• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etno-ornitologi Burung Kancilan Flores (Pachycephala nudigula nudigula Hartert 1897) pada Masyarakat Lio di Taman Nasional Kelimutu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Etno-ornitologi Burung Kancilan Flores (Pachycephala nudigula nudigula Hartert 1897) pada Masyarakat Lio di Taman Nasional Kelimutu"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

ETNO-ORNITOLOGI BURUNG KANCILAN FLORES

(

Pachycephala nudigula nudigula

Hartert 1897)

PADA MASYARAKAT LIO

DI TAMAN NASIONAL KELIMUTU

ADITYA KUSPRIYANGGA

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRAK

ADITYA KUSPRIYANGGA. Etno-Ornitologi Burung Kancilan Flores (Pachycephala nudigula nudigula Hartert 1897) pada Masyarkat Lio di Taman Nasional Kelimutu. Dibimbing oleh JARWADI BUDI HERNOWO dan DIDIK SUHARJITO.

Burung kancilan flores merupakan jenis burung di Taman Nasional Kelimutu (TNKL) yang dipercaya memiliki hubungan dengan keyakinan Masyarakat Lio. Dugaan populasi kancilan flores di Kawasan TNKL mencapai 186.41-1668.07 individu dengan kepadatan 0.0389-0.3481 ind/ha serta nisbah kelamin sebesar 6.2:1 yang tersebar pada ketinggian 1100 – 1600 mdpl. Karakteristik habitat kancilan flores berupa Hutan Alam (HA) dengan strata tajuk yang bertingkat, keanekaragaman jenis tumbuhan yang tinggi serta kerapatan yang tinggi pula. Karakteristik habitat tersebut berkaitan dengan ketersediaan pakan, lindungan (cover), gangguan dan tempat bersarang. Masyarakat Lio mengetahui keberadaan kancilan flores baik secara langsung maupun melalui cerita orang tua mereka. Persepsi Masyarakat Lio terhadap kancilan flores secara umum positif mendukung upaya pelestarian kancilan flores. Persepsi tersebut membentuk sikap yang cenderung konservatif terhadap keberadaan kancilan flores. Sikap Masyarakat Lio ditunjukkan dengan perilaku tidak menangkap kancilan flores dari dalam Kawasan TNKL. Perilaku tersebut berperan penting terhadap kelestarian kancilan flores di Kawasan TNKL.

Kata kunci: Etno-ornitologi, Kancilan Flores, Masyarakat Lio, Taman Nasional Kelimutu

ABSTRACT

ADITYA KUSPRIYANGGA. Ethno-ornithology of Bare-Throated Whistler (Pachycephala nudigula nudigula Hartert 1897) in Lio Community at Kelimutu National Park. Supervised by JARWADI BUDI HERNOWO and DIDIK SUHARJITO.

Bare-throathed whistler is one of several wild birds in Kelimutu National Park (TNKL) that is believed to have correlation with Lio Community’s belief. The estimation of Bare-throated whistler’s population in Kelimutu National Park was about 186.41-1668.07 individual by the density about 0.0389-0.3481 ind/ha with the sex ratio 6.2:1 that spreaded on area with height of 1100 – 1600 masl. The characteristic of Bare-throated whistler’s habitat is a natural forest with various canopy level, high plant species diversity and high density. The habitat characteristics related to the availability of food in the form of insects, cover, safety and a nesting site. Generally the most of Lio community knew the existence of Bare-throated whistler directly or from their parents’ stories. The perceptions of Lio Community to the Bare-throated whistler’s existence is generally support the conservation efforts. The perceptions construct the Lio Community’s atitude that tend to be conservative to the existence of Bare-throated whistler. The attitude shown by their behavior that not cathing the Bare-throated whistler from the TNKL’s area or the outside. The attitude have an important role to the existence of Bare-throated whistler in Kelimutu National Park’s area.

(3)
(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Etno-ornitologi Burung Kancilan Flores (Pachycephala nudigula nudigula Hartert 1897) pada Masyarakat Lio di Taman Nasional Kelimutu adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip baik dari karya yang telah diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013

Aditya Kuspriyangga

(5)

ABSTRAK

ADITYA KUSPRIYANGGA. Etno-Ornitologi Burung Kancilan Flores (Pachycephala nudigula nudigula Hartert 1897) pada Masyarkat Lio di Taman Nasional Kelimutu. Dibimbing oleh JARWADI BUDI HERNOWO dan DIDIK SUHARJITO.

Burung kancilan flores merupakan jenis burung di Taman Nasional Kelimutu (TNKL) yang dipercaya memiliki hubungan dengan keyakinan Masyarakat Lio. Dugaan populasi kancilan flores di Kawasan TNKL mencapai 186.41-1668.07 individu dengan kepadatan 0.0389-0.3481 ind/ha serta nisbah kelamin sebesar 6.2:1 yang tersebar pada ketinggian 1100 – 1600 mdpl. Karakteristik habitat kancilan flores berupa Hutan Alam (HA) dengan strata tajuk yang bertingkat, keanekaragaman jenis tumbuhan yang tinggi serta kerapatan yang tinggi pula. Karakteristik habitat tersebut berkaitan dengan ketersediaan pakan, lindungan (cover), gangguan dan tempat bersarang. Masyarakat Lio mengetahui keberadaan kancilan flores baik secara langsung maupun melalui cerita orang tua mereka. Persepsi Masyarakat Lio terhadap kancilan flores secara umum positif mendukung upaya pelestarian kancilan flores. Persepsi tersebut membentuk sikap yang cenderung konservatif terhadap keberadaan kancilan flores. Sikap Masyarakat Lio ditunjukkan dengan perilaku tidak menangkap kancilan flores dari dalam Kawasan TNKL. Perilaku tersebut berperan penting terhadap kelestarian kancilan flores di Kawasan TNKL.

Kata kunci: Etno-ornitologi, Kancilan Flores, Masyarakat Lio, Taman Nasional Kelimutu

ABSTRACT

ADITYA KUSPRIYANGGA. Ethno-ornithology of Bare-Throated Whistler (Pachycephala nudigula nudigula Hartert 1897) in Lio Community at Kelimutu National Park. Supervised by JARWADI BUDI HERNOWO and DIDIK SUHARJITO.

Bare-throathed whistler is one of several wild birds in Kelimutu National Park (TNKL) that is believed to have correlation with Lio Community‟s belief. The estimation of Bare-throated whistler‟s population in Kelimutu National Park was about 186.41-1668.07 individual by the density about 0.0389-0.3481 ind/ha with the sex ratio 6.2:1 that spreaded on area with height of 1100 – 1600 masl. The characteristic of Bare-throated whistler‟s habitat is a natural forest with various canopy level, high plant species diversity and high density. The habitat characteristics related to the availability of food in the form of insects, cover, safety and a nesting site. Generally the most of Lio community knew the existence of Bare-throated whistler directly or from their parents‟ stories. The perceptions of Lio Community to the Bare-throated whistler‟s existence is generally support the conservation efforts. The perceptions construct the Lio Community‟s atitude that tend to be conservative to the existence of Bare-throated whistler. The attitude shown by their behavior that not cathing the Bare-throated whistler from the TNKL‟s area or the outside. The attitude have an important role to the existence of Bare-throated whistler in Kelimutu National Park‟s area.

(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

ETNO-ORNITOLOGI BURUNG KANCILAN FLORES

(

Pachycephala nudigula nudigula

Hartert 1897 )

PADA MASYARAKAT LIO

DI TAMAN NASIONAL KELIMUTU

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(7)
(8)

Judul Skripsi : Etno-ornitologi Burung Kancilan Flores (Pachycephala nudigula nudigula Hartert 1897) pada Masyarakat Lio di Taman Nasional Kelimutu

Nama : Aditya Kuspriyangga NIM : E34080070

Disetujui oleh

Dr Ir Jarwadi B. Hernowo M Sc F Pembimbing I

Dr Ir Didik Suharjito MS Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni MS Ketua Departemen

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul Etno-ornitologi Burung Kancilan Flores (Pachycephala nudigula nudigula Hartert 1897) pada Masyarakat Lio di Taman Nasional Kelimutu ini berhasil diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Jarwadi Budi Hernowo, MScF dan Bapak Dr Ir Didik Suharjito, MS selaku pembimbing. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Ibu Sri Mulyani selaku Kepala Balai Taman Nasional Kelimutu serta segenap staf dan pegawai TNKL atas izin dan bantuannya sehingga penelitian dapat terlaksana dengan baik. Kepada Bapak Tonny Wuryanto sebagai PEH di TNKL yang telah memberikan bantuan dan masukan terhadap penulis disampaikan terimakasih. Terimakasih juga disampaikan kepada Ibu, Bapak dan adik-adik tercinta, Murobbi, keluarga serta seluruh rekan-rekan atas segala bantuan, motivasi, doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2013

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Lokasi dan Waktu Penelitian 2

Alat 3

Data yang Dikumpulkan 3

Metode Pengambilan Data 3

Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 10

Populasi dan Habitat Kancilan Flores 11

Persebaran 14

Karakteristik Habitat Kancilan Flores 16

Gangguan terhadap Kancilan Flores 20

Etno-ornitologi 20

SIMPULAN DAN SARAN 31

DAFTAR PUSTAKA 32

LAMPIRAN 34

(11)

