• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Penguasaan Lahan Masyarakat

Pola Pemilikan Lahan

Pola penguasaan atas tanah menurut struktur agraria yaitu pola kepemilikan lahan, pola penguasaan lahan, dan pola pemanfaatan lahan. Bab ini membahas mengenai pola kepemilikan lahan. Pola kepemilikan lahan adalah pola penguasaan atas tanah yang paling tinggi tingkatannya karena telah memiliki pengukuhan yang sah yaitu hak milik yang bisa ditandai dengan adanya sertifikat tanah. Pola kepemilikan lahan terdiri dari dua cara yaitu yang pertama kepemilikan tanah dari proses waris terjadi ketika sebuah tanah diwariskan dari seseorang kepada orang lain dengan mengalihkan nama atas kepemilikan tanah tersebut. Di Kampung Sukagalih, mayoritas kepemilikan tanah atau lahan berasal dari kepemilikan melalui proses warisan. Ketika orang tua meninggal, maka hak waris atas tanah tersebut jatuh kepada anaknya. Tanah yang diwariskan biasanya adalah tanah yang telah dibangun rumah di atasnya.

Pola kepemilikan yang kedua berasal dari proses jual beli. Kepemilikan tanah dari proses ini terjadi ketika seseorang ingin menjual tanahnya kepada orang lain yang ditandai dengan akta jual beli dan alih nama sertifikat. Di Kampung Sukagalih jual beli tanah jarang dilakukan ketika HGU masih terikat kontrak, namun ketika kontrak HGU sudah habis dan pemerintah belum memutuskan, masyarakat Sukagalih sering menjual lahan eks HGU PT. Intan Hepta yang dahulu merupakan perkebunan tersebut kepada orang luar, baik luar kota maupun luar negri yang datang ke Sukagalih dan tertarik untuk membelinya. Contohnya lahan eks HGU itu sudah dijual kepada orang Jepang dan orang Jakarta.

Kepemilikan tanah, baik melalui proses warisan maupun jual beli tentu ditandai dengan adanya sertifikat tanah. Hal tersebut menjadi salah satu cara yang sah bagi pengukuhan atas sebuah tanah yang dimiliki. Sayangnya Sukagalih ini, kepemilikan tanah yang ditandai dengan adanya sertifikat masih sedikit, begitupula bila dilihat secara keseluruhan dari Desa Cipeuteuy. Mayoritas kepemilikan tersebut hanya ditandai dengan surat pengukuhan atau pengakuan dari kepala desa.

Tabel 5 Persentase kepemilikan lahan masyarakat di Desa Cipeuteuy tahun 2011

Kepemilikan tanah Persentase (%)

Tanah milik negara 72,01

Tanah milik sendiri (masyarakat) 27,99

Total 100

Sumber: Profil Desa Cipeuteuy tahun 2011

Catatan: Peneliti tidak memperoleh data real jumlah penduduk Desa Cipeuteuy menurut mata pencaharian

Dari Tabel 5 di atas, terlihat bahwa kepemilikan tanah milik sendiri hanya sekitar 27,99 persen, sedangkan tanah milik negara yang berada di desa mencapai 72,01 persen. Tanah milik negara di sini terdiri dari tanah dalam koridor TNGHS dan tanah eks HGU PT. Intan Hepta yang dahulu merupakan perkebunan. Sedangkan untuk tanah milik sendiri pun hanya sedikit yang memiliki sertifikat sebagai tanda pengesahan kepemilikan tanah. Sebagian besar masyarakat hanya bermodal surat keterangan dari pihak desa. Proses pembuatan sertifikat yang lama sehingga menjadi alasan masyarakat tidak mau membuat sertifikat atas tanahnya. Padahal sebenarnya, hal tersebut rentan terhadap adanya klaim ganda atas kepemilikan sebuah tanah.

Perubahan Penguasaan Lahan

Pola penguasaan lahan di lokasi penelitian terdiri dari tiga jenis cara yaitu: 1. Sewa-menyewa

Di Kampung Sukagalih tidak ada pola penguasaan lahan melalui sewa- menyewa, masyarakat tidak pernah menyewa tanah untuk digarap. Mereka cenderung bergantung pada lahan yang bisa dipakai secara cuma-Cuma tanpa harus mengeluarkan biaya sewa.

2. Pinjam-pakai

Lahan yang digarap oleh masyarakat kebanyakan lahan di dalam TN. Masyarakat menggunakan lahan tersebut atas pola penguasaan pinjam- pakai lahan. Masyarakat menggunakan lahan tersebut secara cuma-Cuma tanpa mengeluarkan biaya sewa.

