• Tidak ada hasil yang ditemukan

Riwayat Penetapan TNGHS

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan wilayah yang mempunyai karakteristik kawasan pegunungan yang masih memiliki hutan hujan tropis di Jawa. Tipe hutan alam di kawasan TNGHS dibagi menjadi hutan hujan dataran rendah (100-1000 m dpl) yang didomunasi oleh Zona Colin (500- 1000 m dpl), hutan hujan pegunungan bahwah (1000-1500 m dpl), dan hutan hujan pegunungan tengah (1500-1929 m dpl). Pada awalnya TNGHS merupakan kawasan hutan lindung dengan luas 39.941 ha selama periode 1924-1934 masa pemerintahan Hindia-Belanda. Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1935 mengeluarkan kebijakan mengenai perubahan kawasan tersebut untuk menjadi cagar alam dengan Cagar Alam Gunung Halimun yang dikelola oleh Djawatan Kehutanan Jawa Barat (Jabar).

Pada tahun 1977 Gubernur Jabar menyetujui usulan bahwa seluruh hutan lindung di wilayah Jabar diserahkan kepada PHP (Pelestarian Hutan dan Perlindungan Alam). Usulan mengenai perluasan kawasan cagar alam melebihi 40 000 ha diusulkan oleh PHPA, namun sebagian besar hutan telah dibuka menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Sebagian hutan produksi juga masih merupakan hutan primer. Tahun 1978 kawasan Cagar Alam Gunung Halimun dikelola oleh Perum Perhutani dan tahun 1979 PHPA juga mulai mengelola kawasan ini yang sudah diperluas menjadi 40 000 ha. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1922 tanggal 28 Februari 1992 Kawasan Cagar Alam Halimun ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di Indonesia dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede pangrango (TNGGP). Pada tanggal 23 Maret 1997 pengelolaan TNGH dipegang oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Dirjen PHKA dan Departemen Kehutanan. Melihat kondisi sumberdaya alam hutan yang dari waktu ke waktu semakin terancam kelestariannya dan adanya dorongan dari pihak-pihak yang peduli akan konservasi, kawasan TNGH diperluas dengan kawasan hutan Gunung Salak, Gunung Endut dan kawasan sekitarnya yang dulunya berstatus hutan produksi terbatas dan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani, dialih fungsi menjadi hutan konservasi. Melalu Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 pada tanggal 10 Juni 2003, kawasan TNGH diperluas dengan luas total 113.357 ha dan bernama resmi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Tabel 4 Riwayat pendirian dan penetapan TNGHS Periode

tahun

Keterangan

1924-1934 Status sebagai hutan lindung di bawah pemerintahan Belanda dengan luas mencakup 39.941ha

1935-1961 Status cagar alam di bawah pengelolaan pemerintah Belanda dan Republik Indonesia/Djawatan Kehutanan Jawa Barat

1961-1978 Kemudian status cagar alam berubah di bawah pengelolaan Perum Perhutani Jawa Barat

1979-1990 Status cagar alam di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam III, yaitu Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I

1990-1992 Status cagar alam dikelola oleh Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

1992-1997 Status taman nasional di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

1997-2003 Status taman nasional di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun setingkat Eselon III

2003 Pada akhirnya status penunjukan kawasan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak seluas 113.357ha (merupakan penggabungan kawasan lama TNGH dengan eks hutan lindung Perhutani Gunung Salak, Gunung Endut dan hutan produksi di sekitarnya).

Sumber: Taman Nasional Gunung Halimun Salak (2014)

Zonasi TNGHS

TN merupakan kawasan yang ditetapkan untuk melindungi ekosistem asli dan dikelola oleh Balai Taman Nasional (BTN) dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjangan budi daya, pariwisata, dan rekreasi (Undang-Undang No. 5, Tahun 1990).