DAFTAR TABEL

1 Tahapan kegiatan penelitian 3

2 Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wiener 8

3 Perjumpaan kancilan flores pada HA dan HH 11

4 Kerapatan total spesies tumbuhan untuk semua tingkat pertumbuhan 12

5 INP seluruh tingkat pertumbuhan di HA 13

6 Perjumpaan kancilan flores berdasarkan jarak dengan manusia 15

7 Tumbuhan penyusun sarang kancilan flores 19

8 Persentase pengetahuan responden tentang adanya burung kancilan

flores 21

9 Skor persepsi Masyarakat Lio terhadap kancilan flores 26 10 Skor sikap Masyarakat Lio terhadap keberadaan kancilan flores 28

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi penelitian 2

2 Ilustrasi metode transek jalur 5

3 Ilustrasi metode analisis vegetasi petak ganda 6

4 Keanekaragaman spesies (H') pada HA dan HH 12

5 Perjumpaan kancilan flores berdasar ketinggian tempat 14 6 a) sarang kancilan flores pada pancang singgi dan b) diameter sarang

yang telah rusak 18

7 Ilustrasi profil tajuk di sekitar sarang 19

8 a) Kancilan flores betina, b) kancilan flores jantan 23

DAFTAR LAMPIRAN

1 Penghitungan Analisis vegetasi 34

2 Pendugaan seluruh populasi kancilan flores di Kawasan TNKL 35

3 Peta perjumpaan kancilan flores 36

4 Analisis vegetasi hutan alam 37

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Taman Nasional Kelimutu (TNKL) merupakan salah satu taman nasional di Indonesia yang berinteraksi langsung dengan masyarakat lokal yaitu masyarakat Suku Lio. Suku Lio meyakini bahwa Danau Kelimutu merupakan tempat kembalinya arwah orang yang telah meninggal dunia. Hubungan budaya dan kearifan lokal tersebut juga terjadi pada burung Kancilan flores (Pachycepala nudigula nudigula Hartert 1897). Burung Kancilan flores atau dalam bahasa lokal disebut burung Garugiwa merupakan salah satu burung endemik di Nusa Tenggara. Burung ini dipercaya sebagai burung arwah (Oktora & Khairul 2011). Hal ini dikarenakan jenis burung tersebut lebih banyak terlihat di sekitar Danau Kelimutu. Burung kancilan flores memiliki hingga 17 jenis kicauan (BTNKL 2007). Berdasarkan informasi pada situs jual beli online (www.berniaga.com), burung yang lebih dikenal dengan nama samyong, sempeong atau sangkalawe ini memiliki harga jual hingga mencapai Rp2 000 000 per ekor. Oleh sebab itu tidak menutup kemungkinan ancaman terhadapnya semakin besar.

Keberadaan kancilan flores di Kawasan TNKL yang saat ini hanya diketahui di sekitar Danau Kelimutu menjadi sebuah kajian yang menarik untuk diketahui. Baik secara ekologis maupun kepercayaan lokal. Kepercayaan lokal masyarakat terhadap burung kancilan flores merupakan sebuah bentuk etno-ornitologi yang dimiliki Suku Lio. Etno-ornitologi mencakup penggambaran burung melalui seni, pola pemanfaatan, bahasa, kehidupan dari penciptaan hingga mati, pembawa pesan maupun interaksi dalam kehidupan sehari-hari (Tidemann et al. 2010). Etno-ornitologi Masyarakat Lio terhadap keberadaan kancilan flores menjadi hal yang penting untuk diketahui sebagai bahan pertimbangan pengelolaan kancilan flores di TNKL. Menurut Bonta (2010), saat ini etno-ornitologi belum menjadi bagian secara utuh dari upaya konservasi burung oleh pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), maka dari itu kajian etno-ornitologi ini menjadi langkah awal yang penting bagi perkembangan pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia, terlebih menurut Soekmadi (2003), saat ini paradigma konservasi tidak hanya tentang pelestarian jenis, namun juga sosial budaya (religi) masyarakat sekitar.

Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menemukan hubungan kepercayaan masyarakat Suku Lio terhadap keberadaan burung kancilan flores. Secara khusus, tujuan yang ingin dicapai antara lain:

1. Mempelajari karakteristik habitat dan populasi kancilan flores di Kawasan TNKL

2. Mengkaji pengetahuan, persepsi, sikap dan perilaku Masyarakat Lio di sekitar TNKL terhadap Burung kancilan flores

(13)

2

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan dalam pengelolaan habitat dan pemanfaatan potensi yang dimiliki kancilan flores sebagai salah satu jenis satwa yang memiliki keterkaitan dengan budaya lokal. Penelitian ini juga bermanfaat sebagai upaya pelestarian dan pemberdayaan budaya lokal yang memiliki nilai luhur. Dengan penelitian ini diharapakan turut memberikan kontribusi pada perkembangan etno-ornitologi sebagai bagian dari perkembangan paradigma baru konservasi di Indonesia.

METODE

Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kawasan Taman Nasional Kelimutu (Gambar 1) serta pada Desa Wologai, Woloara, Wolotopo, Pemo, Saga dan Sokoria di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur pada Bulan September s.d. November 2012. Penentuan lokasi penelitian didasarkan pada keterkaitan kebudayaan masyarakat dengan Danau Kelimutu dan burung kancilan flores serta pertimbangan jarak dengan kawasan.

(14)

3

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Global Positioning System (Garmin GPS map 76 Csx), ArcGIS 9, buku panduan lapang untuk burung-burung di kawasan Wallacea, tally sheet, kuesioner, alat tulis, kamera digital (Canon EOS D500 dan D1000), Tele (Tamron AF 70-300 mm), pencatat waktu, perekam suara, pengukur suhu (dry-wet), binokular (Nikon 7x5 7,2 CF WP “compass”), roll meter, meteran jahit, tali plastik, tali rafia, pasak, kompas (Suunto Tandem) dan peta kerja TNKL skala 1:25.000.

Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi: titik koordinat ditemukannya kancilan flores, jumlah populasi kancilan flores, waktu perjumpaan, tipe habitat, substrat, ketinggian tempat, ketinggian strata tajuk, suhu udara, kelembaban udara serta data vegetasi sekitar jalur transek. Selain itu juga dikumpulkan informasi yang berkaitan dengan hubungan kancilan flores dalam kehidupan Masyarakat Lio antara lain pengetahuan masyarakat tentang kancilan flores; persepsi yaitu pendapat atau tanggapan masyarakat beradasarkan pengetahuan atau sisi kognitif mereka terhadap keberadaan kancilan flores; sikap yaitu tanggapan masyarakat yang berkaitan dengan kecenderungan untuk bertindak terhadap keberadaan kancilan flores serta perilaku atau tindakan nyata baik secara individu maupun kolektif dalam kehiduapan sehari-hari masyarakat dalam berinteraksi dengan kancilan flores.

Metode Pengambilan Data

Penelitian dilakukan dalam empat tahap kegiatan (Tabel 1), yaitu kajian kondisi umum lokasi penelitian, identifikasi hubungan Masyarakat Lio dengan burung kancilan flores, identifikasi populasi dan habitat burung kancilan flores, pengolahan dan analisis data.

Tabel 1 Tahapan kegiatan penelitian

No. Tahapan Kegiatan Aspek kajian Sumber data Metode 1. Kajian kondisi

umum lokasi penelitian (Data Sekunder)

Letak dan Luas Kondisi fisik kawasan Potensi biotik Kondisi sosial budaya masyarakat sekitar

Balai Taman Nasional Kelimutu, Badan Pusat Statistik Kabupaten Ende

Studi literatur

2. Identifikasi hubungan Masyarakat Lio dengan burung kancilan flores Pengetahuan masyarakat tentang kancilan flores; Persepsi masyarakat tentang keberadaan kancilan flores (Negatif/positif); Sikap masyarakat terhadap kancilan flores; Perilaku masyarakat dalam berinteraksi dengan kancilan flores

Masyarakat Lio Wawancara (Snow ball) dengan penentuan Informan Kunci secara

(15)

4

No. Tahapan Kegiatan Aspek kajian Sumber data Metode (Aturan adat maupun

kebiasaan hidup sehari-hari). 3. Identifikasi populasi

dan habitat Burung kancilan flores

Lokasi (koordinat, tipe habitat, substrat, ketinggian tempat), ketinggian strata tajuk, suhu udara, kelembaban udara, waktu perjumpaan, jumlah individu, jenis kelamin serta data vegetasi ( jenis, jumlah, diameter, tinggi). Data hasil pengamatan lapangan Metode transek dan Analisis Vegetasi.

4. Pengolahan dan analisis data

Pengolahan dan analisis data primer dan data sekunder

Data hasil pengamatan lapangan Pengolahan data manual; analisis kualitatif deskriptif.

Identifikasi Hubungan Masyarakat Lio dengan Burung Kancilan flores

Kegiatan identifikasi hubungan Masyarakat Lio dengan burung kancilan flores dilakukan dengan menggunakan metode wawancara. Informan pada penelitian ini merupakan penduduk asli di lokasi penelitian yang memiliki pengetahuan mengenai kancilan flores dan adat setempat. Informan tersebut ditentukan melalui metode snowball (Bungin 2011). Pertimbangan yang digunakan didasarkan pada kejenuhan data yang diperoleh.

