• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 Bab V Moisture loss

5.4 Hasil

5.4.5 Pembahasan

Moisture

Moisture merupakan indikator dari ketahanan atau keawetan produk. Gandum atau

tepung terigu dengan kandungan air yang tinggi (lebih dari 14,5%) mudah untuk ditumbuhi jamur, bakteri, dan serangga yang menyebabkan kerusakan selama penyimpanan. Gandum dan tepung terigu dengan kadar air yang rendah cenderung stabil pada proses penyimpanan (Shelton dan Gary, 2008).

Moisture merupakan salah satu indikator tingkat keuntungan perusahaan penggilingan

gandum. Umumnya perusahaan membeli gandum dengan moisture serendah mungkin. Semakin rendah moisture gandum maka jumlah air yang dapat ditambahkan semakin banyak. Semakin banyak air yang ditambahkan maka berat tepung yang dihasilkan juga

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Mo is tu re Lo ss (% ) Sampel

Grafik Moisture Loss Tepung Segitiga Biru di Milling group IV (MNO)

34

akan meningkat (Shelton dan Gary, 2008). Hal tersebut dapat meningkatkan keuntungan perusahaan, karena tidak perlu membayar biaya untuk memindahkan “air”. Jumlah air yang dapat ditambahkan pada gandum untuk mencapai moisture content maksimal disebut dengan shrink factor (Sadaka, 2016).

SNI 3751:2009 mengharuskan produk tepung terigu mengandung moisture maksimal 14,5%. PT. ISM. Bogasari Flour Mills menetapkan standar moisture pada produk tepung terigu yang dihasilkan adalah maksimal 14,3%. Selama proses penggilingan gandum menjadi tepung terigu akan terjadi penurunan moisture. Umumnya perusahaan penggilingan gandum akan mengatur moisture gandum sekitar 16% sebelum masuk ke proses penggilingan (first breaking) (Campbell, 2007). Hal tersebut dimaksudkan untuk mengoptimalkan yield tepung gandum. Namun, nilai moisture tersebut sangat bergantung pada masing-masing karakteristik penggilingan gandum. Perbedaan karakteristik pada tiap penggilingan gandum berdampak jumlah moisture loss.

Moisture Loss pada Proses Penggilingan di Milling Group IV (MNO)

Milling group IV atau biasa disebut Mill MNO merupakan milling terbaru yang

dibangun pada 1996. Mill ini dibangun dengan tujuan utuk memproduksi tepung berprotein sedang atau tinggi. Kapasitas penggilingan maksimal mill ini adalah 3000 ton per hari.

Proses pemindahan gandum pada mill ini dilakukan dengan menggunakan conveyor dan sistem pneumatic. Sistem pneumatic merupakan sistem yang memanfaatkan udara bertekanan sebagai agen pemindah suatu bahan, dalam hal ini gandum (Dutt, 2013). Udara yang digunakan diambil dari udara yang ada di lingkungan sehingga suhu dan kelembaban udara tersebut juga sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Salah satu kekurangan dari milling group IV (MNO) adalah tidak terdapat pengatur suhu dan kelembaban udara di dalam lingkungan penggilingan gandum. Mog (1991) menjelaskan bahwa masalah itu juga sering ditemui di unit-unit penggilingan gandum. Padahal keberadaan pengatur udara dapat sangat berperan khususnya dalam mengatur moisture

35

rendah maka moisture loss juga tinggi dan begitu pula sebaliknya. Namun bila ada pengontrol maka moisture loss dapat dikendalikan.

Proses penggilingan di milling group IV (MNO) umumnya mirip dengan mill lainnya. Namun, pada mill ini proses penambahan air (tempering) dilakukan dalam dua tahap. Tempering merupakan proses penambahan air pada gandum. Tahap penambahan air yang pertama (first dampening) dilakukan setelah gandum melewati fase first cleaning.

First tempering bertujuan untuk mengatur kandungan air (moisture) pada gandum.

Jumlah air yang ditambahkan pada tahap ini sebanyak 70% dari total kebutuhan total. Setelah itu, gandum didiamkan selama periode waktu tertentu untuk memastikan air terserap sempurna dan terdistribusi merata pada gandum (first conditioning). Kemudian, gandum kembali ditambahkan dengan air sebanyak 30 persen (second tempering). Penambahan air yang kedua bertujuan untuk membasahi gandum sebelum digiling. Gandum basah memiliki bran yang liat sehingga ketika digiling dapat terpisah secara sempurna dan tidak mudah hancur dan mengontaminasi tepung yang dihasilkan. Untuk memastikan penyerapan air secara sempurna, setelah ditambahkan air gandum kembali didiamkan (conditioning) selama beberapa waktu. Lamanya waktu conditioning bergantung pada masing-masing jenis gandum.

Umumnya soft wheat ditambahkan air hingga mencapai kandungan air 13,5-15,0% dan membutuhkan conditioning time sekitar 6-10 jam. Sedangkan hard wheat ditambahkan air hingga 15,5%-16,0% dengan conditioning time selama 12-18 jam. Selama proses

conditioning dapat digunakan pemanasan untuk mempercepat penetrasi air. Namun,

suhu yang digunakan harus dibawah 50oC untuk mencegah kerusakan komponen fungsional tepung seperti gluten (Posner, 2016).

