• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis strategi nafkah masyarakat Kampung Sukagalih terhadap hasil hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis strategi nafkah masyarakat Kampung Sukagalih terhadap hasil hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT KAMPUNG

SUKAGALIH TERHADAP HASIL HUTAN DI TAMAN

NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK

SAHDA HANDAYANI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

(4)

ABSTRAK

SAHDA HANDAYANI. Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih terhadap Hasil Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Dibimbingan SOERYO ADIWIBOWO

Analisis strategi nafkah dapat memberi gambaran tentang tindakan-tindakan yang dilakukan rumahtangga dalam kehidupan sehari-hari sebagai hasil cerminan dari pilihan-pilihan yang dilakukan rumahtangga.Tindakan masyarakat sehari-hari merupakan gambaran rasionalitas rumahtangga yang melandasi pilihan strategi nafkah rumahtangga. Masyarakat bisa bekerja atau memenuhi kebutuhan hidupnya dari berbagai aktivitas nafkah, biasanya disebut strategi nafkah ganda. Strategi nafkah ganda yaitu aktivitas nafkah yang dimiliki oleh masyarakat lebih dari satu aktivitas memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kampung Sukagalih, selain masyarakat bekerja sebagai petani, setiap ada waktu luang mereka pergi ke hutan untuk mengambil hasil hutan seperti getah damar dan rumput untuk menambah pendapatan mereka. Hak untuk mengelola sumberdaya alam akan terlindungi hak-hak kepemilikannya atau biasa disebut Community Based Property Rights atau CBPRs, yaitu hak kepemilikan berbasis masyarakat dimaknai berasal dari dan dilakukan oleh masyarakat.

Kata kunci: Community based property rights (CBPRs), strategi nafkah, sumber daya alam

ABSTRACT

SAHDA HANDAYANI. Analysis of Livelihoods Kampug Sukagalih Community Strategies Concerning Forest Products at Mounten of Taman Nasional Halimun-Salak. Supervised by SOERYO ADIWIBOWO

(5)

ANALISIS STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT KAMPUNG

SUKAGALIH TERHADAP HASIL HUTAN DI TAMAN

NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK

SAHDA HANDAYANI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan di Taman Nasional Gunung

Halimun Salak

Nama : Sahda Handayani

NIM : I34100128

Disetujui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah MSc Ketua Departemen

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 sampai Mei 2014 ini ialah strategi nafkah, dengan judul Analisis Strategi Nafkah Masyarakat Kampung Sukagalih Terhadap Hasil Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Soeryo Adiwibowo MS selaku pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh warga Kampung Sukagalih, dan Center for International Forestry Research atau dalam bahasa Indonesia Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) karena telah memberikan pelajaran, pengalaman luar biasa. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, Bapak Agus Mulyana dan Ibu Ani Sukmarani, serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 5

Tujuan Penelitian ... 6

Kegunaan Penelitian ... 7

PENDEKATAN TEORITIS ... 9

Mata Pencaharian ... 9

Strategi Nafkah ... 10

Akses ... 11

Kerangka pemikiran ... .14

Hipotesis Penelitian ... 15

Definisi Operasional ... 15

PENDEKATAN LAPANG ... 17

Metode Penelitian ... 17

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 17

Teknik Penentuan Informan dan Responden ... 18

Teknik Pengumpulan Data ... 18

Teknik Analisis Data ... 18

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN ... 21

Kondisi Umum Desa Penelitian ... 21

Karakteristik Responden Penelitian ... 22

Tingkat Pendidikan ... 22

Struktur Mata Pencaharian ... 23

Karakteristik Sistem Pertanian ... 24

Jenis dan Orientasi Pertanian ... 24

Akses Modal Usaha ... 25

Ikhtisar ... 25

DINAMIKA AKSES MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA HUTAN ... 27

Riwayat Penetapan TNGHS ... 27

Zonasi TNGHS ... 28

Zona Khusus ... 31

Dinamika Akses Masyarakat Pra Penetapan TNGHS ... 33

(9)

KOLABORASI PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA CIFOR ... 41

Share Learning ... 41

Manfaat Kolaborasi ... 45

PERUBAHAN PENGUASAAN LAHAN DAN PEMANFAATAN ASSET ... 47

Status Penguasaan Lahan Masyarakat ... 47

Pola Pemilikan Lahan ... 47

Perubahan Penguasaan Lahan ... 48

Kaitan Strategi Nafkah dan Status Penguasaan ... 51

Ikhtisar ... 52

PERUBAHAN STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI KAMPUNG SUKAGALIH ... 53

Strategi Nafkah Ganda ... 56

Strategi migrasi ... 57

Pemanfaatan Livelihood Asset dalam Penerapan Strategi Nafkah ... 59

Modal Sumberdaya Alam ... 59

Modal Fisik ... 59

Modal Manusia ... 60

Modal Finansial ... 60

Modal Sosial ... 60

Diversifikasi Pendapatan ... 61

Pendapatan Usaha Tani ... 62

Pendapatan Usaha Non-Pertanian ... 63

Pendapatan Total Rumah tangga ... 64

Ikhtisar ... 67

PENUTUP ... 69

Simpulan ... 69

Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71

LAMPIRAN ... 73

(10)

DAFTAR TABEL

1 Persentase tingkat pendidikan di Desa Cipeuteuy tahun 2011 22 2 Persentase tingkat pendidikan responden di Kampung Sukagalih Desa

4 Riwayat pendirian dan penetapan TNGHS 28

5 Persentase kepemilikan lahan masyarakat di Desa Cipeuteuy tahun 2011 47 6 Persentase tingkat pengguasaan lahan responden berdasarkan bentuk penguasaan

lahan tahun 2003 dan 2013

49 7 Persentase pola penguasaan lahan masyarakat Kampung Sukagalih pada tahun

2003

50 8 Persentase pola penguasaan lahan masyarakat Kampung Sukagalih pada tahun

2013

50 9 Persentase jenis pekerjaan utama rumah tangga Kampung Sukagalih tahun

2014

54 10 Jumlah rumah tangga menurut jenis pekerjaannya pada tahun 2014 55 11 Jumlah ternak kambing (ekor) di Kampung Sukagalih tahun 2003 dan 2013 57 12 Rata-rata pendapatan responden perbulan dari sektor pertanian pada setiap

golongan pendapatan menurut sumberdayanya tahun 2003 dan 2013

62 13 Rata-rata pendapatan responden pertahun dari sektor non-pertanian pada

setiap golongan pendapatan menurut sumberdayanya tahun 2003 dan 2013

64 14 Konstribusi sumber pendapatan bersih pertanian dan non-pertanian terhadap

rata-rata pendapatan perbulan pada setiap golongan pendapatan tahun 2003 dan 2013

3 Matriks sejarah Kampung Sukagalih 35

4 Pohon damar dan tetesan resin kopal di TNGHS 38

(11)

3 Hasil gambar peta masyarakat Kampung Sukagalih 75 4 Gambar batasan lahan TNGHS dan lahan garapan masyarakat 76

5 Kuesioner penelitian 77

6 Panduan pertanyaan 83

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia menghadapi peluang yang paling dramatik untuk mengubah masa depan rakyat serta falsafah penyelenggaraan negara sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945. Melepaskan citra penyelenggaraan negara yang otoriter, represif dan korup sepanjang tiga puluh dua tahun, pada 1998 pemimpin-pemimpin Indonesia menyatakan kesungguhannya secara terbuka di hadapan publik untuk kembali kepada prinsip-prinsip dasar konsitusi: kedaulatan rakyat, keadilan sosial dan kemanusiaan.

Sardi (2010) mengemukakan bahwa dari semakin berkurangnya luas kawasan hutan serta semakin mudahnya akses yang merusak kawasan hutan, maka upaya pemerintah untuk mempertahankan kawasan hutan didorong melalui penetapan hutan konservasi yang berwujud taman nasional, cagar biosfer, suaka margasatwa, taman hutan rakyat (THR), hutan lindung gambut (HLG), dan hutan kota. Pengelolaan dari masyarakat melalui sistem pengelolaan hutan adat, hutan desa, hutan larangan, hutan kemasyarakatan, hutan kampung, hutan rakyat, dan sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang disebut hutan tanaman rakyat (HTR). Ketergantungan penduduk Indonesia terhadap kekayaan dan sumber-sumber alam dapat mengakibatkan ketidak merataan dalam suatu pencapaian hasil dan dapat mengakibatkan sumber-sumber alam habis atau tereksploitasi apabila pemerintah tidak membuat suatu kebijakan, peraturan dan perundang-undangan yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Seperti disebutkan pada Pancasila sila ke-5 yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Menjelaskan bahwa rakyat Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam rangka ini dikembangkan perbuatannya yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong royong, untuk itu dikembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga kesinambungan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain. Maka kekayaan dan sumber-sumber alam seharusnya didapat sesuai kebijakan yang telah dibuat pemerintah mengenai hak setiap manusia dan kewajiban manusia untuk tetap menjaga keasrian sumber-sumber alam.