“Karena adanya sistem zonasi ini, TN sangat mungkin dikelola bersama masyarakat dan mengakomodasi kepentingan masyarakat.Dalam Permenhut No. P. 56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional dijelaskan bahwa zonasi TN adalah suatu proses pengaturan ruang dalam TN menjadi zona-zona. Zona TN adalah wilayah di dalam kawasan TN yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Proses pengaturan tersebut meliputi tujuh kegiatan: 1) persiapan, 2) pengumpulan dan analisis data, 3) penyusunan draf rancangan zonasi, 4) konsultasi publik, 5) pengiriman dokumen, 6) tata batas dan 7) penetapan,” (Agus Mulyana, Cifor)

Menurut Permenhut tersebut, penetapan dan penataan zona didasarkan pada: a. potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya

b. tingkat interaksi dengan masyarakat setempat c. efektivitas pengelolaan kawasan

Pengkajian dan pemahaman aspek potensi dan fungsi, ekologi, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat mutlak diperlukan. Selain itu, penetapan zona juga memperhatikan tiga hal: (a) jenis zona yang dibutuhkan, (b) luas masing- masing zona dan (c) letak/lokasi zona. Zona TN bisa terdiri dari zona inti, zona rimba, zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan, zona pemanfaatan dan zona lain, misal zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, zona budaya dan sejarah serta zona khusus. Penentuan jumlah dan jenis zona untuk tiap TN ditentukan oleh potensi kawasan, kondisi kawasan dan kondisi sosial ekonomi serta budaya masyarakat sekitar TN. Peraturan mengatakan bahwa TN sekurang- kurangnya terdiri dari zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan. Akan tetapi, peraturan juga mengatakan bahwa pemanfaatan kawasan TN tidak hanya dapat dilakukan di zona pemanfaatan, tetapi juga di zona religi, zona budaya, zona penelitian dan zona khusus untuk mengakomodasi masyarakat.

“Sesuai dengan peraturan yang ada, penetapan zonasi TN tidak bersifat permanen, tetapi dapat diubah dan disesuaikan dengan perkembangan dan kepentingan pengelolaan TN, kondisi potensi sumber daya alam dan ekosistemnya, serta kepentingan interaksi dengan masyarakat. Karena itu, setiap tiga tahun dimungkinkan untuk dievaluasi. Karena bukan merupakan keharusan, kebijakan tersebut pada satu sisi menjadi peluang bagi penetapan zona yang adaptif. Pada sisi lain dapat menimbulkan perasaan tidak pasti, terutama bagi masyarakat yang berada di wilayah berpotensi menjadi Zona Khusus. Tampaknya penting untuk menjadikan RPTN (Rencana Pengelolaan Taman Nasional) sebagai pedoman pengelolaan kerangka jangka panjang dan kesepakatan para pihak dalam menetapkan sebuah zona karena dapat menjamin kepastian,” (Agus Mulyana, Cifor)

Tujuh langkah penetapan zona di TN dan kriteria penetapammya berdasarkan Permenhut senantiasa menjadi acuan baku bagi para pengelola TN dalam penataan dan penetapan zona. Namun dalam implementasinya kebijakan tersebut telah mempersulit penetapan dan penataan zona itu sendiri, menjauhkan pencapaian tujuan zonasi, memperburuk keadaan, menimbulkan konflik-konflik baru, dan membawa para pihak ke jalan buntu. Kebijakan tersebut tidak efektif dalam menjawab berbagai tantangan pengelolaan TN yang demikian rumit, serba tidak pasti, dinamis, dan penuh dengan sengketa. Tiga hal utama yang menjadi penyebabnya adalah:

a. Proses penetapan zonasi diterapkan secara kaku dan tidak adaptif

b. Terlalu beragamnya kriteria penetapan zona yang tidak jelas dan multitafsir

c. Hanya mengakomodasi satu tipe masyarakat, yaitu masyarakat yang bermukim di dalam kawasan sebelum TN ditunjuk, padahal kaitan antara masyarakat dan TN lebih beragam.

TNGHS berdampingan dengan kampung-kampung, baik di dalam kawasan maupun di sekitar perbatasan kawasan. Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan umumnya adalah masyarakat Sunda yang terbagi dalam kelompok masyarakat kasepuhan dan masyarakat non kasepuhan. Keberadaan kampung-kampung dengan masyarakat yang berinteraksi dengan kawasan merupakan suatu kondisi yang bisa menimbulkan hambatan ataupun dukungan bagi kegiatan pengelolaan TNGHS dalam jangka panjang. Kawasan TNGHS merupakan kawasan tanah hutan milik negara yang berada di bawah kewenangan Departemen Kehutanan yang disesuaikan dengan UU No.5/1990 tentang Kawasan Pelestarian Alam dan UU No.24 tahun 1993 tentang Tata Ruang, yang mana TNGHS merupakan kawasan lindung. Sistem Zonasi yang dimiliki TNGHS yang sekiranya pihak-pihak yang berkepentingan mampu memahami dan melaksanakan sesuai aturan yang ditetapkan. Berikut tata zonasi kawasan TNGHS berdasarkan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Periode 2007- 2026:

1. Zona Inti dan Zona Rimba

Zona inti dan zona rimba meliputi ekosistem hutan alam yang masih tersisa yang mana identifikasi zona ini melalui pendekatan ilmiah dengan mengkaji ekosistem dan habitat spesies penting, daerah-daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai dan pengaruh terhadap ekosistem.

