• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengelolaan Hutan Rakyat

Pembuatan hutan rakyat di Kecamatan Ulu Pungkut ini telah melewati sejarah yang cukup panjang dimulai dari tahun 1970-an dan berlangsung sampai dengan sekarang. Penanaman di lahan kritis yang merupakan cikal bakal hutan rakyat yang ada sekarang ini pertama kali dirintis oleh para orang tua terdahulu yang punya kesepakatan untuk menanami lahan dari warisan leluhur mereka secara turun temurun. Juga hutan rakyat yang ditanami nanti dapat meningkatkan produktifitas lahan dengan berbagai hasil tanaman hutan rakyat.

Gambar 1. Hutan Rakyat di Kecamatan Ulu Pungkut.

Pengelolaan hutan rakyat yang ada di Kecamatan Ulu Pungkut ini tidak mengenal sistem silvikultur yang intensif. Pada umumnya masyarakat ataupun petani hutan rakyat ini mengelola hutannya secara sederhana, tidak menggunakan sistem teknologi, tapi sudah turun temurun dari cara leluhur yang dahulu. Namun dengan melihat kegiatan-kegiatan dalam pengelolaan yang mereka lakukan,

sistem silvikultur pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Ulu Pungkut ini dikategorikan dalam sistem tebang pilih dengan permudaan alam (TPPA). Sistem silvikultur tebang pilih dengan permudaan alam dilakukan pada areal hutan rakyat campuran dan wanatani. Sejumlah pohon tertentu yang dianggap sudah cukup umur ditebang dan sebagai pohon penggantinya adalah anakan yang tumbuh alami. Dimana petani hutan rakyat akan menebang bila tanaman benar-benar telah siap tebang dengan beberapa kriteria (tebang pilih) yaitu batangnya telah cukup untuk membuat tiang rumah atau diperkirakan berdiameter sekitar 30 cm dan petani menebang jika benar-benar membutuhkan. Setelah menebang, petani tidak menanami areal bekas tebangan, cukup mengandalkan permudaan alam yang memang jumlahnya cukup berlimpah, sehingga tidak membuat bibit tanaman buatan.

Kegiatan pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Ulu Pungkut dimulai dengan kegiatan persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran.

1. Persiapan lahan

Sebelum penanaman dilakukan, pemilik lahan terlebih dahulu melakukan persiapan lahan di lokasi penanaman diantaranya pembuatan larikan, kemudian pembuatan piringan tanaman dengan diameter 1 meter. Setelah itu dilakukan pembuatan lubang tanaman, lalu dibiarkan selama 1-2 minggu dengan tujuan supaya tanahnya gembur, selain itu ada sebagian masyarakat khususnya pemilik hutan rakyat yang tidak melakukan kegiatan tersebut melainkan langsung melakukan kegiatan penanaman. Untuk kegiatan persiapan lahan ini, masing-masing pemilik lahan mengeluarkan rata-rata Rp. 200.000,- per penanaman.

2. Penanaman

Penanaman merupakan faktor penting dalam pembuatan hutan rakyat. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain memilih jenis tanaman yang dapat menghasilkan kayu produktif, kesesuaian agroklimat, pemintaan pasar serta bersifat menguntungkan. Beberapa jenis tanaman yang dipilih dalam pengelolaan hutan rakyat ini yakni kemiri dan jati. Namun, dalam pengelolaan hutan rakyat ini juga dilakukan pengkombinasian dengan tanaman pertanian dan perkebunan sebagai tanaman penyela. Jenis tanaman penyela ini antara lain; kulit manis, karet, langsat, nangka , rambutan, manggis, kueni, durian, pinang dan coklat.

Penanaman dilakukan ke dalam lubang-lubang yang telah dibuat dengan jarak tanam yang bervariasi sesuai dengan jenis dan peruntukan tanaman. Jenis tanaman yang dijumpai adalah jenis jati, yang pada umunya menggunakan jarak tanam 5 x 5 meter. Teknik penanaman jati dapat dilaksanakan dengan cara bumbung. Dimana pada waktu menanam hendaknya bumbung dilepas/disobek supaya tidak mengganggu pertumbuhan selanjutnya.

