• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. Parameter Fisika

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kandisi Umum Daerah Penelitian

Lokasi penelitian di Perairan Bakauheni Lampung Selatan berbatasan dengan Selat Sunda disebelah selatan dan Laut Jawa disebelah timur. Daerah pesisir Perairan Bakauheni khususnya Pulau Rimaubalak, Kandangbalak, dan Panjurit merupakan tiga pulau besar dengan karakteristik daerah berpasir putih dan batuan, dimana terdapat beberapa jenis vegetasi pantai seperti mangrove, lamun, nipah (Nypa sp), ketapang dan kearah daratan yang lebih tinggi terdapat beberapa jenis pohon bernilai ekonomis dan kebun jagung masyarakat. Pulau Rimaubalak, Kandangbalak, dan Panjurit merupakan wilayah administrasi Kec. Bakauheni dengan luas wilayah 57,13 km2 dengan jumlah penduduk 20.881 jiwa. Mata pencaharian masyarakat pesisir Perairan Bakauheni sebagian besar sebagai nelayan, petani, pedagang, buruh bangunan, dan anak buah kapal (ABK) (.SLHD 2009).

Kondisi Perairan Bakauheni banyak dipengaruhi oleh kegiatan masyarakat sekitar seperti pelayaran, pertanian, pembangunan dermaga, dan domestik, perairan laut Kabupaten Lampung Selatan merupakan jalur transportasi laut utama yang menghubungkan Pulau Sumatera dan Jawa. Kondisi ini tentunya akan sangat mempengaruhi kualitas air di wilayah pesisir dan laut Kabuaten Lampung Selatan, selain itu kegiatan tambak juga turut memberikan kontribusi rendahnya kualitas perairan. Kebiasan masyarakat pesisir yang membuang hajat dan sampah rumah tangga ke tepian pantai juga menjadi faktor menurunnya kondisi perairan. Kegiatan masyarakat yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat, sehingga semakin tinggi kegiatan masyarakat khususnya daerah pesisir dapat menigkatkan masukknya bahan pencemar kedalam perairan. Menurut SLHD Kabupaten Lampung Selatan (2009), hasil pengukuran parameter fisika dan kimia seperti suhu memiliki kisaran 29-30oC, kecerahan 3-4 m, kekeruhan 14-32 NTU, TSS 21-29 mg/l, salinitas 32-32.5 ‰, dan pH 7-8. Data tersebut memberikan gambaran bahwa perairan di sekitar Lampung Selatan belum tercemar dan masih mendukung untuk kehidupan organisme perairan khususnya terumbu karang, kecuali untuk nilai kecerahan.

Terumbu karang di Pulau Rimaubalak, Kandangbalak, dan Panjurit termasuk kedalam tipe fringing reef dengan kisaran luasan relatif sebesar 20-60 m. Pertumbuhan terumbu karang berhenti pada kedalaman >10 m, dimana pada kedalaman >10 m komposisi lumpur dan pasir lebih mendominasi (SLHD 2009). Hasil penelitian yang telah dilakukan aldilla (2010), memperlihatkan persentase tutupan terumbu karang yang rendah di beberapa stasiun penelitian khusunya pada stasiun penelitian yang langsung menghadap daratan, sedangkan untuk beberapa stasiun penelitian lainya memiliki persentase tutupan karang yang cukup tinggi. Kualitas air yang diukur masih dalam batas baku mutu yang ditetapkan KepMen LH No. 51 Tahun 2005 kecuali parameter kecerahan yang tidak sesuai untuk kehidupan terumbu karang. Data-data yang telah didapat sebelumnya menjadi

0 10 20 30 40 50 60 70 RB I RB II KD I KD II PAN I PAN II T u tup an K ar an g (% ) Stasiun Penelitian

Branching Non Branching

Dead Coral (DC) Dead Coral Alga (DCA)

Others (OT) Rubble (R)

Rock (RCK) Sand (S)

Silt (SI) Water (WA)

Alga

acuan dalam memantau kondisi terumbu karang di Perairan Bakauheni selanjutnya.