2. Zona Rehabilitasi

Zona rehabilitasi merupakan ekosistem penting serta menjadi habitat spesies penting yang telah terdegradasi seperti hutan hujan rendah, areal yang rusak, koridor Gunung Halimun Salak, dan sebagainya. Masa yang akan datang, setelah ekosistem ini pulih dapat ditetapkan menjadi zona inti atau rimba atau pemanfaatan.

3. Zona Pemanfaatan

Zona pemanfaatan berkaitan dengan areal yang akan dikembangkan untuk memenuhi fungsi-fungsi pemanfaatan di dalam taman nasional antara lain untuk wisata alam, pembangunan sarana prasarana pengunjung dan lokasi penelitian intensif. Zona pemanfaatan yang memiliki obyek wisata dan areal bekas Perhutani akan tetap dikelola oleh Perhutani dan zona yang berupa jalur-jalur pendakian dan wilayah yang rawan pengunjung akan dikelola oleh BTNGHS.

4. Zona Khusus

Zona khusus merupakan bagian dari TNGHS yang mana sebelum penunjukkan taman nasional, dalam wilayah ini sudah ada pemukiman dan garapan masyarakat sejak dulu. Selain itu juga jalan provinsi dan kabupaten yang melintas di TNGHS.

5. Zona Religi, Budaya, dan Sosial serta Zona Tradisional

Penentuan zona religi, budaya, dan sosial serta zona tradisional terbagi menjadi 2 yaitu:

a. Areal yang penting bagi kegiatan budaya yang ditentukan melalui penelusuran sejarah seperti makam di puncak Gunung Salak, situs Cibedug, dan situs Kosala di Lebak dijadikan zona religi dan budaya. b. Wilayah dimana penduduk secara tradisional memanfaatkan hasil

masyarakat terhadap hutan. Wilayah yang termasuk zona tradisional adalah kasepuhan yang ada di dalam kawasan TNGHS.

6. Zona Lainnya

Zona lainnya tidak termasuk dalam Permenhut No. 56. Zona ini merupakan bagian dari taman nasional yang nantinya akan ditetapkan menjadi zona tertentu melalui komunikasi dengan para pihak.

Zona-zona yang disebutkan di atas, Kampung Sukagalih merupakan salah satu kampung yang berbatasan langsung dengan taman nasional yang masuk dalam zona khusus pemanfaatan, perbatasannya antara tanah masyarakat dengan kawasan taman nasional yang dikerjasamakan kepada masyarakat. Luas zona khusus pemanfaatan yaitu 30 ha yang terdiri dari 15 ha ditanami dengan pohon damar dan 15 ha persawahan, ladang dan adopsi tanaman. Masyarakat memiliki olah tanah yang telah memiliki surat pembayaran pajak (SPPT), kemudian masyarakat dapat melakukan kegiatan bertani di zona khusus pemanfaatan, dulunya milik perum Perhutani yang dialihkan kepada pihak taman nasional dan ada perbatasan-perbatasan khusus untuk kelompok pelestarian lingkungan (KOPEL) yang bekerjasama dengan taman nasional.

Zona Khusus

Peraturan Menteri Kehutanan P.56/2006 memungkinkan penetapan sampai 7 zona berdasarkan fungsi konservasi dan pemanfaatan. Untuk mempermudah pengelolaan, proses penetapan dan pengaturan tata batas, sebaiknya penataan ruang Taman Nasional (TN) disederhanakan dengan membagi ruang TN menjadi hanya dua zona yakni zona pemanfaatan (zona khusus) dan zona bukan pemanfaatan (zona inti). Zona khusus seharusnya merupakan hasil kesepakatan antar pihak yang dikelola secara kolaboratif sebagai satu kesatuan dengan TN. Tujuannya untuk menyatukan pembangunan masyarakat dengan konservasi.

