• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kawasan TNKL berada di wilayah Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas 5356.5 ha. Kawasan TNKL beriklim tropis dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 1615-3363 mm/th. Topografi TNKL bergelombang dan berbukit dengan ketinggian antara 1000-1731 mdpl. Kawasan TNKL secara umum merupakan tipe ekosistem hutan pegunungan. Namun berdasarkan ketinggian tempat dan suhu udara, Kawasan TNKL berupa ekosistem

11 hutan sub-montane dan montane (BTNKL 2010). Formasi hutan sub-montane didominasi oleh hutan alam diselingi oleh semak belukar. Zona montane didominasi oleh cemara gunung (Casuarina junghuhniana), longgo baja (Glochidion phillipicum), toko kata (Eurya acuminata) dan kebu (Homalanthus giganteus). Selain itu juga terdapat vegetasi cantigi ungu (Vaccinium varingiaefolium) dan turuwara (Rhododendron reschianum).

Kawasan TNKL meliputi 5 kecamatan dengan 23 desa penyangga di dalamnya. Penduduk di sekitar TNKL merupakan Masyarakat Lio dengan mata pencaharian utama sebagai petani. Keberadaan Masyarakat Lio tidak dapat dipisahkan dengan Danau Kelimutu yang dianggap sebagai tempat kembalinya arwah nenek moyang atau orang yang telah meninggal (BTNKL 2010). Masyarakat Lio juga masih taat terhadap ketentuan dan peraturan adat yang ada. Pada setiap kampung atau desa terdapat seorang Mosalaki atau pemangku adat yang mengatur segala urusan adat mereka.

Populasi dan Habitat Kancilan Flores Kepadatan

Hasil inventarisasi diketahui bahwa kisaran kepadatan kancilan flores pada seluruh Kawasan TNKL adalah sebanyak 0.0389-0.3481 ind/ha atau dengan kisaran populasi sebanyak 186.41-1668.07 individu. Perhitungan tersebut diperoleh dari 31 jalur transek di seluruh kawasan. Secara umum kancilan flores dijumpai pada ekosistem yang berupa Hutan Alam (HA) dan Hutan Homogen (HH) cemara gunung (Casuarina junghuhniana) dan ampupu (Eucalyptus urophylla). Data pendugaan populasi dapat dilihat pada Lampiran 2.

Kepadatan kancilan flores di HA diperkirakan lebih besar dibandingkan dengan HH. Hal ini terlihat dari perjumpaan yang terjadi (Tabel 3).

Tabel 3 Perjumpaan kancilan flores pada HA dan HH

No. Tipe Ekosistem Perjumpaan (ind) Persentase (%)

1. Hutan Alam (HA) 33 86.84

2. Hutan Homogen (HH) 5 13.16

Perjumpaan dengan kancilan flores lebih banyak terjadi di hutan alam yaitu mencapai 86.84% sedangkan pada hutan homogen hanya 13.16%. Hal ini menunjukkan bahwa tipe vegetasi berpengaruh terhadap keberadaan kancilan flores karena berkaitan dengan ketersediaan pakan, lindungan (cover) dan sarang. Pakan utama burung kancilan flores adalah serangga. Keberadaan serangga dipengaruhi oleh keberadaan tempat tinggalnya yang pada umumnya berupa vegetasi hijau (Alikodra 1990). Kondisi hutan alam memiliki keanekaragaman spesies tumbuhan lebih tinggi bila dibandingkan dengan hutan homogen (Gambar 4). Data tentang Analisis Vegetasi pada HA dan HH selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4-5.

12

Gambar 4 Keanekaragaman spesies (H') pada HA dan HH

Keanekaragaman spesies tumbuhan di HA pada semua tingkat pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan HH. Terlihat bahwa pada tingkat tumbuhan bawah, semai, pancang, tiang dan pohon pada HA secara berturut-turut memiliki nilai keanekaragaman sebesar 1.48, 1.96, 2.13, 2.30 dan 2.54 atau tergolong keanekaragaman sedang. Sedangkan pada hutan homogen hanya tumbuhan bawah saja yang tergolong sedang yaitu 1.17, tingkat pertumbuhan lainnya tergolong rendah karena H‟<1 (Fachrul 2008). Berdasarkan data tersebut secara umum dapat diketahui bahwa HA memiliki keanekaragaman spesies sedang, penyebaran spesies sedang serta kestabilan komunitas yang juga sedang. HH memiliki keanekaragaman rendah, penyebaran rendah serta kestabilan komunitas yang juga rendah.