Metode snowball diawali dengan menentukan informan kunci. Penentuan informan kunci diawali dengan pengumpulan informasi dari beberapa tokoh masyarakat seperti kepala desa, kepala suku maupun orang yang dianggap mengetahui keadaan pada masyarakat tersebut (Abu & Rabia 2005). Adapun hal yang menjadi pertimbangan dalam penentuan informan kunci adalah sebagai berikut:

a. Orang yang bersangkutan memiliki pengalaman tentang hal yang akan diteliti

b. Memiliki pengetahuan yang luas mengenai permasalahan yang akan diteliti

c. Bersifat netral, artinya tidak memiliki kecenderungan atau kepentingan terhadap pihak tertentu

d. Merupakan tokoh masyarakat e. Sehat jasmani dan rohani

(16)

5

Identifikasi Populasi dan Habitat Burung Kancilan Flores

a. Transek Jalur (strip transect)

Pengamatan dilakukan pada 31 jalur transek di seluruh resort Taman Nasional Kelimutu yaitu Resort Detusoko, Resort Kelimutu, Resort Wolojita, Resort Ndona dan Resort Ndona Timur, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Waktu pengamatan yaitu selama dua bulan pada Bulan September – November 2012. Jalur transek dibuat memotong (tegak lurus) garis kontur agar mewakili setiap ketinggian tempat. Penentuan jalur didasarkan atas pertimbangan tipe vegetasi, jarak dari pusat aktifitas manusia dan ketinggian tempat serta diusahakan dengan jumlah jalur yang sama pada masing-masing ketinggian. Ketinggian dibagi menjadi 7 kelas (lebar kelas 100 mdpl). Pengamatan dilakukan pada pukul 06.00 – 10.00 dan pukul 16.00 – 18.00 WITA.

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode strip tansect atau transek jalur. Pengamatan dilakukan pada jalur transek dengan panjang 1 km, serta lebar kiri atau kanan jalur 30 meter (Lloyd et al. 2000) (Gambar 2). Pengamat berjalan dengan kecepatan konstan sambil mencatat burung kancilan flores yang dijumpai pada jalur tersebut dan memastikan untuk tidak mencatat burung yang berada di luar transek agar tidak terjadi penghitungan ganda.

Gambar 2 Ilustrasi metode transek jalur b. Petak Ganda

Data vegetasi yang dikumpulkan antara lain berupa jenis tumbuhan, jumlah serta diameter setinggi dada (1.3 m). Data tersebut diperoleh dengan menggunakan metode analisis vegetasi dengan petak ganda, yaitu kombinasi dari metode jalur dan metode garis berpetak. Jalur yang digunakan adalah jalur transek untuk pengamatan burung yang memotong kontur atau garis topografi. Penempatan petak contoh dilakukan secara acak dengan ukuran petak 20 m × 100 m serta jarak antar petak sepanjang 100 m di sepanjang jalur transek pengamatan burung.

Menurut Alikodra (2010), suatu vegetasi memiliki variasi tingkat pertumbuhan, yaitu:

a. Semai: tinggi <1.5 m; diameter <3 cm b. Pancang: diameter <10 cm; tinggi ≥1.5 m c. Tiang: 10 cm ≤ diameter <20 cm

d. Pohon: diameter ≥20 cm

(17)

6

Gambar 3 Ilustrasi metode analisis vegetasi petak ganda

Data sekunder yang dikumpulkan berupa informasi bio-ekologi kancilan flores dan keadaan umum lokasi pengamatan. Data sekunder didapatkan melalui studi literatur dan wawancara. Literatur yang dipakai dalam studi pustaka adalah laporan penelitian, skripsi, tesis, dokumen rencana pengelolaan satwaliar dan jurnal ilmiah yang didapat dari perpustakaan TNKL, Perpustakaan IPB maupun dari internet.

c. Suhu dan Kelembaban

Pencatatan suhu dan kelembaban dilakukan pada setiap jalur pengamatan yang mewakili habitat kancilan flores dengan menggunakan termometer basah dan kering (dry-wet). Pengukuran suhu dilakukan 3 kali dalam sehari, yaitu pagi, siang dan sore untuk menentukan suhu rata-rata harian. Berdasarkan suhu basah dan kering dapat dihitung kelembaban.

Analisis Data

Identifikasi populasi dan habitat kancilan flores

a. Transek Jalur (Strip transect)

Pendugaan ukuran populasi kancilan flores dilakukan dengan cara menghitung jumlah pada setiap jalur pengamatan kemudian dihitung kepadatannya dengan menggunakan persamaan King sebagai berikut (Santosa & Fredy 2008):

=

2. . atau

=

Keterangan :

D = kepadatan populasi dugaan menurut King (ind/km2) atau (ind/ha) xi = jumlah individu yang dijumpai pada kontak ke-i

L = panjang jalur pengamatan (m)

a = luas setiap jalur pengamatan (km2 atau ha) w = lebar kiri atau kanan pengamatan (m)

Ukuran populasi untuk seluruh wilayah pengamatan dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Santosa & Fredy 2008):

=

2 . atau

=

×

Keterengan:

(18)

7 = jumlah jalur pengamatan

� = luas total area yang diteliti

� = kepadatan populasi pada pengamatan ke-j (ind/km2 atau ind/ha). Kisaran hasil pendugaan ukuran populasi dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut ini (Santosa & Fredy 2008):

=

2

=

2 ( )2/

−1

=

2

Keterangan:

� = rata-rata kepadatan populasi dugaan dari seluruh jalur pengamatan (ind/km2 atau ind/ha)

2 = ragam contoh

� = simpangan baku hasil pengamatan populasi

Berdasarkan hitungan di atas maka kisaran ukuran populasi pada seluruh area yang diteliti adalah (Santosa & Fredy 2008):

� = � ±

2; . � � Seks Rasio Populasi Total Seks Rasio (R) =

Keterangan:

= Individu jantan = Individu betina b. Analisis Vegetasi

Data hasil analisis vegetasi di jalur pengamatan kancilan flores kemudian diolah untuk mendapatkan variabel kerapatan, frekuensi, dominansi dan Indeks Nilai Penting (INP). Parameter vegetasi tersebut dihitung dengan rumus yang disampaikan Soerianegara dan Indrawan (1998) pada Lampiran 1.

c. Indeks Kekayaan Jenis

Kekayaan jenis dihitung dengan menggunakan metode Margalef (Ludwig & Reynolds 1998). Persamaan untuk menemukan jumlah kekayaan jenis adalah:

� = −1

ln(�)

Keterangan:

Dmg = Indeks Margalef

N = Jumlah Individu seluruh jenis S = Jumlah jenis

d. Indeks keanekaragaman jenis (H‟)

Ludwig dan Reynolds (1998) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon–Wiener dengan rumus :

H‟= -∑pi ln pi; dimana pi =

Keterangan: H‟= Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener ni = Jumlah individu setiap jenis

(19)

8

Untuk menentukan keanekaragaman jenis maka digunakan klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wieners (Tabel 2).

Tabel 2 Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wiener Nilai indeks

Shanon-Wiener

Kategori

> 3 Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies tinggi dan kestabilan komunitas tinggi

1 – 3 Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas sedang

< 1 Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah

Sumber: Fachrul (2008) e. Indeks kemerataan jenis (J‟)

Ludwig dan Reynolds (1998) menyatakan bahwa proporsi kelimpahan jenis dihitung dengan menggunakan indeks kemerataan yaitu :

J‟ = ln Keterangan :

J‟ = Indeks kemerataan

H‟ = Indeks keanekaragaman jenis S = Jumlah jenis

Penentuan indeks kemerataan ini berfungsi untuk mengetahui kemerataan setiap jenis dalam areal pengamatan yang ditentukan, sehingga dapat diketahui keberadaan dominansi populasi dan persebaran kancilan flores.

f. Suhu dan kelembaban

Data mengenai suhu dan kelembaban digunakan untuk menganalisis persebaran dan karakteristik bersarang kancilan flores.

Etno-ornitologi Masyarakat Lio

a. Pengetahuan Masyarakat Lio

Data yang diperoleh diverifikasi terlebih dahulu untuk memeriksa kelengkapannya. Kemudian data dianalisis secara deskriptif-kualitatif (Bungin 2011). Informasi yang didapat tentang pengetahuan masyarakat terhadap burung kancilan flores diklasifikasikan menjadi pengetahuan lokal atau adat setempat dan pengetahuan ilmiah atau berdasarkan ilmu pengetahuan yang telah berkembang. Data pengetahuan lokal yang diperoleh kemudian dikomparasikan dengan pengetahuan ilmiah yang sudah berkembang.

b. Persepsi

(20)

9 apabila memenuhi kriteria yang telah ditentukan (skor > 2). Kriteria skoring tersebut adalah sebagai berikut:

3 = ya

2 = Ragu / tidak tahu / bingung 1 = tidak

Penilaian diberikan secara objektif berdasarkan hasil wawancara serta diskusi yang telah dilakukan dengan informan, supaya nilai yang diberikan dapat mewakili seluruh aspek.

Berikut ini adalah uraian skoring yang akan dilakukan: 1. Manfaat kancilan flores dalam upacara-upacara atau ritual adat

Mengindikasikan persepsi masyarakat terhadap kemanfaatan kancilan flores dalam hal yang berkaitan dengan adat istiadat atau ritual.

3 = ya, penting (digunakan dalam ritual/ upacara adat) 2 = tidak tahu / ragu

1 = tidak, tidak penting (tidak digunakan dalam ritual/ upacara adat) 2. Manfaat kancilan flores secara ekonomi

Mengindikasikan persepsi masyarakat terhadap kemanfaatan Kancilan flores secara ekonomi (bahan konsumsi, hewan peliharaan maupun perdagangan).

3 = memilki nilai ekonomi tinggi (mahal) 2 = tidak tahu / ragu

1 = tidak bisa dijual atau dipelihara

3. Manfaat kancilan flores secara ekologis dalam keseimbangan alam

Mengindikasikan persepsi masyarakat tentang kemanfaatan atau peranan kancilan flores dalam menjaga keseimbangan alam.

