• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PENGHIDUPAN BERKELANJUTAN KELOMPOK MASYARAKAT ADAT DESA SAGA DI SEKITAR KAWASAN TAMAN NASIONAL KELIMUTU

N/A
N/A
Saurma Sinaga

Academic year: 2024

Membagikan "STRATEGI PENGHIDUPAN BERKELANJUTAN KELOMPOK MASYARAKAT ADAT DESA SAGA DI SEKITAR KAWASAN TAMAN NASIONAL KELIMUTU"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGHIDUPAN BERKELANJUTAN KELOMPOK MASYARAKAT ADAT DESA SAGA DI SEKITAR KAWASAN TAMAN NASIONAL KELIMUTU

TESIS

HALAMAN JUDUL

Disusun oleh Bertila Avila Delvion 19/452987/PKT/01379

PROGRAM STUDI ILMU KEHUTANAN

PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGJAKARTA

2023

(2)

STRATEGI PENGHIDUPAN BERKELANJUTAN KELOMPOK MASYARAKAT ADAT DESA SAGA DI SEKITAR KAWASAN TAMAN NASIONAL KELIMUTU

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-2

Disusun oleh Bertila Avila Delvion 19/452987/PKT/01379

PROGRAM STUDI ILMU KEHUTANAN

PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGJAKARTA

2023

(3)

i

LEMBAR PENGESAHAN

(4)

ii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI

(5)

iii

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan syukur yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang maha Esa karena atas berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Strategi Penghidupan Kelompok Masyarakat Adat Desa Saga di sekitar Kawasan Taman Nasional Kelimutu”. Tesis ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh derajat Sarjana S-2 pada Program Studi Magister Ilmu Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penulis berharap tesis ini bisa memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan terkait pembangunan berkelanjutan masyarakat pedesaan di sekitar kawasan konservasi.

Penulis menyadari bahwa Tesis ini tidak akan selesai tanpa dukungan, dorongan, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan penghargaan serta ucapan terimakasih kepada:

1. Teristimewa untuk Orang Tua tercinta- Bapak Wilhemus Mba dan Ibu Emiliana Donda, Kakak Mey Delvion sekeluarga, serta Kakak Deny Delvion sekeluarga yang selalu mendoakan, memberikan dukungan, dan memotivasi untuk penyelesaian pendidikan ini;

2. Bapak Ir. Dwiko Budi Permadi, S.Hut., M.Sc., Ph.D. dan Bapak Dr. Hero Marhaento, S.Hut., M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, mengarahkan penulis, dan memberikan bimbingan, saran serta masukan selama penyusunan tesis ini;

3. Bapak Dr. Rohman, S.Hut., M.P. dan Ibu Ir. Dr. Lies Rahayu Wijayanti Faida, S.Hut., M.P. selaku dosen penguji yang telah berkenan memberikan berbagai saran dan masukannya untuk memperbaiki, mempertajam dalam penyempurnaan tesis ini;

4. Pengelola, dosen, dan seluruh staff pegawai di Program Studi Magister Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, atas ilmu, bantu, dukungan, fasilitas dan kerjasamanya selama perkuliahan dan penyelesaian seluruh program pendidikan ini;

(6)

iv

5. Kepala Balai Taman Nasional Kelimutu dan jajarannya atas dukungan dan keberhasilan dalam penelitian, komitmen dan partisipasi dalam memberikan informasi dan akses ke lokasi penelitian yang berharga, sehingga mendapatkan data yang relevan untuk penelitian penulis.

6. Koordinator Resort Ndona, atas kerahaman dan dukungan yang diberikan kepada penulis selama penelitian. Kerjasama Bapak-Bapak koordinator sekalian telah memastikan kelancaran kegiatan penelitian dan kenyamanan penulis selama berada di wilayah tersebut.

7. Kelompok Masyarakat Adat Saga, yang telah memberikan wawasan dan informasi yang berharga tentang budaya, tradisi, dan pengetahuan lokal yang relevan dengan penelitian penulis. Kontribusi dalam membagikan pengetahuan dan pengalaman para anggota KMA Saga telah memberikan dimensi yang lebih kaya pada penelitian ini.

8. Kepala Desa Saga dan jajarannya; atas dukungan dan partisipasi dalam memberikan informasi yang berharga, sehingga mendapatkan data yang relevan untuk penelitian penulis.

9. Rekan-rekan mahasiswa S2 Ilmu Kehutanan Angkatan 2019 genap; atas dukungan dan bantuannya.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang membantu dan mendukung dalam berbagai hal, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Yogyakarta, Mei 2023 Penulis

Bertila Avila Delvion

(7)

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

INTISARI ... x

ABSTRACT ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.5 Keaslian Penelitian ... 9

1.6 Kerangka Pemikiran ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Taman Nasional ... 13

2.2 Zonasi Taman Nasional ... 13

2.3 Pengelolaan Kolaboratif di Taman Nasional ... 15

2.4 Kemitraan Konservasi ... 17

2.5 Masyarakat Adat di dalam dan di sekitar Kawasan Konservasi . 20

2.6 Perubahan Rezim Kepemilikan Sumber Daya Hutan ... 21

2.7 Konsep Penghidupan Berkelanjutan ... 22

2.8 Aset Penghidupan (Livelihood Assets) ... 28

2.9 Strategi Penghidupan (Livelihood Strategy) ... 32

2.10 Penghidupan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional dengan Skema Kemitraan Konservasi ... 34

2.11 Kerangka Teoritis ... 40

METODE PENELITIAN ... 41

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42

3.2 Alat dan Bahan ... 43

3.3 Sumber Data ... 44

3.4 Teknik Pengumpulan Data... 45

3.4.1 Observasi ... 45

3.4.2 Wawancara ... 45

3.4.3 Dokumentasi Data Sekunder ... 46

3.5 Variabel Penelitian ... 47

3.6 Teknik Analisis Data ... 51

3.6.1 Analisis Aset Penghidupan... 51

3.6.2 Analisis Strategi Penghidupan ... 56

3.6.3 Evaluasi Keberlanjutan ... 57

(8)

vi

BAB IV. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN ... 60

4.1 Gambaran Umum Desa Adat Saga ... 60

4.2 Sejarah Kampung Adat Saga ... 62

4.3 Struktur Pemerintahan ... 63

4.4 Kondisi Ekonomi dan Budaya ... 64

4.5 Sarana dan Prasarana ... 66

4.6 Akses Air Bersih dan Jalan ke Desa Saga ... 67

4.7 Jaringan Listrik dan Internet ... 67

4.8 Profil Kelompok Masyarakat Adat Desa Saga ... 68

BAB V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 71

5.1 Upaya Balai Taman Nasional Kelimutu untuk Mewujudkan Kemandirian dan Kesejahteraan KMA Saga ... 71

5.1.1 Penguatan Kelembagaan Kelompok ... 74

5.1.2 Pemberian Akses Lahan Kelola di Zona Tradisional ... 75

5.1.3 Pengelolaan dan Pengembangan Objek Wisata Alternatif 77

5.1.4 Pengembangan Wisata Budaya dan Adat Istiadat Masyarakat79 5.1.5 Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif ... 80

5.1.6 Perlindungan, Pengamanan dan Pemulihan Ekosistem TNK 81 5.1.7 Pembinaan, Pengendalian, Monitoring, dan Evaluasi .... 82

5.2 Kondisi Aset Penghidupan KMA Saga ... 83

5.2.1 Modal Manusia (Human Capital) ... 84

5.2.2 Modal Alam (Natural Capital) ... 89

5.2.3 Modal Fisik (Physical Capital) ... 95

5.2.4 Modal Sosial (Social Capital) ... 97

5.2.5 Modal Finansial (Financial Capital) ... 98

5.2.6 Pentagon Aset ... 101

5.3 Aktivitas Nafkah (Strategi) Kelompok Masyarakat Adat Saga .. 103

5.3.1 Intensifikasi ... 103

5.3.2 Diversifikasi ... 104

5.3.3 Migrasi ... 106

5.4 Keberlanjutan Penghidupan Kelompok Massyarakat Adat Saga 107

5.4.1 Dimensi Ekonomi ... 107

5.4.2 Dimensi Sosial ... 111

5.4.3 Dimensi Lingkungan ... 113

5.4.4 Total Keberlanjutan ... 116

5.5 Strategi Penghidupan Berkelanjutan KMA Saga ... 117

BAB VI. PENUTUP ... 122

6.1 Kesimpulan ... 122

6.2 Saran dan Rekomendasi ... 124

DAFTAR PUSTAKA ... 125

LAMPIRAN ... 130

(9)