3. Pemeliharaan

Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi : a. Penyiangan, pendangiran, dan pemangkasan.

Kegiatan penyiangan, pendangiran dan pemangkasan dilakukan para pemilik lahan secara perseorangan pada lahan mereka masing-masing. Pada kegiatan penyiangan dan pendangiran ini, para pemilik lahan mengeluarkan biaya sekitar Rp. 150.000,- untuk membeli peralatan dan herbisida.

b.Pemberantasan hama penyakit

Kegiatan pemberantasan hama dilakukan pada saat tanaman tersebut mengalami serangan hama atau penyakit. Pemberantasan ini dilakukan oleh pemilik lahan dengan cara tersendiri dan menurut pengelola lahan lebih praktis agar pertumbuhan tanaman dapat tumbuh dengan baik. Cara mengatasi hama dan penyakit adalah dengan melakukan penyemprotan pestisida pada bagian batang tanaman yang mengalami sakit untuk mengatasi terjadinya kerusakan pada tanaman tersebut. Hal ini dilakukan agar mutu dan kualitas serta harga jual kayu tersebut tidak berkurang. Karena semakin baik kualitas kayu maka semakin tinggi nilai jualnya.

4. Pemanenan

Para pemilik maupun sekaligus pengelola hutan rakyat akan memanen atau menjual kayu tersebut di lahan miliknya masing-masing disaat mereka memang benar-benar membutuhkannya (untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak). Salah satu kebutuhan yang mendesak itu adalah keperluan sehari-hari dan untuk biaya pendidikan/sekolah anak-anaknya.

Sistem penebangan dilakukan dengan sistem tebang pilih. Biasanya petani menjual kayu langsung kepada pembeli (pengusaha) dalam keadaan pohon berdiri dan diborongkan. Pemanenan kayu gelondongan ini biasanya dilakukan oleh pembeli, karena mereka telah mempunyai modal dan peralatan yang lebih memadai seperti gergaji mesin (chain saw) dan sarana pengangkutan. Untuk biaya penebangan sampai pengangkutan ini ditanggung oleh pembeli atau pemborong. Sementara pembeli kayu menerima hasil bersih penjualan tanpa mengeluarkan biaya.

5. Pemasaran

a. Tanaman Kehutanan

Pemasaran kayu dilakukan oleh petani biasanya dalam bentuk pohon berdiri dan bukan dalam volume kayu yang rebah. Kayu yang dijual oleh masyarakat/pemilik hutan rakyat di dua desa di kecamatan Ulu Pungkut, biasanya melalui agen kayu yang datang dan berminat membeli kayu kepada si pemilik kayu. Kemudian agen kayu akan memperkirakan berapa kira–kira kubikasi kayu yang dapat dihasilkan dari kayu tersebut, biasanya agen kayu hanya melakukan taksiran saja atas kayu yang akan dibeli ataupun diborongkan. Pembeli kayu atau agen kayu akan membeli kayu tersebut dalam keadaan pohon berdiri lalu dihitung jumlahnya dan dikalikan dengan harga per pohonnya sesuai dengan kesepakatan antara pembeli dan pemilik. Kemudian transaksipun dilakukan antara pembeli kayu dengan pemilik kayu. Cara penjualan seperti ini banyak dilakukan petani hutan rakyat karena keuntungannya dianggap mudah dan praktis, sehingga tidak menyusahkan petani dalam menghitung kubikasi, volume ataupun diameter kayu tersebut. Setelah adanya kesepakatan antara agen dan pemilik kayu, maka pemanenan pun segera dilaksanakan. Petani hutan rakyat hanya tinggal terima bersih, yang berarti si pembeli yang mengurus semua kegiatan operasional dan mengeluarkan biaya yang diperlukan.

