• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI KAMPUNG SUKAGALIH

Kotak 02. Kasus responden UA

Bapak UA adalah seorang buruh tani yang bekerja di lahan orang lain, membantu orang lain untuk bertani. Ketika dulu bapak UA memiliki lahan sendiri yang dapat dipakai umtuk bertani. Namun, ketika lahan hutan dijadikan sebagai TN yang dikonservasikan, bapak UA tidak memili lahan sendiri untuk bertani, hanya memiliki lahan rumah untuk bernaung. Susahnya untuk menjalankan kehidupan sehari-hari, bapak mulai berusaha mencari pekerjaan selain menjadi buruh tani. Karena, buruh tani hanya bekerja jika dipakai oleh pemiliki lahan yang ingin lahannya digarap. Jika bapak UA bergantung dengan pekerjaannya dibidang pertanian saja tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Akhirnya mulailah dia mencari pekerjaan diluar pertanian untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, tidak hanya satu pekerjaan yang dilakukan namun strategi nafkah multi dilakukan oleh bapak agar tetap bertahan dan sejahtera. Jika dia hanya bergantung dan pasrah menerima keadaan lahan yang semakin sempit, dia tidak akan dapat hidup. Semua dia lakukan hanya untuk bertahan dari kesulitan yang dialaminya. Luasnya lahan dan status lahan dapat mempengaruhi mata pencaharian dan cara untuk bertahan hidup, maka kebanyakan masyarakat Sukagalih memilik cara bertahan hidup dengan melakukan lebih dari satu mata pencaharian.

Masalah yang timbul tidak hanya pada contoh kasus 02, namun masih banyak masalah-masalah yang mengakibatkan masyarakat Sukagalih melakukan strategi bertahan hidup yang begitu berat, misalnya: tidak adanya akses lahan bagi

petani, lahan yang semakin sempit akibat fragmentasi lahan warisan, gagal panen dan lain-lain.

White dalam Widiyanto et al (2009), membedakan rumahtangga petani kedalam tiga kelompok dengan strategi nafkah yang berbeda.

1. Strategi akumulasi: Rumahtangga yang mengusahakan tanah pertanian luas, yang menguasai surplus produk pertanian diatas kebutuhan hidup mereka. Surplus ini seringkali dimanfaatkan untuk membiayai pekerjaan di luar sektor non-pertanian, dengan imbalan penghasilan yang relatif tinggi. Pada strategi ini yang diterapkan adalah strategi akumulasi dimana hasil pertaniannya mampu diinvestasikan kembali baik pada sektor pertanian maupun non-pertanian.

2. Strategi konsolidasi: Rumahtangga usaha tani yang hanya mampu memenuhi kebutuhan subsisten. mereka biasanya bekerja pada sektor non- pertanian dalam upaya melindungi diri dari gagal panen atau memberikan sumber pendapatan yang berkelanjutan mengingat usaha pertanian bersifat musiman.

3. Strategi bertahan hidup (survival): Rumahtangga usaha tani tidak bertanah, maksudnya yaitu mereka bekerja dari usaha tani namun meminjam lahan orang lain, bekerja di ladang orang lain ataupun disebut buruh tani, dimana penghasilannya tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar.

Dianalisis secara umum, iklim dan cuaca, biaya produksi, luas lahan yang dimanfaatkan, serta nilai jual hasil panen yang rendah adalah beberapa faktor yang mempengaruhi pendapatan dari sektor pertanian yang tidak mencukupi. Kebutuhan rumahtangga dan pendidikan anak yang meningkat sehingga mau tidak mau masyarakat petani harus melakukan pekerjaan lain untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Munculnya sektor non-pertanian membuat masyarakat Sukagalih sukses mendapatkan tambahan penghasilan yang membuat masyarakat menjadi lebih sejahtera, bahkan dengan persentase yang lebih besar daripada pendapatan di sektor pertanian.

Sektor non-pertanian telah membuat masyarakat Sukagalih menjadi lebih sejahtera. Meskipun pendapatan masyarakat lebih besar didapat dari sektor non- pertanian, mereka tidak akan pernah meninggalkan dan melupakan basis nafkah utama mereka sebagai petani. Karena, bagi mereka pertanian adalah tempat mereka bernaung dan bergantung. Mereka tidak ingin meninggalkan lahan pertanian yang sudah dijalankan oleh nenek moyang mereka terdahulu, dan mereka selalu mengajarkan kepada anak-anak mereka agar tidak pernah lupa dengan masa lalu tidak seperti kacang lupa kulitnya.