Kondisi Komunitas Karang

Hasil pengamatan yang telah dilakukan pada 6 stasiun penelitian di Perairan Bakauheni ditemukan bahwa kondisi terumbu karang berkisar buruk (0-24.9%) sampai sangat baik (75-100%). Pada stasiun RB I diketahui persentase rata-rata tutupan karang hidup 29.17%, RB II sebesar 84.34%, KD I sebesar 50.71%, KD II sebesar 32.44%, PAN I sebesar 17.83%, dan PAN II sebesar 56.78%. Rerata persentase tutupan karang tertinggi ditemukan di RB II dengan persentase 84.37% dan terendah di temukan di PAN I dengan persentase 17.83%. Rerata persentase tutupan biotik dan substrat penyusun ekosistem terumbu karang paling tinggi adalah kategori Non Branching dengan kisaran 4.62% sampai 44.58%, dimana tutupan paling tinggi ditemukan di stasiun RB II dan terendah di PAN I. Biota lain yang juga tercatat cukup tinggi adalah kategori OT yang berupa Soft Coral (SC) dengan kisaran 0.30 % sampai 61.40%.

Berdasarkan kriteria kesehatan karang yang ditentukan oleh Zamani dan Maduppa (2012), bahwa kategori kondisi terumbu karang buruk memiliki kisaran tutupan karang hidup 0-24.9%, kategori cukup 25-49.9%, kategori baik 50-74.9%, dan sangat baik 75-100%.

Gambar 4.1 Persentase tutupan biota dan substrat dasar pada masing-masing stasiun penelitian

0 10 20 30 40 50 RB I RB II KD I KD II PAN I PAN II T utupan K arang (% ) Stasiun Penelitian Branching Non Branching

Pengamatan terumbu karang dengan menggunakan LIT pada stasiun penelitian di Perairan Bakauheni menunjukkan bahwa terumbu karang dalam kondisi sangat baik hanya ditemukan di RB II, kondisi cukup baik ditemukan di dua stasiun penelitian yaitu KD I dan PAN II, kondisi cukup ditemukan di RB I dan KD II, dan kondisi buruk ditemukan di PAN I. Terumbu karang di stasiun penelitian RB I dan PAN II ditemukan dalam kondisi rusak, walaupun keberadaan terumbu karang dikategorikan cukup dan baik. Beberapa ciri-ciri yang ditemukan di setiap stasiun penelitian dimana menunjukkan terjadinya kerusakan terumbu karang di RB I dan PAN II antara lain banyak ditemukannya karang mati (Dead Cora), karang mati oleh alga (Dead Coral Alga), alga, patahan karang (rubble), lumpur (silt) dan pasir (sand). Beberapa indikasi kerusakan karang juga ditemukan di ke empat stasiun lainnya tetapi dalam persen yang sangat kecil, selain itu masing-masing stasiun penelitian memiliki karakteristik substrat penyusun ekosistem perairan yang unik dan berbeda untuk masing-masing stasiun. Kerusakan terumbu karang diduga disebabkan oleh dampak kegiatan manusia di sekitar Perairan Bakauheni seperti pembangunan dermaga yang menyebabkan meningkatnya proses sedimentasi dan permukiman masyarakat, sedangkan untuk kegiatan pertanian dan pelayaran belum menunjukkan pengaruh secara nyata terhadap kerusakan terumbu karang di Perairan Bakauheni.

Menurut Brown (1987), salah satu ancaman terbesar bagi terumbu karang adalah pembangunan fisik daerah pesisir yang akan membawa sedimen dalam jumlah yang besar ke badan air, selain itu peningkatan kadar nutrien yang tinggi yang berasal dari kegiatan pertanian dan bahan pencemar lain seperti minyak dan insektisida. Proses sedimentasi dapat berakibat kematian dengan meningkatnya kekeruhan perairan dan juga tertutupnya rataan terumbu karang oleh partikel- partikel sedimen, selain itu adanya penyuburan perairan (eutrofikasi) akibat jumlah nutrien yang tinggi. Beberapa faktor tersebut akan menurunkan intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan sehingga dapat menyebabkan pemutihan dan kematian karang.