3 = kancilan flores memiliki peran dalam keseimbangan ekosistem alam 2 = tidak tahu / ragu

1 = keberadaan kancilan flores tidak memiliki dampak sama sekali terhadap keseimbangan ekosistem alam

4. Nilai keindahan yang dimiliki kancilan flores sebagai potensi wisata

Mengindikasikan persepsi masyarakat tentang nilai estetika atau keindahan yang dimiliki kancilan flores sebagai potensi wisata.

3 = kancilan flores memiliki nilai keindahan kicauan / bulu 2 = tidak tahu / ragu

1 = kancilan flores tidak memiliki kicauan yang indah, warna bulunya tidak menarik

c. Sikap

Sikap merupakan pandangan Masyarakat Lio berupa kecenderungan untuk bertindak berkaitan dengan interaksi terhadap keberadaan kancilan flores. Data mengenai sikap Masyarakat Lio terhadap kancilan flores ini dianalisis dengan cara skoring. Skoring menunjukkan sikap masyarakat yang cenderung oportunis atau pragmatis jika skor (> 2). Semakin rendah skor pada analisis sikap ini, berarti sikap masyarakat cenderung konservatif atau relatif ingin mempertahankan keberadaan burung kancilan flores. Kriteria skoring adalah sebagai berikut:

1. Toleransi pemanenan

(21)

10

3 = tidak perlu adanya pembatasan. Karena populasinya banyak dan tingkat perkembangbiakan yang cepat. Jadi bebas bagi yang bisa menangkapnya

2 = tidak tahu / ragu

1 = perlu dilakukan pembatasan dalam pemanenan / tidak boleh dipanen sama sekali. Karena populasi kancilan flores terbatas dengan tingkat perkembangbiakan yang cenderung lambat.

2. Intensitas pemanenan

Mengindikasikan sikap masyarakat terkait batasan waktu diperbolehkannya melakukan pemanenan kancilan flores tanpa mengancam keberadaannya.

3 = terserah kalau bisa menangkapnya (bebas)

2 = tidak tahu / ragu / tidak menangkap sehingga tidak tahu

1 = perlu mempertimbangkan populasinya (semakin lebar jangka waktu pemanenan)

3. Subtitusi

Mengindikasikan boleh tidaknya kancilan flores digantikan dengan jenis lain dalam ritual atau upacara adat.

3 = kancilan flores dapat digantikan dengan jenis apapun pada upacara adat

2 = tidak tahu / tidak dipakai

1 = kancilan flores tidak dapat digantikan oleh jenis apapun 4. Pelanggaran terhadap peraturan dari pemerintah maupun peraturan adat

Mengindikasikan sikap masyarakat terhadap pelanggaran peraturan pemerintah maupun peraturan adat yang berkaitan dengan keberadaan kancilan flores.

3 = boleh melanggar peraturan 2 = tidak tahu / ragu

1 = peraturan tidak boleh dilanggar (harus ditaati) d. Perilaku

Data tentang perilaku masyarakat adat Suku Lio yang diperoleh selama penelitian dianalisis secara kualitatif–deskriptif (Bungin 2011). Analisis dilakukan dengan menggambarkan dan meringkas perilaku atau tindakan nyata Masyarakat Lio terhadap burung kancilan flores kemudian menonjolkannya sebagai suatu karakter. Luaran yang dicapai berupa kearifan lokal Masyarakat Lio tentang kancilan flores.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

(22)

11 hutan sub-montane dan montane (BTNKL 2010). Formasi hutan sub-montane didominasi oleh hutan alam diselingi oleh semak belukar. Zona montane didominasi oleh cemara gunung (Casuarina junghuhniana), longgo baja (Glochidion phillipicum), toko kata (Eurya acuminata) dan kebu (Homalanthus giganteus). Selain itu juga terdapat vegetasi cantigi ungu (Vaccinium varingiaefolium) dan turuwara (Rhododendron reschianum).

Kawasan TNKL meliputi 5 kecamatan dengan 23 desa penyangga di dalamnya. Penduduk di sekitar TNKL merupakan Masyarakat Lio dengan mata pencaharian utama sebagai petani. Keberadaan Masyarakat Lio tidak dapat dipisahkan dengan Danau Kelimutu yang dianggap sebagai tempat kembalinya arwah nenek moyang atau orang yang telah meninggal (BTNKL 2010). Masyarakat Lio juga masih taat terhadap ketentuan dan peraturan adat yang ada. Pada setiap kampung atau desa terdapat seorang Mosalaki atau pemangku adat yang mengatur segala urusan adat mereka.

Populasi dan Habitat Kancilan Flores

Kepadatan

Hasil inventarisasi diketahui bahwa kisaran kepadatan kancilan flores pada seluruh Kawasan TNKL adalah sebanyak 0.0389-0.3481 ind/ha atau dengan kisaran populasi sebanyak 186.41-1668.07 individu. Perhitungan tersebut diperoleh dari 31 jalur transek di seluruh kawasan. Secara umum kancilan flores dijumpai pada ekosistem yang berupa Hutan Alam (HA) dan Hutan Homogen (HH) cemara gunung (Casuarina junghuhniana) dan ampupu (Eucalyptus urophylla). Data pendugaan populasi dapat dilihat pada Lampiran 2.

Kepadatan kancilan flores di HA diperkirakan lebih besar dibandingkan dengan HH. Hal ini terlihat dari perjumpaan yang terjadi (Tabel 3).

Tabel 3 Perjumpaan kancilan flores pada HA dan HH

No. Tipe Ekosistem Perjumpaan (ind) Persentase (%)

1. Hutan Alam (HA) 33 86.84

2. Hutan Homogen (HH) 5 13.16

(23)

12

Gambar 4 Keanekaragaman spesies (H') pada HA dan HH

Keanekaragaman spesies tumbuhan di HA pada semua tingkat pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan HH. Terlihat bahwa pada tingkat tumbuhan bawah, semai, pancang, tiang dan pohon pada HA secara berturut-turut memiliki nilai keanekaragaman sebesar 1.48, 1.96, 2.13, 2.30 dan 2.54 atau tergolong keanekaragaman sedang. Sedangkan pada hutan homogen hanya tumbuhan bawah saja yang tergolong sedang yaitu 1.17, tingkat pertumbuhan lainnya tergolong rendah karena H‟<1 (Fachrul 2008). Berdasarkan data tersebut secara umum dapat diketahui bahwa HA memiliki keanekaragaman spesies sedang, penyebaran spesies sedang serta kestabilan komunitas yang juga sedang. HH memiliki keanekaragaman rendah, penyebaran rendah serta kestabilan komunitas yang juga rendah.

Faktor lain yang menyebabkan perjumpaan dengan kancilan flores di HA lebih banyak adalah karena secara umum HA memiliki kerapatan yang lebih tinggi daripada HH (Tabel 4).

Tabel 4 Kerapatan total spesies tumbuhan untuk semua tingkat pertumbuhan No. Tingkat pertumbuhan Kerapatan (ind/ha)

HA HH

1 Tumbuhan Bawah 198 750 474 444

2 Semai 29 688 1389

3 Pancang 7100 1622

4 Tiang 1050 639

5 Pohon 297 206

Keterangan: HA = Hutan Alam, HH = Hutan Homogen

Data tersebut menunjukkan bahwa hampir seluruh tingkat pertumbuhan di HA memiliki kerapatan lebih tinggi daripada HH. Berdasarkan data tersebut juga bisa dilihat bahwa HA memiliki strata tajuk yang relatif lebih beragam karena pada tingkat semai, pancang dan tiang memiliki kerapatan yang tinggi. HA yang berada di Kawasan TNKL cenderung berupa hutan sekunder karena memiliki kerapatan pada tingkat pertumbuhan rendah yang lebih tinggi. Kerapatan dan keanekaragaman spesies yang lebih tinggi ini pula yang menyebabkan kemungkinan keanekaragaman dan ketersediaan pakan kancilan flores juga tinggi.

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

Pohon Tiang Pancang semai Tumbuhan Bawah

N

il

ai

ke

an

eka

ra

ga

m

an

(H

')

Tingkat pertumbuhan

Hutan Alam

(24)

13 Jenis tumbuhan yang cenderung mudah dijumpai di HA antara lain gari (Schefflera lucida), paku pohon (Cyathea sp.), singgi (Litsea resinosa), merameke (Pittosporum moluccanum), urubara (Prunus arborea) dan cemara gunung (Casuarina junghuhniana). Berdasarkan pengamatan, jenis tersebut merupakan jenis yang sering digunakan kancilan flores untuk berkicau dan berlindung. Selain itu, dalam ekosistem HA jenis tersebut memiliki peranan yang signifikan ditunjukkan dengan besarnya nilai Indeks Nilai Penting (INP) yang dimilikinya. Sebagaimana pernyataan Sundarapandian dan Swamy (2000), salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui peranan jenis dalam suatu ekosistem adalah INP (Tabel 5).

Angka kepadatan kancilan flores yang berkisar antara 0.0389-0.3481 ind/ha berarti bahwa dalam satu hektar hanya terdapat sekitar 0.04-0.35 individu atau setiap hektar hanya ada 1 individu. Kepadatan tersebut menunjukkan bahwa kancilan flores cukup jarang dijumpai di Kawasan TNKL. Apabila dilihat dari luasnya, Kawasan TNKL masih memiliki daya dukung yang baik. Terutama memiliki Hutan Alam dengan kondisi baik. Artinya Kawasan TNKL masih cukup luas untuk menyediakan sumberdaya sampai kepadatan mencapai sekitar 4-10 ind/ha. Karena berdasarkan pengamatan, rata-rata teritori kancilan flores seluas 1000–2500 m2. Menurut Horn (1968) dan Johnson et al. (2002) diacu dalam (Barnard 2004), perilaku teritorial suatu jenis berhubungan dengan persebaran temporal dan spasial serta ketersediaan pakan.