(13)

jenis flora dan ribuan spesies fauna. Dengan keanekaragaman tersebut, hutan sangat bermanfaat bagi manusia, terutama bagi masyarakat sekitar hutan.

Ketergantungan masyarakat yang hidup di sekitar hutan terhadap sumber-sumber alam untuk memenuhi kehidupan rumahtangga mereka akan mempengaruhi bagaimana mereka dapat bertahan hidup dan bagaimana mereka mengatur strategi nafkah setiap rumahtangga yang berada di daerah sekitar hutan. Setiap rumahtangga pasti memiliki cara tersendiri untuk tetap bertahan dan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara apapun yang dapat mereka lakukan. Terdapat lembaga-lembaga yang melakukan studi strategi nafkah, seperti studi strategi nafkah yang telah dilakukan oleh lembaga donor seperti DFID ( Department For Internasional Development ) lebih memahami strategi nafkah sebagai hubungan antara sumberdaya, akses dan aktivitas yang dipengaruhi oleh sistem ekologi dan sistem sosial kemasyarakatan (Lynch O,Harwell,2002).

Penelitian strategi nafkah banyak dilakukan oleh LSM atau lembaga donor untuk memenuhi hubungan masyarakat yang berada di sekitar hutan dengan hutan. Ribot dan Peluso (2003) mendefinisikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu. Konsep akses ini erat kaitannya dengan bundle of power. Akses berfokus kepada kemampuan, akses mencakup jangkauan yang lebih luas dari hubungan sosial yang membatai atau mengijinkan mengambil manfaat dari penggunaan sumber daya dibanding hubungan hak milik itu sendiri. Penelitian tentang pengelolaan hutan biasanya dilakukan untuk menekankan property right oleh masyarakat adat atau penekanan pada indigenous knowledge untuk pengelolaan hutan (Anonimous, 2000; Howitt, Connell dan Hirsch 1996; Uluk, Sudana dan Wollenberg, 2001, Pilin 2002) dalam Lynch O,Harwell,2002.

Penelitian-penelitian tersebut menyimpulkan bahwa masyarakat sekitar hutan memiliki kelembagaan dan pengetahuan asli yang dapat digunakan dalam pengelolaan hutan dan pembentukan strategi nafkah setempat. Bila dilihat sekilas sungguh beruntung masyarakat yang hidup di sekitar hutan yang menghasilkan begitu banyak sumber-sumber alam, namun pada kenyataannya masyarakat yang hidup di sekitar hutan harus diguncang dengan kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai hak-hak atas sumber-sumber alam tersebut, yang memperlihatkan bagaimana masyarakat diuji untuk tetap bertahan dan menjalankan strategi nafkah rumahtangga mereka dengan jalan yang sesuai tujuan mereka.

(14)

Taman nasional merupakan suatu kawasan yang dikelola oleh pemerintah sebagai kawasan perlindungan alam atau yang lebih dikenal sebagai kawasan konservasi. Menurut UU No. 5 Tahun 1990 Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan. Dengan adanya sistem zonasi ini, semula masyarakat bebas menebang pohon atau mengambil kayu, sekarang sudah ada peraturan yang mengatur semakin membatasi akses masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya hutan dan lahan. Kepentingan konservasi sumberdaya alam melalui penetapan dan pembentukan sistem pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia mendapat legitimasi secara formal melalui Undang-Undang yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dimana taman nasional merupakan salah satu bentuk dari kawasan konservasi yang memungkinkan untuk mengalami perluasan dengan cara merubah status dan fungsi hutan yang ada. Status hutan yang semula open access berubah menjadi menjadi state property. Menurut Marx dalam Ribot dan Peluso (2003), hak milik yang diganti menjadi state property, atau milik negara menyebabkan penggunaan sumber daya alam oleh masyarakat dianggap pencurian. Hal ini juga mengakibatkan masyarakat yang semula hidupnya bergantung dari hasil hutan, menjadi kehilangan sumber mata pencahariannya. Perubahan tersebut kadang menimbulkan adanya persoalan tersendiri pada tataran praktek sehingga perlu dilakukan upaya-upaya dengan menggunakan teknik tertentu agar pengelolaan kawasan tersebut dapat dilakukan sesuai yang diinginkan. Perubahan tersebut juga menimbulkan persoalan tersendiri bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan yang masih memanfaatkan hutan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

(15)

desa yang berada pada kawasan taman nasional menyebabkan penduduk di desa-desa tersebut turut memanfaatkan sumberdaya di hutan taman nasional ini.

Pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan TNGHS ini sebenarnya telah berlangsung sejak sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional. Beberapa kegiatan masyarakat desa yang berada di daerah kawasan memanfaatkan sumberdaya alam di TNGHS antara lain pemanfaatan lahan untuk pemukiman, budidaya pertanian, penambangan (emas, panas bumi, dan galena) hanya dapat dimanfaatkan oleh Desa Malasari, pembangunan infrastruktur, dan pemanfaatan hasil hutan di dalam kawasan TNGHS. Bahkan sebagian besar penduduk di desa-desa, baik dalam kawasan maupun di sekitar kawasan TNGHS, menjadikan pemanfaatan sumberdaya hutan di taman nasional sebagai sumber pendapatan utama rumahtangga mereka. Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat telah menginisiasi pembentukan kelompok pengamanan hutan swakarsa (Pamhut-Swakarsa), dengan maksud membentuk suatu perkumpulan atau kelompok penjaga atau pelestari hutan berdasarkan keinginan masyarakat (swakarsa). Sedangkan tujuannya adalah untuk menjaga keamanan hutan dan memberikan informasi yang selengkap mungkin sehingga dalam penanganan gangguan hutan dapat dikerjakan secara tepat, cepat, efektif dan efisien (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, n.d). Masyarakat yang telah menjadi anggota Pamhut-Swakarsa akan ikut melakukan pengamanan dan pengawasan hutan di taman nasional.

Pendapatan-pendapatan masyarakat sebelumnya yang hanya bergantung pada sumberdaya hutan tak lagi bisa diandalkan karena keterbatasan akses, masyarakat desa berusaha mencari strategi nafkah lain untuk bisa tetap bertahan memenuhi kebutuhan hidup rumahtangga mereka. Mulai dari menambah komoditas pertanian, menerapkan pola nafkah ganda, hingga strategi migrasi ke luar desa atau ke luar negeri (menjadi TKI).

Penetapan status kawasan hutan ini sebagai taman nasional dan pemanfaatan sumberdaya alam di daerah kawasan hutan menjadi permasalahan yang patut mendapatkan perhatian. Akibat-akibat yang ditimbulkan dari permasalahan ini perlu dikaji lebih dalam, mengingat kawasan hutan dan sumberdaya didalamnya selain untuk tempat bergantungnya masyarakat desa, namun disisilain juga harus tetap dijaga dan dilestarikan sebagai tempat perlindungan terhadap ekosistem.

Rumusan Masalah

(16)

masyarakat di Kampung Sukagalih menjadi suatu fenomena yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Hutan di Indonesia tidak hanya menjadi penyangga kehidupan bagi flora dan fauna, tetapi juga menjadi suatu ekosistem yang saling berkesinambungan untuk kepentingan-kepentingan sosial, ekonomi, dan politik dari berbagai pihak. Maka dari itu, keberadaan hutan sangat perlu dijaga dan dilestarikan keberlanjutannya, melihat berbagai kepentingan yang tercakup di dalamnya.

Perluasan kawasan TNGHS yang telah di sahkan oleh Perhutani memberikan pengaruh yang begitu besar bagi masyarakat desa Cipeuteuy. Masyarakat Desa Cipeuteuy yang mayoritas penduduknya hanya mengenyam bangku Sekolah Dasar mungkin tidak begitu paham dengan kata konservasi dan menganggap hutan yang telah mereka diami selama berpuluh-puluh tahun sehingga tidak bisa serta-merta diklaim sebagai hutan konservasi. Apalagi jika lahan-lahan hutan yang telah lama mereka manfaatkan bahkan hingga menjadi sumber nafkah utama rumahtangga mereka harus berkurang karena masuk ke dalam zona konservasi. Hal ini sering menimbulkan berbagai pertanyaan dari masyarakat, misalnya pertanyaan: “apakah pemerintah lebih mementingkan penyelamatan hewan dan tumbuhan daripada peningkatan kesejahteraan kami?” ; “apakah taman nasional hanya untuk kaum terpelajar yang ingin belajar tanaman dan binatang yang ada di dalam hutan, atau hanya sebagai tempat untuk bersenang-senang wisatawan dari kota agar bisa menikmati keindahan alam?”.