Faktor lain yang menyebabkan perjumpaan dengan kancilan flores di HA lebih banyak adalah karena secara umum HA memiliki kerapatan yang lebih tinggi daripada HH (Tabel 4).

Tabel 4 Kerapatan total spesies tumbuhan untuk semua tingkat pertumbuhan No. Tingkat pertumbuhan Kerapatan (ind/ha)

HA HH 1 Tumbuhan Bawah 198 750 474 444 2 Semai 29 688 1389 3 Pancang 7100 1622 4 Tiang 1050 639 5 Pohon 297 206

Keterangan: HA = Hutan Alam, HH = Hutan Homogen

Data tersebut menunjukkan bahwa hampir seluruh tingkat pertumbuhan di HA memiliki kerapatan lebih tinggi daripada HH. Berdasarkan data tersebut juga bisa dilihat bahwa HA memiliki strata tajuk yang relatif lebih beragam karena pada tingkat semai, pancang dan tiang memiliki kerapatan yang tinggi. HA yang berada di Kawasan TNKL cenderung berupa hutan sekunder karena memiliki kerapatan pada tingkat pertumbuhan rendah yang lebih tinggi. Kerapatan dan keanekaragaman spesies yang lebih tinggi ini pula yang menyebabkan kemungkinan keanekaragaman dan ketersediaan pakan kancilan flores juga tinggi.

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

Pohon Tiang Pancang semai Tumbuhan Bawah N il ai ke an eka ra ga m an (H ') Tingkat pertumbuhan Hutan Alam Homogen

13 Jenis tumbuhan yang cenderung mudah dijumpai di HA antara lain gari (Schefflera lucida), paku pohon (Cyathea sp.), singgi (Litsea resinosa), merameke (Pittosporum moluccanum), urubara (Prunus arborea) dan cemara gunung (Casuarina junghuhniana). Berdasarkan pengamatan, jenis tersebut merupakan jenis yang sering digunakan kancilan flores untuk berkicau dan berlindung. Selain itu, dalam ekosistem HA jenis tersebut memiliki peranan yang signifikan ditunjukkan dengan besarnya nilai Indeks Nilai Penting (INP) yang dimilikinya. Sebagaimana pernyataan Sundarapandian dan Swamy (2000), salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui peranan jenis dalam suatu ekosistem adalah INP (Tabel 5).

Angka kepadatan kancilan flores yang berkisar antara 0.0389-0.3481 ind/ha berarti bahwa dalam satu hektar hanya terdapat sekitar 0.04-0.35 individu atau setiap hektar hanya ada 1 individu. Kepadatan tersebut menunjukkan bahwa kancilan flores cukup jarang dijumpai di Kawasan TNKL. Apabila dilihat dari luasnya, Kawasan TNKL masih memiliki daya dukung yang baik. Terutama memiliki Hutan Alam dengan kondisi baik. Artinya Kawasan TNKL masih cukup luas untuk menyediakan sumberdaya sampai kepadatan mencapai sekitar 4-10 ind/ha. Karena berdasarkan pengamatan, rata-rata teritori kancilan flores seluas 1000–2500 m2. Menurut Horn (1968) dan Johnson et al. (2002) diacu dalam (Barnard 2004), perilaku teritorial suatu jenis berhubungan dengan persebaran temporal dan spasial serta ketersediaan pakan.

Sex ratio

Sex ratio atau nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah individu jantan dan betina. Berdasarkan pengamatan, kancilan flores betina lebih sulit dijumpai dibandingkan dengan kancilan flores jantan. Hal ini dikarenakan kancilan flores betina tidak berkicau, dan cenderung tidak terlalu agresif dalam mencari makan atau aktivitas lainnya. Terlebih warna bulunya yang hijau hampir menyerupai warna daun sehingga keberadaannya tersamarkan oleh tajuk hutan.