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran ... 12

Gambar 2.1 Modifikasi Sustainable Livelihood Framework ... 26

Gambar 2.2 Kerangka Kerja Analisis berdasarkan Scoones (1998) ... 28

Gambar 2.3 Visualisasi Pentagonal Aset ... 30

Gambar 2.4 Kerangka Teoritis ... 40

Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian... 43

Gambar 4.1 Batas Administrasi Desa Saga... 61

Gambar 4.2 Rumah adat Nggua ... 63

Gambar 4.3 Rumah adat Embu Limbu ... 63

Gambar 4.4 Rumah adat Embu Wolo ... 63

Gambar 4.5 Gawi bersama pada Ritual Nggua di bulan September ... 66

Gambar 4.6 Peta Lokasi Kemitraan Saga ... 69

Gambar 4.7 Struktur Organisasi Kelompok Masyarakat Adat Saga ... 70

Gambar 5.1 Grafik Pentagon Aset Rumah Tangga KMA Saga ... 101

(10)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan kerangka logis penghidupan berkelannjutan dengan

kerangka pikir pengelolaan kolaboratif TN ... 35

Tabel 2.2 Perbandingan Prinsip Penghidupan dengan Pengelolaan Kolaboratif TN dengan skema Kemitraan Konservasi (KK) ... 37

Tabel 2.3 Perbandingan konsep keberlanjutan dalam penghidupan berkelanjutan dengan pengelolaan kolaboratif TN dalam skema kemitraan konservasi ... 38

Tabel 3.1 Daftar Alat dan Bahan Penelitian... 43

Tabel 3.2 Variabel Penelitian yang Digunakan ... 48

Tabel 3.3 Klasifikasi Nilai Skala Analisis Aset Penghidupan ... 52

Tabel 3.4 Contoh Cara Pemberian Skor ... 52

Tabel 3.5 Indikator dan Skala pengukuran Modal Manusia ... 53

Tabel 3.6 Indikator dan Skala pengukuran Modal Alam ... 54

Tabel 3.7 Indikator dan Skala pengukuran Modal Fisik ... 55

Tabel 3.8 Indikator dan Skala pengukuran Modal Sosial ... 55

Tabel 3.9 Indikator dan Skala pengukuran Modal Finansial ... 56

Tabel 3.10 Indikator Variabel Keberlanjutan Dimensi Ekonomi ... 57

Tabel 3.11 Indikator Variabel Keberlanjutan Dimensi Sosial ... 58

Tabe; 3.12 Indikator Variabel Keberlanjutan Dimensi Lingkungan ... 59

Tabel 3.13 Klasfikasi Keberlanjutan Penghidupan ... 59

Tabel 4.1 Distribusi Mata Pencaharian di Desa Saga ... 64

Tabel 5.1 Nilai Variabel Penyusun Modal Manusia KMA Saga ... 85

Tabel 5.2 Indikator Variabel Keterampilan dalam Modal Manusia ... 85

Tabel 5.3 Profil KMA Saga... 86

Tabel 5.4 Indikator Variabel Kesehatan dalam Modal Manusia ... 88

Tabel 5.5 Nilai Variabel Penyusun Modal Alam pada KMA Saga ... 89

Tabel 5.6 Indikator Variabel Kepemilikan Lahan dalam Modal Alam ... 89

Tabel 5.7 Penguadaan lahan oleh KMA Saga ... 90

Tabel 5.8 Indikator Variabel Pemanfaatan Kopi dalam Moal Alam ... 92

Tabel 5.9 Indikator Variabel Kepemilikan Ternak dalam Modal Alam ... 94

Tabel 5.10 Nilai Variabel Penyusun Modal Fisik pada KMA Saga ... 95

Tabel 5.11 Nilai Variabel Penyusun Modal Sosial pada KMA Saga ... 97

Tabel 5.12 Nilai Variabel Penyusun Modal Finansial pada KMA Saga ... 98

Tabel 5.13 Aktivitas Intensifikasi oleh KMA Saga ... 103

Tabel 5.14 Aktivitas Diversifikasi oleh KMA Saga ... 105

Tabel 5.15 Aktivitas Migrasi oleh anggota keluarga dari KMA Saga ... 106

Tabel 5.16 Penilaian Keberlanjutan Dimensi Ekonomi... 108

Tabel 5.17 Indikator Variabel Produktivitas ... 109

(11)

ix

Tabel 5.19 Indikator Variabel Keterkaitan Pasar ... 110

Tabel 5.19 Penilaian Keberlanjutan Dimensi Sosial ... 111

Tabel 5.20 Penilaian Keberlanjutan Dimensi Lingkungan ... 113

Tabel 5.21 Indikator Kesesuaian Lahan dan Tata Guna Lahan ... 114

Tabel 5.22 Indikator Tingkat Pemanfaaatan Lahan, Pengalaman Pengelolaan Hutan dan Pemupukan ... 114

Tabel 5.23 Indikator Sumber dan Ketersediaan Air ... 115

Tabel 5.24 Skor Keberlanjutan Dimensi Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan 116

(12)

x

STRATEGI PENGHIDUPAN BERKELANJUTAN KELOMPOK MASYARAKAT ADAT DESA SAGA DI SEKITAR KAWASAN TAMAN NASIONAL KELIMUTU

Bertila Avila Delvion1, Dwiko Budi Permadi2, Hero Marhaento2

INTISARI

Program pemberdayaan masyarakat dalam skema kemitraan konservasi merupakan salah satu program yang telah dilaksanakan oleh Taman Nasional Kelimutu sebagai win-win solution atas konflik tenurial yang terjadi di sekitar kawasan taman nasional. Berdasarkan latar belakang penelitian, fokus kemitraan konservasi Kelompok Masyarakat Adat Saga yaitu untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar dampak program kemitraan terhadap penghidupan berkelanjutan KMA Saga, yang mampu mereka upayakan melalui capaian dari program ini.

Penelitian ini menggunakan metode campuran (mix-methods). Unit analisis penelitian ini adalah anggota Kelompok Masyarakat Adat Saga sejumlah 50 orang.

Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey menggunakan kuesioner.

Kemudian, dilakukan wawancara mendalam untuk memperdalam informasi penelitian dengan informan yang dipilih dengan metode purposive sampling.

Analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif dan kualitatif dipadukan dengan pendekatan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood approach) terhadap data hasil kuesioner, wawancara mendalam, hasil pengamatan, dan data sekunder.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Balai Taman Nasional Kelimutu telah berupaya untuk mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan KMA Saga melalui kemitraan. Beberapa upaya yang dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat dapat dikatakan memberikan pengaruh terhadap kepemilikan aset penghidupan masyarakat, seperti modal manusia, modal alam, modal sosial, modal fisik, dan modal finansial. Kapabilitas kepemilikan aset karena adanya kemitraan menciptakan pilihan strategi penghidupan alternatif bagi masyarakat seperti pengembangan pengelolaan komoditas pasca panen.

Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan penghidupan KMA Saga yang di didasarkan pada dimensi ekonomi, dimensi sosial, dan dimensi lingkungan, maka perlu didiskusikan mengenai peningkatan intensifikasi lahan kelola milik KMA Saga di luar kawasan. Sedangkan untuk lahan kelola di zona tradisional TNK perlu dimulai untuk beralih pada pengembangan komoditas lain berbasis non lahan yang lebih ramah lingkungan, namun memiliki produktivitas yang tinggi.

Kata kunci: Taman Nasional Kelimutu, kemitraan konservasi, kelompok masyarakat adat saga, konflik tenurial, strategi penghidupan berkelanjutan

1Mahasiswa Program Magister Ilmu Kehutanan, Universitas Gadjah Mada

2Dosen Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada

(13)

xi

SUSTAINABLE LIVELIHOOD STRATEGY OF THE SAGA INDIGENOUS COMMUNITY GROUP AROUND THE KELIMUTU NATIONAL PARK AREA

Bertila Avila Delvion1, Dwiko Budi Permadi2, Hero Marhaento2

ABSTRACT

Community empowerment programs under the conservation partnership scheme have been implemented by Kelimutu National Park as a win-win solution to address tenure conflicts in the surrounding areas of the national park. Based on the research background, the focus of the conservation partnership with the Indigenous Community Group Saga is to achieve community self-reliance and welfare. This study aims to assess the extent of the partnership program's impact on the sustainable livelihoods of the Saga Indigenous Community Group, as achieved through the program's outcomes. The study adopts a mixed-methods approach, with the research unit being 50 members of the Saga Indigenous Community Group.

Data collection is conducted through a survey using questionnaires. Additionally, in-depth interviews are conducted to gather further research information with informants selected through purposive sampling. The analysis combines quantitative and qualitative methods using the sustainable livelihood approach, considering data from questionnaires, in-depth interviews, observations, and secondary data. The research findings indicate that the Kelimutu National Park Authority has made efforts to develop the self-reliance and welfare of the Saga Indigenous Community Group through the partnership. Various empowerment activities have had an influence on the community's livelihood assets, such as human capital, natural capital, social capital, physical capital, and financial capital.

The capability of asset ownership resulting from the partnership creates alternative livelihood strategies for the community, such as post-harvest commodity management. Based on the analysis of the sustainability of the Saga Indigenous Community Group's livelihoods in terms of economic, social, and environmental dimensions, it is necessary to discuss the intensification of land management outside the park's boundaries, while exploring the development of non-land-based, environmentally friendly commodity options with high productivity within the traditional zone of Kelimutu National Park.