Pihak Perhutani menjelaskan mengapa hutan tersebut menjadi hutan konservasi. Bagi Perhutani, perluasan kawasan TNGHS ini justru harus dilakukan untuk bisa tetap melindungi dan melestarikan sumberdaya hutan. Perhutani melihat bahwa hutan adalah penopang kehidupan flora dan fauna yang wajib dilindungi. Jika dibiarkan begitu saja, hutan akan tereksploitasi terus-menerus hingga akhirnya kehabisan tenaga untuk bertahan. Jumlah luas hutan yang makin tahun makin berkurang inilah yang menjadi dasar bagi Perhutani untuk melindungi kawasan hutan yang masih tersisa. Keterbatasan akses masyarakat membuat mereka menjalankan pola hidup yang berbeda dari sebelumnya. Perluasan kawasan TNGHS mengurangi akses dan kontrol masyarakat terhadap lahan dan sumberdaya hutan. Oleh karena itu masyarakat harus mencari jalan keluar terbaik untuk bisa tetap memanfaatkan hutan dan mendapatkan penghasilan yang minimal sama dengan penghasilan mereka sebelum lahan mereka masuk dalam zona konservasi.

(17)

strategi keluar desa untuk mencari pekerjaan lain seperti pedagang, pembantu rumah tangga, atau TKI ke luar negeri.

Strategi-strategi yang dijalankan juga tidak harus memilih salah satu dari strategi nafkah yang ada. Bisa jadi masyarakat melakukan diversifikasi nafkah atau lebih dikenal dengan pola nafkah ganda. Masyarakat desa tetap memanfaatkan lahan di zona pemanfaatan untuk bertani, namun di waktu-waktu tertentu melakukan migrasi ke luar desa untuk melakukan pekerjaan lain atau merambah kawasan hutan di zona konservasi. Bisa juga masyarakat menerapkan lebih dari dua strategi nafkah. Yang pasti, apapun dilakukan oleh mereka untuk bisa tetap bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan rumahtangga mereka. Persoalan-persoalan ini bukan hal yang sederhana dan tidak mudah diterima oleh setiap pihak, mau tidak mau mendapat perhatian yang serius karena menyangkut keberlangsungan sumberdaya hutan dan hubungan-hubungan sosial ekonomi masyarakat. Dari permasalahan dan perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakar menarik perhatian peneliti untuk mengkaji lebih dalam permasalahan-permasalahan tersebut. Maka dari itu, dirumuskanlah pertanyaan penelitian yakni:

1. Sejauh mana keberadaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak mempengaruhi akses warga Kampung Sukagalih?

2. Sejauh mana perubahan akses mempengaruhi strategi nafkah hidup warga Kampung Sukagalih?

Tujuan

Tujuan penelitian ini diantaranya adalah:

1. Menganalisis perubahan akses warga Kampung Sukagalih di sekitar hutan pasca perubahan Gunung Halimun sebagai kawasan taman nasional

2. Menganalisis perubahan strategi nafkah warga Kampung Sukagalih terhadap hasil hutan

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada berbagai pihak terkait, yakni:

1. Akademisi

Penelitian ini diharapkan menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial di lapangan. Selain itu, diharapkan hasil penelitian ini bisa menambah literatur di bidang pendidikan terutama yang terkait dengan topik livelihood studies, pertanian, dan pedesaan.

2. Masyarakat

(18)

3. Balai TNGHS

(19)
(20)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Mata Pencaharian

Definisi Mata Pencaharian

Menurut Reardon dan Vosti (1997) dalam Dharmawan (2007) kemiskinan merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan terhadap berbagai faktor dan pendapatan. Faktor- faktor tersebut adalah:

1. Sumberdaya alam 2. Sumberdaya manusia

3. Faktor fisik dan finansial dari hasil pertanian 4. Faktor fisik dan finansial dari hasil non pertanian 5. Hubungan sosial

6. Politik

Menurut Dharmawan (2007), menyatakan suatu rumahtangga mungkin mempunyai salah satu faktor di atas tetapi tidak mempunyai faktor yang lain. Rumahtangga petani yang tergolong miskin biasanya hanya memiliki faktor tenaga (sumberdaya manusia) dan sumberdaya alam dari lingkungannya sedangkan rendah dalam faktor finansial, sosial dan politik sehingga perilaku mereka lebih pada penggunaan sumberdaya alam yang dapat mereka akses untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mata pencaharian adalah aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya. Mata pencaharian dibagi menjadi tiga sektor, yaitu:

a) Mata pencaharian disektor pertanian: Pada umumnya kecenderungan masyarakat desa menanam salah satu jenis tanaman dikarenakan harga jualnya yang tinggi sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang lebih baik. Menurut Arsyad (1989) dalam Astuti A, Dharmawan AH, dkk (2008), faktor yang menentukan manusia memperlakukan tanahnya secara bijaksana adalah: luas lahan pertanian yang diusahakan, tingkat pengetahuan dan penguasaan teknologi, harga hasil usaha tani, perpajakan, ikatan hutang, pasar dan sumber keperluan usaha tani, serta insfrastruktur dan fasilitas kesejahteraan.

(21)

untuk mendapatkan pekerjaan sedangkan bila telah memasuki musim penghujan pelaku profesi ini pulang ke desanya untuk mengerjakan di bidang pertanian. Namun ada pula yang pekerjaan tersebut menjadi pekerjaan utama sehingga dilakukan secara permanen, untuk pulang ke desa biasanya dilakukan tiap selesainya suatu proyek bangunan. Begitu pula yang terjadi terhadap mata pencaharian pedagang.

Mata pencaharian di sektor kehutanan:Hasil sumberdaya alam yang terlahir di sekitar kawasan hutan yang dapat dimanfaatkan oleh semua makhluk hidup yang berada di dalamnya. Seluruhnya menjadi sebuah kesatuan yang saling berkesinambungan dan selaras dengan alam.

Strategi Nafkah

Definisi Strategi Nafkah

Dharmawan AH (2007) memberikan penjelasan bahwa pengertian strategi nafkah lebih mengarah pada pengertian livelihood strategy (strategi penghidupan) daripada means of living strategy (strategi cara hidup). Pengertian livelihood strategy yang disamakan pengertiannya menjadi strategi nafkah (dalam bahasa Indonesia), sesungguhnya dimaknai lebih besar daripada sekedar “aktivitas mencari nafkah”belaka. Strategi nafkah bisa didekati melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun kolektif. Strategi nafkah bisa berarti cara bertahan hidup atau memperbaiki status kehidupan. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu maupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku. Lebih lanjut, menurut Scoones (1998) terdapat tiga akar dari strategi nafkah untuk membedakan perbedaan keluaran. Tiga strategi nafkah itu adalah:

a) Intensifikasi pertanian: memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien, seperti dengan menambah tenaga kerja, maupun memperluas lahan garapan (ekstensifikasi pertanian)

b) Diversifikasi nafkah: atau pola nafkah ganda yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk meningkatkan pendapatan. Atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu dan anak) untuk ikut bekerja, selain pertanian, dan memperoleh pendapatan.

c) Migrasi: antara penyebab migrasi efek investasi ulang pertanian, dan pola perpindahan.

(22)

masih tergolong pada sektor pertanian, hanya saja pendapatan yang diperoleh berasal dari upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil, kontak upah tenaga kerja non upah, dan lain-lain.

Menurut Dharmawan AH (2007) secara umum strategi nafkah masyarakat pedesaan diasumsikan sebagai berikut: (1) Masyarakat pedesaan masih memegang kebudayaan mereka, termasuk mekanisme pertahanan dan peraturan; (2) Jejaring sosial lokal berfungsi dengan baik untuk memenuhi perlindungan sosial dan keamanan nafkah mereka.

Sumber Nafkah

Scoones (1998) melihat bahwa strategi nafkah dapat dilakukan mengan memanfaatkan sumber nafkah, ataupun mengkombinasikan penggunaan sumber nafkah. Sumber nafkah dapat dilihat sebagai „modal‟ dasar, strategi nafkah yang dibentuk nantinya berbeda-beda sesuai dengan nafkah yang dimiliki. Adapun lima sumber daya tersebut adalah :

a) Modal alami: serupa sumber daya alam, (seperti tanah, air, udara, dan lainnya) dan jasa lingkungan (siklus hidrologi, penyerapan polusi, dll) dimana nafkah diperoleh dari manfaat yang dihasilkan dari sumber daya.

b) Modal finansial: modal dasar (pinjaman, simpanan, dan semua aset ekonomi termasuk infrastruktur dasar dan teknologi dan perlengkapan produksi) yang sangat penting untuk menjalankan strategi nafkah. c) Modal Fisik (Physical Capital) Modal fisik merupakan modal yang

berbentuk infrastruktur dasar seperti saluran irigasi, jalan, gedung, dan lain sebagainya.

d) Human Capital: keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan untuk bekerja, kesehatan, dan kemampuan fisik sangat penting untuk menjalankan strateg nafkah yang berbeda.

e) Modal sosial: merupakan sumber daya sosial (jaringan, pernyataan sosial, hubungan sosial, afiliasi, asosiasi) yang orang miliki saat menjalankan strategi nafkah. Strategi nafkah yang berbeda membutuhkan aksi koordinasi dengan masyarakat lainnya.