Gambar 4.2 Persentase tutupan karang hidup di masing-masing stasiun penelitian Kategori biota dan substrat dasar pembangun ekosistem terumbu karang dari masing-masing stasiun penelitian terdiri dari karang hidup yang terdiri dari

Branching dan Non Branching, karang mati yag terdiri dari Dead Coral

(DC) dan Dead Coral Alga (DCA), biotik yang terdiri dari Soft Coral (SC),

Sponge (SP), dan Others (OT) seperto Anemon, Gorgonia, dan Crinoid, Abiotik berupa water (WA), silt (SI), sand (S), rock (RCK), dan rubble (R) (Gambar 4.1). Persentase tutupan biota dan subtrat pada masing-masing stasiun penelitian terlihat bervariasi. Kategori karang hidup hampir ditemukan disemua stasiun penelitian walaupun memiliki kondisi yang bervariasi, stasiun penelitian yang di dominasi oleh substrat dasar berupa karang hidup antara lain RB II, KD I, dan PAN II, sedangkan stasiun penelitian yang memiliki kematian karang yang cukup besar di temukan pada RB I, PAN II, dan PAN I. Biotik paling banyak ditemukan di KD II yang berupa Soft Coral (SC), sedangkan PAN I didominasi oleh abiotik, dan untuk kategori alga hanya ditemukan di RB I dan KD I.

Sebaran kategori karang hidup (Branching dan Non Branching) di masing- masing stasiun penelitain sangat bervariasi, dilihat dari rata-rata persentase tutupan karang hidup kategori Non Branching lebih dominan daripada Branching. Kategori Branching terdeteksi dengan kisaran rata-rata 8.38% sampai 46.08%, dimana kategori Branching tertinggi ditemukan di KD I dan terendah di PAN I. Kategori Non Branching ditemukan dengan kisaran 4.62% sampai 44.58%, dimana kategori tertinggi ditemukan di RB II dan terendah di KD I (Gambar 4.2). Stasiun penelitian yang memiliki dominansi tertinggi untuk kategori Branching

dan Non Branching adalah stasiun RB II, hal tersebut di dukung oleh kondisi perairan yang baik sehingga pertumbuhan dan keanekaragaman karang yang ditemukan juga lebih tinggi dari stasiun penelitian lainnya. Menurut Hennige et al (2010), kategori lifeform karang branching pada kondisi lingkungan terganggu ditemukan dalam jumlah yang sangat rendah, sedangkan lifeform massive

memiliki toleransi yang sangat baik terhadap adanya perubahan lingkungan seperti intensitas cahaya, temperatur dan kekeruhan.

Pulau Rimaubalak

Kondisi terumbu karang di RB I berdasarkan analisis yang telah dilakukan memperlihatkan rata-rata persentase tutupan kategori penyusun ekosistem terumbu sebagai berikut: karang hidup dengan persentase 29.17% (Branching

sebesar 13.40% dan Non Baranching sebesar 15.77%), karang mati oleh alga (DCA) dengan persentase 42.07%, biotik dengan persentase 2.01% yang terdiri dari soft coral (SC) sebesar 1.20%, sponge (SP) sebesar 0.27%, dan others (OT) lainnya sebesar 0.55% yang terdiri dari anemon dan gorgonia, abiotik dengan persentase 25.19% yang terdiri dari sand/pasir (S) sebesar 3.90%, silt/lumpur (SI) sebesar 15.62%, water/air (WA) sebesar 1.20%, dan rubble/patahan karang (R) sebesar 4.47% dan alga ditemukan sebesar 1.57%.

13.40% 15.77% 42.07% 0.55% 1.20% 0.27% 1.57% 3.90% 15.62% 1.20% 4.47%

Branching Non Branching

Dead Coral Alga (DCA) Others (OT) Soft Coral (SC) Sponge (SP)

ALGA and (S)

Silt (SI) Water (WA)

Rubble (R)

Gambar 4.3 Persentase rata-rata biota dan substrat dasar di RB I

Menurut Zamani dan Maduppa (2012), berdasarkan persentase tutupan karang hidup di RB I dengan persentase nilai Karang Hidup < Karang Mati (29.17% < 42.07%) mengindekasikan bahwa terumbu karang di RB I dikategorikan cukup dengan Mortality index (MI) sebesar 0.6 yang berarti di RB I memiliki tingkat kesehatan yang rendah/kematian tinggi. Kesehatan karang di RB I dapat dikategorikan tidak sehat ditandai dengan banyaknya karang mati yang disebabkan oleh alga di stasiun tersebut sebesar 42.07% dan abiotik tinggi (S, R, SI), walaupun keragaman lifeform karang cukup bervariasi tetapi terlihat berupa

patchy/kelompok-kelompok kecil sehingga kemungkinan karang yang ada merupakan sisa karang yang masih mampu bertahan hidup pada kondisi perairan di RB I, selain itu mortality indeks/kematian karang juga tinggi.