Sex ratio

Sex ratio atau nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah individu jantan dan betina. Berdasarkan pengamatan, kancilan flores betina lebih sulit dijumpai dibandingkan dengan kancilan flores jantan. Hal ini dikarenakan kancilan flores betina tidak berkicau, dan cenderung tidak terlalu agresif dalam mencari makan atau aktivitas lainnya. Terlebih warna bulunya yang hijau hampir menyerupai warna daun sehingga keberadaannya tersamarkan oleh tajuk hutan.

Tabel 5 INP seluruh tingkat pertumbuhan di HA

No. Tingkat Nama Jenis Nama Ilmiah INP (%)

1 Tumbuhan Bawah

Rumput Disporum sp. 96.40

Kirinyuh Eupatorium odoratum 16.77

Pakis kecil Adhiantum sp. 12.21

2 Semai Singgi Litsea resinosa 65.91

Urubara Prunus arborea 20.65

Merameke Pittosporum moluccanum 18.22

3 Pancang Singgi Litsea resinosa 52.47

Merameke Pittosporum moluccanum 24.73

Paku pohon Cyathea sp. 19.37

4 Tiang Paku pohon Cyathea sp. 88.79

Gari Schefflera lucida 30.24

Singgi Litsea resinosa 27.67

5 Pohon Gari Schefflera lucida 56.27

Urubara Prunus arborea 36.49

(25)

14

Berdasarkan pengamatan pada ekosistem HA dijumpai 25 individu jantan dan 5 individu betina. Sedangkan pada ekosistem HH dijumpai 6 individu jantan dan tidak dijumpai individu betina. Individu betina tidak dijumpai pada ekosistem HH diperkirakan karena pada saat pengamatan adalah musim berbiak, sehingga individu betina cenderung pasif dan berada di sekitar sarang. Sarang tersebut cenderung berada di ekosistem HA dengan karakteristik strata tajuk lengkap. Sedangkan HH cenderung hanya memiliki tingkat pertumbuhan berupa pohon dan tumbuhan bawah. Selain itu, pada HH cenderung didominasi oleh tumbuhan kirinyuh, sehingga kurang memungkinkan tumbuhan lain untuk tumbuh. Individu yang dijumpai di HH juga sebatas hanya lewat atau hanya berkicau, sebab HH yang ada berbatasan langsung dengan HA.

Dugaan nisbah kelamin kancilan flores jantan dengan betina adalah 6.2:1. Artinya setiap 6.2 atau setidaknya 7 individu jantan berpasangan dengan 1 individu betina. Perbandingan jumlah jenis kelamin tersebut kemungkinan terjadi karena individu betina yang sulit diamati serta waktu pengamatan merupakan musim berbiak sehingga individu betina kurang aktif. Namun demikian pada umumnya satwa dengan sexual dimorphism memang harus bersaing dengan jantan lain untuk mendapatkan betina. Telah disampaikan pada sub bab sebelumnya bahwa kancilan flores bersifat teritorial. Umumnya burung yang bersifat teritorial memiliki sistem perkawinan monogami. Artinya dalam suatu teritori dihuni oleh sepasang burung jantan dan betina. Hal ini dikuatkan juga dengan pernyataan Davies (1991) dan Clutton-Brock (1989) diacu dalam Barnard (2004), bahwa kebanyakan burung kicauan (passerine) memiliki sistem perkawinan monogami.

Persebaran

Ketinggian tempat

Ketinggian tempat merupakan salah satu faktor yang sering disebutkan dalam memperkirakan asosiasi habitat burung (Bibby et al. 2000). Persebaran burung kancilan flores pada Kawasan TNKL berdasarkan pengamatan meliputi ketinggian diatas 1000 mdpl (Gambar 5). Hal ini juga disebabkan karena Kawasan TNKL berada pada ketinggian 1000–1700 mdpl (BTNKL 2010). Peta perjumpaan kancilan flores selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.

Gambar 5 Perjumpaan kancilan flores berdasar ketinggian tempat 0 2 4 6 8 10 12

< 1100 1100 -1200 1200 -1300 1300 -1400 1400 -1500 1500 -1600 > 1600 pe rj um pa an (i n d. )

(26)

15 Grafik persebaran kancilan flores berdasarkan ketinggian tersebut memperlihatkan bahwa populasi kancilan flores paling banyak dijumpai pada ketinggian 1300-1500 mdpl. Semakin rendah ketinggian tempat di Kawasan TNKL berarti semakin dekat pula dengan batas kawasan yang rata-rata berbatasan langsung dengan kebun penduduk dengan tingkat kerapatan vegetasi rendah. Hal ini menyebabkan perjumpaan dengan kancilan flores pada ketinggian ini tidak terlalu banyak. Begitu pula semakin naik ketinggian tempat, semakin sedikit pula kancilan flores yang dijumpai. Pada ketinggian diatas 1500 mdpl vegetasi sudah mulai berubah, yakni sudah mulai didominasi oleh cemara gunung (Casuarina junghuhniana), turuwara (Rhododendron reschianum) serta arngoni (Vaccinium varingiaefolium). Artinya semakin tinggi dan mendekati danau, tutupan tajuk mulai terbuka. Namun demikian, jika membandingkan jumlah perjumpaan pada ketinggian <1300 mdpl dengan ketinggian >1500 mdpl, jumlah kancilan flores pada ketinggian >1500 mdpl lebih besar. Hal ini terjadi karena kancilan flores cenderung lebih menyukai daerah pegunungan dengan suhu udara yang sejuk dan lembab serta karena pada ketinggian ini gangguan aktifitas manusia lebih rendah.

Jarak terhadap Aktifitas Manusia

Pengaruh aktifitas manusia masih menjadi sebuah kendala bagi upaya konservasi di setiap kawasan (Bibby et al. 2000). Aktifitas manusia dapat mempengaruhi keberadaan burung beserta habitatnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak secara langsung terjadi misalnya disebabkan oleh aktifitas berburu sehingga populasi mengalami penurunan. Dampak tidak langsung misalnya apabila manusia menebang pohon sehingga mempengaruhi kondisi vegetasi atau habitat predator burung sehingga secara tidak langsung mempengaruhi keberadaan burung di daerah tersebut. Sebagai pengganti cara mengetahui besarnya dampak manusia dapat digunakan ukuran tidak langsung seperti jarak dari jalan maupun dari kampung (Bibby et al. 2000).

Persebaran kancilan flores berdasarkan jarak dengan aktifitas manusia di Kawasan TNKL dapat dilihat dari frekuensi perjumpaannya pada tempat-tempat yang berbatasan langsung atau dekat dengan jalan raya, kebun penduduk, kawasan wisata serta pemukiman (Tabel 6).

Tabel 6 Perjumpaan kancilan flores berdasarkan jarak dengan manusia

No. Obyek Jumlah (individu) Persentase (%)

1 I 19 67.86

2 II 3 10.71

3 III 6 21.43

Keterangan: I= Hutan sekunder di sekitar jalan aspal yang berada di dalam kawasan, II= Hutan sekunder yang berbatasan langsung dengan kebun penduduk di sekitar kawasan, III= Hutan sekitar tempat parkir kawasan wisata.

(27)

16

Kondisi sebaliknya terjadi pada tempat yang berbatasan langsung dengan kebun penduduk yang hanya dijumpai kancilan flores sebanyak 10.71% serta di sekitar tempat parkir kawasan wisata yang hanya dijumpai 21.43%. Hal tersebut dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi di daerah itu, ketinggian tempat serta pengalaman burung kancilan flores terhadap perlakuan manusia. Semakin mendekati kebun penduduk aktifitas manusia semakin intensif. Wilayah tersebut juga tidak dilindungi sehingga manusia lebih leluasa untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada, termasuk satwa. Kondisi hutan di sekitar tempat parkir kawasan wisata Danau Kelimutu memiliki tutupan tajuk cukup terbuka, hanya di pinggir jalan setapak dan di arboretum saja yang berupa hutan alam yang berada pada ketinggian >1500 mdpl. Perjumpaan di tempat ini lebih tinggi dibandingkan dengan sekitar kebun penduduk karena wilayah ini termasuk kawasan sehingga dilindungi. Selain itu vegetasi di wilayah ini relatif lebih rapat dibandingkan dengan hutan sekunder yang berbatasan langsung dengan kebun penduduk. Oleh sebab itu, meskipun banyak manusia yang beraktifitas namun tidak bisa sembarang menangkap atau merusak lingkungan alam.

Karakteristik Habitat Kancilan Flores

Karakteristik Sumber Pakan

Habitat kancilan flores di Kawasan TNKL secara umum berupa Hutan Alam (HA) dengan karakteristik lembab dan memiliki vegetasi yang hijau sepanjang tahun. Habitat tersebut berfungsi sebagai penyedia pakan, air dan pelindung (Dasmann 1964; Wiersum 1973; Alikodra 1983 dan Bailey 1984) diacu dalam Alikodra (2002). Kondisi habitat yang lembab dan memiliki vegetasi hijau erat kaitannya dengan keberadaan serangga yang merupakan pakan utama kancilan flores. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Ensiklopedi Indonesia (2003) bahwa habitat tersebut merupakan sumber pangan bagi belalang.