Akses

Pengertian Akses

(23)

memanfaatkan) sesuatu, bagaimana caranya, dan kapan (dalam kondisi apa). Perhatian akses lebih ke arah berbagai cara orang mendapatkan manfaat dari sumber daya, terkait dengan hak kepemilikan namun hal tersebut tidak membatasi. Analisa akses membantu untuk mengerti mengapa beberapa orang atau lembaga dapat menggunakan sumber daya, terlepas dari apakah mereka memiliki hak terhadap sumber daya tersebut. Akses selalu berubah, tergantung dari posisi dan kekuasaan seseorang atau kelompok dalam beragam hubungan sosial.

Hak milik adalah hak untuk mengambil manfaat dari sesuatu. MacPherson (1978) dalam Ribot dan Peluso (2003) mengkarakteristikan hak milik sebagai hak untuk mengambil manfaat dari sesuatu lebih karena klaim paksaan. Hal ini kaitannya dengan bundle of right. Hak milik, umumnya menimbulkan pernyataan dan dukungan sosial atau hak, dimana pernyataan tersebut berdasarkan hukum, budaya atau perjanjian. Manfaat biasanya dilihat dari akses serta hak. Menurut Marx, hak milik yang diganti menjadi state property, atau milik negara menyebabkan penggunaan sumber daya alam oleh masyarakat dianggap pencurian. Hak milik dan tenurial hanya menjelaskan hubungan dari kepemilikan sumber daya dan lembaga mana yang arusnya memberikan sangsi kontrol.

Perubahan Penguasaan Sumberdaya Hutan

Menurut Adiwibowo (2009) perubahan rezim dari de-facto customary property regime (hutan adat) ke de-jure state common property regime (hutan negara) membawa pengaruh besar pada tatanan kehidupan masyarakat sekitar hutan. Perubahan rejim pengelolaan kawasan hutan akan mengubah struktur akses dan kontrol masyarakat terhadap sumber daya hutan yang telah terjalin lama.

Menurut undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau yang sekarang dikenal dengan UUPA, seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional, dan hubungan ini bersifat abadi. Dalam UUPA dimuat empat macam hak untuk memakai suatu bidang tanah tertentu untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Dalam wilayah taman nasional hak-hak agraria yang dapat diijinkan adalah Hak Memungut Hasil Hutan dan Hak Pakai namun dengan lingkup terbatas.

Menurut Adiwibowo (2009) terdapat lima tipe akses pemukiman dan pertanian di dalam dan sekitar taman nasional. Kelima akses permukiman dan pertanian tersebut direspon berbeda oleh Balai taman nasional, respon tersebut adalah:

a) Pengakuan hutan adat : Hutan yang berada di luar batas taman nasional diakui sebagai hutan adat.

(24)

c) Lahan pertanian di dalam taman nasional dapat diakses selama tidak menambah luas lahan.

d) Pembinaan daerah penyangga e) Perpindahan penduduk

f) Penindakan dan pengendalian terhadap warga yang membuka lahan, ilegal logging, perburuan satwa liar di kawasan

g) Koordinasi

Dengan respon Balai Taman Nasional terhadap masyarakat, hanya sedikit respon yang dianggap menguntungkan masyarakat, karena posisi tawar masyarakat yang kurang kuat. Balai Taman Nasional bertugas untuk mengendalikan akses masyarakat ke taman nasional dengan menegaskan batas yang jelas antara kawasan konservasi dengan batas administrasi desa. Masyarakat yang memiliki lahan di dalam kawasan masih dapat mengakses namun tidak dapat memperluas lahan. Hal ini dibuat untuk mengendalikan dan membatasi aktivitas masyarakat di dalam konservasi dan menjaga luasan kawasan taman nasional.

Common Property Right

Common-pool resources atau common property resource menurut Ostrom (1990) dalam PKSDA (2014) adalah suatu jenis barang yang berwujud sebagai sumber daya alam seperti hutan, daerah tangkap ikan, atau sumber daya buatan manusia seperti irigasi, yang sifatnya:

a) Substractibility atau rivalness di dalam pemanfaatan

b) Tingginya biaya (cost) untuk membatasi akses pihak lain menjadi pemanfaat (beneficiaries)

Hak Properti menurut Denison dan Robyn (2012) adalah hak memiliki dan memetik manfaat sumber daya. Hak properti ada berbagai macam dimana masing-masing didefinisikan, dinegosiasikan, dipantau, ditegakan oleh kebijakan, hukum, dan peraturan (institusi).

Terdapat empat jenis property-rights regimes menurut Broomley (1991); Feeny et al (1990); Lynch & Harwell (2002) dalam PKSDA (2014), yaitu:

a) Properti akses terbuka (open access property): Properti tidak dimiliki oleh siapapun. Properti bebas diakses oleh siapapun (non-cludable) & diperoleh dengan bersaing. Tidak ada regulasi yang mengatur, atau regulasi tidak efektif mengatur, atau hak-hak pemilikan (property right) tidak didefinisikan dengan jelas.

b) Properti privat (private property): Properti bersifat excludable dan diperoleh secara bersaing (rivalry). Akses, eksklusi, dan pengelolaan properti dikontrol oleh individu, privat, atau korporasi (group of legal owners). Manfaat dan biaya ditanggung sendiri oleh pemilik.

(25)

property karena pemilik mempunyai kemampuan mencegah konflik melalui penegakan aturan dan berbagi manfaat bersama.

d) Properti negara (state property): Properti dimiliki oleh semua orang dalam suatu negara juga disebut sebagai pulic property dimana akses dan pemanfaatannya dikontrol oleh negara (pemerintah).

Kerangka Pemikiran

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) mengalami perluasan kawasan hutan konservasi tentu mempengaruhi berbagai aspek kehidupan warga Kampung Sukagalih Desa Cipeuteuy yang menggantungkan hidupnya pada hasil hutan atau sumberdaya hutan. Kampung Sukagalih yang dahulu tinggal dan memiliki lahan garapan di dalam kawasan hutan, sekarang dipindahkan ke lahan kosong di luar kawasan hutan. Munculnya keputusan pemerintah mengenai status lahan, yang awalnya dimanfaatkan oleh masyarakat berubah menjadi zona konservasi dan dilindungi.

Warga Sukagalih mayoritas tingkat pendidikannya hanya sampai Sekolah Dasar hanya mengetahui bahwa hutan yang telah lama mereka tempati adalah tempat mereka untuk hidup dan bergantung pada sumberdaya alam yang ada disekitarnya, merasa hak-haknya direnggut oleh keputusan tersebut, karena mereka yang selama ini memiliki rumah untuk tinggal di dalam kawasan, mengelola, memanfaatkan lahan tersebut, dan memiliki tempat makam para nenek moyang menjadi kehilangan lahan garapannya.

Perubahan pada status lahan taman nasional menjadi zona konservasi membuat mereka tidak dapat terlalu bergantung dengan sumberdaya hutan, yang berimbas pada variasi penerapan strategi nafkah yang dijalankan oleh rumahtangga petani yang dapat dilihat dari jenis mata pencaharian, tingkat pendapatan, dan tingkat penggunaan livelihood asset dari Scoones (1998) guna menerapkan strategi nafkah yang cocok dan menguntungkan bagi mereka yang berupa lima modal sumberdaya dimanfaatkan seefektif mungkin.

(26)

Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Perubahan Penguasaan dan Pemanfaatan Asset

Perubahan strategi nafkah  Diversifikasi nafkah  Migrasi

 Intensifikasi Pertanian

Perubahan Pendapatan

Gambar 1 Kerangka Pemikiran

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dibuat, maka hipotesis yang dapat ditarik adalah:

1. Perluasan TNGHS membawa pengaruh kepada perubahan struktur akses dan strategi nafkah masyarakat Kampung Sukagalih.

Definisi Operasional

1. Karakteristik rumahtangga, yaitu ciri-ciri yang dimiliki oleh rumahtangga masyarakat Kampung Sukagalih. Karakteristik rumahtangga pertanian diukur:

a. Jumlah tanggungan keluarga adalah jumlah anggota rumahtangga yang menjadi tanggungan hidup keluarga, dalam hal ini termasuk dengan kepala rumahtangga.

b. Umur adalah selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada saat dilaksanakan penelitian.

(27)

d. Jumlah tanggungan adalah banyaknya orang yang kehidupannya masih bergantung pada kepala keluarga tersebut terutama terkait dengan ekonomi, termasuk dirinya sendiri.