Keyword: kelimutu national park, conservation partnership program, indigenous community group, sustainable livelihood strategy, tenurial conflict

1Student of Master in Forestry Science, Gadjah Mada University

2Lecturer of Faculty of Forestry, Gadjah Mada University

(14)

1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak dideklarasikan tema Forest for People pada Kongres Kehutanan se- Dunia VIII di Jakarta tahun 1978, diikuti dengan Kongres Taman Nasional Dunia V di Durban pada tahun 2003 (WWF-Indonesia, 2006), posisi masyarakat makin mendapatkan legitimasi politik dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional.

Menguatnya posisi masyarakat dan para pihak dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional (TN) telah melahirkan berbagai program dan kegiatan yang bermula sebagai pendekatan partisipatif hingga menjadi format kemitraan, dan pengelolaan kolaboratif. Meskipun belum memadai untuk mewadahi semua pendekatan partisipatif dalam pengelolaan taman nasional (Sanudin & Awang, 2019), Pemerintah Indonesia akhirnya menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).

Implementasi pengelolaan kawasan konservasi taman nasional (TN) perlu memperhatikan berbagai aspek termasuk memahami seluk beluk dan fenomena masyarakat yang tinggal di daerah penyangga kawasan (transdiscipline) (Wiratno, 2018). Masyarakat di sekitar kawasan taman nasional cenderung berada pada garis kemiskinan (Massiri et al., 2019), dan bergantung pada hutan sebagai tempat untuk mencari sumber penghidupan (Sunderlin et al., 2005). Penetapan kawasan TN sering dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat yang memiliki hak akses bersifat historis dan kultural. Proses penyusunan kebijakan yang tidak bottom-up dan kurang transparan mengakibatkan konflik tenurial antara pengelola TN dan masyarakat adat/lokal (Bappenas-PSDA, 2002 dalam SNPK, 2005). Oleh karena itu, pengelolaan kolaboratif dengan skema kemitraan bukan hanya untuk menyelesaikan persoalan tenurial di kawasan TN, namun dapat menjadi solusi bagi masyarakat lokal untuk meningkatkan kesejahteraannya karena dapat memanfaatkan hasil hutan dengan tetap menjunjung prinsip pengelolaan hutan lestari (Rukminda et al., 2020).

(15)

2

Seiring dengan perkembangan kebijakan, baik itu peraturan perundangan- undangan, peraturan pemerintah, dan peraturan Kementerian Kehutanan (saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), akhirnya diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem No.P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Perdirjen KSDAE No.6/2018). Peraturan ini mengatur dua ruang lingkup kemitraan konservasi, yaitu: kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan kemitraan konservasi dalam rangka pemulihan ekosistem. Tujuan dari kemitraan konservasi adalah mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dalam rangka penguatan tata kelola dan fungsi kawasan konservasi, serta kelestarian keanekaragaman hayati (Prayitno, 2020). Menurut Raharjo et al.

(2019), untuk mengukur keberhasilan pencapaian tujuan kemitraan konservasi, bukan hanya dilihat dari kemandirian dan kesejahteraan masyarakat saja tetapi juga melalui indikator-indikator konservasi.

Pendekatan penghidupan berkelanjutan dapat dijadikan sebagai salah satu alat untuk mengukur keberhasilan implementasi kemitraan konservasi di Taman Nasional. Perdirjen KSDAE No. 6/2018 memposisikan masyarakat sebagai mitra dalam pengelolaan kawasan konservasi. Pendekatan penghidupan menggunakan paradigma people centered development, yaitu manusia dipandang sebagai subyek pembangunan. Masyarakat yang memiliki kemampuan untuk mengkombinasikan aset yang dimiliki dan dapat diakses dapat melangsungkan hidupnya serta mempertimbangkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam, sosial, ekonomi, dan kelembagaan. Penggunaan pendekatan penghidupan dalam kemitraan konservasi akan memberikan kontribusi kekuatan bagi pembangunan desa penyangga berkelanjutan (sustainable development). Sebelumnya, masyarakat dipandang sebagai objek pembangunan dan menyebabkan masyarakat bergantung kepada pemerintah dalam melindungi, dan mensejahterakan kehidupan mereka.

Dengan pendekatan penghidupan sekiranya dapat mengidentifikasi peran masyarakat sebagai subyek dalam pembangunan.

(16)

3

Upaya yang dilakukan masyarakat dalam mencapai penghidupan yang memadai digambarkan sebagai strategi penghidupan berkelanjutan. Strategi penghidupan berkelanjutan ini berkaitan dengan bagaimana masyarakat mengelola atau mengkombinasikan aset-aset penghidupan yang tersedia atau dimiliki, menyikapi perubahan yang terjadi dan menentukan prioritas untuk mempertahankan atau memperbaiki penghidupan (Scale Up dan Ford Foundation, 2011). Aset penghidupan terdiri dari lima modal/sumber daya yang berpengaruh dalam penghidupan masyarakat, antara lain: modal alam (natural capital), modal manusia (human capital), modal fisik (physical capital), modal sosial (social capital), dan modal finansial (financial capital) (DFID, 1999).

Masyarakat yang diposisikan sebagai subjek dalam berbagai model pengelolaan kawasan dan pengembangan daerah penyangga (Wiratno, 2018) dalam pemanfaatan dan pengelolaan kawasan Taman Nasional dituntut untuk menjaga kelestarian lingkungan selain penghidupannya sendiri dengan meningkatkan pendapatan. Namun, kemampuan pihak pengelola taman nasional bagi penghidupan masyarakat terbatas dalam kemitraan konservasi. Masyarakat sendiri harus mampu dan perlu didorong agar memiliki kemampuan dan kekuatan untuk terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi, dan mencapai penghidupan yang berkelanjutan. Dengan demikian, masyarakat harus memiliki strategi dalam menghadapi kerentanan dan melangsungkan penghidupannya dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di lingkungannya yang merupakan bagian dari ekosistem suatu kawasan Taman Nasional.

(17)

4 1.2 Perumusan Masalah

Sama seperti sebagian besar Taman Nasional di Indonesia, Taman Nasional Kelimutu (TNK) juga mengalami permasalahan yang sama yaitu kemiskinan yang masih mendominasi desa-desa sekitar kawasan (Massiri et al., 2019). Masyarakat lokal tidak banyak mendapat manfaat sosial dan ekonomi dari keberadaan TNK (Nugraha & Siti, 2020). Sebelumnya, pengelolaan TNK masih menerapkan paradigma preservationist dan penentuan keputusan kebijakan yang terpusat di Balai TNK (Nistyantara, 2011). Hal ini sering kali menyebabkan terjadinya keputusan yang tidak selaras antara pengelola TNK dan kebutuhan masyarakat lokal di dalam dan di sekitar kawasan TNK. Akibat dari paradigma dan kebijakan tersebut, memicu munculnya konflik kepentingan masyarakat dan pengelola di dalam pengelolaan kawasan. Salah satunya yaitu yang terjadi antara Taman Nasional Kelimutu dan masyarakat adat Desa Saga.

Taman Nasional Kelimutu ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 679/Kpts-II/1997 pada tanggal 10 Oktober 1997 dengan luas 5.356,5 hektar (berdasarkan hasil Tata Batas Tahun 1984). Awal mandat utama kawasan konservasi danau triwarna tersebut merupakan pengalihan fungsi dari Cagar Alam (± 16 hektar) dan Taman Wisata Alam (± 4.984 hektar), yang didasarkan atas Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 185/Kpts-II/1984, Tanggal 4 Okt 1984. Sebelum perubahan fungsi kawasan hutan di sekitar danau Kelimutu, telah ada lahan garapan yang didominasi tanaman kopi di dalam kawasan TN Kelimutu tepatnya sekitar Desa Saga. Kebun kopi tersebut merupakan lahan yang digarap oleh masyarakat adat Saga sejak dahulu. Untuk mengatasi hal tersebut, Balai TN Kelimutu terus berupaya mengambil tindakan represif dengan mendesak para pelaku perambahan untuk tidak melakukan penggarapan, dan segera meninggalkan lokasi garapannya. Meskipun tidak berlanjut hingga proses hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku saat itu, upaya represif yang dilakukan berbuah penolakan keras dari masyarakat adat Saga, Desa Saga. Hal tersebut memicu terjadinya konflik tenurial sejak tahun 1984.

(18)

5

Konflik tenurial antara masyarakat dan pengelola kawasan TN Kelimutu terus berlangsung, dengan puncaknya terjadi pada tahun 2000. Masyarakat Desa Saga saat itu melakukan demonstrasi di depan Kantor Bupati Ende. Menyikapi hal tersebut, di depan Bupati Ende, masyarakat Desa Saga dan Balai TN Kelimutu, melakukan kesepakatan secara lisan. Berdasarkan kesepakatan lisan tersebut dijelaskan bahwa masyarakat boleh melakukan aktivitas pada lahan garapan yang telah ada dengan catatan tidak boleh melakukan perluasan.