Berdasarkan pengamatan, pada HA juga banyak dijumpai pohon mati dan tumbang yang telah lapuk. Alikodra (2002) menyatakan bahwa pohon yang tumbang dan lapuk tersebut merupakan penghasil makanan, pelindung dan tempat istirahat bagi burung dan mamalia kecil. Selain itu, pada HA juga banyak dijumpai paku pohon (Cyathea sp) yang memiliki batang berongga dan banyak ditumbuhi liana. Batang paku pohon tersebut merupakan sarang bagi serangga. kancilan flores juga dijumpai sedang melakukan perilaku mandi dengan memanfaatkan embun yang ada pada daun paku pohon, selain sebagai sumber air minum.

(28)

17 bersinar lebih lama. Hal ini pula yang mempengaruhi perilaku berbiak kancilan flores.

Keberadaan serangga sebagai pakan kancilan flores juga tidak bisa terlepas dari keberadaan tumbuhan atau pohon yang berbuah dan berbunga. Keberadaan bunga juga bergantung pada tingkat kelembaban. Hal ini dinyatakan Mortensen & Gislerod (2000) bahwa pada beberapa bunga, kelembaban yang tinggi menyebabkan pertumbuhan yang lebih ekstensif dan menghasilkan banyak bunga. Jenis pohon yang diketahui sedang berbuah pada saat pengamatan adalah kelo (Ficus variegata).

Kancilan flores juga sesekali berada di Hutan Homogen (HH) untuk mencari makan atau sekadar lewat. Berdasarkan pengamatan, keberadaan serangga di ekosistem HH cukup banyak, terlebih tutupan tajuk pada HH tidak terlalu rapat sehingga sinar matahari dapat dengan mudah masuk ke dalam strata tajuk bagian bawah. Namun mungkin karena terlalu panas dan strata yang ada hanya berupa pohon dan tumbuhan bawah yang didominasi oleh kirinyuh, maka kancilan flores cenderung tidak menetap di sekitar HH. Kancilan flores hanya menjadikan HH sebagai tempat mencari makan dan sesekali berkicau pada pohon yang tinggi. Secara umum keberadaan HH berselang-seling dengan HA, sehingga kancilan flores dapat dengan mudah berpindah atau melintas.

Karakteristik Lindungan (cover)

Strata tajuk pada HA memiliki beberapa tingkatan berdasarkan ketinggian. Menurut vanBalen (1984), strata tajuk dibagi menjadi empat tingkat, yaitu E (ketinggian hutan <1 m), D (1–4.9 m), C (5–19.9 m), B (20–30 m) serta A (>30 m). Strata pada HA meliputi tingkat E, D, C dan B. Bertingkatnya strata tajuk tersebut menyebabkan lingkungan di sekitar hutan terjaga kelembabannya meski hari sedang terik. Hal inilah salah satu faktor penyebab kancilan flores cenderung memilih menetap di HA. Jenis tumbuhan yang digunakan oleh kancilan flores sebagai lindungan adalah cemara gunung (Casuarina junghuhniana), gari (Schefflera lucida), kelo (Ficus variegata) serta urubara (Prunus arborea). Jenis tersebut memiliki diameter yang besar dan tinggi pohon rata-rata sekitar 20 m. Pohon tersebut juga memiliki banyak cabang sebagai tempat bertengger dan tempat berkicau kancilan flores pada pagi hari.

Lindungan kancilan flores juga berupa tumbuhan dengan tingkat tiang dan pancang yang didominasi oleh jenis paku pohon, singgi dan merameke. Strata tajuk ini selain berfungsi sebagai penyedia pakan, juga berfungsi sebagai lindungan. Pada tingkat strata ini kancilan flores dengan karakteristik yang tidak terlalu lincah dan memiliki warna bulu hampir sama dengan warna daun akan tersamarkan dari predator. Selain itu karena cahaya yang bisa menembus strata bagian bawah hanya sedikit, menyebabkan keberadaan kancilan flores semakin tersamarkan.

(29)

18

memberikan perlindungan dari terik matahari dan hujan angin. Sedangkan tiang, pancang dan semai sebagai tempat mencari makan dan bersarang. Tumbuhan bawah yang juga beranekaragam jenisnya berfungsi sebagai bahan untuk membuat sarang.

Karakteristik HA tersebut cenderung tidak dimiliki oleh HH. Hutan homogen yang didominasi oleh cemara gunung dan ampupu memiliki keanekaragaman yang rendah serta kerapatan yang relatif rendah pula. Berdasarkan pengamatan diketahui pula bahwa pohon ampupu cenderung memiliki batang yang relatif lurus dan kulit kayu yang mengelupas. Tingkat pertumbuhan dibawahnya cenderung sangat jarang, serta pada tingkat tumbuhan bawah didominasi oleh tumbuhan kirinyuh. Kirinyuh tumbuh di bawah tegakkan ampupu dengan sangat rapat, sehingga mengalahkan jenis tumbuhan bawah maupun semai tumbuhan yang lain. Oleh sebab itu keanekaragaman jenis pada hutan homogen tergolong rendah. Hal inilah yang menyebabkan kancilan flores cenderung tidak menyukai tipe vegetasi tersebut.

Karakteristik Bersarang

Keberadaan sarang merupakan salah satu indikator bahwa tempat tersebut merupakan habitat yang cocok bagi suatu organisme. Keberadaan sarang kancilan flores di Kawasan TNKL ditemukan di Hutan Alam (HA) pada ketinggian 1560 mdpl. Burung kancilan flores betina dijumpai tengah membuat sarang pada akhir musim kemarau yaitu pada awal Bulan Oktober. Sarang tersebut dibuat pada sebuah pancang singgi (Litsea resinosa) dengan tinggi 5.5 m serta diameter sarang sekitar 15–17 cm (Gambar 6). Pemilihan waktu bersarang kemungkinan berkaitan dengan ketersediaan pakan karena menurut Alikodra (2002), wilayah yang mengenal dua musim, potensi makanan terbaik adalah pada awal musim hujan.

Gambar 6 a) sarang kancilan flores pada pancang singgi dan b) diameter sarang yang telah rusak

(30)

19 Tumbuhan penyusun sarang kancilan flores berupa tumbuhan bawah dan daun kering yang ada di sekitarnya. Setidaknya ada 5 jenis tumbuhan penyusun sarang kancilan flores (Tabel 7).

Tabel 7 Tumbuhan penyusun sarang kancilan flores

No. Nama Nama ilmiah Bagian yang digunakan

1 Rumput Disporum sp. Seluruh bagian, kondisi kering 2 Seli Freycinetia insignis Daun kering

3 Muku Ata mata Alpinia myrrocratera Daun kering 4 Paku rambat Pteris sp. Daun kering 5 Rumput x Melothria affinis Batang kering

Tumbuhan tersebut merupakan tumbuhan yang hanya dijumpai pada HA yang tumbuh pada tempat yang lembab. Tercatat suhu rata-rata harian di sekitar sarang adalah 19.44 0C dengan suhu harian terendah 18.33 0C dan suhu harian tertinggi 20.33 0C. Menurut Alikodra (2002), suhu lingkungan merupakan faktor penting pada biosfer yang mempengaruhi reproduksi pertumbuhan dan kematian satwaliar. Begitu pula menurut Wirakusumah (2003), suhu memberikan pengaruh ekologis pada penyebaran populasi secara latitudinal musiman dan altitudinal. Suhu memiliki hubungan yang erat dengan penyinaran matahari. Menurut Ewusie (1990), rata-rata lama penyinaran matahari harian di daerah tropis tertinggi terjadi pada bulan September. Lama penyinaran matahari berpengaruh terhadap perilaku reproduksi hewan dan tumbuhan (Wirakusumah 2003). Kelembaban rata-rata harian sekitar sarang mencapai 88.67 %, dengan kelembaban harian terendah 82%. Sebagaimana diketahui bahwa kelembaban yang tinggi berpengaruh terhadap keberadaan perbungaan suatu tumbuhan sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi keberadaan pakan kancilan flores yang berupa serangga.

[image:30.595.110.476.497.757.2]

Sarang kancilan flores memiliki bentuk yang tidak mencolok, bahkan tersamarkan oleh daun singgi yang mengumpul. Hal ini sebagai upaya mempertahankan diri agar terhindar dari predator maupun manusia. Perilaku bersarang ini menunjukkan bahwa kancilan flores membutuhkan habitat dengan strata tajuk hutan yang bertingkat, artinya ia membutuhkan hutan yang memiliki kerapatan cukup tinggi pada setiap tingkat pertumbuhan tumbuhan. Selain itu kancilan flores membutuhkan tumbuhan bawah yang beranekaragam sebagai sumber pakan serangga maupun bahan pembuat sarang. Karakter seperti ini hanya terdapat pada HA terutama hutan sekunder yang selain memiliki pohon besar sebagai tempat berkicau, juga pancang dan tiang sebagai tempat bersarang (Gambar 7).

(31)

20

Gangguan terhadap Kancilan Flores

Gangguan masyarakat secara langsung terhadap burung tersebut cenderung rendah. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat sekitar tidak berani untuk menangkapnya. Selain itu di sekitar Kabupaten Ende sangat jarang dijumpai orang yang menjual burung ini, sehingga masyarakat belum tergiur untuk menangkap dan menjualnya. Padahal burung yang dikenal dengan nama samyong, semeong atau sangkalawe ini cukup banyak diperdagangkan di daerah lain. Harga burung kancilan flores yang baru ditangkap mencapai Rp200 000-Rp400 000 per ekor. Menurut situs jual-beli online (www.berniaga.com) apabila sudah memiliki kicauan yang banyak, harga burung ini bisa mencapai Rp2 000 000. Kondisi tersebut suatu saat dapat mempengaruhi perilaku masyarakat sekitar Kawasan TNKL untuk ikut berburu kancilan flores.