Pengusaha kayu rakyat menjual kayu dari hasil hutan rakyat ke panglong (usaha dagang kayu) maupun industri pengolahan kayu skala kecil dan menengah, seperti dalam industri kayu gergajian, industri meubel lokal, dan lain-lain.

Kayu dari hutan rakyat diolah untuk berbagai kegunaan seperti bahan pertukangan, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.

Harga kayu yang dijual oleh pengusaha kayu rakyat di pabrik/industri pengolahan kayu adalah Rp 850.000 per meter kubik. Industri kayu gergajian misalnya, akan mengolah kayu itu menjadi menjadi kayu–kayu gergajian, kemudian kayu-kayu gergajian ini akan dibeli oleh industri–industri meubel lokal sebagai bahan baku.

Tata niaga hasil hutan rakyat di dua desa Kecamatan Ulu Pungkut dapat digambarkan melalui ilustrasi Gambar 2 dan 3.

Gambar 2. Tata niaga hasil hutan rakyat di Desa Hutarimbaru

Gambar 3. Tata niaga hasil hutan rakyat di Desa Tolang Hasil Hutan Rakyat/Petani Pedagang Pengumpul Panglong Penggergajian Industri Meubel Lokal Penggergajian Hasil hutan rakyat Pungusaha kayu Panglong Industri penggergajian Industri meubel lokal

b. Tanaman Pertanian

1) Kulit Manis (Cinnamomum javanicum)

Gambar 4. Tanaman Kulit Manis di Lahan Hutan rakyat

Kulit manis yang dijual merupakan kulit manis yang sudah dikeringkan. Pengeringan dilakukan dengan menjemur di halaman rumah. Kulit manis kering dijual petani ke pedagang pengumpul di desa. Kulit manis kering biasa dijual petani dengan harga Rp 4.500 per kg, dan biasanya petani mengemasnya dalam bentuk ikatan. Untuk lebih jelas jalur pemasaran kulit manis disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Tata niaga kulit manis Petani kulit manis Pedagang pengumpul di desa Pedagang pengumpul di kecamatan Pedagang pengumpul tingkat kabupaten

2) Kemiri (Aleurites moluccana)

Gambar 6. Tanaman Kemiri di Lahan Hutan rakyat

Sistem pemasaran kemiri oleh petani sama dengan kulit manis. Petani menjual kemiri kepada pedagang pengumpul (penadah). Sebagian petani ada yang menjual kemiri tersebut dengan ampasnya tanpa di buka dan biasanya dengan harga Rp 2.500 /kg dan ada juga sebagian petani yang menjual kemiri setelah di keringkan dengan membuka ampasnya dengan harga harga Rp.8000 /kg. Untuk lebih jelas jalur pemasaran kulit manis disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Tata niaga kulit manis

Petani Kemiri Pedagang

pengumpul di desa

Pedagang pengumpul tingkat Kecamatan

Pedagang pengumpul tingkat kabupaten

3) Durian (Durio zhibetinus)

Gambar 8. Tanaman Durian di Lahan Hutan rakyat

Tata niaga Pemasaran durian tidak terlalu rumit, durian yang telah jatuh kemudian dikumpulkan oleh petani pada pondok-pondok kecil di lahan tersebut. Hasil yang terkumpul kemudian dijual pada pedagang pengumpul atau ada juga yang dibeli langsung oleh konsumen. Durian dijual dengan harga Rp. 2.500,- sampai Rp. 7.000,- per buah. Pembeli secara langsung menyediakan alat angkut untuk membawa durian. Durian selain dijual juga dikonsumsi oleh masyarakat sendiri. Jalur pemasaran buah durian disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Tata niaga buah durian

Petani durian Pedagang

pungumpul

Konsumen

Konsumsi rumah tangga

4) Coklat (Theobrema cacao)

Coklat yang dijual merupakan coklat yang sudah dikeringkan. Pengeringan dilakukan dengan menjemur di halaman rumah. Harga coklat yang dijual ke pasar sekitar Rp 20.000/kg. Pemasaran coklat kering ada dua bagian, pertama petani yang langsung menjual ke pasar sedangkan yang kedua dijual kepada pedagang pengumpul yang membeli coklat kepada petani. Pada pemasaran coklat, jika rantai pemasaran diperpendek harga jual coklat hanya naik Rp 1000/kg.