Konflik dan kesepakatan lisan antara masyarakat adat Saga dan pihak Balai TNK memungkinkan dapat terjadinya degradasi sumber daya alam dalam kawasan TN Kelimutu dengan aktivitas perambahan oleh masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan oleh BTNK dalam strategi pengelolaan kawasan adalah penerapan prinsip co-management. Berdasarkan penelitian Nistyantara (2011), masyarakat adat Saga menganggap bahwa hak masyarakat adat belum diakui oleh pihak BTNK, dan mengusulkan perlunya pengakuan hak masyarakat adat atas sebagian lahan yang berada di kawasan TNK. Selain itu, beberapa masyarakat adat Saga sudah merasa puas dengan kesepakatan torajaji pada tahun 2002. Hal itu dikarenakan prioritas kepentingan kelestarian kawasan dan keberlangsungan fungsi ekosistem, beberapa masyarakat juga dilibatkan dalam beberapa kegiatan pengelolaan bersama pihak TNK. Namun masih terdapat beberapa masyarakat adat Saga yang kurang puas dengan kesepakatan tersebut. Selain karena desakan kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidup juga karena merasa tidak dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan sehingga tetap menginginkan dilakukan kesepakatan ulang.

Tahun 2018, Kepala Desa Saga mengukuhkan kelompok perambah sejumlah 50 orang melalui Surat Keputusan Nomor Sk PEM.7/08/DS/2018, pada tanggal 27 Agustus 2018. Tujuan pengukuhan kelompok ini adalah dalam rangka pelaksanaan kegiatan penataan Kampung Adat dan air terjun. Kelompok masyarakat ini diharapkan dapat berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan yang dimaksud. Beberapa bantuan fasilitas penataan jalur trekking menuju air terjun di Desa Saga telah diberikan pihak BTNK, yaitu pada tahun 2016, 2017, dan 2018.

(19)

6

Bantuan tersebut diberikan melalui program fasilitasi pemberdayaan masyarakat daerah penyangga, sebagai bentuk upaya pengembangan kegiatan alternatif dalam rangka pemberdayaan untuk beralih mata pencaharian dan mengurangi ketergantungan pada kawasan Taman Nasional Kelimutu. Dalam mengantisipasi perluasan lokasi garapan, telah dilaksanakan kegiatan inventarisasi dan identifikasi lokasi perambahan di Desa Saga oleh Balai TNK bersama aparat desa dan masyarakat setempat. Tujuan kegiatan ini adalah untuk memastikan luas lokasi garapan dan para pelaku penggarapan, sekaligus sebagai upaya menghentikan perluasan lokasi garapan di dalam kawasan. Hasil yang diperoleh dari kegiatan inventarisasi dan identifikasi pada lokasi perambahan tersebut adalah lokasi garapan seluas 21,37 hektar dengan jumlah penggarap 50 KK (Kepala Keluarga).

Dengan ditetapkannya Peraturan Dirjen KSDAE Nomor:

P.6/KSDAE/SET/Kum1/6/2018 diharapkan dapat memberikan titik terang dalam penyelesaian konflik tenurial di Desa Saga. Pada tanggal 9 Oktober 2018 dilakukan pembahasan draft Perjanjian Kerjasama (PKS) Kemitraan Konservasi di Aula kantor Desa Saga. Perjanjian kerja sama tersebut ditandatangani oleh pihak pengelola kawasan Taman Nasional Kelimutu dan Kelompok Masyarakat Adat Saga. Salah satu kesepakatannya adalah komitmen bersama untuk melaksanakan penguatan fungsi di lokasi perambahan dalam skema pemulihan ekosistem dan pemberdayaan masyarakat, dengan berpedoman pada Perdirjen KSDAE Nomor 6 Tahun 2018.

Pelaksanaan skema kemitraan konservasi dengan Kelompok Masyarakat Adat Saga melalui program pemberdayaan masyarakat pada awalnya menemui beberapa hambatan atau permasalahan. Permasalahan yang dihadapi salah satunya yaitu kurangnya pemahaman anggota kelompok dalam menerima informasi- informasi terkait lokasi tenurial. Oleh karena itu, dalam tahap persiapan dan pelaksanaan program sering dilakukan pertemuan baik secara formal maupun non formal oleh pihak pengelolaan dan kelompok kemitraan. Hal tersebut dilakukan untuk membangun kesepahaman akan manfaat dan tujuan program tersebut selama periode 2018-2022.

(20)

7

Secara garis besar, program kemitraan konservasi merupakan salah satu dari sekian program Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang digadang untuk menjadi ‘win-win solution’ dalam menghadapi permasalahan/konflik yang terjadi antara pengelola dan masyarakat. Selain memberikan manfaat dari segi restorasi dan solusi konflik tenurial, program ini juga memiliki dampak besar terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat miskin yang memiliki lahan terbatas. Namun, dampak tersebut sepertinya tidak sebesar yang diharapkan karena faktanya dampak yang dimaksud tidak lebih dari dampak yang bersifat temporal, yang dalam hal ini tidak memberikan kemandirian pada KMA Saga. Meskipun program ini telah berlangsung selama kurang lebih lima tahun, seharusnya lebih dari cukup untuk mendorong dan merangsang munculnya suatu tata kelola maupun kelembagaan yang baik. Entah itu, diakomodir oleh pihak Balai TNK sebagai pelaksana program, maupun diinisiasi langsung dari kesadaran masyarakat.

Secara historis, Desa Saga merupakan kampung adat yang memiliki nilai historis dan memiliki potensi hutan yang berperan penting dalam mata pencaharian masyarakat lokal. Sejak dahulu sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi, kawasan tersebut merupakan ruang untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat setempat. Selain itu, budaya masyarakat di sekitar kawasan, itu tumbuh dan berkembang dari adanya interaksi masyarakat dengan hutan di sekitarnya (Sudirman & Massiri, 2022). Adanya program Kemitraan Konservasi dengan pemberdayaan masyarakat, KMA Saga diberi akses, bantuan, pelatihan dan fasilitas yang berdampak terhadap aset yang dimiliki oleh KMA Saga dan aktivitas nafkahnya. Dengan melihat hubungan yang historis antara KMA Saga dan kawasan TNK, serta program kemitraan konservasi yang telah berjalan selama lima tahun.

Maka perlu diketahui lebih lanjut kondisi aset dan strategi penghidupan yang dimiliki oleh tiap rumah tangga Kelompok Masyarakat Adat Saga setelah adanya program kemitraan konservasi.

(21)

8

Penelitian ini berusaha untuk melihat seberapa besar dampak program kemitraan konservasi terhadap penghidupan berkelanjutan KMA Saga, yang mampu mereka upayakan melalui hasil-hasil yang sekiranya mampu dicapai dari program ini. Berdasarkan latar belakang penelitian dan perumusan masalah diatas timbul beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana upaya Balai Taman Nasional Kelimutu dalam program kemitraan konservasi untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan Kelompok Masyarakat Adat (KMA) Saga?

2. Bagaimana kondisi aset penghidupan dan aktivitas nafkah KMA Saga dengan adanya kemitraan konservasi?

3. Bagaimana keberlanjutan strategi penghidupan Kelompok Masyarakat Adat Saga berbasis kepemilikan aset?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah disampaikan, maka tujuan penelitian ini antara lain:

1. Mengetahui upaya Balai TNK dalam program kemitraan konservasi untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan Kelompok Masyarakat Adat Saga.

2. Mendeskripsikan kondisi aset penghidupan dan aktivitas nafkah KMA Saga sebagai capaian dari program kemitraan konservasi;

3. Mengidentifikasi keberlanjutan strategi penghidupan Kelompok Masyarakat Adat Saga berbasis aset penghidupan.

(22)

9 1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan memiliki kegunaan berupa informasi untuk berbagai pihak yang berkepentingan, antara lain:

1. Manfaat Teoritis; kajian mengenai penghidupan masyarakat sekitar kawasan konservasi ini diharapkan dapat mengisi satu bagian dari kekosongan informasi maupun konsep tentang strategi penghidupan masyarakat dan pengelolaan aset-aset yang mereka miliki demi keberlanjutan penghidupan khususnya masyarakat sekitar Taman Nasional.

2. Manfaat Praktis; hasil kajian ini bisa digunakan sebagai bahan masukan bagi pemerintah maupun pengelola dalam penyusunan rencana dan implementasi pengelolaan kawasan Taman Nasional dengan menggunakan pendekatan penghidupan, dan merumuskan strategi pengembangan kesejahteraan kehidupan masyarakat adat di desa penyangga sekitar kawasan Taman Nasional.

1.5 Keaslian Penelitian

Penelitian tentang kawasan lindung dan kerangka mata pencaharian (Strategi Penghidupan) berkelanjutan telah diterapkan dalam penelitian dan praktik di dunia dan Indonesia, yang bertujuan menemukan solusi untuk mencapai keberlanjutan manusia dan konservasi biologis (lihat Jiren et al., 2010; Biressue, 2009; Ghimire, 2008; Sanjay, 2002; MacEwin dkk., 2007; Hoang dkk., 2005...).