Conditioning time dipengaruhi oleh kekerasan atau “Hardness” dari gandum tersebut.

“Hardness” mengacu pada tingkat kemudahan endosperm untuk dihancurkan menjadi tepung, yangmana dipengaruhi oleh gaya adhesi antara pati dan protein. Semakin tinggi kandungan protein pada gandum maka memerlukan waktu conditioning yang lebih lama. Hal tersebut disebabkan semakin banyak protein akan meningkatkan adesi antara

36

protein dan pati sehingga akan menurunkan gaya kapilaritasnya dan begitu juga sebaliknya dengan gandum berkadar protein rendah (Hourston et al., 2016).

Conditioning yang tidak tepat dapat menyebabkan hasil yang tidak optimal atau bahkan

kerusakan pada gandum. Jika conditioning dilakukan dalam waktu yang terlalu cepat maka sangat dimungkinkan distribusi air terjadi secara tidak merata (hanya terdapat pada kulit) (Hourston et al., 2016). Hal tersebut menyebabkan saat kulit dipisahkan, maka sebagian besar air yang masih terdapat pada kulit menjadi hilang dan hanya sedikit air yang terdapat pada tepung (endosperm) dan menyebabkan moisture loss yang tinggi. Apabila conditioning dilakukan dalam waktu yang terlalu lama, maka akan terjadi penurunan laju ekstraksi atau yang biasa disebut conditioning intolerance (Hook., et al, 1982). Hal tersebut dapat disebabkan karena terjadi tepung yang terlalu basah sehingga menyebabkan penyumbatan pada pengayak.

Setelah dilakukan conditioning, gandum kemudian masuk ke tahap penggilingan atau

milling. Proses milling merupakan proses yang menyebabkan kehilangan moisture

terbesar dalam proses penggilingan gandum. Proses milling dibagi menjadi 3 tahap, yaitu breaking, purifikasi, dan reducing. Milling group IV (MNO) merupakan milling yang khusus dirancang untuk menggiling tepung berprotein sedang atau tinggi dengan tingkat kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan tepung berprotein rendah. Umumnya tepung berprotein sedang memiliki ukuran granulasi yang lebih kecil dibandingkan dengan tepung berprotein rendah. Oleh sebab itu, tepung berprotein rendah mungkin saja mengalami penggilingan berlebih (over milled) yang berdampak pada karakteristiknya. Ukuran partikel tepung berprotein rendah yang digiling di Milling

group IV (MNO) menjadi lebih kecil sehingga dapat menghasilkan pengembangan yang

lebih baik. Namun di sisi lain, penggilingan berlebih dapat berpotensi menyebabkan

moisture loss yang lebih tinggi. Selain itu penggunaan purifier yang memanfaatkan

sistem aspirasi pada proses purifikasi juga menjadi penyumbang moisture loss dalam jumlah besar pada tepung.

37

Moisture Loss pada Tepung Lencana Merah dan Segitiga Biru di Milling Group IV (MNO)

Pada penelitian ini dilakukan pengukuran moisture loss pada tepung Lencana Merah dan Segitiga Biru pada Milling Group IV (MNO). Moisture loss pada tepung Lencana Merah dan Segitiga Biru didapat dari hasil pengurangan moisture gandum sebelum digiling dengan tepung yang dihasilkan. Gandum yang akan diukur moisture nya diambil dari pipa menuju first breaking. First breaking merupakan bagian penggilingan pertama. Gandum yang dialirkan menuju daerah ini sudah melewati cleaning dan sudah dilakukan conditioning. Pengukuran moisture gandum, diawali dengan proses penghancuran gandum menggunakan grinder. Penghancuran dimaksudkan untuk memperkecil ukuran sehingga dapat meningkatkan luas permukaan gandum yangmana dapat mengoptimalkan hasil pengukuran moisture gandum. Selanjutnya sampel diukur

moisture-nya menggunakan moisture balance “Mettler Toledo”. Alat ini akan

memanaskan sampel menggunakan halogen. Moisture gandum yang terukur merupakan berat yang hilang setelah gandum dipanaskan.

Pengukuran Moisture pada tepung juga dilakukan menggunakan moisture balance “Mettler Toledo”. Sampel gandum yang akan diukur diambil dari rebolt shifter yang merupakan bagian akhir dari penggilingan sebelum tepung dipindahkan untuk disimpan di flour silo. Moisture pada gandum kemudian dikurangkan dengan moisture tepung sehingga didapatkan nilai moisture loss.

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa rata-rata loss moisture pada tepung Lencana Merah adalah 2,47% ± 0,36 sedangkan pada tepung Segitiga Biru adalah 2,36% ± 0,32. Setelah dilakukan pengujian statistik didapati bahwa tidak terdapat beda signifikan pada kedua jenis tepung tersebut. Namun meski begitu dapat dilihat bahwa rata-rata moisture

loss pada tepung Lencana Merah lebih tinggi dibandingkan Segitiga Biru.