Hasil wawancara dengan responden (pemilik atau pengelola lahan), volume maksimal dari tanaman coklat yang diperoleh petani setiap kali panen adalah 30 sampai 50 kg. Sehingga ketika petani yang memasarkan sendiri, hasilnya juga tidak terlalu jauh perbedaannya dengan menjual kepada pedagang pengumpul. Resiko yang dimiliki petani cukup besar karena menjual sendiri, hal ini dikarenakan keterbatasan waktu untuk bahan mentah dan secara kuantitas juga hasilnya tidak begitu besar, sehingga kebanyakan petani memutuskan untuk menjual pada pedagang pengumpul. Untuk mengetahui tata niaga coklat selengkapnya disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Tata niaga coklat Petani coklat Penjual tingkat kabupaten Pengumpul di desa Pengumpul di kecamatan

5) Manggis (Garcinia mangostana)

Pemasaran manggis tidak terlalu rumit, pada setiap panen biasanya penadah (pengumpul) membeli manggis langsung ke petani dengan sistem borongan, dan harganya tergantung dari jumlah manggis per pohon. Kemudian penadah yang nantinya menjual langsung ke pasar. Harga manggis yang dibeli penadah biasanya berkisar Rp 300/buah. Tata niaga manggis dapat kita lihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Tata niaga manggis 6) Pinang (Areca catechu)

Pemasaran pinang memiliki jalur yang sama dengan coklat dan pisang, Harga pinang ditingkat pengumpul lebih rendah dibandingkan bila pinang dijual sendiri ke pasar. Jika dijual pada pedagang harganya Rp 3.000/kg. Sementara di pasar harganya mencapai Rp 5.000/kg.

a. Tanaman Perkebunan Karet

Hasil dari komoditas karet yang dijual berupa getah yang sudah padat atau menggumpal. Harga getah karet di pasar mencapai Rp 8.500/kg. Pemasaran karet sama dengan pemasaran coklat, pertama petani yang langsung menjual ke pasar.

Pengangkutan karet dikenakan biaya dengan harga berkisar rata-rata Rp 1.500/ember. Sedangkan yang kedua dijual kepada pedagang pengumpul yang

membeli getah karet kepada petani. Harga jual di pasaran adalah Rp 9.000/kg. Petani

manggis

Pedagang pengumpul

Karakteristik Hutan Rakyat Pola hutan rakyat

Berdasarkan Kepemilikan jenis lahan, usahatani yang dilakukan oleh petani hutan rakyat secara fisik memiliki pola tanam yang sangat beragam. Hutan rakyat pada umumnya menggunakan pola tanam campuran (wanatani), yaitu campuran tanaman pangan dengan tanaman kayu-kayuan. Pola tanam campuran merupakan hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohon yang ditanam secara campuran, dimana pola pengelolaannya berdasarkan inisiatif/pola pikir masyarakat selaku pemilik lahan tanpa ada bantuan dari pemerintah (Pola Swadaya).

Pola subsidi tidak ditemukan di lokasi penelitian. Pola ini dilakukan pada saat melakukan program penghijauan dari pemerintah dijalankan. Pola subsidi ini pengelolaannya mengupayakan bantuan dari pemerintah berupa bibit dan pupuk akan tetapi dikelola di tanah milik masyarakat.

