• Tidak ada hasil yang ditemukan

Shared Learning

Bertempat di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS), Sukabumi, tanggal 11 – 19 Juni 2007, sekelompok masyarakat, lembaga pendamping dan pemerintah berkumpul. Mereka berbagi kisah dan pengalaman tentang penataan ruang. Kegiatan ini dikemas dalam Shared Learning (SL) VI diprakarsai Center for International Forestry Research (CIFOR) dan Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI-NGO Movement); didukung pula oleh The Forest Partnership, Japan International Cooperation Agency (JICA), TNGHS, PEKA, Jaringan Masyarakat Koridor (Jarmaskor), dan Kelompok Peduli Lingkungan (KOPEL) dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Sebanyak 35 orang peserta SL, bertema “Penataan Ruang: Titik Temu Kolaborasi Pengelolaan Hutan”. Para peserta berasal dari berbagai daerah; seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimatan Timur, serta masyarakat lokal Kampung Cisarua dan Sukagalih. Kegiatan ini diawali dengan berbagi pengalaman dari peserta mengenai penataan ruang dan pengelolaan kawasan hutan. Selain berbagi pengalaman, peserta juga mendapatkan informasi lain dari sesi seminar dan sejumlah pembekalan yang terkait dengan peningkatan kapasitas penataan ruang.

Pembekalan meliputi: Multidisciplinary Landscape Assesment (MLA), sebuah metode untuk menilai arti penting sumberdaya alam bagi masyarakat lokal dan aplikasinya untuk penataan ruang, PAR (Partisipatory Action Research), Rapid Land Tenure Appraisal (RaTA), seperangkat alat untuk menganalisis, memahami dan menjelaskan masalah dan akar konflik penguasaan tanah, dan Skenario Masa Depan (Future Scenario).

Penataan ruang merupakan media untuk menampung berbagai peran dan kepentingan para pihak atas suatu kawasan. Penataan ruang yang baik seharusnya menjamin hak para pihak, mengurangi konflik atas penggunaan ruang dan yang tidak kalah penting, mencegah kerusakan lingkungan. Bermacam kelengkapan peraturan telah tersedia, meskipun belum sepenuhnya menjamin tertib penerapannya. Otonomi daerah juga telah membuka jalan bagi banyak pihak untuk berkontribusi dalam penataan ruang. Peluang partisipasi publik makin terbuka ketika peran pemerintah daerah makin menonjol seiring angin kencang otonomi daerah. Peluang dan tantangan selalu mengiringi setiap dinamika penataan ruang. Semakin berperannya pemerintah daerah justru menimbulkan setiap daerah untuk menata ruang bagi kepentingannya sendiri yang seringkali bertentangan dengan kepentingan pembangunan kehutanan.

Tetapi dibalik kecenderungan itu muncul pula harapan agar penataan ruang dapat mendorong pengembangan wilayah untuk meningkatkan kualitas hidup yang adil dalam lingkungan yang berkelanjutan. Pada saat yang sama, tata ruang bisa juga menjadi jembatan bagi banyak kalangan untuk bekerjasama dalam

menyelesaikan persoalan yang ada dan dalam mengembangkan pengelolaan hutan yang lebih baik. Penataan ruang di Indonesia yang carut marut ikut menyebabkan kerusakan lingkungan dan bencana alam. Terjadinya bencana alam, menunjukkan betapa pentingnya penataan ruang yang menyeluruh. Tata ruang suatu kawasan sangat mempengaruhi kawasan yang lain.

Penataan ruang yang mampu menampung banyak „kepentingan‟, sebenarnya juga mencerminkan sebuah „kewajiban‟ bagi para pemangku kepentingan; terutama ketika terjadi bencana. Dengan demikian, diperlukan sebuah sudut pandang lain tentang tata ruang. Menyangkut kebencanaan, tata ruang seharusnya dipandang sebagai media tanggung renteng atas pencegahan, penangkalan dan kedaruratan bencana. Tata ruang tak bisa lagi dipandang sebagai pergumulan kepentingan atas sumberdaya di suatu kawasan. Lebih dari itu, tata ruang juga harus dipahami sebagai peluang membagi peran dan tanggung jawab atas kelayakan lingkungan untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya bencana alam. Tata ruang bagian hulu sebuah daerah aliran sungai (DAS), misalnya, akan sangat mempengaruhi bagian hilir DAS bersangkutan. Artinya, perlu adanya pemahaman bagi luasnya cakupan penataan ruang; dan tergantung pada cakupan spasial ekosistem dan administratif yang dihadapi. Tata ruang harus menghindari pendekatan parsial; sebaliknya harus menyeluruh.

