• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan marka yang efektif dan efisien dalam mengevaluasi kejadian penyerbukan silang alami sangat penting dalam studi penyerbukan silang alami pada tanaman cabai. Karakter-karakter pada fase hipokotil dan kotiledon sangat potensial untuk dijadikan marka tersebut. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa karakter warna hipokotil dan warna kotiledon dikendalikan oleh satu gen, sedangkan karakter panjang hipokotil, diameter hipokotil, panjang kotiledon dan lebar kotiledon dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini menjadikan warna hipokotil lebih stabil dan tidak banyak dipengaruhi lingkungan dibandingkan karakter lainnya. Syukur et al. (2012) menyatakan bahwa karakter-karakter kualitatif seperti warna bunga lebih stabil dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Oleh karena itu, karakter warna hipokotil dan warna kotiledon menjadi kandidat utama sebagai marka dalam mengevaluasi kejadian penyerbukan silang alami pada penelitian ini.

Hasil analisis mendel menunjukkan bahwa gen pengendali warna ungu bersifat dominan terhadap gen pengendali warna hijau pada hipokotil cabai. Hal ini berbeda pada kotiledon cabai, dimana warna ungu yang bersifat resesif terhadap warna hijau (Tabel 2). Wang dan Bossland (2006) melaporkan bahwa gen pengendali warna ungu bersifat dominan pada karakter bunga dan buah muda tanaman cabai, sedangkan Jones et al. (2003) melaporkan bahwa gen pengendali warna ungu juga bersifat dominan pada buah tomat.

Genotipe-genotipe cabai yang diuji tingkat penyerbukan silang alami memiliki hipokotil dan kotiledon yang berwarna hijau, sedangkan genotipe yang dijadikan sebagai pendonor polen memiliki hipokotil dan kotiledon berwarna ungu. Berdasarkan hal tersebut maka warna ungu pada hipokotil yang bersifat dominan dipilih untuk digunakan sebagai marka dalam mengevaluasi kejadian penyerbukan silang alami pada tanaman cabai, sehingga kejadian penyerbukan silang alami ditandai dengan hipokotil yang berwarna ungu, sedangkan jika tidak terjadi penyerbukan silang alami hipokotil tetap berwarna hijau.

Penyerbukan silang alami pada penelitian ini menghasilkan pola yang acak, tidak teratur, dan merata pada berbagai radius tanam yang digunakan. Kim et al. (2009) juga melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan penyerbukan silang alami antar radius tanam 0.5 m sampai 20 m. Hal ini mengindikasikan bahwa penyerbukan silang alami pada tanaman cabai tidak dibantu oleh angin. Penyerbukan silang alami yang dibantu oleh angin umumnya akan menghasilkan pola penyerbukan yang teratur sesuai arah angin dan menghasilkan persentase penyerbukan silang tertinggi pada radius penanaman terdekat. Berdasarkan hal ini, lebah diduga yang menjadi agen penyerbuk utama pada penyerbukan silang alami tanaman cabai. Raw (2000) dan Cruz et al. (2005) menyatakan bahwa lebah merupakan salah satu agen penyerbuk utama pada penyerbukan silang alami pada cabai. Hal ini juga didukung oleh informasi bahwa polen merupakan salah satu sumber asupan penting yang dibutuhkan oleh lebah. Robertson et al. (1999) melaporkan bahwa polen merupakan salah satu sumber protein utama untuk lebah.

Genotipe cabai IPB C2 memiliki persentase penyerbukan silang alami yang tertinggi dibandingkan genotipe cabai IPB C120 dan IPB C5 (Gambar 9). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat dua faktor yang menyebabkan

lebih tingginya tingkat penyerbukan silang alami pada genotipe cabai IPB C2 dibandingkan genotipe cabai lainnya. Kedua faktor tersebut adalah tipe posisi stigma dan kemampuan crossability. Genotipe cabai IPB C2 memiliki posisi stigma tipe 3, yaitu posisi stigma yang berada lebih tinggi daripada anther. Penyerbukan silang alami lebih mudah terjadi pada tanaman-tanaman yang memiliki bunga dengan stigma yang berada lebih tinggi dibandingkan anther. Hal ini dikarenakan tidak adanya halangan mekanis (stigma tidak tertutup anther) saat polinator alami akan melakukan polinasi. Berbeda dengan tanaman yang memiliki bunga dengan posisi stigma lebih rendah daripada anther seperti genotipe cabai IPB C5, dimana polinator alami mengalami kesulitan melakukan polinasi akibat stigma yang tertutupi oleh anther. Beberapa penelitian juga telah melaporkan bahwa bahwa penyerbukan silang alami lebih mudah terjadi pada tanaman cabai (Campodonico, 1983), Datura stramonium (Moten and Antonovics, 1992), dan padi (Widyastuti, et al 2007) yang memiliki stigma lebih tinggi dibandingkan anther atau spikelet.

Faktor lainnya yang menyebabkan genotipe cabai IPB C2 memiliki tingkat penyerbukan silang alami yang lebih tinggi dibandingkan genotipe cabai IPB C120 dan IPB C5 adalah adanya kemampuan crossability lebih baik pada genotipe cabai IPB C2 dibandingkan kedua genotipe cabai lainnya. Hal ini yang menyebabkan genotipe cabai IPB C120 walaupun sama-sama dengan genotipe cabai IPB C2 memiliki posisi stigma yang lebih tinggi daripada anther, namun karena tingkat crossability yang kurang baik menyebabkan tingkat penyerbukan silang alaminya menjadi rendah. Umumnya perbedaan keberhasilan persilangan pada tanaman cabai terjadi jika persilangan dilakukan antar spesies cabai, namun pada penelitian ini juga diperoleh informasi bahwa terdapat perbedaan persentase keberhasilan persilangan buatan antar genotipe cabai walaupun masih dalam satu spesies yang sama. Falusi dan Morakinyo (1994) juga melaporkan hal yang sama, dimana terdapat perbedaan persentase keberhasilan persilangan buatan antar cabai Capsicum annuum.