Konservasi di Indonesia sedang mengalami kebuntuan. Semua kawasan konservasi yang merupakan aset umum (public good) dan dikelola pemerintah untuk kepentingan umum telah mengalami kerusakan, pengurangan luas, atau diperebutkan berbagai pihak yang ingin memanfaatkan kawasan tersebut untuk kepentingan lain. Khusus TN, tidak ada yang tidak mengalami tekanan dan tidak ada yang tanpa keberadaan masyarakat.

Akar masalahnya kompleks. Kebanyakan TN baru ditunjuk dan belum dikukuhkan, ditetapkan tanpa konsultasi dengan pihak lain dan tidak mempertimbangkan keberadaan masyarakat di kawasan tersebut. Kebijakan konservasi di Indonesia pada dasarnya cenderung tidak melibatkan masyarakat dan tidak mengijinkan adanya aktivitas manusia di 534 kawasan konservasi, termasuk 50 taman nasional, yang secara keseluruhan mencakup 28,2 juta hektar. Dalam politik dan ekonomi negara, konservasi dilihat sebagai hambatan terhadap pembangunan sehingga kurang didukung, bahkan “dilawan” oleh banyak pihak. Akibatnya, konservasi tidak dapat diwujudkan, sementara di dalam dan sekitar TN sudah terlanjur ada masyarakat yang hidup dan menggantungkan hidup mereka dari kawasan tersebut.

Menjawab tantangan itu, Kementerian Kehutanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang memungkinkan keterlibatan pihak lain dalam pengelolaan kawasan konservasi, khususnya dalam TN. Juga Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut- II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional yang memungkinkan penataan ruang (zonasi) TN, termasuk penetapan ruang atau zona khusus untuk masyarakat yang berada di dalam TN. Sampai saat ini baru beberapa TN menerapkan pengelolaan kolaboratif dan baru satu dua saja yang menetapkan zona khusus, salah satu diantaranya adalah TNGHS.

Pengamatan di TN Gunung Halimun Salak dan pembahasan serta diskusi dengan masyarakat dan organisasi setempat, membicarakan mengenai gagasan untuk mengembangkan zona khusus sehingga dapat mencapai tujuan ideal pengelolaan TN. Dalam konsep yang ditawarkan, zona khusus di TN diharapkan dapat membuka peluang bagi penyelenggara pembangunan dalam mewujudkan ekonomi berwawasan lingkungan dan konservasi lingkungan yang berwawasan pembangunan. Zona khusus juga dapat menjadi jawaban untuk menangani konflik antara masyarakat dan TN, dan permasalahan lainnya. Namun, pembentukan zona khusus tidak cukup hanya dengan peraturan semata. Lagipula, peraturan tersebut mempunyai keterbatasan dalam mengakomodasi berbagai tipe masyarakat dan kebutuhannya. Dibutuhkan keterlibatan para pihak dan komitmen bersama untuk mewujudkannya. Pengalaman menunjukkan tidak ada langkah tunggal untuk menembus kebuntuan dalam pengelolaan TN. Diperlukan berbagai tindakan komprehensif, terintegrasi, dan terkoordinasi. Zona khusus pun bukanlah langkah tunggal, melainkan perpaduan dari langkah jamak (multiaksi) yang secara ideal menghasilkan model zona khusus yang khas bagi tiap TN.

Menurut peraturan, zona khusus diartikan sebagai zona untuk mengakomodasi kelompok masyarakat yang telah tinggal di kawasan TN sebelum ditetapkan dan atau mengakomodasi sarana/prasarana, seperti telekomunikasi, transportasi dan listrik. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa kondisi wilayah potensial Zona khusus berbeda-beda di setiap TN. Seperti yang dijelaskan oleh Agus Mulyana selaku pihak Cifor bahwa batasan zona khusus dan kriteria penetapan seharusnya beragam.

“Kondisi wilayah potensial Zona khusus fakta dilapangannya itu berbeda-beda. Karena itu, batasan Zona khusus dan kriteria penetapan seharusnya beragam, sesuai dengan kondisi setempat dan kesepakatan para pihak. Penetapan sebuah wilayah menjadi zona khusus di TN bukan merupakan pemutihan atas pelanggaran hukum, melainkan sebuah upaya menembus kebuntuan dalam penataan ruang di TN. Gagasan yang mendasari konsep ini adalah terakomodasinya pembangunan ekonomi ramah lingkungan dalam batasan yang ditetapkan fungsi konservasi TN,” ujar Agus Mulyana, Cifor.