Berikut ini adalah Tabel 14 yang menunjukan rata-rata dari total pendapatan baik sektor pertanian maupun sektor non-pertanian pada tiap golongan pendpatan menurut jenis pendapatannya.

Tabel 14 Kontribusi sumber pendapatan bersih pertanian dan non-pertanian terhadap rata-rata pendapatan responden per bulan pada setiap golongan pendapatan tahun 2003 dan 2013

Sumber pendapatan

Rata-rata pendapatan rumahtangga/bulan (Rp) Petani golongan tinggi Petani golongan

sedang Petani golongan rendah 2003 2013 2003 2013 2003 2013 Pertanian 1 500 0000 1 714 286 554 545 866 667 300 000 464 583 Non-pertanian 2 500 000 3 500 000 2 000 000 2 250 000 500 000 1 500 000 Total 4 000 000 5 214 286 2 055 454 3 116 667 800 000 1 964 583

Tabel 14 di atas menunjukkan rata-rata dilihat dari total pendapatan dari sektor pertanian maupun sektor non-pertanian pada tahun 2003 sebesar Rp4 000 000 dan 2013 sebesar Rp5 214 286 termasuk kedalam golongan tinggi. Pendapatan dari sektor pertanian tentu saja tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup, maka warga mengandalkan sektor non-pertanian untuk mencukupinya. Pada tahun 2007 warga Sukagalih mulai mendapatkan perhatian dari pihak provinsi dan kabupaten. Pihak-pihak tersebut memiliki program yang sekiranya dibutuhkan oleh warga Sukagalih, untuk dapat meningkatkan perekonomian warga. Maka pihak pemerintah provinsi dan kabupaten memberi dua pasang ekor kambing kepada setiap kepala keluarga, agar mereka tidak hanya bergantung pada pendapatan pertanian dan tengkulak untuk meminjam uang.

Warga Sukagalih tidak lagi dapat disebut sebagai petani murni, karena pendapatan dari sektor non-pertanian cukup besar dan jumlah kambing yang melebihi jumlah penduduk Kampung Sukagalih. Namun warga Sukagalih tetap bersandar kepada tiang utama yaitu pertanian. Meski pendapatan terbesar mereka di sektor non-pertanian, tidak berarti banyak warga yang melakukan migrasi dan yang bekerja di kota, semua tetap berdiri di sektor pertanian yang dibantu oleh sektor non-pertanian yaitu ternak kambing, polisi hutan, buruh hutan, serta lainnya.

Ikhtisar

Tingkat pendapatan dari sektor pertanian dari on-farm dan off-farm, yaitu sebagai petani dan buruh tani. Masyarakat Sukagalih mayoritas adalah petani, petani yang menanam padi dan sayur. Namun, mayoritas mereka menjadi petani sayur untuk memperoleh pendapatan yang berbentuk uang dari hasil produksinya. Padi yang mereka tanam lebih sebagai konsumsi keluarga saja (pertanian subsisten). pendapatan dari sektor non-pertanian diperoleh dari pekerjaan seperti buruh bangunan, satpam hutan, buruh hutan, homestay, ojeg, atau pedagang warung.

Pendapatan pertanian per bulan hampir seimbang, hanya berbeda ketika panen cabai meningkat dan harga jual meningkat. Bila dilihat dari konstribusi pendapatan pertanian dan sektor non-pertanian terhadap rata-rata pendapatan rumahtangga per bulan hampir seimbang. Hasil penelitian telah memperlihatkan bahwa pendapatan masyarakat Sukagalih di dominasi pendapatan melalui non- pertanian yang diperlihatkan dengan tiga golongan, untuk golongan tinggi sebesar Rp3 500 000, pendapatan pada golongan sedang Rp2 250 000 dan pada gologan rendah sebesar Rp1 500 000.

Pemerintah provinsi dan kabupaten memberikan sepasang kambing kepada setiap kepala keluarga di Sukagalih, yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian warga Kampung Sukagalih. Semua itu dilihat dari total pendapatan bersih bidang non-pertanian yang ternyata pendapatan ini yang menyumbang lebih besar dibanding pendapatan dari pertanian. Penyumbang pendapatan terbesar dari non-pertanian itu dari ternak kambing yang dimiliki setiap responden. Karena itu, Kampung Sukagali disebut kampung yang jumlah ekor kambing lebih banyak dibandingkan jumlah manusia.