2. Sumber nafkah dikategorikan lima modal sumberdaya tersebut adalah : a. Modal manusia dapat dilihat dari pendidikan dan penggunaan tenaga

kerja, apakah dari keluarga atau luar keluarga.

b. Modal fisik dapat dilihat dari kepemilikan aset produksi, pemilikan rumah dan barang berharga lain, serta transportasi.

c. Modal finansial dapat dilihat dari kepemilikan aset, pemilikan rumah dan barang berharga lain, serta transportasi.

d. Modal sosial dapat dilihat dari jaringan kerja (networking) dengan penyedia pinjaman modal usaha, penyedia input produksi, dan distributor hasil usaha.

e. Modal sumberdaya alam dapat dilihat dari keadaan sumberdaya tanah, kayu-kayuan, air, dan hewan buruan dalam hutan.

3. Strategi nafkah yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya:

a. Intensifikasi pertanian: memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien, seperti dengan menambah tenaga kerja. Ekstensifikasi pertanian: memperluas lahan garapan.

b. Diversifikasi nafkah: atau pola nafkah ganda yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk meningkatkan pendapatan. Seperti: 1) kiriman uang dari pekerjaan di luar desa; 2) membuka usaha sendiri bukan bidang pertanian; 3) upah tenaga kerja di dalam pedesaan bukan bidang pertanian.

(28)

PENDEKATAN LAPANG

Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan termasuk ke dalam penelitian deskriptif dan penelitian eksplanatori. Menurut Bungin (2005), penelitian deskriptif dimaksudkan hanya untuk menggambarkan, menjelaskan, atau meringkaskan berbagai kondisi, situasi, fenomena atau berbagai variabel penelitian menurut kejadian sebagaimana adanya yang dapat dipotret, diwawancara, diobservasi, serta yang dapat diungkapkan melalui bahan dokumenter. Kemudian Bungin menjelaskan mengenai penelitian eksplanatori yang menjelaskan hubungan berbagai variabel yang timbul di masyarakat dengan menggunakan hipotesis yang diuji secara statistik. Pada umumnya, penelitian deskriptif dilakukan untuk memperkuat hasil yang didapatkan dari penelitian eksplanatori.

Penelitian ini menggunakan pendekatan pengumpulan data kuantitatif dengan didukung pengumpulan data kualitatif untuk memperkaya data dan informasi yang diperoleh. Pengumpulan data kuantitatif menggunakan kuesioner yang telah dibuat sehingga dapat memperoleh data dan informasi yang diperlukan dari responden. Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan cara wawanacara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi terkait. Selain itu, untuk memperkuat data kuantitatif maka dalam kuesioner ditambahkan slip. Data dikumpulkan untuk menjelaskan atau menggambarkan mengenai hal yang terkait dan mendukung dalam penelitian yaitu mengenai strategi nafkah yang dilakukan masyarakat, serta cara masyarakat menjaga dan melestarikan hutan sebelum dan sesudah konservasi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak daerah Kampung Sukagalih, Kecamatan kabandungan Sukabumi.

Lokasi dan Waktu Penelitian

(29)

Teknik Penentuan Informan dan Responden

Sumber data dalam penelitian ini adalah responden dan informan. Unit analisa dalam penelitian ini adalah rumahtangga yang salah satu anggota rumahtangganya bekerja sebagai petani. Hal ini dikarenakan rumahtangga memiliki peranan penting dalam pengambilan keputusan dan pengalokasian sumberdaya yang berkaitan dengan penerapan bentuk strategi nafkah yang digunakan. Penelitian ini menggunakan metode sensus yaitu mengambil seluruh populasi responden, sebanyak 40 kepala keluarga.

Responden adalah pihak yang memberikan keterangan mengenai dirinya dan keluarganya, sedangkan informan adalah orang yang mampu untuk memberikan keterangan mengenai dirinya sendiri, keluarga, pihak lain, atau lingkungannya. Keberadaan informan ini menjadi penting karena keterangan yang ia miliki tersebut. Orang-orang yang dijadikan sebagai informan dalam penelitian ini adalah Pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Bapak Soma sebagai ketua kelompok Kampung Sukagalih, Bapak Rokip sebagai sekretaris dan Bapak Agus Mulyana dari Center for International Forestry Research atau dalam bahasa Indonesia Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) yang membantu memberikan informasi.

Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam peneilitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer didapatkan langsung di lapangan dengan cara observasi, kuesioner, serta wawancara mendalam yang dilakukan langsung kepada responden maupun informan. Data sekunder diperoleh baik dari dokumen-dokumen tertulis di kantor desa dan kantor TNGHS. Data sekunder berupa dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian ini, seperti dokumen sejarah TNGHS, data jumlah penduduk Kampung Sukagalih Desa Cipeteuy Kecamatan Kabandungan, data lahan yang dimiliki masyarakat dan TNGHS, data kegiatan masyarakat Kampung Sukagalih dalam melakukan strategi nafkah, dan data yang mendukung dalam penelitian yang akan dibahas. Data sekunder juga diperoleh melalui berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini, yaitu buku, laporan hasil penelitian, artikel, dan sebagainya. Populasi dalam penelitian ini yaitu masyarakat (petani) di Kampung Sukagalih.

Teknik Analisis Data

(30)
(31)
(32)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN

KARAKTERISTIK RESPONDEN

Kondisi Umum Desa Penelitian

Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan merupakan desa yang terletak di sekitar Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Secara administratif Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy terletak di Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Desa Cipeuteuy memiliki keunggulan dari desa lain yang terletak di sekitar kawasan, yaitu karena Kampung Sukagalih tidak hanya terletak di sekitar kawasan namun berbatasan langsung dengan Kawasan TNGHS. Beberapa desa yang terletak di sekitar kawasan yaitu Desa Purwabakti di sebelah utara, sebelah selatan Desa Cimaherang, sebelah barat Desa Malasari dan sebelah timur Desa Kabandungan.

Desa Cipeuteuy memiliki luas wilayah 3 746 6 ha dengan ketinggian tempat 750-850 m dpl. Kondisi lingkungan di Desa Cipeuteuy masih alami dan memiliki banyak lahan persawahan dengan tingkat curah hujan 2 600 mm per tahun serta suhu udara rata-rata 30 derajat celcius. Jarak Desa Cipeuteuy dari kantor desa sekitar 5 km, jarak dari ibukota kabupaten sekitar 56 km, jarak dari ibukota provinsi sekitar 135 km dan jarak dari ibukota negara sekitar 106 km. Kondisi jalan di Desa Cipeuteuy yaitu jalan tanah dan bebatuan yang sedikit sulit ditempuh karena kendaraan menuju desa tersebut masih terbatas.

Menurut data profil desa tahun 2011, menunjukkan jumlah penduduk Desa Cipeuteuy sebanyak 6 842 jiwa yang terdiri dari 3 503 laki-laki dan 3 339 perempuan. Jumlah kepala keluarga yang tercatat sebanyak 1 777 kepala keluarga. Kepadatan penduduk mencapai 562 jiwa/km². Jumlah kepala keluarga Kampung Sukagalih sendiri yang tercatat sebanyak 40 kepala keluarga.

(33)

Karakteristik Responden Penelitian

Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan terakhir menunjukan pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh seseorang. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap jenis pekerjaan yang dimiliki. Jenis pekerjaan mempengaruhi jumlah pendapatan yang kemudian jumlah pendapatan berpengaruh terhadap kesejahteraan seseorang. Kampung Sukagalih dan Desa Cipeuteuy sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan hanya sampai sekolah dasar. Alasannya, sebagian besar penduduk dari golongan kurang mampu, biaya sekolah dan keberadaan sekolah yang letaknya jauh menjadi kendala mereka untuk tidak meneruskan sekolah pada masa itu. Kategori tingkat pendidikan penduduk dibagi menjadi tidak tamat SD,SD,SMP, SMA dan Madrasah.

Tabel 1 Persentase tingkat pendidikan masyarakat di Desa Cipeuteuy tahun 2011

Tingkat pendidikan Persentase (%)

Tidak Tamat SD 4

Sekolah Dasar (SD) 61

Sekolah Menengah Pertama (SMP) 16

Sekolah Menengah Atas (SMA) 12

Madrasah 7

Total 100

Sumber: Profil Desa Cipeuteuy 2011

Catatan: Peneliti tidak memperoleh data real jumlah penduduk Desa Cipeuteuy menurut tingkat pendidikan

Tabel 1 memperlihatkan bahwa rata-rata pendidikan di Desa Cipeuteuy hanya sampai sekolah dasar yaitu sebesar 61 persen. Memperlihatkan masyarakat Desa Cipeuteuy lulusan SMP sebesar 16 persen dan tidak tamat SD sebanyak 4 persen. Komposisi penduduk berdasarkan jenjang pendidikan menggambarkan tingkat sumberdaya manusia yang berkualitas sehingga menunjukkan tingkat kemajuan suatu wilayah dalam pembangunan.