Tabel 5 INP seluruh tingkat pertumbuhan di HA

No. Tingkat Nama Jenis Nama Ilmiah INP (%)

1 Tumbuhan Bawah

Rumput Disporum sp. 96.40

Kirinyuh Eupatorium odoratum 16.77

Pakis kecil Adhiantum sp. 12.21

2 Semai Singgi Litsea resinosa 65.91

Urubara Prunus arborea 20.65

Merameke Pittosporum moluccanum 18.22

3 Pancang Singgi Litsea resinosa 52.47

Merameke Pittosporum moluccanum 24.73

Paku pohon Cyathea sp. 19.37

4 Tiang Paku pohon Cyathea sp. 88.79

Gari Schefflera lucida 30.24

Singgi Litsea resinosa 27.67

5 Pohon Gari Schefflera lucida 56.27

Urubara Prunus arborea 36.49

14

Berdasarkan pengamatan pada ekosistem HA dijumpai 25 individu jantan dan 5 individu betina. Sedangkan pada ekosistem HH dijumpai 6 individu jantan dan tidak dijumpai individu betina. Individu betina tidak dijumpai pada ekosistem HH diperkirakan karena pada saat pengamatan adalah musim berbiak, sehingga individu betina cenderung pasif dan berada di sekitar sarang. Sarang tersebut cenderung berada di ekosistem HA dengan karakteristik strata tajuk lengkap. Sedangkan HH cenderung hanya memiliki tingkat pertumbuhan berupa pohon dan tumbuhan bawah. Selain itu, pada HH cenderung didominasi oleh tumbuhan kirinyuh, sehingga kurang memungkinkan tumbuhan lain untuk tumbuh. Individu yang dijumpai di HH juga sebatas hanya lewat atau hanya berkicau, sebab HH yang ada berbatasan langsung dengan HA.

Dugaan nisbah kelamin kancilan flores jantan dengan betina adalah 6.2:1. Artinya setiap 6.2 atau setidaknya 7 individu jantan berpasangan dengan 1 individu betina. Perbandingan jumlah jenis kelamin tersebut kemungkinan terjadi karena individu betina yang sulit diamati serta waktu pengamatan merupakan musim berbiak sehingga individu betina kurang aktif. Namun demikian pada umumnya satwa dengan sexual dimorphism memang harus bersaing dengan jantan lain untuk mendapatkan betina. Telah disampaikan pada sub bab sebelumnya bahwa kancilan flores bersifat teritorial. Umumnya burung yang bersifat teritorial memiliki sistem perkawinan monogami. Artinya dalam suatu teritori dihuni oleh sepasang burung jantan dan betina. Hal ini dikuatkan juga dengan pernyataan Davies (1991) dan Clutton-Brock (1989) diacu dalam Barnard (2004), bahwa kebanyakan burung kicauan (passerine) memiliki sistem perkawinan monogami.

Persebaran Ketinggian tempat

Ketinggian tempat merupakan salah satu faktor yang sering disebutkan dalam memperkirakan asosiasi habitat burung (Bibby et al. 2000). Persebaran burung kancilan flores pada Kawasan TNKL berdasarkan pengamatan meliputi ketinggian diatas 1000 mdpl (Gambar 5). Hal ini juga disebabkan karena Kawasan TNKL berada pada ketinggian 1000–1700 mdpl (BTNKL 2010). Peta perjumpaan kancilan flores selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.

Gambar 5 Perjumpaan kancilan flores berdasar ketinggian tempat 0 2 4 6 8 10 12 < 1100 1100 -1200 1200 -1300 1300 -1400 1400 -1500 1500 -1600 > 1600 pe rj um pa an (i n d. ) ketinggian tempat (mdpl.)