Mulyana menambahkan tujuan umum zona khusus yang harus dicapai adalah membuka peluang bagi para penyelenggara pembangunan untuk mewujudkan konservasi dan ekonomi berwawasan lingkungan. Secara spesifik zona khusus bertujuan membuka jalan keluar, menembus kebuntuan penataan

ruang, mempermudah pengelolaan TN, dan memungkinkan berfungsinya zona khusus sebagai zona penyangga zona inti. Zona khusus diharapkan menjadi sarana mengatasi konflik antara masyarakat dengan TN. Zona khusus janganlah dibayangkang sebagai penunjukan wilayah, melainkan sebagai kesepakatan mengenai lokasi, luas, hak, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak. Pembagian peran dan tanggung jawab pengelolaan dan perjanjian kerja di antara pihak-pihak yang terkait. Zona khusus digagaskan pula sebagai bagian dari TN. Karena itu, tujuan utamanya adalah konservasi. Pembangunan dan pengembangan masyarakat dimungkinkan selama tidak bertentangan dengan asas konservasi. Zona khusus juga bukan harga mati, melainkan sebuah proses pembelajaran untuk perubahan yang adaptif. Kuncinya adalah kesepakatan dari hasil perundingan yang adil dan transparan berdasarkan rangka negosiasi dan hukum yang jelas.

Karena itu, syarat utamanya adalah mengubah paragdigma pengelolaan TN sendiri, dari pengelolaan sepihak oleh Kementrian Kehutanan menjadi pengelolaan kolaboratif dan adaptif. Zona khusus memang bukan solusi yang mudah dan bukan merupakan model yang standar. Sebaliknya, untuk tiap TN, zona khusus harus dirancang berdasarkan kondisi setempat. Seperti dikatakan Bapak Wiratno, “Tidak ada langkah tunggal yang dapat menembus kebuntuan. Yang diperlukan adalah berbagai tindakan terintegrasi, terkoordinasi, komplementer”.

Dinamika Akses Masyarakat Pra Penetapan TNGHS

Wilayah tanah yang saat ini dimiliki Kampung Sukagalih merupakan bagian perkebunan teh milik Belanda. Saat pendudukan Jepang, perusahaan menutup perkebunan, dengan para pekerja yang tinggal di kampung sekitar. Tahun 1953, para mantan pekerja dimintai pertanggungjawaban atas kerusakan yang terjadi pada perusahaan teh ini. Pak Enim yang saat itu mantan mandor di perkebunan, menggunakan kunjungan ke pemerintah untuk memperoleh ijin dari pemerintah agar masyarakat dapat memanfaatkan lahan bekas tanah perkebunan. Maka tanah dibagi menjadi kapling- kapling dan memperoleh Surat Girik (surat bukti penguasaan lahan). Pak Enim dan Pak Empen memilih tempat dan membuka lahan dimana Kampung Sukagalih ini berada.

Kampung Sukagalih merupakan salah satu kampung yang berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Batas ini langsung diambil PERHUTANI. Kampung ini terletak di Desa Cipeteuy, Kecamatan Kabandungan, Sukabumi. Ketinggian kampung ini berada pada 800 m dpl. Kampung Sukagalih berbatasan dengan:

a. Utara : Taman Nasional Gunung Halimun Salak b. Selatan : Kampung Pasir Masigit

c. Barat : Sungai Ciraksa d. Timur : Kampung Cilodor

Sejak menjadi kawasan hutan konservasi pada tahun 2003, warga tidak dapat mengakses sumberdaya hutan dan tidak dapan menggarap di dalam kawasan. Warga Sukagalih yang ketika itu sangat memprihatinkan kondisi ekonominya

memjadi banyak perbincangan dan sorotan bagi para relawan untuk membantu. Ketika itu warga Sukagalih memiliki konflik dengan Balai TNGHS, ada salah satu warga Sukagalih yang di tahan karena disangka menebang pohon dan mengambil sumberdaya hutan secara ilegal. Padahal, warga Sukagalih tidak pernah berani untuk menebang pohon apa lagi merusak hutan yang telah mereka tempati sejak dulu. Banyak pihak yang mengadu domba warga Sukagalih dengan pihak TN, agar warga Sukagalih tidak dapat memiliki lahan mereka di dalam kawasan.