3. Sistem bagi hasil.

Selain itu, ada lahan desa yang merupaka milik orang luar, yaitu pemilik dari Jakarta maupun dari Jepang dan lain sebagainya. Lahan-lahan tersebut dibeli namun tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya, warga pun memanfatkan lahan tersebut untuk bercocok tanam. Sistem bagi hasil ini tidak berpedoman pada perjanjian kontrak bagi hasil, melainkan hanya secara kekeluargaan. Pemilik lahan tersebut kebanyakan merupakan orang yang pernah meneliti di Sukagalih. Sebagai ucapan terima kasih, petani yang memanfaatkan lahannya akan memberikan sebagian kecil hasil panen kepada sang pemilik lahan.

Beberapa sistem dan bentuk penguasaan lahan yang telah dijelaskan di atas memperlihatkan bahwa kawasan hutan TNGHS dan lahan-lahan yang ada di wilayah Kampung Sukagalih telah dimanfaatkan oleh warga melalui berbagai cara perizinan, guna menjadi pendukung sumber nafkah mereka sebagai petani. Warga Sukagalih memiliki lahan yang dikuasai dan digarap, namun mereka tidak hanya bergantung pada satu lahan garapan saja. Setiap responden penelitian memaksimalkan kegiatan pertaniannya tidak dengan satu lahan garapan saja. Warga Sukagalih termasuk warga yang kompak maka dari itu mereka membuat sistem liliuran, yaitu setiap warga Sukagalih selain memiliki lahan sendiri mereka juga membantu menggarap di lahan warga lainnya secara bergilir. Bentuk-bentuk penguasaan lahan responden terdiri dari tiga jenis yaitu tidak memiliki lahan,

lahan di luar kawasan (lahan milik sendiri, lahan sewa/bagi hasil, dan eks HGU) dan lahan di dalam kawasan.

Tabel 6 Jumlah dan persentase tingkat penguasaan lahan penduduk di Kampung Sukagalih berdasarkan bentuk penguasaan lahan tahun 2003 dan 2013 Bentuk penguasaan lahan Tahun 2003 Tahun 2013 N % N % Tidak memiliki lahan 2 1,94 1 0,97 Lahan di luar kawasan - Lahan milik sendiri 29 28,15 28 27,18 - Lahan sewa/ba gi hasil 18 17,5 18 17,5 - Lahan eks HGU 24 23,30 26 25,24 Lahan dalam kawasan 30 29,12 30 29,12 Total 103 100 103 100

Tabel 6 di atas memperlihatkan persentase paling besar pada tahun 2003- 2013 adalah penduduk yang menguasai lahan melalui lahan di dalam kawasan TNGHS yaitu sebesar 29,12 persen atau sebanyak 30 orang. Kemudian penduduk yang memiliki lahan sendiri pada tahun 2003 sebesar 28,15 persen atau 29 orang. Pada tahun 2013 mengalami penurunan hanya sekitar 27,18 persen penduduk yang memiliki lahan sendiri, karena sebagian orangtua memberika warisan tanah kepada anaknya yang telah menikah. Penduduk yang tidak memiliki lahan tahun 2003 berada pada angka 1,94 persen dan mengalami penurunan pada tahun 2013 sekitar 0,97 persen. Persentase yang sama pada tahun 2003-2013 muncul pada bentuk penguasaan lahan bagi hasil sebesar 17,5 persen atau sebanyak 18 orang. Secara keseluruhan pada tahun 2003 sekitar 34 orang penduduk yang menggunakan lebih dari satu lahan garapan untuk kegiatan pertanian. Penduduk yang hanya menggunakan satu lahan garapan sekitar empat orang dan dua orang yang tidak memiliki lahan garapan sama sekali. Alasannya, karena mereka masih berumur antara 21 tahun – 28 tahun yang pada tahun 2003 mereka masih belum berkeluarga atau belum menikah. Maka, mereka hanya memiliki satu lahan garapan. Tahun 2013 mengalami penambahan untuk penduduk yang hanya menggunakan satu lahan garapan saja sekitar lima orang dan untuk penduduk yang menggunakan lebih dari satu lahan bekurang menjadi 33 orang. Hal ini disebabkan adanya perluasan TN yang berdampak bagi Kampung Sukagalih yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi.

Pada Tabel 7 dan 8 dibawah ini terlihat pola penguasaan lahan dari 2003 sampai 2013 semakin berkurang. Masyarakat yang memiliki lahan dengan kategori luas pada tahun 2003 di dalam kawasan dengan persentase sebesar 15 persen atau berjumlah enam orang dan mengalami penurunan tahun 2013 di dalam kawasan sebesar 10 persen atau empat orang. Masyarakat yang tadinya

mendapatkan hak untuk mengolah lahan mereka sendiri sekarang semakin susah karena Kampung Sukagalih berbatasan dengan zona khusus pemanfaatan, masyarakat yang sudah memiliki cucu atau sudah menikahkan anaknya, dan lahan diwariskan untuk mereka.

Tabel 7 Persentase pola penguasaan lahan masyarakat Kampung Sukagalih pada