15 Grafik persebaran kancilan flores berdasarkan ketinggian tersebut memperlihatkan bahwa populasi kancilan flores paling banyak dijumpai pada ketinggian 1300-1500 mdpl. Semakin rendah ketinggian tempat di Kawasan TNKL berarti semakin dekat pula dengan batas kawasan yang rata-rata berbatasan langsung dengan kebun penduduk dengan tingkat kerapatan vegetasi rendah. Hal ini menyebabkan perjumpaan dengan kancilan flores pada ketinggian ini tidak terlalu banyak. Begitu pula semakin naik ketinggian tempat, semakin sedikit pula kancilan flores yang dijumpai. Pada ketinggian diatas 1500 mdpl vegetasi sudah mulai berubah, yakni sudah mulai didominasi oleh cemara gunung (Casuarina junghuhniana), turuwara (Rhododendron reschianum) serta arngoni (Vaccinium varingiaefolium). Artinya semakin tinggi dan mendekati danau, tutupan tajuk mulai terbuka. Namun demikian, jika membandingkan jumlah perjumpaan pada ketinggian <1300 mdpl dengan ketinggian >1500 mdpl, jumlah kancilan flores pada ketinggian >1500 mdpl lebih besar. Hal ini terjadi karena kancilan flores cenderung lebih menyukai daerah pegunungan dengan suhu udara yang sejuk dan lembab serta karena pada ketinggian ini gangguan aktifitas manusia lebih rendah.

Jarak terhadap Aktifitas Manusia

Pengaruh aktifitas manusia masih menjadi sebuah kendala bagi upaya konservasi di setiap kawasan (Bibby et al. 2000). Aktifitas manusia dapat mempengaruhi keberadaan burung beserta habitatnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak secara langsung terjadi misalnya disebabkan oleh aktifitas berburu sehingga populasi mengalami penurunan. Dampak tidak langsung misalnya apabila manusia menebang pohon sehingga mempengaruhi kondisi vegetasi atau habitat predator burung sehingga secara tidak langsung mempengaruhi keberadaan burung di daerah tersebut. Sebagai pengganti cara mengetahui besarnya dampak manusia dapat digunakan ukuran tidak langsung seperti jarak dari jalan maupun dari kampung (Bibby et al. 2000).

Persebaran kancilan flores berdasarkan jarak dengan aktifitas manusia di Kawasan TNKL dapat dilihat dari frekuensi perjumpaannya pada tempat-tempat yang berbatasan langsung atau dekat dengan jalan raya, kebun penduduk, kawasan wisata serta pemukiman (Tabel 6).

Tabel 6 Perjumpaan kancilan flores berdasarkan jarak dengan manusia

No. Obyek Jumlah (individu) Persentase (%)

1 I 19 67.86

2 II 3 10.71

3 III 6 21.43

Keterangan: I= Hutan sekunder di sekitar jalan aspal yang berada di dalam kawasan, II= Hutan sekunder yang berbatasan langsung dengan kebun penduduk di sekitar kawasan, III= Hutan sekitar tempat parkir kawasan wisata.

Data tersebut menyatakan bahwa frekuensi perjumpaan dengan kancilan flores pada hutan sekunder di sekitar jalan aspal di dalam Resort Unit Pengelolaan Wisata mencapai 67.86%. Hal ini mengindikasikan bahwa kendaraan bermotor yang melewati jalan aspal cenderung tidak mengusik keberadaan kancilan flores. Tempat tersebut memiliki kondisi tutupan tajuk cukup rapat serta vegetasi berupa hutan alam (hutan sekunder) pada ketinggian >1200 mdpl. Tempat ini merupakan habitat potensial bagi kancilan flores, sehingga keberadaan mereka cukup banyak walaupun tempat tersebut berbatasan langsung dengan jalan aspal.

16

Kondisi sebaliknya terjadi pada tempat yang berbatasan langsung dengan kebun penduduk yang hanya dijumpai kancilan flores sebanyak 10.71% serta di sekitar tempat parkir kawasan wisata yang hanya dijumpai 21.43%. Hal tersebut dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi di daerah itu, ketinggian tempat serta pengalaman burung kancilan flores terhadap perlakuan manusia. Semakin mendekati kebun penduduk aktifitas manusia semakin intensif. Wilayah tersebut juga tidak dilindungi sehingga manusia lebih leluasa untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada, termasuk satwa. Kondisi hutan di sekitar tempat parkir kawasan wisata Danau Kelimutu memiliki tutupan tajuk cukup terbuka, hanya di pinggir jalan setapak dan di arboretum saja yang berupa hutan alam yang berada pada ketinggian >1500 mdpl. Perjumpaan di tempat ini lebih tinggi dibandingkan dengan sekitar kebun penduduk karena wilayah ini termasuk kawasan sehingga dilindungi. Selain itu vegetasi di wilayah ini relatif lebih rapat dibandingkan dengan hutan sekunder yang berbatasan langsung dengan kebun penduduk. Oleh sebab itu, meskipun banyak manusia yang beraktifitas namun tidak bisa sembarang menangkap atau merusak lingkungan alam.