Gandum berdasarkan tingkat kekerasan (hardness) dibagi menjadi soft, medium, dan

hard. Kekerasan gandum dipengaruhi oleh ikatan antara protein dan pati yang terdapat

pada endosperm gandum. Semakin kuat ikatan tersebut menyebabkan gandum memiliki kekerasan yang semakin tinggi, sehingga semakin susah untuk ditembus air (Hourston

38

et al., 2016). Banyaknya air yang dapat diserap gandum dipengaruhi struktur penyusun

gandum tersebut misalnya rongga yang terdapat antara ikatan protein-pati serta kemampuan protein menyerap air.

Gandum memiliki dua jenis protein, yaitu gluten (terdapat pada endosperm) dan aglutenic (terdapat pada lapisan aleuron) (Danuta, et al., 2014). Gluten dibedakan menjadi dua yaitu gliadin (bersifat hidrofilik) dan glutenin (bersifat hidrofobik) (Wieser, 2007). Sementara aglutenic dibedakan menjadi globulin dan albumin yangmana kedua jenis protein tersebut bersifat hidrofobik (Danuta, et al., 2014). Semakin banyak jumlah protein hidrofil menandakan semakin banyak gugus OH sehingga menyebabkan semakin banyak air yang dapat diikat. Oleh sebab itu, perbedaan komposisi protein penyusun gandum dapat menimbulkan perbedaan air yang terikat.

Tidak ada beda signifikan pada moisture loss kedua jenis tepung menunjukan bahwa tidak ada perbedaan kekuatan ikatan antara air dan protein pada kedua jenis tepung, meskipun kedua jenis tepung tersusun oleh jenis protein yang berbeda. Meskipun terdapat kemungkinan adanya perbedaan protein penyusun hard, medium, dan soft, namun dalam penelitian ini tidak dapat diamati karena variabel tersebut dikontrol melalui proses pencampuran (gristing) dan conditioning.

Tepung Lencana Merah tergolong ke dalam tepung berprotein rendah sedangkan Segitiga Biru ke dalam tepung berprotein sedang. Spesifikasi tepung Lencana Merah antara lain: protein maksimal 11%; moisture maksimal 14,0; ash maksimal 0,64%;

water absorption maksimal 59%, wet gluten maksimal 25,5% (Bogasari, 2018).

Sedangkan spesifikasi tepung Segitgia Biru antara lain: protein 11-12,5%; moisture maksimal 14,3; ash maksimal 0,64%; water absorption minimal 58%, wet gluten minimal 26,5% (Bogasari, 2018).

Tepung Lencana Merah terbuat dari campuran (gristing) gandum lunak atau soft wheat dengan komposisi tertentu, antara lain: Argentine Wheat, Australian Standard Wheat (ASW), dan SWW. Gandum lunak merupakan gandum yang mengandung protein dalam jumlah yang rendah. Sedangkan tepung Segitiga Biru terbuat dari campuran

39

(gristing) gandum lunak atau soft wheat dan medium wheat dengan komposisi tertentu, antara lain: Canada Western Red Spring (CWRS), Hard Red Winter (HRW), dan

Australian Premium Wheat (APW). Keberadaan hard wheat dalam campuran (grist)

tepung Segitiga Biru membuat kandungan proteinnya berada di atas tepung Lencana Merah. Campuran (gristing) pada kedua jenis gandum menyebabkan kedua jenis gandum memiliki moisture loss yang sama (tidak terdapat perbedaan nyata)

Perbedaan kandungan protein pada tepung Lencana Merah dan Segitiga Biru memerlukan waktu conditioning yang berbeda. Semakin tinggi kandungan protein maka gaya adesi antara protein dan pati pada gandum semakin kuat sehingga semakin susah ditembus oleh air (Hourston, et al., 2016). Hal tersebut menyebabkan tepung dengan protein tinggi membutuhkan conditioning time yang jauh lebih lama dibandingkan dengan tepung yang mengandung protein rendah. Conditioning time bervariasi antara 6-24 jam (Miskelly dan Dai, 2017). PT. ISM Tbk. Bogasai Flour Mills menerapkan

conditioning time untuk hard wheat adalah 24-30 jam, sedangkan untuk medium wheat

adalah 16-24 jam, dan 8-16 jam untuk soft wheat.

Tidak didapatinya beda signifikan moisture loss pada penggilingan antara tepung Lencana Merah dan Segitiga Biru mengindikasikan bahwa conditioning pada masing-masing jenis tepung dilakukan dengan tepat. Oleh sebab itu, moisture sudah tersebar merata sehingga ketika dilakukan penggilingan air yang hilang (moisture loss) cenderung sama. Apabila dilakukan dalam waktu yang kurang maka moisture akan cenderung mengumpul pada bran sehingga menyebabkan moisture loss yang besar saat

40

6 Kesimpulan dan Saran

Dokumen terkait