Berdasarkan hal tersebut, maka digunakanlah populasi cabai IPB C2 x IPB C5 yang mewakili populasi dengan tingkat penyerbukan silang alami tinggi dan populasi cabai IPB C120 x IPB C5 yang mewakili populasi cabai dengan tingkat penyerbukan silang alami rendah sebagai populasi yang diuji nilai heterosis dan inbreeding depressionnya. Tanaman-tanaman menyerbuk silang umumnya memiliki nilai heterosis dan inbreeding depression yang lebih tinggi dibandingkan tanaman menyerbuk sendiri.

Hasil pengamatan menunjukan bahwa populasi IPB C2 x IPB C5 memiliki nilai heterosis dan inbreeding depression yang lebih tinggi dibandingkan populasi cabai IPB C120 x IPB C5. Populasi IPB C2 x IPB C5 memiliki nilai heterosis yang positif dan inbreeding depression pada semua karakter pengamatan, sedangkan pada populasi IPB C120 x IPB C5 hanya terdapat pada beberapa karakter saja.

Perbedaan nilai heterosis dan inbreeding depression diantara kedua populasi cabai ini diduga karena perbedaan genotipe tetua yang digunakan dalam pembentukan kedua populasi tersebut. Genotipe tetua cabai IPB C2 memiliki perilaku seperti tanaman menyerbuk silang sedangkan tetua cabai IPB C120 memiliki perilaku seperti tanaman menyerbuk sendiri (Gambar 9) sehingga menyebabkan nilai heterosis dan inbreeding depression pada populasi IPB C2 x

IPB C5 lebih tinggi dibandingkan populasi cabai IPB C120 x IPB C5. Tanaman – tanaman menyerbuk silang umumnya memiliki nilai heterosis dan inbreeding depression yang lebih tinggi dibandingkan tanaman menyerbuk sendiri. Ruswandi et al. (2005), Wahyudi et al. (2006) dan Iriany et al. (2011) melaporkan bahwa nilai heterosis tanaman jagung dapat mencapai lebih dari 100% pada karakter bobot biji per plot dan bobot 1000 biji. Burton dan Brownie (2006) melaporkan bahwa nilai heterosis tanaman kedelai tidak lebih dari 15% pada karakter bobot biji per tanaman. Pacheco et al. (2002) melaporkan bahwa terdapat inbreeding depression sebesar 30-60% pada bobot tongkol per hektar pada 28 populasi jagung, sedangkan Chang et al. (1973) melaporkan bahwa tidak terdapat inbreeding depression pada 6 populasi padi.

Perbedaan nilai heterosis dan tingkat inbreeding depression antara populasi cabai yang berbeda menyebabkan arah pemuliaan yang berbeda juga diantara populasi-populasi cabai tersebut. Populasi cabai yang memiliki nilai heterosis dan inbreeding depression yang tinggi akan lebih baik diarahkan untuk menjadi varietas hibrida dibandingkan menjadi varietas galur murni. Hal ini dikarenakan nilai heterosis yang tinggi sangat penting bagi perakitan varietas hibrida. Selain itu, tingginya tingkat inbreeding depression pada populasi ini akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas hasil jika terus-menerus dilakukan penggaluran.

Populasi cabai dengan nilai heterosis dan inbreeding depression dapat dibentuk dari genotipe-genotipe cabai yang memiliki tingkat crossability yang tinggi dan memiliki posisi stigma yang berada lebih tinggi dibandingkan anther. Genotipe – genotipe tersebut dapat diperoleh penurunan varietas-varietas cabai hibrida yang sudah ada. Selain berpotensi menghasilkan populasi dengan nilai heterosis dan inbreeding depression yang tinggi, genotipe-genotipe cabai dengan tingkat crossability tinggi dan posisi stigma lebih tinggi daripada anther juga dapat memudahkan dalam kegiatan persilangan pada saat produksi benih hibrida. Salah satu syarat dalam membentuk varietas hibrida komersial adalah persilangan dapat dilakukan dengan mudah dan masal (Syukur et al. 2012).

Populasi cabai dengan nilai heterosis dan inbreeding depression yang rendah akan lebih baik diarahkan untuk menjadi varietas galur murni dibandingkan menjadi varietas hibrida. Hal ini karena nilai heterosis yang rendah kurang baik bagi varietas hibrida dan tidak adanya inbreeding depression yang tinggi menyebabkan populasi ini aman untuk digalurkan selama beberapa generasi. Populasi-populasi seperti ini dapat dibentuk dari genotipe cabai yang tingkat crossability yang rendah dan posisi stigmanya lebih rendah dari pada anther. Genotipe-genotipe tersebut dapat diperoleh dari varietas cabai lokal seperti genotipe cabai IPB C120 yang berasal dari Kota Payakumbuh dan genotipe cabai Tit Segitiga yang berasal dari Majalengka. Selain menghindari dari terjadinya inbereeding depression, digunakannya genotipe-genotipe cabai dengan tingkat crossability dan posisi stigma lebih tinggi daripada anther juga menyebabkan populasi cabai yang terbentuk akan lebih sulit mengalami penyerbukan silang alami dan lebih mudah untuk menjaga kemurniannya.

Dokumen terkait