Pada saat yang sama, dipahami juga bahwa watak berbagi tanggung jawab tata ruang bukan berarti sebagai upaya pelemparan tanggung jawab dari satu pihak ke pihak lain. Itulah sebabnya, tata ruang yang menyeluruh dan komprehensif harus dipahami sebagai perwujudan tanggung renteng semua pihak atas bencana yang mungkin dan sedang terjadi. Sebelum berjalannya SL, pihak Cifor melakukan pendekatan dengan masyarakat dengan membangun hubungan saling percaya, agar proses SL berjalan dengan lancar tanpa adanya pihak masyarakat yang tidak ikut berkolaborasi. Seperti yang dijelaskan oleh Agus Mulyana dari Cifor, bahwa sebentar atau lamanya pendekatan kepada masyarakat itu tergantung personaliti kita.

“Pertama memulai dengan membangun hubungan saling percaya dengan masyarakat. Pertama kali datang Warga masyarakat itu bisa langsung percaya dengan orang luar namun bisa dengan waktu lama sekali percaya pada kita. Lama atau sebentarnya itu tergantung dengan personality kita, kalau saya membangun hubungan saling percaya memulai dengan apresiasi kepada masyaakat, memberi apresisai dengan tulus kepada mereka. Kita tahu semua orang butuh apresiasi, apalagi org desa yang sering kali dihujat, dimarjinilisasi dan tidak dihargai prestasinya oleh orang luar yang merasa lebih pintar dari mereka. Saya tidak pernah mau mempunyai mindset seperti itu, maindset saya adalah menempatkan mereka sebagai guru saya dan ini tidak pura-pura, karena memang mereka itu punya pengalaman empirik yang jauh lebih lama dari saya. Jadi wajar kalau saya menjadikan mereka guru saya, saya belajar dari mereka, dan sungguh luar biasa pengalaman hidup mereka. Dan saya mengapresiasi pengalaman mereka itu sebagai suatu hal yang tidak saya miliki,”(Agus Mulyana, Cifor).

Dalam membangun rasa saling percaya dengan masyarakat, harus ada niat baik yang ditekadkan bulat-bulat di hati datang ke kampung itu. Masyarakat desa itu perasaannya lebih sensitif dan mereka dapat merasakan niat kita.

“Kalau saya mau datang ke kampung-kampung dimana pun dan terasing, karena ingin membangun niat yang baik. Mereka bisa merasakan niat yang ada dihati kita, orang kampung itu sangat sensitif dan perjelaskan niat kita kepada mereka dengan cara permisi terlebih dahulu kepada mereka dan menjelaskan apa tujuan dan niat baik kita datang ke kampung mereka,” Ujar Agus Mulyana, Cifor.

Program Shared Learning (SL) ini terutama melibatkan masyarakat Sukagalih. Melibatkan mereka dalam proses pembelajaran bersama tentang pengelolaan sumberdaya alam. Tidak hanya masyarakat Sukagalih saja, banyak peserta dari Jawa yang hadir untuk bertukar pengalaman. Berikut penjelasan dari Agus Mulyana mengenai masyarakat yang ikut berperan dalam segala keputusan.

Pertama melibatkan mereka di dalam proses SL pembelajaran bersama tentang pengelolaan sumberdaya alam, dalam proses ini mereka dipertemukan untuk berbagi pengalaman dengan peserta dari seluruh indonesia. Kemudian sebelum mereka menjadi peserta SL didampingi oleh Cifor agar mereka memiliki pemahaman yang lebih lengkap mengenai pengalaman mereka mengenai SDA dan mengatasi masalah-masalah mereka. Berdiskusi menyiapkan satu bahan untuk dibagi kepada peserta lain. Kemudian mereka mempresentasikan tentang Kampung Sukagalih. Ketika itu seketika Kampung Sukagalih menjadi kampung belajar bagi peserta-peserta lain di seluruh Indonesia, semacam berbagi pengalaman saja,”Agus Mulyana,Cifor.