Karakteristik Habitat Kancilan Flores Karakteristik Sumber Pakan

Habitat kancilan flores di Kawasan TNKL secara umum berupa Hutan Alam (HA) dengan karakteristik lembab dan memiliki vegetasi yang hijau sepanjang tahun. Habitat tersebut berfungsi sebagai penyedia pakan, air dan pelindung (Dasmann 1964; Wiersum 1973; Alikodra 1983 dan Bailey 1984) diacu dalam Alikodra (2002). Kondisi habitat yang lembab dan memiliki vegetasi hijau erat kaitannya dengan keberadaan serangga yang merupakan pakan utama kancilan flores. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Ensiklopedi Indonesia (2003) bahwa habitat tersebut merupakan sumber pangan bagi belalang.

Berdasarkan pengamatan, pada HA juga banyak dijumpai pohon mati dan tumbang yang telah lapuk. Alikodra (2002) menyatakan bahwa pohon yang tumbang dan lapuk tersebut merupakan penghasil makanan, pelindung dan tempat istirahat bagi burung dan mamalia kecil. Selain itu, pada HA juga banyak dijumpai paku pohon (Cyathea sp) yang memiliki batang berongga dan banyak ditumbuhi liana. Batang paku pohon tersebut merupakan sarang bagi serangga. kancilan flores juga dijumpai sedang melakukan perilaku mandi dengan memanfaatkan embun yang ada pada daun paku pohon, selain sebagai sumber air minum.

Jenis tumbuhan yang diketahui sebagai habitat dan sumber pakan serangga yaitu cemara gunung, singgi, paku pohon serta berbagai macam rumput dari marga Graminae dan tumbuhan bawah lain. Cemara gunung memiliki kulit batang yang berongga sehingga banyak serangga yang bersarang padanya. Pada singgi banyak dijumpai serangga dan ulat di daunnya. Keberadaan serangga erat kaitannya dengan temperatur dan lama penyinaran cahaya matahari. Sebab umumnya serangga sangat bergantung pada suhu yang hangat untuk menghangatkan dan memungkinkan enzim pada tubuhnya bekerja dengan baik (Ensiklopedi Indonesia 2003). Itulah sebabnya kancilan flores mulai aktif mencari makan pada saat hari menjelang siang. Oleh sebab itu pula kancilan flores cenderung terlihat lebih banyak pada bulan-bulan kering, ketika cahaya matahari

17 bersinar lebih lama. Hal ini pula yang mempengaruhi perilaku berbiak kancilan flores.

Keberadaan serangga sebagai pakan kancilan flores juga tidak bisa terlepas dari keberadaan tumbuhan atau pohon yang berbuah dan berbunga. Keberadaan bunga juga bergantung pada tingkat kelembaban. Hal ini dinyatakan Mortensen & Gislerod (2000) bahwa pada beberapa bunga, kelembaban yang tinggi menyebabkan pertumbuhan yang lebih ekstensif dan menghasilkan banyak bunga. Jenis pohon yang diketahui sedang berbuah pada saat pengamatan adalah kelo (Ficus variegata).

Kancilan flores juga sesekali berada di Hutan Homogen (HH) untuk mencari makan atau sekadar lewat. Berdasarkan pengamatan, keberadaan serangga di ekosistem HH cukup banyak, terlebih tutupan tajuk pada HH tidak terlalu rapat sehingga sinar matahari dapat dengan mudah masuk ke dalam strata tajuk bagian bawah. Namun mungkin karena terlalu panas dan strata yang ada hanya berupa pohon dan tumbuhan bawah yang didominasi oleh kirinyuh, maka kancilan flores cenderung tidak menetap di sekitar HH. Kancilan flores hanya menjadikan HH sebagai tempat mencari makan dan sesekali berkicau pada pohon yang tinggi. Secara umum keberadaan HH berselang-seling dengan HA, sehingga kancilan flores dapat dengan mudah berpindah atau melintas.