PENUTUP

Simpulan

Studi ini berangkat dari hipotesa bahwa perluasan TNGHS membawa pengaruh kepada perubahan struktur akses dan strategi nafkah masyarakat Kampung Sukagalih. Dalam kajian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa kesimpulan penting. Pertama perluasan TNGHS telah menyebabkan perubahan status penguasaan lahan pertanian di Kampung Sukagalih. Setelah adanya perluasan dan penetapan hutan konservasi di kawasan TNGHS, lahan yang semula dapat diakses untuk lahan garapan menjadi lebih sempit dibandingkan sebelumnya.

Konservasi dan perluasan TNGHS ini berdampak pada perubahan mata pencaharian, strategi nafkah rumahtangga petani, penguasaan lahan dan aktivitas rumahtangga petani Sukagalih. Namun akibat ada peran Cifor yang mendampingi, masyarakat Sukagalih mendapatkan izin dari pihak Balai TNGHS dapat mengakses lahan seluas 30ha yang terdiri dari 15ha yang ditanami pohon damar dan 15ha persawahan serta adopsi pohon di dalam zona khusus pemanfaatan.

Diberbagai TN yang lain seperti TNGGP perluasan membawa pengaruh negatif terhadap luas lahan yang dikuasai. Namun di TNGHS masyarakat dapat mengakses lahan dalam kawasan sesuai perjanjian bersama pihak TNGHS, berkat adanya kolaborasi masyarakat dengan pihak Cifor.

Perubahan mata pencaharian yang terjadi terlihat signifikan, pada awalnya responden bermata pencaharian hanya pada sektor pertanian, sekarang sebagian besar bermata pencaharian kombinasi dari sektor pertanian dan non-pertanian. Warga Sukagalih memperjuangkan kehidupan yang lebih baik dengan beragam cara melakukan strategi nafkah. Mereka mencoba bekerja tidak hanya di satu bidang saja namun mencarai pendapatan dari strategi nafkah ganda dan strategi nafka multi.

Perubahan strategi nafkah untuk bertahan hidup ini dilakukan dengan mengkombinasi berbagai aneka nafkah dari sektor pertanian dan non-pertanian. Namun, pendapatan warga Sukagalih didominasi oleh pendapatan dari ternak, ternak kambing milik warga Sukagalih sangat membantu kemajuan perekonomian mereka. Wilayah garapan masyarakat yang dipersempit oleh pihak-pihak berkuasa, mengakibatkan masyarakat susah untuk menggarap dan mencari peruntungan lain.

Pola kepemilikan lahan di Kampung Sukagalih antara lain kepemilikan melalui warisan, dan jual beli. Kepemilikan lahan melalui sistem waris lebih banyak dibandingkan melalui jual beli karena rata-rata masyarakat tidak menjual lahan mereka, melainkan menggunakannya untuk kegiatan pertanian. Sedangkan pola penguasaan lahan antara lain sistem pinjam-pakai yang digunakan pada lahan di dalam kawasan TNGHS, sistem bagi hasil yang digunakan untuk lahan milik orang lain di luar kampung, dan juga lahan eks HGU.

Khusus untuk lahan di kawasan TNGHS, terdapat sistem zonasi yang mengatur kawasan-kawasan yang boleh dimanfaatkan dan dilarang dimanfaatkan

untuk kegiatan di luar konservasi. Saat ini kondisi Kampung Sukagalih terancam ekspansi perkebunan teh dan sawit, mulai banyaknya perkebunan sawit yang masuk membuat warga Sukagalih merasa takut dan tidak tenang. Karena perjanjian lahan dengan pihak TNGHS dan eks HGU telah habis kontrak.

Saran

Saran yang dapat diberikan oleh peneliti adalah proses dalam persoalan pengelolaan lahan oleh masyarakat, seharusnya pemerintah melihat dengan benar apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, jangan membuat peraturan tanpa melihat keadaan sekitar. Warga Sukagalih yang sejak dulu berada tinggal di dalam kawasan konservasi merasa hak-hak mereka terenggut. Perjanjian pinjam pakai lahan di TNGHS sudah habis, seharusnya pemerintah cepat menyelesaikan perpanjangan kontrak, jika tidak dapat membuat masyarakat tidak tenang. Inti permasalahan yang ada segera diselesaikan dengan cara pemerintah harus mengetahui sebenarnya program yang dibutuhkan masyarakat itu apa, bukan membuat program demi kekuasaan semata. Selain itu, pemerintah harus melindungi dan melihat bahwa masyarakat sukagalih berhak untuk mendapatkan hak dan kesejahteraan untuk hidup. petani membutuhkan rasa aman dan nyaman dalam melakukan aktivitas nafkah, jika petani telah mendapatkan rasa aman tersebut, tentu saja petani dapat lebih memaksimalkan sektor pertanian yang menjadi basis nafkah mereka sejak dulu.