Pola penggunaan lahan

Pola penggunaan lahan pada hutan rakyat di Dua Desa kecamatan Ulu Pungkut ini dilakukan dengan penanaman tanaman kehutanan (berkayu) dengan tanaman pertanian (Agroforestri) dilakukan secara intensif dan tidak intensif. Pola penggunaan lahan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa bentuk pengelolaan lahan ada yang intensif dan ada juga yang tidak intensif. Persentase pengelolaan lahan yang intensif berkisar 66,67 % sedangkan yang tidak intensif 33,33 %.

Tabel 1. Pola penggunaan lahan di Desa Hutarimbaru dan Desa Tolang, Kecamatan Ulu Pungkut

No Pola penggunaan lahan Jumlah Keterangan

1 Intensif 6 Adanya kegiatan yang memerlukan

banyak perlakuan pada tanaman seperti pemeliharaan intensif mulai dari persiapan lahan, pemupukan, pendangiran/penyiangan dan sampai dengan pemanenan hasil.

2 Tidak Intensif 3 Tidak adanya kegiatan pemeliharaan

yang intensif karena tanaman yang ditanam merupakan tanaman tahunan/tanaman keras, yang tidak memerlukan banyak perlakuan, sebagian besar tanaman tersebut jarang terserang penyakit/hama, akan tetapi pemeliharaannya hanya diutamakan pada saat penanaman sampai tanaman berumur 6 bulan. Setelah itu dibiarkan saja.

Pola penggunaan lahan intensif dipengaruhi dengan adanya rutinitas kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan lahan dan juga dengan tanaman pertanian yang bersifat musiman atau adanya pemeliharaan. Hal ini bertujuan agar mendapatkan keuntungan yang maksimal dari pemungutan hasil tanaman pertanian tersebut. Hutan rakyat lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dari pemilik lahan tersebut.

Potensi Tegakan Hutan Rakyat

Taksiran potensi tegakan hutan rakyat pada setiap lahan milik responden disajikan pada Tabel 2 .

.

Gambar 12. Kegiatan inventarisasi yang dilakukan di hutan rakyat Kecamatan Ulu Pungkut

Tabel 2. Taksiran potensi tegakan tanaman hutan rakyat pada setiap lahan responden

No. Nama

Luas

lahan Volume setiap kelas diameter (m

3 ) Volume total (ha) 10-20 cm 21-30 cm 31-40 cm > 40 cm (m3) 1 Ali Rahman 0.8 1.73 2.36 4.71 6.47 15.27 2 Ali Baktar Lubis 1.5 2.22 0.59 1 6.66 10.47 3 Muhammad Yusuf 0.8 2.06 2.18 5.24 1.51 10.99 4 Abd Rahman 0.8 1.42 2.85 7.62 2.19 14.08 5 Abd Khoir 1 1.19 3.01 3.89 - 8.09 6 Ali Atas 1.5 0.8 5.1 12.17 - 18.07 7 Arisman 1 1.02 4.55 6.48 0.69 12.74 8 Zubeir 1 0.91 3.95 11.25 - 16.11 9 Baharuddin 1.5 1.63 2.74 5.17 0.87 10.41 Total 9.9 12.98 27.33 57.53 18.39 116.23 Rata-rata volume/ha 11.74

Berdasarkan Tabel 2 diperoleh potensi tegakan tanaman hutan rakyat di Desa Hutarimbaru dan Desa Tolang, Kecamatan Ulu Pungkut adalah 116 m3 dengan luas lahan 9,9 ha. Dengan potensi volume per ha adalah 11,74 m³. Total luas lahan hutan rakyat di dua desa ini dapat dikatakan kecil, demikian juga luas lahan masing-masing responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luasan tersebut saja yang ada di lokasi penelitian. Hasil wawancara yang dilakukan

kepada pemilik lahan hal yang menjadi penyebabnya adalah sebagian besar masyarakat pemilik hutan rakyat di desa ini sudah memanen kayunya.