Karakteristik Lindungan (cover)

Strata tajuk pada HA memiliki beberapa tingkatan berdasarkan ketinggian. Menurut vanBalen (1984), strata tajuk dibagi menjadi empat tingkat, yaitu E (ketinggian hutan <1 m), D (1–4.9 m), C (5–19.9 m), B (20–30 m) serta A (>30 m). Strata pada HA meliputi tingkat E, D, C dan B. Bertingkatnya strata tajuk tersebut menyebabkan lingkungan di sekitar hutan terjaga kelembabannya meski hari sedang terik. Hal inilah salah satu faktor penyebab kancilan flores cenderung memilih menetap di HA. Jenis tumbuhan yang digunakan oleh kancilan flores sebagai lindungan adalah cemara gunung (Casuarina junghuhniana), gari (Schefflera lucida), kelo (Ficus variegata) serta urubara (Prunus arborea). Jenis tersebut memiliki diameter yang besar dan tinggi pohon rata-rata sekitar 20 m. Pohon tersebut juga memiliki banyak cabang sebagai tempat bertengger dan tempat berkicau kancilan flores pada pagi hari.

Lindungan kancilan flores juga berupa tumbuhan dengan tingkat tiang dan pancang yang didominasi oleh jenis paku pohon, singgi dan merameke. Strata tajuk ini selain berfungsi sebagai penyedia pakan, juga berfungsi sebagai lindungan. Pada tingkat strata ini kancilan flores dengan karakteristik yang tidak terlalu lincah dan memiliki warna bulu hampir sama dengan warna daun akan tersamarkan dari predator. Selain itu karena cahaya yang bisa menembus strata bagian bawah hanya sedikit, menyebabkan keberadaan kancilan flores semakin tersamarkan.

Secara umum, struktur vegetasi yang cenderung disukai oleh kancilan flores adalah yang memiliki kerapatan tinggi, strata bertingkat dan diselingi pohon besar, tinggi dan bercabang banyak. Hal ini dikarenakan setiap tingkat pertumbuhan vegetasi pada habitat tersebut memiliki fungsi masing-masing. Pohon sebagai tempat berkicau, karena kancilan flores merupakan burung yang bersifat teritorial sehingga akan memilih pohon yang tinggi untuk berkicau agar kicauannya terdengar sejauh mungkin. Selain itu, pohon besar yang rimbun dapat

18

memberikan perlindungan dari terik matahari dan hujan angin. Sedangkan tiang, pancang dan semai sebagai tempat mencari makan dan bersarang. Tumbuhan bawah yang juga beranekaragam jenisnya berfungsi sebagai bahan untuk membuat sarang.

Karakteristik HA tersebut cenderung tidak dimiliki oleh HH. Hutan homogen yang didominasi oleh cemara gunung dan ampupu memiliki keanekaragaman yang rendah serta kerapatan yang relatif rendah pula. Berdasarkan pengamatan diketahui pula bahwa pohon ampupu cenderung memiliki batang yang relatif lurus dan kulit kayu yang mengelupas. Tingkat pertumbuhan dibawahnya cenderung sangat jarang, serta pada tingkat tumbuhan bawah didominasi oleh tumbuhan kirinyuh. Kirinyuh tumbuh di bawah tegakkan ampupu dengan sangat rapat, sehingga mengalahkan jenis tumbuhan bawah maupun semai tumbuhan yang lain. Oleh sebab itu keanekaragaman jenis pada hutan homogen tergolong rendah. Hal inilah yang menyebabkan kancilan flores cenderung tidak menyukai tipe vegetasi tersebut.