Gambar 4.4 Sebaran dan kepadatan terumbu karang menurut kategori lifeform di RB I 11.08 1.47 0.33 0.37 0.16 4.77 0.23 8.63 0.69 0 2 4 6 8 10 12

CF CM CME CMR CS CB ACS ACB ACD

T u tutpan K ar an g (% ) Lifeform

Keragaman kategori karang menurut lifeform di RB I cukup beragam dimana ditemukan sebanyak 9 kategori. Kategori Non Branching terdiri dari

Coral Foliose (CF) sebesar 11.08%, Coral Mushroom (CMR) 0.37%, Coral Submassive (CS) 0.16%, Coral Massive (CM) 1.47%, Melliopora (CME) 0.33%,

Acropora Submassive (ACS) 0.23%, Acropora Digitatet (ACD) 0.69%sedangkan untuk kategori Branching terdiri dari Acropora Branching (ACB) 8.63%, dan

Coral Branching (CB) 4.77% (Gambar 4.4). Lifeform karang yang mendominasi di RB I dari kategori Non Branching adalah Coral Foliose (CF) sedangkan kategori Branching di dominasi oleh Acropora Branching (ACB). Kematian karang oleh alga di RB I diduga banyak dipengaruhi oleh tingginya proses sedimentasi dilihat dari tingginya nilai Sand (S) dan Silt (SI) di stasiun tersebut. Tingginya sedimen di perairan RB I dipengaruhi oleh kegiatan manusia di sekitar pesisir seperti pembangunan dermaga dimana beberapa tempat dilakukan penebangan mangrove dan terjadi penimbunan. Persentase silt (SI) yang tinggi di RB I diduga merupakan faktor yang menyebabkan kematian karang, selain dapat menutup permukaan secara langsung, SI juga dapat memacu pertumbuhan alga. Persentase alga di RB I tidak begitu tinggi tetapi dengan pertumbuhan yang cepat dapat menyebabkan kematian karang yang lebih tinggi. Van woesik (2002) menjelaskan bahwa karang di daerah sedimentasi tinggi umumnya membentuk pertumbuhan yang kecil (Encrusting). Pada jenis tertentu seperti Porites dapat mengeluarkan mucus yang berfungsi melindungi polip karang dari sedimen yang masuk.

Kondisi terumbu karang di stasiun RB I memperlihatkan bahwa terumbu karang telah mengalami tekanan baik secara langsung maupun tidak langsung dari lingkungan, ciri-ciri yang dapat menjelaskan adanya tekanan terhadap lingkungan antara lain, ditemukannya DCA dalam jumlah yang tinggi dan alga mengindikasikan keberadaan nutrien dalam perairan diduga dapat menyebbakan pertumbuhan tumbuhan air, selain itu keberadaan rubble yang ditemukan walaupun dalam persen yang kecil mengindikasikan kerusakan karang diakibatkan oleh aktivitas pelayaran terutama oleh jangkar kapal. Keanekaragaman kategori lifeform karang seperti massive, submassive, branching

dan tabulate ditemukan dalam persentase yang sangat kecil sehingga ciri-ciri tersebut juga mengindikasikan adanya tekanan lingkungan di RB I. Nybakken (1992) menjelaskan bahwa lifeform karang seperti massive, submassive,

branching, dan tabular jarang sekali ditemukan pada perairan dengan proses sedimentasi yang tinggi. Hasil analisis lifeform karang memperlihatkan bahwa persentase lifeform massive, submassive, branching, dan tabulate di RB I lebih kecil dari kategori lifeform lainnya dimana yang lifeform yang mendominasi adalah dari kategori Non Branching.