Keseluruhan proses ini didampingi reviewer dan dukungan tim dokumentasi dalam proses SL memungkinkan peserta untuk memperoleh materi diskusi sebagai bahan refleksi.

a. Orientasi Peserta

Proses ini bertujuan membuat suasana belajar menjadi lebih dinamis dan nyaman untuk memasuki proses belajar bersama. Orientasi diawali dengan uji kepribadian, peserta diberikan beberapa pertanyaan yang menunjukkan kepribadian masing-masing. Tahap ini bertujuan untuk mengenal karakter setiap peserta sehingga dapat mengetahui potensi dan kapasitas diri. Sesi selanjutnya, „harapan dan kekhawatiran‟ dan „pengukuran kapasitas‟.Peserta diminta menempelkan sticker di rentang angka 0 – 9 untuk mengetahui kapasitas dan harapan akan SL 6 ini. untuk konsep tata ruang dan pemahaman kebijakan, peserta lebih banyak menempatkan sticker di rentang 5 kebawah. Sedangkan untuk metode, beberapa peserta menempatkan sticker di rentang 8 -9.

b. Berbagi Pengalaman

Tujuan proses ini adalah melakukan berbagi cerita dan refleksi bersama atas pengalaman masing-masing peserta dan mendapatkan masukan positif

dari peserta lain serta menarik hikmah dan pelajaran penting dari pengalaman tersebut.

Shared learning juga dirancang agar seluruh peserta dapat bersama-sama mengasah dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam metode- metode yang dapat digunakan dalam penataan ruang. Peserta diberikan pembekalan mengenai metode-metode tersebut. Praktik metode dengan melibatkan masyarakat sebagai narasumber bertujuan untuk berbagi informasi bersama dan melakukan kajian lapangan dengan situasi yang hampir mirip situasi sebenarnya. Dalam proses belajar dari lapangan ini, para peserta Shared Learning berperan sebagai fasilitator dan bersama masyarakat setempat melakukan kajian mengenai penataan ruang kampung dan pengelolaan kawasan koridor. Berbagai hasil kajian tersebut, kemudian menjadi bahan masukan bagi masyarakat untuk mengembangkan potensi daerah mereka dan rekomendasi penataan ruang kampung.

Selama proses ini berlangsung Penduduk Kampung Sukagalih memiliki harapan setelah terjadinya konservasi. Harapan Masyarakat Sukagalih:

1. Ada pihak yang menjadi jembatan dengan pihak luar 2. Konservasi hutan

3. Kampung ekowisata

4. Adanya payung hukum bagi masyarakat dalam tata ruang 5. Sarana kegiatan ekonomi.

Setelah adanya program SL, seluruh pihak-pihak telah mengetahui program- program apa yang sebenarnya masyarakat butuhkan. Sukagalih seperti terangkat kepermukaan dan mendapat perhatian dari banyak pihak. TNGHS dan pemerintah provinsi dan kabupaten daerah sukabumi, kemudian banjir program ke kampung itu. Pemerintah kabupaten seakan-akan berlomba-lomba membawa program ke kampung itu dan terlihat menjadi kurang baik bagi masyarakat. Berikut paparan dari Agus Mulyana.

“Banyaknya pihak yang berlomba-lomba membawa program ke Sukagalih, menjadi terlihat kurang baik. Karena banyak program dari pemerintah yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh masyarakat Sukagalih, pemerintah belum ada perubahan mengenai program, masih topdown, kebanyakan orang luar dan pemerintah masih menjadikan masyarakat sebagai objek mereka. Jadi, pemerintah dan masyarakat luar sudah memiliki sejumlah program dan masyarakat hanya disuruh menjalankannya, tidak menanyakan terlebih dahulu kepada mereka apa yang diinginkan,” Agus Mulyana, Cifor.

Disitulah peran Cifor untuk memperkuat mereka agar mereka dapat memilih dan membuat keputusan proyek mana yang sebenarnya dibutuhkan oleh mereka. Cifor mendampingi tidak intensif, hanya secara personal saja. Intinya kalau kita mau melakukan pendampingan transformatif atau penelitian yang memberdayakan, itu harus jelas apa yang ingin di berdayakan dan tetap harus disepakati oleh masyarakat. Contohnya pertama yaitu ketika masyarakat sukagalih tidak mandiri untuk membuat keputusan maka harus didorong agar mandiri dan mampu membuat keputusan untuk memilih proyek yang mereka butuhkan,

keputusan-keputusan itu harus dilembagakan, harus ada perencanaan bersama masyarakat. Kedua ingin mendorong proses perubahan mengenai modal sosial mereka, dari modal sosial yang lemah rentan dan mudah patah menjadi komunitas dengan modal sosial yang kuat. Disitu mereka harus punya pemahaman mengenai masyarakat dengan modal sosial yang kuat itu seperti apa, antara lain hubungan relasi sosial antara anggota masyarakat, hubungan saling percaya, kompak gotong royong dan lain-lain. Sebenarnya elemen itu sudah ada di masyarakat Sukagalih dan hanya diperkuat dengan cara membuat perencanaan bersama masyarakat. Intinya kelembagaan lokal yang ada untuk memperkuat modal sosial mereka, bukan sebaliknya memperlemah.