(34)

Tabel 2 Jumlah dan persentase tingkat pendidikan penduduk di Kampung Sukagalih tahun 2014

Tingkat pendidikan Jumlah (n) Persentase (%)

Tidak Tamat SD 4 10

Berbeda dengan Tabel 1, Tabel 2 hanya menjelaskan persentase penduduk di Kampung Sukagalih. Memperlihatkan bahwa rata-rata pendidikan di Kampung Sukagalih hanya sampai sekolah dasar yaitu sebesar 75 persen. Penduduk lulusan SMP sebesar 15 persen atau 6 orang dan tidak tamat SD sebanyak 10 persen atau 4 orang. Meskipun sebagian besar didominasikan pada tingkat pendidikan tamatan SD, penduduk Kampung Sukagalih sudah menyadari akan pentingnya pendidikan.

Struktur Mata Pencaharian

Berdasarkan informasi yang dapat peneliti simpulkan dari informan walau hanya tersirat, ada beberapa hal yang menjadi dasar status sosial dalam masyarakat Kampung Sukagalih, yaitu penghargaan yang diberikan berdasarkan pekerjaan dan penghargaan yang diberikan berdasarkan pendidikan formal atau informal yang dimiliki. Warga akan dianggap mampu jika telah mengganti lantai rumah dengan kramik, memiliki kamar mandi di dalam rumah, memiliki kendaraan bermotor terutama mobil, memiliki pertanian yang luas dan milik sendiri, memiliki rumah yang bagus atau peralatan elektronik. Kemampuan menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi atau kemampuan ilmu agama menempatkan seseorang pada kelas sosial yang tinggi.

“Penduduk Desa Cipeuteuy memang lebih banyak hanya lulusan SD bahkan ada beberapa orangtua yang tidak tamat SD, tetapi hal itu tidak membuat para orangtua untuk mengharuskan anak-anaknya meneruskan jejak mereka. Para orangtua memiliki cita-cita untuk menyekolahkan anak-anak mereka kejenjang pendidikan yang tinggi, terlihat dari sudah banyaknya anak petani yang bersekolah bahkan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi lagi,” Ujar sekretaris desa, Desa Cipeuteuy pada tanggal 17 April

(35)

guna usaha (HGU) bekas lahan perusahaan perkebunan. Selain bertani warga Sukagalih memiliki pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Semua kepala keluarga warga Sukagalih memiliki ternak kambing yang diberi bantuan sepasang ekor kambing oleh dinas provinsi dan pemda, kemudian mereka kembangkan dan dijadikan pekerjaan sampingan mereka.

Tabel 3 Persentase jumlah penduduk menurut jenis mata pencaharian di Desa Cipeuteuy tahun 2011

Mata pencaharian Jumlah penduduk (%)

PNS 0,3

Wiraswasta 15,7

Petani dan buruh tani 62,8

Jasa dan pertukangan 10,4

Karyawan swasta 10,5

Pensiunan 0,2

Total 100

Sumber: Profil Desa Cipeuteuy tahun 2011

Catatan: Peneliti tidak memperoleh data real jumlah penduduk Desa Cipeuteuy menurut mata pencaharian

Dari Tabel 3 di atas dapat dijelaskan bahwa kenyataannya warga bermata pencaharian sebagai petani atau buruh tani yaitu 62,8 persen sekitar 1.256 orang. Tingginya mata pencaharian sebagai petani dan buruh tani dipengaruhi oleh tingkat pendidikan warga yang rata-rata hanya lulusan sekolah dasar, sehingga untuk menjangkau pekerjaan seperti PNS atau karyawan swasta sungguh sulit.

Karakteristik Sistem Pertanian

Jenis dan Orientasi Pertanian

Jenis pertanian yang dilakukan oleh warga Kampung Sukagalih yaitu pertanian sawah dan ladang. Sebagian besar warga menjadikan lahan pertaniannya sebagai ladang untuk menanam sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan dan tidak lupa menanam pohon seperti sengon, ganitri, raksamala, puspa dan lain-lain untuk tabungan masa depan mereka. Warga menanam padi, durian, kelapa, alpuket, dan coklat untuk tujuan konsumsi rumahtangga atau dengan kata lain pertanian subsisten. Selain itu, warga menanam sayuran-sayuran seperti cabai, timun, kacang panjang, kubis, kacang-kacangan dan palawija memang sengaja untuk dijual guna memenuhi kebutuhan sehari-hari, sisa dari yang mereka jual baru mereka konsumsi atau dibagi-bagikan ke tetangga.

(36)

sambil menaman timun, mereka menam cabai dan daun bawang, atau dilahan yang masih kosong akan mereka manfaatkan untuk menanam kacang-kacangan, kelapa, alpuket, durian, jeruk, coklat, dan pohon kayu, semua itu demi meningkatkan perekonomian mereka dan mensejahterakan kehidupan warga

Akses Modal Usaha

Modal awal tentu mempengaruhi cara menjalankan kegiatan pertanian, jika warga tidak memiliki modal maka mereka tak akan bisa bertani. Akses modal usaha di kampung ini cukup mudah, karena terdapat banyak tengkulak-tengkulak yang menawarkan modal usaha kepada para petani. Rata-rata tengkulak hanya menawarkan modal usaha berupa bahan dan alat pertanian saja, mereka tidak menawarkan jasa peminjaman modal dalam bentuk uang. Untuk modal berupa uang, warga lebih sering menjual ternak kambing mereka daripada harus meminjam ke tetangga, bank atau bank keliling. Karena, aset yang sangat berharga yang dimiliki warga Sukagalih, selain hasil pertaniannya yang subur mereka juga memiliki ternak kambing yang berjumlah lebih banyak daripada penduduknya.

Ikhtisar

Mata pencaharian masyarakat Desa Cipeuteuy mayoritas berprofesi sebagai petani atau buruh tani yaitu sebesar 62,8 persen dan tingkat pendidikan terakhir rata-rata yaitu sekolah dasar (SD). Berdasarkan hasil wawancara dengan warga di Kampung Sukagalih sendiri yang berjumlah 40 orang, terlihat bahwa tingkat pendidikan SD yaitu sebesar 75 persen atau 30 orang. Tingkat SMP sebesar 15 persen atau 6 orang dan SMA sebesar 0 persen. Sisanya penduduk yang tidak tamat SD sebesar 10 persen atau hanya 4 orang. Namun secara keseluruhan data dari kantor desa tingkat pendidikan SD yaitu sebesar 61 persen. Komoditas utama yang menjadi pilihan masyarakat untuk ditanam di lahan pertaniannya adalah padi, sayur-sayuran dan pohon kayu, berdasarkan karakteristik sistem pertaniannya, pertanian yang dilakukan oleh petani Sukagali yaitu petani padi, petani sayur, petani kacang-kacangan, palawija dan buah. Namun petani Sukagalih lebih terfokus pada petani sayur untuk diproduksi yang artinya memaksimalkan hasil produksi karena tujuan ekonomi. Hasil panen sayuran dijual untuk memperoleh pendapatan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berbeda dengan petani padi, kacang-kacangan, palawija dan buah berorientasi pada konsumsi karena hasil panen lebih diutamakan untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari, apabila ada sisanya baru kemudian mereka jual. Jenis tanaman yang biasanya ditanam diantaranya cabai, kacang panjang, kacang merah, daun bawang, timun, kubis, alpuket, durian, pisang, nagka, kopi, dan pohon kayu seperti sengon dan lain-lain. Para petani memilih sistem penanaman yang mudah, waktu panen yang singkat, serta harga jual yang cukup tinggi.

(37)
(38)

DINAMIKA AKSES MASYARAKAT TERHADAP

SUMBERDAYA HUTAN

Riwayat Penetapan TNGHS

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan wilayah yang mempunyai karakteristik kawasan pegunungan yang masih memiliki hutan hujan tropis di Jawa. Tipe hutan alam di kawasan TNGHS dibagi menjadi hutan hujan dataran rendah (100-1000 m dpl) yang didomunasi oleh Zona Colin (500-1000 m dpl), hutan hujan pegunungan bahwah ((500-1000-1500 m dpl), dan hutan hujan pegunungan tengah (1500-1929 m dpl). Pada awalnya TNGHS merupakan kawasan hutan lindung dengan luas 39.941 ha selama periode 1924-1934 masa pemerintahan Hindia-Belanda. Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1935 mengeluarkan kebijakan mengenai perubahan kawasan tersebut untuk menjadi cagar alam dengan Cagar Alam Gunung Halimun yang dikelola oleh Djawatan Kehutanan Jawa Barat (Jabar).