Kondisi terumbu karang di RB II berdasarkan analisis yang telah dilakukan memperlihatkan rata-rata persentase tutupan kategori penyusun ekosistem terumbu sebagai berikut: karang hidup dengan persentase 84.37% (Branching

sebesar 39.79% dan Non Branching sebesar 44.58%), karang mati dengan persentase 13.33% terdiri dari karang mati (DC) sebesar 5.89% dan karang mati oleh alga (DCA) sebesar 7.43%, biotik dengan persentase 0.30% terdiri dari

sponge (SP) sebesar 0.13%, others (OT) lainnya sebesar 0.17% yang berupa crinoid, abiotik dengan persentase 2% terdiri dari sand (S) sebesar 0.67%, dan

39.79% 44.58%

5.89%

7.43% 0.17% 0.13% 0.67% 1.33%

Branching Non Branching

Dead Coral (DC) Dead Coral Alga (DCA)

Others (OT) Sponge (SP)

Sand (S) Rubble (R)

Gambar 4.5 Persentase rata-rata biota dan substrat dasar di RB II

Menurut Zamani dan Maduppa (2012), berdasarkan persentase tutupan karang hidup di RB II dengan persentase nilai Karang Hidup > Karang Mati (84.37% > 13.33%) mengindekasikan bahwa terumbu karang di RB II dikategorikan sangat baik dengan Mortality index (MI) sebesar 0.1 yang berarti di RB II memiliki tingkat kesehatan yang tinggi/kematian rendah. Kesehatan karang di RB II sangat sehat di tandai dengan kematian karang rendah, keragaman

lifeform karang tinggi (semakin beragam kategori karang hidup di suatu lokasi mengindikasikan bahwa habitat untuk kehidupan karang masih sangat baik), abiotik yang ditemukan rendah dan mortality index rendah, selain itu kategori

lifeform branching cukup tinggi ditemukan dari pada di stasiun yang lainnya hal tersenut menandakan bahwa kondisi perairan di RB II dalam kondisi baik.

Kondisi terumbu karang di RB II lebih baik dari pada di RB I, diduga RB II lebih terlindungi dari berbagai aktivitas manusia di daratan, selain itu perairan memiliki kejernihan yang tinggi sehingga penetrasi cahaya matahari yang masuk kedalam perairan dapat mencapai 100% pada kedalaman 3-7 meter berbeada dengan RB I yang memiliki kecerahan yang rendah. Stasiun RB II juga di pengaruhi oleh kegiatan pelayaran kapal yang menghubungkan Lampung Selatan dan Banten, tetapi hasil analisis memperlihatkan bahwa belum ada dampak yang begitu berarti dengan adanya kegiatan pelayaran kapal terhadap kematian terumbu karang di RB II.

Keragaman Kategori karang menurut lifeform yang ditemukan di RB II sangat beragam dimana ditemukan 10 kategori (Gambar 4.6) antara lain,

Branching terdiri dari Coral Branching (CB) 16.57% dan Acropora Branching

(ACB) 23.22% sedangkan Non Branching terdiri dari Coral Foliose (CF) sebesar 32.87%, Coral Massive (CM) 3.27%, Coral Melliopora (CME) 4.91%, Coral Submassive (CS) 0.93%, Acropora Submassive (ACS) sebesar 0.17%, Acropora Encrusting (ACE) 1.6%, Acropora Tabulate (ACT) 0.67%, dan Acropora Digitate (ACD) 0.17%. Lifeform karang hidup yang mendominasi di RB II dari kategori Non Branching adalah Coral Foliose (CF) sedangkan dari kategori

32.87 16.57 3.27 0.93 4.91 1.60 0.67 0.17 23.22 0.17 0 5 10 15 20 25 30 35

CF CB CM CS CME ACE ACT ACS ACB ACD

T u tup an K ar an g (% ) Lifeform

Gambar 4.6 Sebaran dan kepadatan terumbu karang menurut kategori lifeform di RB II

Chappell (1980) menyatakan bahwa di perairan yang jernih dan proses sedimentasi yang rendah akan lebih banyak terumbu karang yang ditemukan dalam bentuk branching, massive dan tabulate. Nybakken (1992) juga menjelaskan bahwa perairan yang selalu terkena ombak besar banyak di temukan Pocillopora, Acropora, dan Montastrea.