Manfaat Kolaborasi

Kolaborasi yang terjalin antara pihak Cifor dan masyarakat Sukagalih membuat perubahan yang begitu besar bagi masyarakat. Masyarakat Sukagalih yang awalnya sudah tidak dapat mengakses lahan di dalam kawasan dan berkurangnya pendapatan dalam bidang pertanian, seketika mulai bangkit dengan keberadaan pihak Cifor yang membantu dalam suatu pencapaian bersama. Kasus adanya hutan yang di jadikan sebagai hutan konservasi dalam penelitian- penelitian yang lain, memperlihatkan bahwa setiap masyarakat lokal yang dahulunya berada di dalam kawasan hutan konservasi tidak akan ada yang mendapatkan lahan untuk dapat di akses oleh warga.

Seperti contoh kasus yang berjudul Dampak Perluasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Desa Ciputri, Cianjur. Menjelaskan bahwa pada akhirnya TNGGP yang telah menjadi kawasan konservasi, tidak dapat diakses oleh masyarakat setempat. Setiyadi Indra (20013), menjelaskan bahwa pada saat kawasan TNGGP bertambah luas sebagai akibat beralihanya status kawasan hutan produksi menjadi hutan konservasi (salah satunya wilayah yang terkena adalah Desa Ciputri, Cianjur). Petani penggarap di Desa Ciputri mengalami imbas dari perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Diawali petani membuka lahan untuk menggarap lahan kawasan berdasarkan adanya perjanjian PHBM oleh Perum Perhutani pada tahun 1980an. Namun pada tahun 2003 menurut 2003 berdasarkan SK Menhut No 174, lahan garapan tersebut, dialih fungsikan karena mengalami perluasan TNGGP. Perubahan alih fungsidari kawasan hutan produksi Perhutani menjadi kawasa konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Akibat perubahan alih fungsi petani tidak perbolehkan lagi menggarap kawasan hutan.

Contoh kasus di atas sangat terlihat jelas perbedaan yang terjadi pada penelitian ini di TNGHS, bahwa masyarakat Kampung Sukagalih yang terkena dampak konservasi mendapatkan lahan di dalam kawasan untuk di kelola oleh masyarakat Sukagalih seluas 30 ha. Masyarakat dapat bernafas lega, karena berkat adanya Cifor yang membantu masyarakat dalam proses negosiasi dengan pihak Balai TNGHS. Akhirnya, masyarakat diberikan lahan oleh TNGHS seluas 30ha

yang terdiri dari 15ha yang ditanami pohon damar dan 15ha untuk persawahan dan adopsi pohon bersama masyarakat.

Awalnya masyarakat Sukagalih merasakan kesulitan ketika belum mendapatkan lahan dari pihak TNGHS. Mereka sulit untuk memulai dari mana agar pendapatan mereka yang hanya berasal dari bidang pertanian dapat kembali seperti sebelum adanya konservasi. Namun, setelah adanya Cifor yang membantu banyak dalam hal negosiasi dalam pengelolaan lahan seluas 30ha tersebut, masyarakat juga diajarkan bagaimana cara bertahan hidup dan mengelola sumberdaya alam dengan baik agar mereka menjadi desa yang sejahtera.

Akibat adanya peran Cifor yang mendampingi masyarakat Sukagalih, strategi nafkah yang awalnya hanya sebagai petani, sekarang masyarakat Sukagalih bermata pencaharian lebih dari satu bidang yaitu disebut strategi nafkah multi. Masyarakat Sukagalih saat ini tidak hanya bergantung pada pendapatan dari hasil pertanian naum memiliki pendapatan lain di bidang non pertanian. Terutama pada hasil ternak yang begitu mendominasi pada pendapatan para rumah tangga petani.

PERUBAHAN PENGUASAAN LAHAN DAN PEMANFAATAN