Gangguan yang bersifat alami berasal dari semakin banyaknya tumbuhan kirinyuh (Eupatorium odoratum). Apabila tumbuhan ini semakin menyebar di kawasan, maka keberadaan kancilan flores semakin terancam. Sebab kirinyuh memiliki pertumbuhan yang sangat cepat sehingga tidak memungkinkan tumbuhan bawah lain untuk tumbuh. Padahal seperti yang telah disebutkan bahwa kancilan flores membutuhkan jenis tumbuhan bawah tertentu untuk membangun sarangnya.

Gangguan lain yang jarang disadari oleh masyarakat maupun pengelola TNKL adalah hewan piaraan yang masuk ke dalam kawasan. Berdasarkan pengamatan sering terlihat hewan gembalaan seperti sapi dan kambing yang ditambatkan di dalam kawasan. Padahal menurut Alikodra (1990), hewan gembalaan yang masuk kedalam kawasan dapat merusak kegemburan tanah dan tumbuhan bawah di sekitar kawasan. Hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan vegetasi pada lokasi tersebut, sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi ekosistem hutan.

Hewan piaraan lain yang juga sering tidak disadari pengaruhnya terhadap kawasan adalah anjing dan kucing yang dibawa oleh pengunjung dan pedagang di sekitar Danau Kelimutu. Anjing dan kucing yang merupakan karnivora dapat memangsa satwa yang ada di dalam kawasan. Secara tidak langsung, anjing juga dapat membuat kancilan flores takut untuk berkicau, bahkan pergi menjauh. Begitu pula dengan kucing yang memiliki kemampuan untuk memanjat pohon, dapat memangsa kancilan flores. Oleh sebab itu pengelola perlu memperhatikan hal ini karena walaupun terkesan kecil namun mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelestarian kancilan flores.

Etno-ornitologi

Pengetahuan Masyarakat Lio

(32)

21 kehidupan Masyarakat Lio semakin berkembang. Namun demikian sebagian dari mereka masih mempertahankan kepercayaan yang dianut secara turun-temurun termasuk cara berinteraksi dengan alam.

Secara umum Masyarakat Lio mengetahui tentang adanya burung kancilan flores (dalam bahasa lokal disebut Garugiwa). Pengetahuan tersebut dipengaruhi oleh interaksi masyarakat dengan burung tersebut, cerita dari orang tua maupun cerita masyarakat sekitar. Hal ini tergambarkan pada hasil wawancara terhadap 57 orang responden (Tabel 8).

Tabel 8 Persentase pengetahuan responden tentang adanya burung kancilan flores

No. Jenis Kelamin Pengetahuan Persentase

(%) Tahu Tidak Tahu

1. Laki-laki 44 1 97.78

2. Perempuan 10 2 83.33

Responden dengan jenis kelamin laki-laki 97.78% mengetahui bahwa ada jenis burung yang bernama kancilan flores. Hanya terdapat satu orang pelajar yang mengaku tidak tahu. Sedangkan responden perempuan 83.33% mengetahui adanya burung bernama kancilan flores, dua orang yang mengaku tidak tahu yaitu seorang petani dan seorang pelajar SMA. Responden tersebut berusia 12, 17 dan 26 tahun. Mereka mengaku tidak pernah mendengarnya dari orang tua mereka. Hal ini menunjukkan bahwa responden yang tidak mengetahui kancilan flores adalah responden yang cenderung tidak memiliki akses langsung terhadap Kawasan TNKL serta belum mendapatkan transfer informasi dari orang tua atau lingkungan mereka.

a. Nama Lokal dan Artinya

Masyarakat Lio mengetahui kancilan flores dengan nama “Garugiwa”. Menurut seorang responden dengan tingkat pendidikan Sarjana menyebutkan bahwa asal kata Garugiwa terdiri dari kata Garu yang artinya guru yang mengayomi dan giwa yang artinya kalung. Namun demikian mayoritas responden menuturkan bahwa nama garugiwa tidak memiliki arti khusus. Mereka mengenal kancilan flores berdasarkan cerita dari orang tua sebagai burung hutan yang memiliki suara bermacam-macam dan dapat menirukan suara satwa lain yang ada di sekitarnya. Oleh sebab itu masyarakat menganalogikan kancilan flores dengan orang yang cerewet.

b. Mitos atau Kepercayaan

Mayoritas responden menyatakan bahwa tidak ada mitos tentang kancilan flores. Namun terdapat beberapa nilai atau kepercayaan tertentu terhadap kancilan flores. Beberapa orang, terutama masyarakat dengan usia lanjut, mosalaki dan seorang pedagang di Danau Kelimutu percaya bahwa kancilan flores merupakan perwujudan nenek moyang, sehingga tidak boleh sembarang ditangkap. Ada juga yang menyebut kancilan flores adalah burung arwah karena dahulu burung ini jarang terlihat wujudnya namun suaranya banyak dan nyaring. Hal ini sesuai dengan fakta di lapangan bahwa kancilan flores cenderung berkicau pada strata tajuk atas dengan suara nyaring. Selain itu kancilan flores memiliki warna bulu yang hampir sama dengan daun, sehingga cukup susah untuk menemukan posisi serta melihat fisik kancilan flores.

(33)

22

dari pernyataan itu adalah bahwa kancilan flores memiliki jenis kicauan yang banyak dan bervariasi. Selain itu kancilan flores juga pandai menirukan suara satwa di sekitarnya. Tercatat menurut BTNKL (2007) kancilan flores memiliki 17 jenis kicauan. Masyarakat juga percaya bahwa apabila kita sengaja mencari burung ini maka kita tidak akan menjumpainya karena seolah-olah burung ini tahu niat kita. Secara eksplisit pernyataan tersebut mengajak kepada masyarakat agar jangan dengan sengaja mencari kancilan flores. Ajakan itu bermaksud untuk membatasi interaksi antara manusia atau warga masyarakat dengan kancilan flores agar keberadaannya tetap lestari. Hal ini dapat memperkecil kemungkinan perburuan atau penangkapan kancilan flores oleh masyarakat.

Responden lanjut usia dari desa yang tidak berbatasan langsung dengan Kawasan TNKL menyatakan bahwa “kancilan flores takut terhadap laut, kancilan flores harus berada di tengah-tengah (Pulau Flores)”. Pernyataan tersebut mengandung maksud bahwa kancilan flores tidak pernah berada di sekitar laut (pantai atau dataran rendah), baik pantai utara maupun pantai selatan. Namun berada di tengah-tengah Pulau Flores (yang berupa pegunungan). Tersirat bahwa kancilan flores hanya dijumpai di daerah pegunungan yang memiliki elevasi tinggi dan relatif jauh dari laut. Pernyataan tersebut terbukti kebenarannya. Berdasarkan pengamatan populasi dan habitat yang dilakukan di hutan yang memiliki elevasi rendah dan cenderung dekat dengan pantai tidak dijumpai kancilan flores. Hal ini berarti bahwa Masyarakat Lio sudah mengetahui bahwa kancilan flores tersebar di daerah pegunungan.

Seorang responden yang berprofesi sebagai pedagang serta pemandu wisata Danau Kelimutu menyebutkan bahwa “kancilan flores merupakan lambang adat”. Hal ini dikarenakan warna bulu kancilan flores sama dengan warna air Danau Kelimutu pada zaman dahulu. Pernyataan tersebut mungkin benar, karena memang kebudayaan itu selalu berkembang menyesuaikan keadaan lingkungan alam (Adimihardja 1999). Hal tersebut dinyatakan juga oleh Vayda dan Roy (1968) diacu dalam Ember dan Ember (1973), bahwa lingkungan fisik dan sosial berpengaruh terhadap perkembangan kebudayaan. Dahulu Tiwu Ata Polo berwarna merah, seperti kerongkongan kancilan flores. Kemudian Tiwu Nuwamuri Koofai berwarna hijau sebagaimana warna bulu kancilan flores. Tiwu Ata Bupu berwarna hitam seperti warna kepala kancilan flores jantan.

c. Ciri Fisik Kancilan flores

(34)

23

Gambar 8 a) kancilan flores betina, b) kancilan flores jantan

Dua orang responden di desa yang tidak berbatasan langsung dengan kawasan menyebutkan ciri yang tidak sesuai dengan ciri tersebut. Responden tersebut menyebutkan ciri-ciri kancilan flores yaitu bulu berwarna biru tua, leher biru dan putih, paruh panjang berwarna hitam atau merah. Kemungkinan ciri tersebut merupakan ciri burung cekakak tunggir-putih (Caridonax fulgidus) dan cekakak sungai (Halcyon chloris) yang banyak dijumpai disekitar kawasan. Beberapa responden dengan tingkat pendidikan SD menyebutkan ciri-ciri yang hampir sama namun mereka menyebutkan warna bulu yang seharusnya hijau dengan warna biru atau abu-abu. Terdapat beberapa kemungkinan dalam penyebutan ciri-ciri berupa warna bulu. Pertama karena tingkat pendidikan mereka yang tergolong rendah, sehingga yang dimaksud dengan warna biru seharusnya adalah hijau. Kedua, karena pengaruh cahaya, yaitu ketika melihat kancilan flores dalam keadaan siluet sehingga terlihat gelap.