Penelitian tentang strategi penghidupan masyarakat sekitar Taman Nasional Kelimutu (TNK) sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan, sehingga untuk pertama kalinya penelitian ini dilakukan di daerah tersebut.

(23)

10

Penelitian tentang strategi penghidupan telah banyak dilakukan oleh penelitian lainnya, diantaranya:

Martopo et al. (2013), mengkaji kondisi keberadaan aset penghidupan, status aset penghidupan dan strategi penghidupan berkelanjutan (Sustainable Livelihood) masyarakat di Kawasan Dieng. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Skala likert tiga strata yang diperoleh dari data sekunder dan responden digunakan untuk menentukan status aset penghidupan. Responden dalam penelitian ini adalah rumah tangga yang berdomisili di Kawasan Dieng. Penentuan jumlah responden ditetapkan dengan rumus Slovin berdasarkan populasi dan didapatkan responden sebanyak 42 orang di Desa Buntu. Analisis SWOT digunakan untuk mengkaji strategi penghidupan berkelanjutan didasarkan pada aspek aset-aset penghidupan yang tersedia. Kondisi aset penghidupan di Desa Buntu menghasilkan status yang tidak berkelanjutan.

Strategi yang direkomendasikan dalam mewujudkan penghidupan berkelanjutan di Desa Buntu yaitu melalui pengembangan agribisnis perdesaan, pengembangan strategi pertanian berkelanjutan, pengelolaan kawasan permukiman dalam bentuk infrastruktur yang lebih ramah lingkungan, dan pengembangan model pariwisata kehutanan.

Wijayanti et al. (2016), melakukan penelitian tentang strategi penghidupan berkelanjutan berbasis aset di Sub DAS Pusur DAS Bengawan Solo.

Penelitian tersebut bertujuan mengkaji kondisi aset penghidupan yang dimiliki dan yang dapat diakses oleh masyarakat, serta mengkaji strategi penghidupan berkelanjutan untuk meningkatkan penghidupan dan menjaga keberlanjutan lingkungan Sub DAS Pusur. Metode yang digunakan adalah analisis kuantitatif dan kualitatif terhadap data hasil wawancara mendalam, wawancara terstruktur dan observasi. Variabel untuk menilai kondisi aset penghidupan meliputi modal manusia, modal alam, modal sosial, modal fisik, dan modal keuangan. Strategi penghidupan dikelompokkan menjadi intensifikasi/ekstensifikasi, diversifikasi, dan migrasi. Metode area sampling dan purposive sampling digunakan dengan membagi daerah penelitian menjadi tiga yaitu bagian atas, tengah, dan bawah. Hasil

(24)

11

penelitian menunjukkan bahwa aset tertinggi dimiliki oleh sub DAS bagian tengah, kemudian atas, dan terakhir bawah. Modal fisik memiliki nilai tertinggi di seluruh bagian sub DAS jika dibandingkan modal yang lain. Strategi intensifikasi pada bagian atas berupa agroforestri sedangkan pada bagian tengah dan bawah menggunakan panca usaha tani. Strategi diversifikasi pada bagian atas dengan cara beternak sedangkan bagian tengah dan bawah dilakukan dengan menjadi buruh/karyawan. Strategi migrasi dengan alasan menikah dominan untuk bagian atas dan bawah.

Penelitian ini berfokus pada analisis kondisi penghidupan masyarakat di sekitar Taman Nasional Kelimutu (TNK) berkaitan dengan implementasi program kemitraan konservasi antara KMA Saga dengan Balai TNK yang dilaksanakan sejak tahun 2018. Selain itu, penelitian ini juga mengarah pada strategi yang memungkinan dipilih oleh masyarakat adat berdasar kondisi penghidupannya yang terbentuk atas dasar konteks yang ada yaitu pemberian akses lahan garapan di dalam kawasan TNK dan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Secara keseluruhan analisis penghidupan masyarakat adat terfokus pada keberhasilan upaya program kemitraan konservasi dalam mewujudkan kemandirian dan keberdayaan masyarakat adat. Analisis ini secara khusus menjadi pembeda penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan penelitian lain pada topik yang relevan

1.6 Kerangka Pemikiran

Studi ini mencoba memahami fenomena yang terjadi untuk melahirkan kerangka pikir mengenai keberlanjutan dari strategi penghidupan masyarakat lokal.

Kerangka pemikiran dapat dilihat pada gambar berikut;

(25)

12

Gambar 1. 1 Kerangka Pemikiran

(26)

13

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taman Nasional

Menurut UU No.5/1990; PP No.68/1998, taman nasional didefinisikan sebagai: kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budaya, pariwisata, dan rekreasi. Sebagai salah satu dari Kawasan Pelestarian Alam (KPA), taman nasional mempunyai fungsi pokok: (a) perlindungan sistem penyangga kehidupan; (b) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa; serta (c) pemanfaatan secara lestari, sumber daya alam hayati, dan ekosistemnya. Dasar pengelolaan taman nasional di Indonesia adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2015.

Taman nasional di Indonesia dikelola dengan sistem zonasi yang pada hakekatnya adalah pembagian ruang-ruang Kelola dalam lanskap taman nasional, dengan tujuan agar kegiatan pengelolaan sesuai dengan amanat penunjukan taman nasional. Secara umum sistem zonasi taman nasional terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona rimba, dan/atau zona lainya sesuai dengan keperluan.

2.2 Zonasi Taman Nasional

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draf rancangan – rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek ekologis, sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai zona- zona di taman nasional:

(27)

14 1.Zona Inti

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.76/Menlhk-Setjen/2015, Zona Inti didefinisikan sebagai kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan berupa mengurangi, menghilangkan fungsi dan menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.

2.Zona Rimba

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.76/Menlhk-Setjen/2015, Zona Rimba adalah bagian TN yang ditetapkan karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan.

3.Zona Pemanfaatan

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.76/Menlhk-Setjen/2015, Zona Pemanfaatan didefinisikan sebagai bagian dari TN yang ditetapkan karena letak, kondisi dan potensi alamnya yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi lingkungan lainnya.

4.Zona Tradisional

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.76/Menlhk-Setjen/2015, Zona Tradisional adalah bagian dari KPA yang ditetapkan sebagai areal untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang secara turun-temurun mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. Lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 10 bahwa kriteria zona tradisional merupakan wilayah yang memenuhi kriteria sebagai zona rimba atau zona pemanfaatan yang telah dimanfaatkan untuk kepentingan tradisional masyarakat secara turun-temurun.

5.Zona Budaya

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.76/Menlhk-Setjen/2015, Zona Religi, Budaya dan Sejarah adalah bagian dari KSA/KPA yang ditetapkan sebagai areal untuk kegiatan keagamaan, kegiatan

(28)

15

adat-budaya, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah. Kriteria zona religi, budaya dan sejarah merupakan wilayah yang memenuhi kriteria sebagai zona rimba atau zona pemanfaatan yang telah dimanfaatkan untuk kepentingan religi, adat budaya, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah.

6.Zona Khusus

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor:

P.76/Menlhk-Setjen/2015, Zona Khusus adalah bagian dari KSA/KPA yang ditetapkan sebagai areal untuk pemukiman kelompok masyarakat dan aktivitas kehidupannya dan/atau bagi kepentingan pembangunan sarana telekomunikasi dan listrik, fasilitas transportasi dan lain-lain yang bersifat strategis.

2.3 Pengelolaan Kolaboratif di Taman Nasional

Suharjito (2011) menyatakan “pengelolaan kawasan hutan konservasi secara kolaboratif merupakan upaya strategis untuk mengelola konflik, mencegah degradasi kawasan hutan konservasi, dan mengelola sumberdaya hutan konservasi, agar fungsi hutan konservasi dapat lestari dan kesejahteraan masyarakat setempat dapat ditingkatkan”.

Menurut Setyadi (2006), kebijakan pendekatan pengelolaan kolaborasi di taman nasional dibedakan menjadi dua interval waktu yaitu sebelum dan setelah tahun 2004. Sebelum tahun 2004, pendekatan pengelolaan kolaborasi di taman nasional masih bersifat kebijakan dalam pemberian ruang kemitraan dengan instrumen hukum bersifat mengatur dan atau bersifat teknis yang hanya dapat diterapkan pada satu kawasan taman nasional dengan aturan perundangan yang dijadikan acuan adalah UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Setelah periode tahun 2004 atau setelah diterbitkannya peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan KSA dan KPA. Kebijakan terkait pendekatan pengelolaan kolaborasi di taman nasional sudah memiliki dasar hukum yang cukup kuat sebagai pedoman dan acuan implementasi di lapangan.