Manfaat Ekonomis yang Diperoleh dari Hutan Rakyat

Hutan rakyat mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Banyak manfaat yang telah mereka rasakan atas keberadaan hutan adat ini, baik itu manfaat tangible ataupun intangible. Manfaat intangible adalah manfaat hutan yang tidak berwujud tetapi hanya dapat dirasakan oleh masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat diketahui bahwa manfaat

intangible yang dirasakan oleh masyarakat di Desa Hutarimbaru dan Desa Tolang,

Kecamatan Ulu Pungkut ini adalah hutan rakyat sebagai penahan erosi atau banjir, tempat menyimpan air dan hutan rakyat sebagai kawasan perladangan.

Manfaat tangible adalah manfaat hutan berupa hasil hutan yang dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat diketahui bahwa manfaat tangible yang dirasakan oleh masyarakat dari hutan rakyat adalah sebagai sebagai sumber bahan makanan dan tanaman obat.

Menurut Jaffar (1993) tujuan pembangunan hutan rakyat adalah :

1. Meningkatkan produktivitas lahan kritis atau areal yang tidak produktif secara optimal dan lestari.

2. Membantu penganekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat. 3. Membantu masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan dan bahan baku

4. Meningkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya.

5. Memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang berada di kawasan perlindungan daerah hulu DAS.

Wawancara yang dilakukan dengan masyarakat di dua desa tersebut, diketahui bahwa fungsi hidrologis dari hutan dapat merupakan salah satu fungsi yang paling utama yang dirasakan oleh masyarakat di Desa Hutarimbaru dan Desa Tolang, Kecamatan Ulu Pungkut tersebut. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar dari masyarakat desa bermata pencariaan sebagai petani. Mereka membutuhkan sumber air untuk kebutuahan hidup mereka, baik itu untuk minum, untuk mencuci, mandi, bahkan banyak lagi yang dirasakan masyarakat sangat penting. Di samping itu dengan adanya hutan rakyat, lahan persawahan mereka selalu memberikan hasil yang optimal. Panen padi di daerah ini 2 kali dalam satu tahun.

Penambahan pendapatan masyarakat

Hasil wawancara dan observasi yang dilakukan di Desa Hutarimbaru dan Desa Tolang, Kecamatan Ulu Pungkut terhadap 9 KK yang memiliki hutan rakyat (petani hutan rakyat), menunjukkan bahwa kontribusi penambahan pendapatan petani dari hutan rakyat (hasil hutan kayu dan non kayu) pada tahun 2009 adalah sebesar Rp 32.635.000 atau berkisar 15.70 % dari seluruh sumber-sumber pendapatan petani. Untuk pertanian adalah sebesar Rp 41.029.000 atau berkisar 19, 74% dan untuk perkebunan Rp 128.776.000 (61,96%).

Gambar 14. Kegiatan wawancara dengan masyarakat pemilik hutan rakyat

Hutan rakyat dapat memberikan manfaat ganda dan dampak yang cukup besar dalam menambah pendapatan petani baik itu berupa kayu maupun non kayunya. Kontribusi yang diberikan hutan rakyat di desa ini disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan rumah tangga petani tahun 2009 – 2010

HutanRakyat Pertanian Perkebunan Gaji Jumlah (Rp/th) (Rp/th) (Rp/th) (Rp/th) (Rp/th)

32.635.000 41.029.000 128.776.000 5.400.000 207.840.000 (15,70%) (19,74%) (61,96%) (2,59%) (100%)

Kontribusi hutan rakyat berdasarkan Tabel 3 diatas terhadap pendapatan petani sebesar 15,70%. Kontribusi terbesar adalah yang diberikan oleh sektor perkebunan kepada pendapatan petani yaitu sekitar 61,96%, sedangkan dari sektor pertanian sebagai kontributor kedua paling besar yaitu sebesar 19,74%, sedangkan dari gaji ada sekitar 2,59%. Hal ini jelas menunjukkkan bahwa petani yang ada di Dua desa Kecamatan Ulu Pungkut ini belum sepenuhnya