Pulau Kandangbalak

Kondisi terumbu karang di KD I berdasarkan analisis yang telah dilakukan memperlihatkan rata-rata persentase tutupan kategori penyusun ekosistem terumbu sebagai berikut: karang hidup dengan persentase 50.71% (Branching

sebesar 46.08% dan Non Branching sebesar 4.62%), karang mati dengan persentase 11.27% (DCA), biotik dengan persentase 22.21% yang terdiri dari SC sebesar 21.97%, SP 0.07%, OT lainnya sebesar 0.17% berupa Crinoid, abiotik dengan persentase 4.61% yang hanya ditemukan sand (S) dan alga ditemukan sebesar 11.20%. Dilihat dari hasil analisis tutupan biota dan substrat dasar pembangun ekosistem di stasiun KD I, ekosistem terumbu karang di KD I memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan stasiun penelitian lainnya disamping itu keberadaan terumbu karang tidak dipengaruhi oleh kegiatan fisik seperti penangkapan ikan tak ramah lingkungan yang secara langsung dapat merusak terumbu karang dibuktikan dengan tidak ditemukan patahan karang/Rubble (R). Keberadaan alga dan DCA yang cukup tinggi mengindikasikan bahwa kondisi perairan di stasiun KD I terjadi peningkatan pertumbuhan alga yang duduga disebabkan oleh bahan organik dan nutrien yang tinggi di perairan.

46.08% 4.62% 11.27% 0.17% 21.97% 0.07% 11.20% 4.61%

Branching Non Branching

Dead Coral Alga (DCA) Others (OT) Soft Coral (SC) Sponge (SP)

ALGA Sand (S)

Gambar 4.7 Persentase rata-rata biota dan substrat dasar di KD I

Menurut Zamani dan Maduppa (2012), berdasarkan persentase tutupan karang hidup di KD I dengan persentase nilai Karang Hidup > Karang Mati (50.71% > 11.27%) mengindekasikan bahwa terumbu karang di KD I dikategorikan Cukup baik dengan Mortality index (MI) sebesar 0.2 yang berarti di KD I memiliki tingkat kesehatan yang cukup tinggi/kematian rendah, diindikasikan dengan kematian karang rendah dan kategori abiotik rendah. Disisi lain keragaman lifeform karang yang tercatat sangat rendah (5 kategori lifeform

karang) yang artinya bahwa kondisi habitat karang di KD I hanya cocok untuk beberapa kategori karang saja, selain itu kategori alga ditemukan cukup besar diduga ada faktor lingkungan yang menyebabkan pertumbuhan alga tinggi. Supriharyono (2007) menjelaskan bahwa unsur hara yang terikat pada sedimen menyebabkan pesatnya pertumbuhan makro alga, terutama pada akhir musim penghujan atau setelah perairan menerima sedimen yang cukup tinggi melalaui sungai sekitar. Makro alga ini umumnya menutupi karang-karang yang hidup di daerah reef flat.

Keragaman kategori lifeform karang di KD I sangat sedikit, ditemukan sebanyak 5 kategori lifeform karang (Gambar 4.8), dimana kategori Branching

hanya terdiri dari satu lifeform yaitu ACB dengan persentase tutupan sebesar 8.13% dan CB 37.95%, sedangkan untuk Non Branching terdiri dari tiga kategori

lifeform yaitu CM, CF, dan CS dengan masing-masing persen tutupan sebesar 2.23%, 2.9%, dan 0.30%. Persentase Lifeform karang keras yang mendominasi adalah CB. Kategori lifeform CB dan ACB di stasiun KD I mengindikasikan bahwa terumbu karang belum mengalami tekanan dari lingkungannya selain itu masih teridentifikasi kategori massive dan submassive walaupun persentasenya sedikit tetapi cukup menggambarkan bahwa perairan masih cukup baik.

37.95 0.3 2.9 2.23 8.13 0 5 10 15 20 25 30 35 40 CB CS CF CM ACB T u tup an K ar an g (% ) Lifeform 14.74% 17.70% 5.76% 0.40% 0.33% 61.07%

Branching Non Branching

Dead Coral Alga (DCA) Dead Coral (DC) Others (OT) Soft Coral (SC)

Gambar 4.8 Sebaran dan kepadatan terumbu karang menurut kategori lifeform di KD I