(39)

Tabel 4 Riwayat pendirian dan penetapan TNGHS Periode

tahun

Keterangan

1924-1934 Status sebagai hutan lindung di bawah pemerintahan Belanda dengan luas mencakup 39.941ha

1935-1961 Status cagar alam di bawah pengelolaan pemerintah Belanda dan Republik Indonesia/Djawatan Kehutanan Jawa Barat

1961-1978 Kemudian status cagar alam berubah di bawah pengelolaan Perum Perhutani Jawa Barat

1979-1990 Status cagar alam di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam III, yaitu Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I

1990-1992 Status cagar alam dikelola oleh Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

1992-1997 Status taman nasional di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

1997-2003 Status taman nasional di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun setingkat Eselon III

2003 Pada akhirnya status penunjukan kawasan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak seluas 113.357ha (merupakan penggabungan kawasan lama TNGH dengan eks hutan lindung Perhutani Gunung Salak, Gunung Endut dan hutan produksi di sekitarnya).

Sumber: Taman Nasional Gunung Halimun Salak (2014)

Zonasi TNGHS

TN merupakan kawasan yang ditetapkan untuk melindungi ekosistem asli dan dikelola oleh Balai Taman Nasional (BTN) dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjangan budi daya, pariwisata, dan rekreasi (Undang-Undang No. 5, Tahun 1990).

(40)

Menurut Permenhut tersebut, penetapan dan penataan zona didasarkan pada: a. potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya

b. tingkat interaksi dengan masyarakat setempat c. efektivitas pengelolaan kawasan

Pengkajian dan pemahaman aspek potensi dan fungsi, ekologi, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat mutlak diperlukan. Selain itu, penetapan zona juga memperhatikan tiga hal: (a) jenis zona yang dibutuhkan, (b) luas masing-masing zona dan (c) letak/lokasi zona. Zona TN bisa terdiri dari zona inti, zona rimba, zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan, zona pemanfaatan dan zona lain, misal zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, zona budaya dan sejarah serta zona khusus. Penentuan jumlah dan jenis zona untuk tiap TN ditentukan oleh potensi kawasan, kondisi kawasan dan kondisi sosial ekonomi serta budaya masyarakat sekitar TN. Peraturan mengatakan bahwa TN sekurang-kurangnya terdiri dari zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan. Akan tetapi, peraturan juga mengatakan bahwa pemanfaatan kawasan TN tidak hanya dapat dilakukan di zona pemanfaatan, tetapi juga di zona religi, zona budaya, zona penelitian dan zona khusus untuk mengakomodasi masyarakat.

“Sesuai dengan peraturan yang ada, penetapan zonasi TN tidak bersifat permanen, tetapi dapat diubah dan disesuaikan dengan perkembangan dan kepentingan pengelolaan TN, kondisi potensi sumber daya alam dan ekosistemnya, serta kepentingan interaksi dengan masyarakat. Karena itu, setiap tiga tahun dimungkinkan untuk dievaluasi. Karena bukan merupakan keharusan, kebijakan tersebut pada satu sisi menjadi peluang bagi penetapan zona yang adaptif. Pada sisi lain dapat menimbulkan perasaan tidak pasti, terutama bagi masyarakat yang berada di wilayah berpotensi menjadi Zona Khusus. Tampaknya penting untuk menjadikan RPTN (Rencana Pengelolaan Taman Nasional) sebagai pedoman pengelolaan kerangka jangka panjang dan kesepakatan para pihak dalam menetapkan sebuah zona karena dapat menjamin kepastian,” (Agus Mulyana, Cifor)

Tujuh langkah penetapan zona di TN dan kriteria penetapammya berdasarkan Permenhut senantiasa menjadi acuan baku bagi para pengelola TN dalam penataan dan penetapan zona. Namun dalam implementasinya kebijakan tersebut telah mempersulit penetapan dan penataan zona itu sendiri, menjauhkan pencapaian tujuan zonasi, memperburuk keadaan, menimbulkan konflik-konflik baru, dan membawa para pihak ke jalan buntu. Kebijakan tersebut tidak efektif dalam menjawab berbagai tantangan pengelolaan TN yang demikian rumit, serba tidak pasti, dinamis, dan penuh dengan sengketa. Tiga hal utama yang menjadi penyebabnya adalah:

a. Proses penetapan zonasi diterapkan secara kaku dan tidak adaptif

b. Terlalu beragamnya kriteria penetapan zona yang tidak jelas dan multitafsir

(41)

TNGHS berdampingan dengan kampung-kampung, baik di dalam kawasan maupun di sekitar perbatasan kawasan. Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan umumnya adalah masyarakat Sunda yang terbagi dalam kelompok masyarakat kasepuhan dan masyarakat non kasepuhan. Keberadaan kampung-kampung dengan masyarakat yang berinteraksi dengan kawasan merupakan suatu kondisi yang bisa menimbulkan hambatan ataupun dukungan bagi kegiatan pengelolaan TNGHS dalam jangka panjang. Kawasan TNGHS merupakan kawasan tanah hutan milik negara yang berada di bawah kewenangan Departemen Kehutanan yang disesuaikan dengan UU No.5/1990 tentang Kawasan Pelestarian Alam dan UU No.24 tahun 1993 tentang Tata Ruang, yang mana TNGHS merupakan kawasan lindung. Sistem Zonasi yang dimiliki TNGHS yang sekiranya pihak-pihak yang berkepentingan mampu memahami dan melaksanakan sesuai aturan yang ditetapkan. Berikut tata zonasi kawasan TNGHS berdasarkan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Periode 2007-2026:

1. Zona Inti dan Zona Rimba

Zona inti dan zona rimba meliputi ekosistem hutan alam yang masih tersisa yang mana identifikasi zona ini melalui pendekatan ilmiah dengan mengkaji ekosistem dan habitat spesies penting, daerah-daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai dan pengaruh terhadap ekosistem.

2. Zona Rehabilitasi

Zona rehabilitasi merupakan ekosistem penting serta menjadi habitat spesies penting yang telah terdegradasi seperti hutan hujan rendah, areal yang rusak, koridor Gunung Halimun Salak, dan sebagainya. Masa yang akan datang, setelah ekosistem ini pulih dapat ditetapkan menjadi zona inti atau rimba atau pemanfaatan.

3. Zona Pemanfaatan

Zona pemanfaatan berkaitan dengan areal yang akan dikembangkan untuk memenuhi fungsi-fungsi pemanfaatan di dalam taman nasional antara lain untuk wisata alam, pembangunan sarana prasarana pengunjung dan lokasi penelitian intensif. Zona pemanfaatan yang memiliki obyek wisata dan areal bekas Perhutani akan tetap dikelola oleh Perhutani dan zona yang berupa jalur-jalur pendakian dan wilayah yang rawan pengunjung akan dikelola oleh BTNGHS.

4. Zona Khusus

Zona khusus merupakan bagian dari TNGHS yang mana sebelum penunjukkan taman nasional, dalam wilayah ini sudah ada pemukiman dan garapan masyarakat sejak dulu. Selain itu juga jalan provinsi dan kabupaten yang melintas di TNGHS.

5. Zona Religi, Budaya, dan Sosial serta Zona Tradisional

Penentuan zona religi, budaya, dan sosial serta zona tradisional terbagi menjadi 2 yaitu:

a. Areal yang penting bagi kegiatan budaya yang ditentukan melalui penelusuran sejarah seperti makam di puncak Gunung Salak, situs Cibedug, dan situs Kosala di Lebak dijadikan zona religi dan budaya. b. Wilayah dimana penduduk secara tradisional memanfaatkan hasil

(42)

masyarakat terhadap hutan. Wilayah yang termasuk zona tradisional adalah kasepuhan yang ada di dalam kawasan TNGHS.

6. Zona Lainnya

Zona lainnya tidak termasuk dalam Permenhut No. 56. Zona ini merupakan bagian dari taman nasional yang nantinya akan ditetapkan menjadi zona tertentu melalui komunikasi dengan para pihak.

Zona-zona yang disebutkan di atas, Kampung Sukagalih merupakan salah satu kampung yang berbatasan langsung dengan taman nasional yang masuk dalam zona khusus pemanfaatan, perbatasannya antara tanah masyarakat dengan kawasan taman nasional yang dikerjasamakan kepada masyarakat. Luas zona khusus pemanfaatan yaitu 30 ha yang terdiri dari 15 ha ditanami dengan pohon damar dan 15 ha persawahan, ladang dan adopsi tanaman. Masyarakat memiliki olah tanah yang telah memiliki surat pembayaran pajak (SPPT), kemudian masyarakat dapat melakukan kegiatan bertani di zona khusus pemanfaatan, dulunya milik perum Perhutani yang dialihkan kepada pihak taman nasional dan ada perbatasan-perbatasan khusus untuk kelompok pelestarian lingkungan (KOPEL) yang bekerjasama dengan taman nasional.