Dalam aturan tersebut juga disebutkan bahwa tujuan pengelolaan kolaborasi adalah terwujudnya persamaan visi, misi, dan langkah-langkah strategis dalam

(29)

16

mendukung, memperkuat, dan meningkatkan pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam sesuai dengan kondisi fisik, sosial, budaya, dan aspirasi setempat (Setyadi, 2006).

Seiring berjalannya waktu, perubahan dan dinamika pengelolaan kolaborasi di TN mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Pengelolaan kolaborasi di taman nasional diawali dengan pengaturan ruang pemanfaatan atau ruang kolaborasi melalui penetapan zona pengelolaan (zonasi), sehingga pembagian ruang pengelolaan ini memberikan jaminan akses kelola bagi stakeholder dan disisi lain fungsi konservasi kawasan Taman Nasional dapat terus dipertahankan. Dengan ditetapkannya PERMENHUT Nomor 56 Tahun 2006 dan direvisi melalui PERMEN LHK Nomor 76 Tahun 2015 terkait Blok dan Zona Pengelolaan KSA dan KPA, pendekatan pengelolaan kolaborasi di Taman Nasional dapat dilakukan pada beberapa zona pengelolaan, diantaranya zona pemanfaatan, zona khusus, zona rehabilitasi, dan zona tradisional.

Bentuk-bentuk pendekatan kolaborasi yang dapat dilakukan pada kawasan Taman Nasional, diatur dalam PERMENHUT Nomor 85 Tahun 2014 dan disempurnakan melalui PERMEN LHK Nomor 44 Tahun 2017 terkait Tata Cara Penyelenggaraan Kerjasama di KSA dan KPA. Selain itu, pengelolaan kolaboratif di Taman Nasional terdapat beberapa bentuk kolaborasi yang dilakukan dalam rangka pemanfaatan kawasan dan potensi sumber daya hutan serta jasa lingkungan.

Secara teknis pelaksanaannya mengacu pada Peraturan Menteri dan Peraturan teknis setingkat Direktur Jenderal. Adapun bentuk peraturan pengelolaan kolaborasi di taman nasional saat ini yaitu Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi. Cakupan program kemitraan konservasi ini berupa: (1) pemberdayaan masyarakat; dan (2) pemulihan ekosistem.

(30)

17 2.4 Kemitraan Konservasi

Kemitraan atau pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi dalam hal ini taman nasional telah dilakukan pemerintah sejak lama.

Jika merunut dari berbagai kebijakan pemerintah, kemitraan atau pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan dimulai sejak lahirnya UU No. 5/1990 kemudian terdapat pembaharuan peraturan hingga diterbitkannya Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018.

Perdirjen KSDAE No. 6/2018 merupakan mandat dari tiga peraturan, yaitu: (a). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.

P.83/MENLHK /SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial (Permenlhk No. 83/2016); (b) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.43/

MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tentang Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Permenlhk No. 43/2017);

dan (c) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.

P.44/MENLHK/SETJEN/ KUM.1/6/2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan No. P.85/ Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Kerjasama Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Permenhut ini merupakan amanat Pasal 43 ayat (3) PP No. 28/2011. Perdirjen KSDAE No.

6/2018 memposisikan masyarakat sebagai mitra dalam pengelolaan kawasan konservasi. Ruang lingkup peraturan ini, meliputi: kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat; kemitraan konservasi dalam rangka pemulihan ekosistem; dan pembinaan, pengendalian monitoring dan evaluasi.

Bentuk kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat berupa pemberian akses, kerjasama antara pemegang izin pada kawasan konservasi dengan masyarakat setempat. Pemberian akses tersebut meliputi: (1) pemungutan hasil hutan bukan kayu; (2) budidaya tradisional; (3) perburuan tradisional untuk jenis yang tidak dilindungi; (4) pemanfaatan tradisional sumberdaya perairan terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi; dan wisata alam terbatas.

(31)

18

Tahap pelaksanaan kemitraan dalam rangka pemberdayaan masyarakat meliputi: (1) tahap persiapan; (2) usulan rencana kegiatan; (3) penilaian dan persetujuan; dan (3) perumusan dan penandatanganan. Tahapan persiapan yang dilakukan yaitu melalui: (1) inventarisasi dan identifikasi karakteristik lokasi, penentuan, dan penetapan arah pengelolaan dan pemanfaatan; (2) pengkajian karakteristik lokasi; (3) memfasilitasi pembentukan kelompok masyarakat; dan (4) penguatan kelembagaan kelompok masyarakat.

Pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) sebagai perwujudan kegiatan pemberian akses terbagi menjadi beberapa daftar kelompok tumbuhan (dapat dilihat pada Perdirjen KSDAE No.6 Tahun 2018 Pasal 5 ayat 1). Selain jenis HHBK yang terdaftar, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu juga dapat berupa tanaman yang tidak dilindungi dan telah dimanfaatkan secara turun temurun di zona/blok tradisional berdasarkan verifikasi UPT. Jumlah atau volume HHBK yang dipungut ditetapkan dengan mempertimbangkan hasil kajian potensinya dan/atau kemampuan regenerasinya. Dalam hal pengambilan hasil HHBK yang terdaftar, wajib memiliki izin kumpul dari Kepala Unit Pengelola dan dokumen Surat Angkut Tumbuhan Satwa Dalam Negeri (SATS-DN) sesuai dengan ketentuan perundang- undangan.

Kegiatan budidaya tradisional yang dilakukan dapat berupa; budidaya tanaman obat dan budidaya tanaman untuk kebutuhan sehari-hari. Budidaya tanaman obat yang dimaksudkan yaitu jenis asli kawasan konservasi yang tidak dilindungi. Selain itu, untuk budidaya tanaman untuk kebutuhan sehari dapat dilihat pada Perdirjen KSDAE Nomor 6 Tahun 2018 Pasal 6 ayat 3. Sedangkan, budidaya yang meliputi jenis, volume/luas, waktu/musim, dan cara.metode budidaya dituangkan di dalam perjanjian kerjasama. Perburuan tradisional yang dapat dilakukan yaitu melalui penangkapan langsung terhadap populasi satwa buru yang terdapat di zona.blok tradisional sesuai daya dukung alam dan prinsip-prinsip kelestarian. Perburuan tradisional hanya dapat dilakukan untuk kebutuhan yang bersifat mendesak untuk upacara adat atau keagamaan masyarakat setempat, dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Kepentingan adat dan religi atau pemenuhan

(32)

19

kebutuhan sehari-hari dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: (1) merupakan jenis tidak dilindungi; (2) tidak dapat dilakukan pada musim kawin bertelur; (3) jenis, jumlah, volume, dan/atau ukuran satwa yang boleh diburu ditetapkan oleh kepala UPT dengan mempertimbangkan antara lain potensi dan kemampuan regenerasi.reproduksi satwa; (4) hanya dapat dilakukan masyarakat setempat yang telah dilaksanakan secara turun temurun; atau (5) mempertimbangkan nilai-nilai kearifan lokal. Ketentuan perburuan tradisional menjadi dasar pertimbangan untuk memberikan akses perburuan tradisional oleh UPT kepada mitra.

Pemanfaatan sumberdaya perairan dilakukan terhadap jenis tumbuhan dan satwa perairan tidak dilindungi. Pemanfaatan dilakukan dengan menggunakan alat yang tidak menimbulkan kerusakan. Jenis, jumlah, volume, atau ukuran satwa boleh dimanfaatkan dengan mempertimbangkan potensi dan kemampuan reproduksi tumbuhan atau satwa dimaksud atau menurut nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat. Sedangkan wisata alam terbatas dapat dilakukan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lokasi kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat meliputi zona/blok tradisional dan blok pemanfaatan KPA. Lokasi pemberian akses pemungutan HHK, budidaya tradisional, perburuan tradisional, pemanfaatan sumberdaya perairan dilaksanakan pada zona/blok tradisional KPA atau zona/blok yang memiliki fungsi untuk pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat di KPA perairan. Lokasi kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat dengan mempertimangkan beberapa hal, yakni: (1) aksesibilitas; (2) tingkat kesejahteraan masyarakat; dan (3) potensi sumberdaya hutan non kayu/perairan yang tidak dilindungi. Selanjutnya, calon mitra dalam hal ini perorangan masyarakat, kelompok masyarakat atau pemerintah desa mengajukan usulan kerjasama. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, mitra perlu melampirkan legalitas pemohon dan proposal kepada Unit Pengelola.

Untuk petunjuk teknik selengkapnya dapat dilihat pada Perdirjen KSDAE Nomor 6 Tahun 2018.

(33)

20

2.5 Masyarakat Adat di dalam dan di sekitar Kawasan Konservasi

Masyarakat sekitar hutan adalah masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan. Masyarakat sekitar hutan memiliki ketergantungan terhadap hutan untuk memenuhi kehidupannya dalam hal ekonomi, politik, religious, dan lainnya (Suharjito, 2003). Kelompok masyarakat ini dapat berupa kumpulan beberapa keluarga atau rumah tangga yang membentuk unit kampung kecil, satu unit desa maupun istilah lainnya sesuai dengan bahasanya sebagai satu kesatuan kehidupan.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) I tahun 1999 yang dikutip oleh Nababan (2013) mendefinisikan masyarakat adat sebagai:komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun di atas suatu wilayah adat yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya, yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan hidup masyarakatnya (AMAN dalam Nababan 2013).