Karakteristik Bersarang

Keberadaan sarang merupakan salah satu indikator bahwa tempat tersebut merupakan habitat yang cocok bagi suatu organisme. Keberadaan sarang kancilan flores di Kawasan TNKL ditemukan di Hutan Alam (HA) pada ketinggian 1560 mdpl. Burung kancilan flores betina dijumpai tengah membuat sarang pada akhir musim kemarau yaitu pada awal Bulan Oktober. Sarang tersebut dibuat pada sebuah pancang singgi (Litsea resinosa) dengan tinggi 5.5 m serta diameter sarang sekitar 15–17 cm (Gambar 6). Pemilihan waktu bersarang kemungkinan berkaitan dengan ketersediaan pakan karena menurut Alikodra (2002), wilayah yang mengenal dua musim, potensi makanan terbaik adalah pada awal musim hujan.

Gambar 6 a) sarang kancilan flores pada pancang singgi dan b) diameter sarang yang telah rusak

Aktifitas bersarang menunjukkan bahwa kancilan flores sedang mengalami musim berbiak. Diperkirakan musim berbiak kancilan flores dimulai sejak musim kemarau hingga memasuki musim penghujan. Bahan penyusun sarang kancilan flores tersusun oleh tumbuhan yang ada disekitarnya. Keberadaan tumbuhan penyusun sarang menunjukan tipe habitat tempat kancilan flores hidup. Oleh sebab itu keberadaan sarang merupakan indikator persebaran kancilan flores.

19 Tumbuhan penyusun sarang kancilan flores berupa tumbuhan bawah dan daun kering yang ada di sekitarnya. Setidaknya ada 5 jenis tumbuhan penyusun sarang kancilan flores (Tabel 7).

Tabel 7 Tumbuhan penyusun sarang kancilan flores

No. Nama Nama ilmiah Bagian yang digunakan

1 Rumput Disporum sp. Seluruh bagian, kondisi kering 2 Seli Freycinetia insignis Daun kering

3 Muku Ata mata Alpinia myrrocratera Daun kering 4 Paku rambat Pteris sp. Daun kering 5 Rumput x Melothria affinis Batang kering

Tumbuhan tersebut merupakan tumbuhan yang hanya dijumpai pada HA yang tumbuh pada tempat yang lembab. Tercatat suhu rata-rata harian di sekitar sarang adalah 19.44 0C dengan suhu harian terendah 18.33 0C dan suhu harian tertinggi 20.33 0C. Menurut Alikodra (2002), suhu lingkungan merupakan faktor penting pada biosfer yang mempengaruhi reproduksi pertumbuhan dan kematian satwaliar. Begitu pula menurut Wirakusumah (2003), suhu memberikan pengaruh ekologis pada penyebaran populasi secara latitudinal musiman dan altitudinal. Suhu memiliki hubungan yang erat dengan penyinaran matahari. Menurut Ewusie (1990), rata-rata lama penyinaran matahari harian di daerah tropis tertinggi terjadi pada bulan September. Lama penyinaran matahari berpengaruh terhadap perilaku reproduksi hewan dan tumbuhan (Wirakusumah 2003). Kelembaban rata-rata harian sekitar sarang mencapai 88.67 %, dengan kelembaban harian terendah 82%. Sebagaimana diketahui bahwa kelembaban yang tinggi berpengaruh terhadap keberadaan perbungaan suatu tumbuhan sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi keberadaan pakan kancilan flores yang berupa serangga.

Sarang kancilan flores memiliki bentuk yang tidak mencolok, bahkan tersamarkan oleh daun singgi yang mengumpul. Hal ini sebagai upaya mempertahankan diri agar terhindar dari predator maupun manusia. Perilaku bersarang ini menunjukkan bahwa kancilan flores membutuhkan habitat dengan strata tajuk hutan yang bertingkat, artinya ia membutuhkan hutan yang memiliki kerapatan cukup tinggi pada setiap tingkat pertumbuhan tumbuhan. Selain itu kancilan flores membutuhkan tumbuhan bawah yang beranekaragam sebagai sumber pakan serangga maupun bahan pembuat sarang. Karakter seperti ini hanya terdapat pada HA terutama hutan sekunder yang selain memiliki pohon besar sebagai tempat berkicau, juga pancang dan tiang sebagai tempat bersarang

Dokumen terkait