Masyarakat umumnya mengetahui bahwa kancilan flores memiliki suara yang nyaring dan bervariasi. Selain itu kancilan flores juga dikenal sebagai burung yang pandai meniru suara. Menurut mereka kicauan kancilan flores bisa menyerupai suara kuda, ayam berkokok, anjing menggonggong, babi mendengkur, suara burung lain serta suara aktifitas manusia dan sirine. Hal tersebut memang sesuai dengan fakta di lapangan. Terdengar bahwa kicauan kancilan flores menyerupai anjing yang menggonggong, sirine, suara srigunting wallacea (Dicrurus densus) serta satwa lain yang ada disekitarnya.

d. Pakan

[image:34.595.117.509.85.258.2]
(35)

24

e. Lokasi Persebaran dan Waktu Beraktifitas

Masyarakat menyatakan bahwa lokasi dijumpai burung ini adalah di hutan alam yang memiliki pohon besar, tinggi dan rapat yaitu di sekitar Danau Kelimutu. Beberapa responden menyebutkan bahwa selain di sekitar Danau Kelimutu kancilan flores juga dijumpai di Kecamatan Kelisoke, Ndenga Rongge, hutan Lepe Mbusu serta hutan Tana Melo juga pada hutan alam yang lembab dan dingin di pegunungan. Kancilan flores kerap terlihat pada pohon cemara gunung, urubara, singgi dan pohon besar lainnya. Hal ini juga sesuai dengan Coates & David (1997) yang menyebutkan bahwa kancilan flores umumnya menghuni hutan primer, hutan basah perbukitan sekunder yang tinggi, hutan pegunungan, hutan cemara dan hutan yang rusak. Menurut masyarakat, dahulu kancilan flores hanya terlihat berada di strata tajuk bagian atas dan di tempat yang jarang dilalui manusia. Namun saat ini di sekitar Danau Kelimutu, kancilan flores sering dijumpai pada strata bawah dan tengah serta seakan tidak terganggu oleh kehadiran kendaraan.

Kancilan flores beraktifitas sepanjang hari (pagi, siang dan sore), namun sangat jarang pada tengah hari. Aktifitas pada pagi hari adalah berkicau yaitu mulai sekitar pukul 06.00–09.00, setelah itu sekitar pukul 09.00–11.00 kancilan flores mencari makan sehingga pada waktu ini kicauan kancilan flores mulai berkurang. Pukul 12.00 kancilan flores tidak terlihat, kemungkinan sedang beristirahat. Kemudian pada sore hari mulai pukul 15.00 kancilan flores mulai beraktifitas kembali hingga menjelang senja. Menurut masyarakat, kancilan flores hanya berkicau ketika berada pada strata tajuk bagian atas dan lebih aktif ketika sinar matahari tidak terlalu terik. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan bahwa kicauan terbanyak terjadi pada pagi hari serta pada tajuk bagian atas sebagai upaya penandaan teritori mereka. Kemudian menjelang siang kancilan flores mulai mencari makan berupa serangga. Sebagaimana telah dibahas pada sub-bab sebelumnya bahwa serangga mulai aktif ketika suhu lingkungan mulai meningkat. f. Musim berbiak dan perilaku berbiak

Masyarakat Lio umumnya tidak mengetahui musim berbiak dan bagaimana perilaku yang ditunjukkan. Namun menurut mereka, kancilan flores lebih banyak dijumpai pada musim kemarau yaitu mulai Bulan Mei hingga akhir tahun. Beberapa responden yang sering berinteraksi dengan kawasan (Tenaga harian TNKL, pedagang dan pemandu wisata Danau Kelimutu) menyebutkan bahwa musim kawin terjadi pada Bulan Agustus hingga September. Pada musim kawin betina terlihat lebih mengkilat, sedangkan jantan berkicau seperti burung nuri “ceet-ceet-ceet”. Jantan berkicau sambil terbang dari dahan ke dahan.

Masyarakat juga menyatakan bahwa kancilan flores cenderung terlihat sendirian. Namun ada juga responden yang menyatakan bahwa kancilan flores kerap terlihat berkelompok 2-3 ekor dalam satu pohon, bahkan hingga 10 ekor. Pernyataan responden tersebut diperkirakan keliru, sebab berdasarkan pengamatan kancilan flores cenderung soliter, sebab burung ini mempertahankan teritorinya dengan cara berkicau. Pendapat responden yang menyatakan kancilan flores berkelompok agaknya hanya merupakan perkiraan mereka, sebab responden yang menyatakan hal tersebut jarang berjumpa langsung dengan kancilan flores atau hanya mengetahui ada burung bernama kancilan flores berdasarkan cerita.

(36)

25 flores sangat tertutup. Hal ini sesuai fakta yang telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya tentang karakteristik sarang. Responden yang dahulu sering masuk ke hutan untuk mencari gaharu maupun madu hutan menambahkan bahwa ketika mengerami telur, betina berada di dalam sarang sedangkan jantan di luar sarang. Beberapa responden yang bermata pencaharian sebagai petani dengan usia 40-50 tahun menyatakan bahwa kancilan flores bersarang di dalam lubang pohon yang besar. Namun kebenaran pernyataan tersebut belum bisa dibuktikan.

g. Populasi

Umumnya masyarakat menyatakan bahwa populasi kancilan flores tidak mengalami perubahan secara signifikan. Responden yang berdomisili jauh dari kawasan menyatakan bahwa populasinya semakin sedikit. Responden yang menyatakan hal tersebut merupakan responden yang tidak pernah berinteraksi dengan Kawasan TNKL. Responden yang bertempat tinggal dan sering pergi ke sekitar Danau Kelimutu berpendapat bahwa saat ini populasi kancilan flores semakin meningkat, terutama di sekitar Danau Kelimutu karena semakin mudah dijumpai. Masyarakat umunya tidak mengetahui musuh alami kancilan flores, sebab belum pernah melihat secara langsung kancilan flores dimangsa satwa lain. Namun seorang mosalaki menyatakan bahwa musuh alami kancilan flores adalah burung-burung besar seperti elang dan rajawali. Namun demikian kebenaran informasi tersebut belum dapat dipastikan, sebab dia mengaku belum pernah melihat secara langsung burung-burung besar tersebut menyerang atau memangsa kancilan flores. Pedagang di kawasan wisata Danau Kelimutu menyatakan bahwa kemungkinan kancilan flores tidak memiliki musuh atau pengganggu.

h. Peraturan adat dan peraturan pemerintah

Masyarakat Lio pada umumnya mengaku mengetahui bahwa mereka dilarang mengambil atau menangkap satwa dan tumbuhan di dalam Kawasan TNKL. Pengetahuan tersebut mereka dapatkan dari papan larangan yang dipasang oleh BTNKL di sekitar kawasan serta dari cerita atau sosialisasi yang dilakukan oleh petugas BTNKL. Demikian juga secara adat tidak ada peraturan khusus yang mengatur bagaimana berinteraksi dengan kancilan flores. Namun demikian sebagian masyarakat terutama yang berusia lanjut percaya bahwa mereka tidak boleh sembarang menangkap kancilan flores maupun satwa lain, karena berhubungan dengan nenek moyang.

i. Nilai Religi Masyarakat Lio

(37)

26

satwa atau pohon-pohon di dalam hutan. Hal tersebut berlaku juga untuk kancilan flores.

Persepsi dan Sikap Masyarakat Lio

Pengetahuan Masyarakat Lio tentang kancilan flores yang telah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya akan membangun persepsi dan sikap mereka. Sebagaimana dinyatakan Matlin dan Solso diacu dalam (Suharnan, 2005), persepsi adalah proses penggunaan pengetahuan yang dimiliki untuk menanggapi dan menginterpretasikan rangsang yang diterima oleh alat indera. Persepsi akan membentuk suatu sikap yang merupakan pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak terhadap suatu objek sesuai dengan keyakinannya (Purwanto 1998).

Persepsi Masyarakat Lio secara umum cenderung positif, artinya mereka menganggap kancilan flores merupakan

Gambar

Gambar 1  Lokasi penelitian
Tabel 1  Tahapan kegiatan penelitian
Gambar 3  Ilustrasi metode analisis vegetasi petak ganda
Tabel 2  Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wiener
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bagi beberapa pelaku ercibal , alasan mereka melakukan ercibal (pemberian sesajian) pada lokasi-lokasi yang dianggap keramat tersebut dikarenakan nini (nenek) yang berada

Bahan organik tanaman memiliki peranan penting sebagai sumber makanan bagi cacing tanah, tidak hanya kuantitas tetapi kualitas yang dapat menghambat populasi

Masalah utama yang dihadapi oleh masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Palung dalam meningkatkan kesejahteraan dan memajukan usaha tani mereka antara lain

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya infeksi cacing saluran pencernaan ternak sapi yang berada di sekitar Taman Nasional Way Kambas dan menambah informasi tentang

Manfaat penggunaan sumberdaya alam hayati dari hutan dirasakan biasa saja oleh masyarakat karena mereka hanya mengambil kayu bakar dari pohon yang telah mati

Masalah utama yang dihadapi oleh masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Palung dalam meningkatkan kesejahteraan dan memajukan usaha tani mereka antara lain

Penelitian bertujuan untuk menduga populasi pesut yang berada di Resort Sungai Perlu SPTN Wilayah II Taman Nasional Tanjung Puting yang dilakukan pada bulan februari yang

Distribusi Frekuensi Berdasarkan Hygiene dan Sanitasi Makanan, Pengetahuan, Sikap, dan Ketersediaan Fasilitas Penjamah Makanan Jajanan Salome di Sekitar Taman Nostalgia Kota Kupang