Masyarakat adat sering juga disebut orang asli atau indigenous people.

Terkait dengan istilah tersebut. Kedua definisi tersebut mencerminkan pola kehidupan masyarakat adat yang telah turun temurun bergantung terhadap sumber daya alam. Masyarakat adat memiliki identitas khas yang diwujudkan dalam etnik, pola budaya, kelembagaan lokal, dan hukum adat. Terkait dengan konteks hutan, Colchester et al. (2003) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara masyarakat adat dengan hutan. Keeratan hubungan tersebut ditunjukkan dengan penggunaan sumber daya hutan dalam berbagai aktivitas dilengkapi dengan pengaturan akses dan penggunaan hutan yang diatur dalam hukum adat.

(34)

21

2.6 Perubahan Rezim Kepemilikan Sumber Daya Hutan

Menurut Feeny et al. (1990) terdapat empat rezim kepemilikan sumber daya alam: 1) open access, 2) private property, 3) communal property, 4) state property. Hutan tergolong dalam Common property, yakni sumber daya yang sulit untuk dieksklusi sehingga dapat dimanfaatkan secara bebas oleh berbagai pihak (Feeny et al. 1990). Sumber daya alam yang tergolong open access dapat dimanfaatkan secara bebas oleh siapa saja karena tidak ada regulasi yang mengikat (Feeny et al. 1990). Bertentangan dengan hal itu, pada ketiga rezim lainnya terdapat pihak yang memiliki hak untuk membatasi orang lain dalam pemanfaatan sumber daya alam.

Private property (kepemilikan pribadi) mengindikasikan hak yang dimiliki individu atau sekelompok individu (biasanya perusahaan) untuk membatasi pihak lain dalam pemanfaatan sumber daya. Hak yang dimiliki oleh individu atau sekelompok individu tersebut telah dilegalisasi oleh pemerintah.

Sedangkan, sumber daya alam yang tergolong communal property secara eksklusif dimanfaatkan oleh kelompok tertentu. Kelompok tersebut dapat membatasi pemanfaatan sumber daya alam oleh pihak lain yang bukan anggota kelompoknya.

Communal property dapat diakui secara de jure oleh pemerintah namun dalam beberapa kasus communal property hanya sebatas penguasaan secara de facto (Feeny et al. 1990).

Sumber daya alam yang tergolong state property (kepemilikan negara) mengindikasikan hak negara untuk mengatur dan mengelola sumber daya demi kepentingan publik. Setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Pengelolaan state property diatur dalam regulasi pemerintah yang bersifat koersif (Feeny et al. 1990) Pengelolaan sumber daya yang tergolong common property sering mengalami kendala, salah satunya yakni tragedy of the common yang diungkapkan oleh Garrett Hardin. Menurut Hardin (1968), sumber daya bersama seperti laut dan hutan berpotensi mengalami degradasi akibat pemanfaatan secara bebas tanpa ada pengaturan yang membatasi penggunaan sumber daya tersebut. Menurut Hardin (1968), solusi yang dapat

(35)

22

menyelesaikan masalah tersebut yakni privatisasi dan pengelolaan oleh negara namun rupanya justru menimbulkan konflik.

Ketika sejumlah sumber daya diprivatisasi atau dinyatakan sebagai milik negara secara otomatis telah terjadi peningkatan kemampuan eksklusi dan pembatasan pemanfaatan sumber daya. Pembatasan mengakibatkan pihak lain yang biasanya memenuhi kebutuhan hidup dari sumber daya tersebut menjadi tidak mampu memanfaatkannya karena tidak mempunyai hak. Menurut Maryudi (2020) terjadi perubahan rezim pengelolaan sumber daya alam sebelum dan setelah kemerdekaan Indonesia. Sebelum merdeka, sumber daya alam di Indonesia diatur dan dikelola sendiri oleh kelompok masyarakat sehingga tergolong communal property. Setelah kemerdekaan, secara de jure sumber daya alam yang tidak dibebani hak milik tergolong state property namun secara de facto kelompok masyarakat masih menguasai sumber daya alam tersebut dengan berlandaskan kelembagaan non formal. Hal tersebut mengakibatkan sumber daya alam yang sebenarnya merupakan milik pemerintah terkesan open access.

2.7 Konsep Penghidupan Berkelanjutan (Sustainable Livelihood Concept) Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan (SLA) adalah cara berpikir dan bekerja untuk pembangunan yang berkembang secara evolusi dan alam tujuan untuk mengefektifkan segala usaha-usaha mengakhiri kemiskinan. Sebagai sebuah pendekatan, SLA didukung oleh seperangkat prinsip-prinsip dan alat-alat yang menggambarkan cara mengorganisir, memahami, dan bekerja menangani isu-isu kemiskinan yang kompleks dan beragam, dimodifikasi dan diadaptasi menyesuaikan diri terhadap prioritas dan situasi lokal. SLA berkembang baik karena adanya banyak kontribusi yang diberikan oleh berbagai pekerja pembangunan yang berasal dari berbagai organisasi yang berbeda termasuk:

lembaga riset (seperti IDS), NGOs (mis. CARE dan Oxfam), Organisasi multi dan bilateral dan donor (mis, World Bank, SIDA, UNDP, dan DFID) dan dalam konteks Indonesia ada Circle Indonesia, Hivos SEA dan mitra SED-nya, dan sebagainya.

(36)

23

SLA dapat digunakan untuk beberapa tujuan berbeda misalnya:

1) Sebagai alat: kerangka kerja SL (Sustainable Livelihood) dapat digunakan sebagai checklist ataupun alat untuk menginventarisasi isu, masalah, kapasitas, perspektif, konteks kelembagaan dan struktur untuk menganalisis kehidupan masyarakat. alat yang memotret realitas dari berbagai titik pandang dan berbagai dimensi.

2) Sebagai tujuan; panduan untuk meningkatkan keberlanjutan penghidupan komunitas di kampung, di mana perumusannya tidak dimonopoli oleh ‘yang berkuasa’ semata.

3) Sebagai seperangkat prinsip; yang dapat digunakan di setiap situasi atau jika menjadikan sebuah kerja sebuah program kerja berperspektif SL. Hal ini bukan dimaksudkan untuk terjebak dalam orientasi proyek semata, tetapi prinsip yang memandu mencapai tujuan penghidupan berkelanjutan.

4) Sebagai pendekatan; kombinasi kerangka kerja SL dan prinsip untuk memandu pembangunan sehingga terjadi perbaikan kualitas penghidupan.

Keberlanjutan mempunya banyak dimensi yang semuanya penting bagi pendekatan sustainable livelihoods. Penghidupan dikatakan berkelanjutan jika; (1) elastis dalam menghadapi kejadian-kejadian yang mengejutkan dan tekanan dari luar; (2) tidak tergantung pada bantuan dan dukungan luar (atau jika tergantung, bantuan itu sendiri secara ekonomis dan kelembagaan harus sustainable); (3) mempertahankan produktivitas jangka panjang sumberdaya alam; (4) tidak merugikan penghidupan dari, atau mengorbankan pilihan-pilihan penghidupan yang terbuka bagi, orang lain; dan (5) cara lain untuk mengkonseptualisasi berbagai dimensi keberlanjutan adalah membedakan antara aspek-aspek lingkungan, ekonomi, sosial, dan institusional dari sistem-sistem yang sustainable (Saragih et al., 2007).

(37)

24

Pendekatan penghidupan bersifat fleksibel dalam penerapannya, tetapi bukan berarti prinsip-prinsip inti harus dikorbankan. International Fund for Agricultural Development (IFAD) dalam Morse (2013) memberikan tujuh (7) prinsip dari pendekatan penghidupan berkelanjutan, yaitu :

1) Be people-centered, artinya pendekatan ini menekankan pada pandangan bahwa masyarakat sebagai pusat pembangunan;

2) Be holistic, artinya suatu pandangan yang melihat secara keseluruhan terhadap aspek kehidupan yang terkait dan berkaitan satu sama lain;

3) Be dynamic, artinya perkembangan masyarakat yang dinamis dimana masyarakat dan kelembagaan terus berubah sehingga dibutuhkan proses pembelajaran;

4) Build on strengths (membangun kekuatan dan kapasitas lokal), artinya pendekatan ini melihat kemampuan dari kebutuhan, dimana modal potensi dan kemampuan masyarakat terus dipupuk hingga mampu menentukan sendiri langkah berikutnya dalam menuju tujuan hidupnya;

5) Promote micro-macro link (hubungan makro-mikro), artinya pendekatan ini mencoba menjembatani jarak antara pihak luar seperti kebijakan dan pengaruh kecenderungan makro yang terjadi dalam masyarakat;

6) Encourage broad partnerships, artinya pendekatan ini memperluas kerjasama antara sektor publik dengan sektor privat;

7) Aim for sustainability, artinya keberlanjutan penghidupan dipandang penting dimana bukan solusi jangka pendek yang dicapai melainkan solusi jangka panjang yang menjadi perhatian. Keberlanjutan mempunyai banyak dimensi sehingga perlu diringkas bahwa keberlanjutan terjadi dengan prasyarat: (a) penghidupan masyarakat bersifat lentur dalam menghadapi kejadian-kejadian yang mengejutkan dn tekanan-tekanan dari luar; (b) tidak bergantung atau dibuat tergantung pada bantuan dari luar; (c) mempertahankan produktivitas jangka panjang sumber daya alam; dan (d) tidak merugikan atau merusak sumber-sumber penghidupan, atau pilihan-pilihan penghidupan yang terbuka bagi orang lain.