Pada tahun 2005 Cifor mendatangi Kampung Sukagalih untuk bersilaturahmi dan ingin turun langsung kelapangan ketempat yang sedang menjadi sorotan tersebut. Pada waktu itu warga masih malu dan tertutup untuk bercerita apa yang sebenarnya terjadi dengan kampung mereka. Pertama Cifor membangun hubungan saling percaya dengan masyarakat. Setelah beberapa lama mereka tinggal bersama warga, barulah mereka mulai terbuka namun tetap belum berani berbicara. Selama di Sukagalih, Cifor belajar bersama warga mengenai pengelolaan sumberdaya alam, secara intensif didampingi oleh Cifor dengan kegiatan motivating, coaching, mentoring dan termasuk mengajak mereka studi banding ke lokasi-lokasi lain. Kemudian mereka difasilitasi menyusun suatu perencanaan strategis pengelolaan sumberdaya alam, dimulai dengan menyusun visi praktikal dalam jangka lima tahun.

Sepuluh visi praktikal yang mereka targetkan dan sudah sembilan yang terwujud, kecuali pemanfaatan mata air sudah diambil terlebih dahulu oleh PDAM. Beberapa visi praktikal mereka yaitu yang pertama rencana tata guna lahan yang lebih seimbang dan selaras dengan keberadaan kampung dan TNGHS, mereka sudah menetapkan dimana lahan lahan yang dijadaikan hutan, kebun, permukiman dan lainnya. Kedua berkolaborasi dengan pihak TNGHS mengenai lahan 30 ha untuk dapat dimanfaatkan. Agar tidak terjadi lagi konflik pemerintah dengan warga akibat pemanfaatan ilegal, dahulu sebelum adanya konservasi ada pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) karena konservasi sudah tidak dapat diakses lagi. Ketiga Kampung Sukagalih ingin menjadi kampung ekowisata yang mencampurkan antara eko, edu dan pertanian.

Pihak Cifor mendampingi warga Sukagalih untuk mewujudkan sepuluh visi praktikal tersebut, dan pada akhirnya warga Sukagalih, pihak TNGHS dan pihak Perhutani telah melakukan diskusi dan warga telah mendapatkan lahan di zona khusus pemanfaatan. Pihak TN menjadikan hutan ke dalam enam zona, yang salah satu zonanya yaitu zona khusus pemanfaatan menjadi bagian yang dapat dikelola oleh masyarakat Sukagalih. Setelah dipindahkan, Kampung Sukagalih merupakan salah satu kampung yang berbatasan langsung dengan taman nasional, yang masuk dalam zona khusus pemanfaatan, perbatasannya antara tanah masyarakat dengan kawasan taman nasional yang dikerjasamakan kepada masyarakat.

Luas zona khusus pemanfaatan yaitu 30 ha yang terdiri dari 15 ha ditanami dengan pohon damar dan 15 ha persawahan, ladang dan adopsi tanaman. Warga memiliki olah tanah yang telah memiliki SPPT, kemudian warga dapat melakukan kegiatan bertani di zona khusus pemanfaatan, dulunya milik Perum Perhutani yang dialihkan kepada pihak taman nasional dan ada perbatasan-perbatasan khusus untuk kelompok pelestarian lingkungan (KOPEL) yang bekerjasama dengan taman nasional. Semua itu telah disepakati antar pihak TNGHS, Perhutani dan warga Sukagalih. Warga Sukagalih bangkit dan memulai kembali pertanian

mereka yang sempat hilang dan terbatas akibat perluasan TNGHS. Berikut matriks mengenai sejarah Kampung Sukagalih.

Gambar 3 Matriks sejarah Kampung Sukagalih

Tahun Status kawasan Akses

1924-1934 1. Lahan di dalam kawasan sebagai hutan lindung dibawah pemerintahan

Belanda

2. Lahan di luar kawasan perkebunan teh milik Belanda

Warga dapat mengakses hasil hutan dan bekerja sebagai buruh pabrik di sekitar kawasan

perkebunan teh 1935-1950 Status kawasan berubah menjadi, cagar

alam di bawah pengelolaan pemerintah Belanda dan Republik Indonesia/Djawatan Kehutanan Jawa Barat

Warga masih