Zona Khusus

Peraturan Menteri Kehutanan P.56/2006 memungkinkan penetapan sampai 7 zona berdasarkan fungsi konservasi dan pemanfaatan. Untuk mempermudah pengelolaan, proses penetapan dan pengaturan tata batas, sebaiknya penataan ruang Taman Nasional (TN) disederhanakan dengan membagi ruang TN menjadi hanya dua zona yakni zona pemanfaatan (zona khusus) dan zona bukan pemanfaatan (zona inti). Zona khusus seharusnya merupakan hasil kesepakatan antar pihak yang dikelola secara kolaboratif sebagai satu kesatuan dengan TN. Tujuannya untuk menyatukan pembangunan masyarakat dengan konservasi.

Konservasi di Indonesia sedang mengalami kebuntuan. Semua kawasan konservasi yang merupakan aset umum (public good) dan dikelola pemerintah untuk kepentingan umum telah mengalami kerusakan, pengurangan luas, atau diperebutkan berbagai pihak yang ingin memanfaatkan kawasan tersebut untuk kepentingan lain. Khusus TN, tidak ada yang tidak mengalami tekanan dan tidak ada yang tanpa keberadaan masyarakat.

(43)

Menjawab tantangan itu, Kementerian Kehutanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang memungkinkan keterlibatan pihak lain dalam pengelolaan kawasan konservasi, khususnya dalam TN. Juga Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional yang memungkinkan penataan ruang (zonasi) TN, termasuk penetapan ruang atau zona khusus untuk masyarakat yang berada di dalam TN. Sampai saat ini baru beberapa TN menerapkan pengelolaan kolaboratif dan baru satu dua saja yang menetapkan zona khusus, salah satu diantaranya adalah TNGHS.

Pengamatan di TN Gunung Halimun Salak dan pembahasan serta diskusi dengan masyarakat dan organisasi setempat, membicarakan mengenai gagasan untuk mengembangkan zona khusus sehingga dapat mencapai tujuan ideal pengelolaan TN. Dalam konsep yang ditawarkan, zona khusus di TN diharapkan dapat membuka peluang bagi penyelenggara pembangunan dalam mewujudkan ekonomi berwawasan lingkungan dan konservasi lingkungan yang berwawasan pembangunan. Zona khusus juga dapat menjadi jawaban untuk menangani konflik antara masyarakat dan TN, dan permasalahan lainnya. Namun, pembentukan zona khusus tidak cukup hanya dengan peraturan semata. Lagipula, peraturan tersebut mempunyai keterbatasan dalam mengakomodasi berbagai tipe masyarakat dan kebutuhannya. Dibutuhkan keterlibatan para pihak dan komitmen bersama untuk mewujudkannya. Pengalaman menunjukkan tidak ada langkah tunggal untuk menembus kebuntuan dalam pengelolaan TN. Diperlukan berbagai tindakan komprehensif, terintegrasi, dan terkoordinasi. Zona khusus pun bukanlah langkah tunggal, melainkan perpaduan dari langkah jamak (multiaksi) yang secara ideal menghasilkan model zona khusus yang khas bagi tiap TN.

Menurut peraturan, zona khusus diartikan sebagai zona untuk mengakomodasi kelompok masyarakat yang telah tinggal di kawasan TN sebelum ditetapkan dan atau mengakomodasi sarana/prasarana, seperti telekomunikasi, transportasi dan listrik. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa kondisi wilayah potensial Zona khusus berbeda-beda di setiap TN. Seperti yang dijelaskan oleh Agus Mulyana selaku pihak Cifor bahwa batasan zona khusus dan kriteria penetapan seharusnya beragam.

“Kondisi wilayah potensial Zona khusus fakta dilapangannya itu berbeda-beda. Karena itu, batasan Zona khusus dan kriteria penetapan seharusnya beragam, sesuai dengan kondisi setempat dan kesepakatan para pihak. Penetapan sebuah wilayah menjadi zona khusus di TN bukan merupakan pemutihan atas pelanggaran hukum, melainkan sebuah upaya menembus kebuntuan dalam penataan ruang di TN. Gagasan yang mendasari konsep ini adalah terakomodasinya pembangunan ekonomi ramah lingkungan dalam batasan yang ditetapkan fungsi konservasi TN,” ujar Agus Mulyana, Cifor.

(44)

ruang, mempermudah pengelolaan TN, dan memungkinkan berfungsinya zona khusus sebagai zona penyangga zona inti. Zona khusus diharapkan menjadi sarana mengatasi konflik antara masyarakat dengan TN. Zona khusus janganlah dibayangkang sebagai penunjukan wilayah, melainkan sebagai kesepakatan mengenai lokasi, luas, hak, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak. Pembagian peran dan tanggung jawab pengelolaan dan perjanjian kerja di antara pihak-pihak yang terkait. Zona khusus digagaskan pula sebagai bagian dari TN. Karena itu, tujuan utamanya adalah konservasi. Pembangunan dan pengembangan masyarakat dimungkinkan selama tidak bertentangan dengan asas konservasi. Zona khusus juga bukan harga mati, melainkan sebuah proses pembelajaran untuk perubahan yang adaptif. Kuncinya adalah kesepakatan dari hasil perundingan yang adil dan transparan berdasarkan rangka negosiasi dan hukum yang jelas.

Karena itu, syarat utamanya adalah mengubah paragdigma pengelolaan TN sendiri, dari pengelolaan sepihak oleh Kementrian Kehutanan menjadi pengelolaan kolaboratif dan adaptif. Zona khusus memang bukan solusi yang mudah dan bukan merupakan model yang standar. Sebaliknya, untuk tiap TN, zona khusus harus dirancang berdasarkan kondisi setempat. Seperti dikatakan Bapak Wiratno, “Tidak ada langkah tunggal yang dapat menembus kebuntuan. Yang diperlukan adalah berbagai tindakan terintegrasi, terkoordinasi, komplementer”.

Dinamika Akses Masyarakat Pra Penetapan TNGHS

Wilayah tanah yang saat ini dimiliki Kampung Sukagalih merupakan bagian perkebunan teh milik Belanda. Saat pendudukan Jepang, perusahaan menutup perkebunan, dengan para pekerja yang tinggal di kampung sekitar. Tahun 1953, para mantan pekerja dimintai pertanggungjawaban atas kerusakan yang terjadi pada perusahaan teh ini. Pak Enim yang saat itu mantan mandor di perkebunan, menggunakan kunjungan ke pemerintah untuk memperoleh ijin dari pemerintah agar masyarakat dapat memanfaatkan lahan bekas tanah perkebunan. Maka tanah dibagi menjadi kapling- kapling dan memperoleh Surat Girik (surat bukti penguasaan lahan). Pak Enim dan Pak Empen memilih tempat dan membuka lahan dimana Kampung Sukagalih ini berada.

Kampung Sukagalih merupakan salah satu kampung yang berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Batas ini langsung diambil PERHUTANI. Kampung ini terletak di Desa Cipeteuy, Kecamatan Kabandungan, Sukabumi. Ketinggian kampung ini berada pada 800 m dpl. Kampung Sukagalih berbatasan dengan:

a. Utara : Taman Nasional Gunung Halimun Salak b. Selatan : Kampung Pasir Masigit

c. Barat : Sungai Ciraksa d. Timur : Kampung Cilodor

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Gambar 2 Kampung Sukagalih Desa Cipeuteuy
Tabel 1 Persentase tingkat pendidikan masyarakat di Desa Cipeuteuy tahun 2011
Tabel 2 Jumlah dan persentase tingkat pendidikan penduduk di Kampung Sukagalih tahun 2014
+7

Referensi

Dokumen terkait

trebušastega ostenja in nizkega vratu z ravnim robom, ki je na zunanji strani profiliran; prehod ram v vrat je klekast; ostenje in vrat okrašena z navpičnimi in poševnimi vrezi;

H4 = = T Terd erdapa apat per t perbed bedaan li aan likui kuidit ditas sa as saham p ham perus erusaha ahaan y an yang me ang melak lakuka ukan sto n stock  ck 

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian untuk mengetahui pengaruh content, bentuk, dan media komunikasi terhadap kesuksesan proyek IT di Bank ABC

Selain itu, instansi pe- merintah dan dinas terkait melakukan tugas se- suai tugas pokok dan fungsinya (TUPOKSI) mas- ing-masing. Kompleksitas pada permasalahan anak

Pada KKN-PPM periode ini penulis mendapatkan kesempatan untuk mendampingi keluarga dari I Made Kader yang berlokasi di Dusun Pejeng.. Untuk lebih jelasnya, berikut

(3) hubungan yang signifikan antara prestasi belajar dan peningkatan softskills dengan minat berwira usaha pada mahasiswa FKIP UNS berdasarkan perhitungan Ry(x

Dari beberapa teori konseling eksistensial dari para tokoh, proses intervesi atau tekonik konseling yang bisa dilakukan konselor untuk mengatasi perilaku klitih pada

Dengan menyebut nama ALLAH SWT yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang , kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya , serta salam dan sholawat kepada