Kondisi ekosistem terumbu karang di KD II terdiri dari 3 kategori yaitu karang hidup, karang mati, dan biotik. KD II didominasi oleh biotik sebesar 61.40% yang terdiri dari SC sebesar 61.07% dan OT lainnya sebesar 0.33% yang berupa Anemon dan crinoid, karang hidup yang ditemukan cukup rendah sebesar 32.55% (Branching sebesar 14.74% dan Non Branching sebesar 17.70%), dan karang mati yang teridentifikasi sedang dengan persentase 6.16% terdiri dari DC sebesar 0.40% dan DCA sebesar 5.76%. Hasil analisis yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa kondisi terumbu karang di KD II juga memiliki keunikan tersendiri dengan banyak ditemukan kategori SC dan keragaman variasi lifeform

karang yang lebih tinggi dari KD I, selain itu tidak ditemukan abiotik seperti R, S, alga di KD II, hal tersebut menjelaskan bahwa di stasiun KD II kegiatan manusia yang menjadi faktor kerusakan karang sangat kecil atau hampir tidak dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang merusak secara langsung.

0.07 0.34 3.51 0.47 2 0.9 12.75 0.71 11.7 0 2 4 6 8 10 12 14

CME CMR CF CS CB CM ACB ACS ACT

T u tu p an K aran g (% ) Lifeform

Menurut Zamani dan Maduppa (2012), kondisi terumbu karang di KD II dikategorikan cukup dengan persentase tutupan karang hidup > Karang Mati (32.44% > 6.16%), walaupun secara keseluruhan kategori biotik paling mendominasi di KD II yang berupa karang lunak/soft coral (SC). Mortality Index

(MI) karang di KD II sebesar 0,2 yang berarti bahwa kesehatan karang di KD II cukup tinggi/kematian karang rendah, selain itu hal lain yng menunjang dengan ditemukan keragaman lifeform karang yang sangat tinggi walaupun beberapa kategori lifeform karang ditemukan dalam persen yang kecil. Secara umum kondisi terumbu karang di stasiun KD II lebih baik dari KD I, dimana keragaman tinggi dan kematian lebih rendah selain itu diduga karakteristik substrat dasar sangat cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan SC.

Gambar 4.10 Sebaran dan kepadatan terumbu karang menurut kategori lifeform

di KD II

Keragaman kategori lifeform karang di KD II ditemukan 9 kategori (Gambar 4.10) dan memiliki kergaman lebih besar daripada Stasiun KD I. kategori Branching yang teridentifikasi antara lain ACB dan CB dengan persentase masing-masing sebesar 12.75% dan 2% sedangkan Non Branching

terdiri dari ACS, ACT, CMR, CME, CS, CF, dan CM dengan persentase masing- masing 0.71%, 11.70%, 0.34%, 0.07%, 0.47%, 3.51%, dan 0.90%. Lifeform

karang keras yang mendominasi di KD II kategori Branching adalah ACB dan ACT tetapi secara keseluruhan perairan KD II di dominasi oleh SC. Kategori Soft Coral (SC) yang teridentifikasi yaitu jenis Xenia dengan persentase tutupan 61.40%. Menurut Atrigenio (1996) dan Done (1999) menjelaskan bahwa kemelimpahan SC akan meningkat secara cepat yang dikuti oleh kematian hard coral (karang keras), ditambahkan oleh Fox et al. (2003) bahwa SC akan lebih dominan dalam suatu perairan di bandingkan dengan karang keras, dimana pertumbuhan SC dapat mencapai > 1 cm per bulan (Tursch 1982). SC merupakan bagian dari ekosistem terumbu karang yang penting (Benayahu 1985, Coll dan Sammarco 1986) dan merupakan komponen kedua terbesar setelah karang keras (Manuputty 1996). Seperti halnya karang keras, karang lunak juga memiliki peranan penting dalam ekologi terumbu, seperti memberikan kontribusi pada pembentukan terumbu (Tomascik et al. 1997), meningkatkan keanekaragaman

8.38% 9.44% 3.57% 17.61% 13.93% 5.81% 0.53% 40.71%

Branching Non Branching

Dead Coral Alga (DCA) Dead Coral (DC) Soft Coral (SC) Rubble (R)

Rock (RCK) Sand (S)

hayati, menyediakan makanan untuk beberapa jenis hewan dan menyaring partikel-partikel air ke dalam sistem terumbu (Fossa dan Nilsen 1998).

Dokumen terkait