menggantungkan kehidupannya pada sektor kehutanan dalam hal ini hutan rakyat. Sektor kehutanan (hutan rakyat ) ini belum dijadikan sebagai sumber pendapatan utama oleh petani pemilik hutan rakyat. Dari Tabel 3 juga menunjukkan bahwa hutan rakyat memiliki peringkat ke-3 setelah sektor pertanian. Faktor yang menyebabkan sehingga mereka lebih memilih sektor pertanian dan perkebunan sebagai prioritas, tetapi hutan rakyat belum sepenuhnya menjadi proritas, penyebabnya adalah :

a. Pengusahaan kayu yang sangat lama

Tanaman kehutanan misalnya baru dapat dipanen ataupun ditebang apabila umurnya sudah mencapai 15-20 tahun. Oleh sebab itu petani lebih cenderung untuk mengusahakan jenis tanaman yang tidak membutuhkan waktu lama untuk menghasilkan seperti: coklat, langsat, padi, pisang, rambutan dan sebagainya. Karena tanaman Agroforestry ini memiliki masa panen lebih dari dua kali dalam setahun.

Tanaman padi misalnya, biasanya dapat menghasilkan 2 kali dalam setahun, jagung 2-3 kali dalam setahun, dan sebagainya. Dengan demikian, selama dalam jangka waktu 15-20 tahun ini secara ekonomis sektor pertanian dapat menjadi sumbangsih yang terbesar.

b. Luas Lahan yang Semakin Sedikit.

Hutan rakyat yang dilakukan oleh masing-masing petani tidak dapat menjamin hasil yang optimum serta memuaskan, karena sistem penjualan tegakan sering dilakukan secara borongan dan penebangannya dilakukan secara tebang habis. Hal ini disebabkan oleh kondisi ekonomi petani yang sangat minim sehingga sering petani menjual tegakan hutan rakyat yang belum masak tebang,

sehingga yang terjadi adalah luas hutan rakyat semakin berkurang dan akhirnya kontribusi yang diberikan hutan rakyat pun semakin menurun.

Dilakukannya sistem tebang habis juga dapat menimbulkan dampak berupa terbukanya lahan yang rawan terhadap banjir, longsor, dan ditambah lagi di lapangan banyak dijumpai lahan hutan rakyat berada pada lokasi yang mempunyai topografi curam. Sehingga yang menjadi ancaman bagi keberadaan hutan rakyat di masa mendatang adalah adanya kecenderungan petani untuk tidak menanam lahannya kembali ataupun adanya replanting(melakukan penanaman kembali) dengan jenis kayu lainnya.

c. Akses terhadap pasar lemah

Petani hutan rakyat biasanya menjual hasil kayunya dalam bentuk pohon berdiri dengan sistem borongan. Pengusaha yang berminat membeli mendatangi lokasi hutan rakyat, kemudian melakukan inventarisasi untuk menentukan volume kayu. Sistem penjualan seperti ini banyak dilakukan oleh petani karena dianggap lebih praktis. Harga borongan ditentukan dengan memperhatikan beberapa faktor diantaranya adalah volume/kubikasi, kualitas kayu, aksesibilitas, topografi, dan sebagainya yang sangat menentukan biaya penebangan. Petani hutan rakyat sangat sulit dalam menentukan harga kayunya dan biasanya pengusaha ataupun agen kayulah yang menentukan harga pasarnya, sehingga terkadang bisa saja agen kayu tersebut membuat harga sesukanya, tanpa melihat harga kayu yang setara dengan harga pasar lokal atau luar daerah.

Petani akan mendapat nilai ekonomi yang lebih besar jika mampu mengolah sendiri kayu tersebut karena produksi kayu dari hutan rakyat cukup besar. Meskipun hal ini perlu ditunjang oleh beberapa hal seperti kelembagaan petani,

modal, dan keterampilan yang memadai yang pada dasarnya hal tersebut masih bisa diusahakan jika ada kemauan dari semua pihak. Selain itu, petani hutan

Dokumen terkait