(38)

25

Dimensi keberlanjutan meliputi berbagai aspek yakni lingkungan, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Keberlanjutan lingkungan tercapai apabila produktivitas sumberdaya alam dan yang mendorong kehidupan dilestarikan atau ditingkatkan penggunaannya oleh generasi mendatang. Keberlanjutan ekonomi dicapai apabila tingkat satuan ekonomi tertentu (rumah tangga) mempertahankan tingkat pengeluaran tertentu secara stabil. Keberlanjutan sosial tercapai ketika pengucilan sosial diminimalkan dan persamaan sosial dimaksimalkan. Dalam terminologi yang lain, keberlanjutan sosial bermakna kesenjangan yang ditekan dan social capital yang meningkat. Keberlanjutan kelembagaan tercapai ketika struktur-struktur dan proses-proses yang berlangsung mampu terus menjalankan fungsinya dan berkontribusi secara positif terhadap penghidupan masyarakat dalam jangka panjang (Saragih et al., 2007).

Pendekatan SL bisa digunakan untuk mengidentifikasi prioritas pembangunan dan kegiatan-kegiatan baru. Pendekatan ini juga bermanfaat jika diterapkan untuk meninjau kegiatan-kegiatan yang sedang berlangsung yang tidak dirancang dengan memperhatikan prinsip-prinsip SL. Dalam proyek/program, pendekatan ini bisa digunakan untuk mempertajam fokus sistem pemantauan dan evaluasi dalam pembangunan, mempertajam fokus kerangka logis.

Kerangka kerja penghidupan berkelanjutan menempatkan masyarakat sebagai fokus pembangunan. Kerangka kerja ini perlu dipahami secara kompleks.

Hal ini dikarenakan tujuannya adalah membantu para pihak yang mempunyai perspektif yang berbeda untuk terlibat dalam diskusi mengenai berbagai faktor yang mempengaruhi penghidupan, arti penting penghidupan serta hubungan antara faktor-faktor tersebut.

Dalam kerangka kerja SL yang dipaparkan oleh Ellis (2000) pada Gambar 2.1, satuan utama yang dipakai sebagai contoh analisis adalah sebuah rumah tangga di pedesaan tapi juga bisa diperluas pada satuan komunitas tertentu (desa, dusun, permukiman, dan sebagainya). Titik awal (starting point) dalam menganalisis konteks dan sistem penghidupan komunitas dengan kerangka kerja penghidupan (SLA) tidak harus dimulai dari ‘platform penghidupan’ (kolom paling kiri Gambar

(39)

26

2.1) yang menyajikan kategorisasi aset atau sumber daya (manusia, alam, sosial, fisik/infrastruktur, dan finansial) yang kemudian diikuti dengan analisis konteks kerentanan (atau konteks yang merentankan – kolom 3 Gambar 2.1).

Gambar 2. 1 Modifikasi Sustainable Livelihood Framework (dari Frank Ellis 2000) Sumber: Saragih, dkk (2007)

Berimplikasi di dalam ‘strategi penghidupan’ (kolom 4 Gambar 2.1) di mana suatu keluarga sebagai satu unit sosial yang diamati memilih untuk mengkombinasikan berbagai aktivitas berdasarkan penggunaan dan kepemilikan aset dan konteks perubahan yang dihadapinya. Framework (Gambar 2,1) menunjukkan bahwa penghidupan masyarakat yang dibentuk atau ditopang oleh berbagai kekuatan dan faktor yang beragam yang dengan sendirinya terus berubah yang dimiliki oleh masyarakat. analisis subyek-subyek dimulai dengan penyelidikan secara simultan terhadap aset-aset (sering juga disebut capital asset, modal dasar atau sumber daya majemuk) masyarakat, analisis hasil-hasil capaian penghidupan (yang mereka dapatkan), dan strategi-strategi penghidupan yang mereka gunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang dirumuskan ideal pada (kolom 6 Gambar 2.1) yaitu tercapainya kondisi yang aman. Untuk umpan balik penting yaitu antara struktur dan proses yang berubah (kolom 2) dan konteks kerentanan

(40)

27

(kolom 3). Sedangkan kolom 5 merupakan aktivitas - aktivitas yang mentransformasi aset - aset yang difasilitasi ataupun digambar oleh struktur dan proses dalam konteks risiko yang dinamis.

Berdasarkan Gambar 2.1, menunjukkan bahwa dalam konteks rumah tangga dan konteks pedesaan tidak terdapat strategi tanggal yang menjamin keberlanjutan penghidupan sebuah komunitas, karena tiap keluarga (KK) yang berbeda memiliki strategi penghidupan yang berbeda yang merupakan fungsi dari aset tertentu yang dimilikinya serta akses atas aset tersebut. Dengan demikian, suatu unit keluarga atau komunitas tertentu melangsungkan hidup dan penghidupannya dengan bertumpu pada berbagai aset yang dimilikinya atau yang secara materil dan imateril melekat pada unit dimaksud. Aset tersebut meliputi modal manusia (SDM), modal alam, modal sosial, modal fisik dan modal finansial. Namun akses pada modal-modal (capital assets) tersebut kerap dimodifikasi oleh peran relasi sosial, pengaruh kelembagaan, dan organisasi yang berada dalam konteks kerentanan.

Dari konteks tersebut, strategi penghidupan suatu unit keluarga/unit komunitas di desa/pedesaan terdiri dari berbagai aktivitas yang dibagi dalam dua kategorisasi yakni aktivitas penghidupan berbasis sumber daya alam, dan aktivitas non-SDA dengan dampak pada capaian keamanan penghidupan dan capaian keberlanjutan ekologis. Pengertian lain dari penghidupan (livelihood) yang dikemukakan oleh Ellis (2000) yaitu livelihood atau penghidupan terdiri dari aset (sumber daya alam, fisik, manusia, ekonomi dan sosial), aktivitas dan akses untuk mencapainya (dihubungkan oleh institusi dan hubungan sosial) yang bersama-sama menentukan perolehan mata pencaharian oleh individu maupun rumah tangga.

Berdasarkan definisi tersebut, konsep livelihood lebih melihat hubungan antara aset, akses dan pilihan orang dari apa yang dimilikinya untuk mengejar kegiatan alternatif yang dapat membangkitkan level pendapatan yang diperlukan untuk bertahan hidup.

Dalam memudahkan pemahaman, Scoones (1998) memberikan gambaran kerangka kerja analisis penghidupan berkelanjutan seperti dalam gambar berikut:

Gambar

Gambar 1. 1 Kerangka Pemikiran
Gambar 2. 1 Modifikasi Sustainable Livelihood Framework (dari Frank Ellis 2000)   Sumber: Saragih, dkk (2007)
Gambar 2. 2 Kerangka kerja analisis berdasarkan Scoones (1998)
Gambar 2. 3 Visualisasi pentagonal aset  Sumber: DFID, 1999
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu hutan tempat tinggal dan sumber penghidupan mereka adalah di kawasan hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNDB). Kehidupan secara tradisional ini telah mereka

ANTARA KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN DENGAN KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG S A U K. SEROASARKAN KONDlSl

7 Masyarakat adat Desa Toro, Desa Mataue dan Dataran Lindu yang hidup di sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu merupakan masyarakat lokal yang telah

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa Penyebab terjadinya sengketa antara masyarakat hukum adat dan Taman Nasional Tesso Nilo di Desa Air Hitam

Judul Penelitian : Interaksi dan Pemanfaatan Hasil Hutan Oleh Masyarakat Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser (Studi Kasus: Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi

Dari cara pemenuhan ekonomi dan bertahan hidup rumah tangga desa hutan menunjukkan bahwa strategi penghidupan yang dilakukan oleh masyarakat desa hutan

66 Kelompok Bidang: Keanekaragaman Hayati dan Bioprospeksi KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA DI BUMI PERKEMAHAN PASIR BATAN BLOK KARANGSARI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI Oleh

2023 Strategi Optimalisasi Taman Hutan Kenali Jambi sebagai Kawasan Tujuan Wisata Jurnal Pembangunan Berkelanjutan, 61; 61-69 doi : 10.22437/jpb.v6i1.27974 61 Ó 2023 Program Studi