jika dilihat dari jenis rokok yang dikonsumsi oleh responden, sebagian besar responden mengkonsumsi rokok dengan kadar nikotin sedang (1 hingga 1,2 mg) yaitu sebanyak 17 responden (70,8%) dan kadar nikotin rendah (0,9 mg atau kurang) sebanyak 6 responden (25%). Hanya ada 1 responden (4,2%) yang mengkonsumsi rokok dengan kadar nikotin tinggi. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Mayasari (2009) yang menyatakan jenis rokok yang dihisap sebagian besar remaja adalah rokok putih atau rokok dengan kadar nikotin sedang (70,73%). Semakin tinggi kadar nikotin berarti semakin mudah membuat seseorang kecanduan karena nikotin memegang peranan penting dalam ketagihan nikotin (Sitepoe, 2000).

Berdasarkan hasil skor fagerstorm didapati tingkat ketergantungan nikotin responden. Lebih dari setengah responden baru memiliki tingkat ketergantungan rendah yaitu sebanyak 15 responden (62,5%), 8 responden (33,3%) memiliki tingkat ketergantungan sedang dan sudah ada 1 responden (4,2%) yang sudah memiliki tingkat ketergantungan tinggi terhadap nikotin. Hal ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Sultan (2014) yang menyatakan bahwa ketergantungan nikotin pada perokok remaja masih berada di tingkat ketergantungan rendah (60%).Menurut Rosita (2012) nikotin mampu menimbulkan perasaan menyenangkan yang membuat perokok ketagihan ingin merokok lebih banyak dan akan menambah jumlah batang rokok yang dihisap per harinya. Bisa dikatakan bahwa perokok yang awalnya baru coba-coba nantinya akan menjadi perokok berat yang semakin sulit untuk meninggalkan rokok. Sehingga semakin ketergantungan seseorang maka semakin sulit orang tersebut untuk berhenti.

Gambaran faal paru seluruh responden yang tampak dari hasil pemeriksaan spirometri masih dalam batas normal. Nilai KVP yang didapati yaitu sebagian besar responden sebanyak 19 responden (79,2%)mendapatnilai 80 - 90, 4 responden (16,7%) berada di nilai 90 - 100 dan 1 responden mendapat nilai > 100 (4,2%).Nilai KVP tersebut menyatakan bahwa seluruh responden tidak mempunyai kelainan restriksi. Sedangkan untuk nilai VEP1, sebanyak 10 responden (41,7%) mendapatnilai 80 - 90, 10 responden (41,7%) berada di nilai 90 - 100 dan 4 responden (16,7%) mendapat nilai > 100. Untuk menilai apakah ada kelainan obstruksi maka dapat di lakukan perhitungan VEP1/KVP. Hasil VEP1/KVP yang didapati yaitu 4 responden (16,7%) mendapatnilai 80 - 90, 19 responden (79,2%) berada di nilai 90 - 100, dan 1 responden (4,2%) mendapat nilai > 100. Hasil pemeriksaan ini menyatakan bahwa pada seluruh responden belum ada kelainan paru khususnya kelainan restriksi ataupun obstruksi. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Prokhorov (1996) tentang respon pernapasan terhadap kebiasaan merokok di kalangan perokok remaja yang menyatakan belum adanya kelainan yang tampak pada faal paru, akantetapi jika dibandingkan dengan nilai faal paru bukan perokok, nilai prediksi normal faal paru perokok mengalami penurunan walaupun masih di atas nilai normal. Pada buku Berhenti Merokok yang diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia menyatakan bahwa hampir 60% partikel yang terhisap dari asap

utama (mainstream smoke) terdeposit pada paru yang mengakibatkan terjadinya perubahan struktur dan fungsi parenkim paru.

Hal ini dapat terjadi dikarenakan berkaitan dengan usia seluruh responden yang masih muda dimana seluruh sistem pertahanan tubuh dan sistem imun masih dalam keadaan yang optimal.

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait