• Tidak ada hasil yang ditemukan

KarakteristikFisikKeju Berat Curd

Menurut Murti (2004) curd adalah gumpalan yang terbentuk dari aktivitas koagulan yaitu campuran enzim yang mempunyai aktivitas proteolitik. Berat curd yang diperoleh dari hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 sebagai berikut : Tabel 9. Hasil Berat curd Keju Segar (g)

Ulangan Perlakuan perbedaan yang nyata (P < 0,05)

Dari hasil penelitian diperoleh rata-rata nilai berat curd pada keju segar yaitu perlakuan yang menggunakan rennet enzim papain (P1, P2, P3) berkisar antara 180,14 - 221,72 g dan keju segar yang menggunakan rennet komersil (P0) yaitu sebesar 234,4 gram.

Hasil analisis keragaman pada perlakuan P0, P1, P2 dan P3 berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap berat curd. Perlakuan rennet enzim papain pada pembuatan keju segar rataan perlakuan tertinggi pada P0 yaitu sebesar 234,4 g sedangkan perlakuan terendah terdapat pada perlakuan P1 yaitu sebesar 180,14 g.

Hal ini diduga karena perbedaan koagulan yang diberikan dan penggunaan rennet enzim papain dalam konsentrasi enzim masih rendah dalam menggumpalkan protein susu sehingga mempengaruhi berat curd pada perlakuan rennet enzim papain. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Walstra dkk. (1999) curd yang

terbentuk dipengaruhi oleh bahan koagulan, sedangkan koagulan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu inkubasi, konsentrasi substrat dan konsentrasi bahan koagulan.

Rendemen Curd

Menurut Murti (2004), rendemen yaitu perbandingan antara koagulan (curd) yang terbentuk dengan susu yang digunakan. Perhitungan rendemen secara

praktis mencerminkan apakah proses pembuatan keju sampai ke tahap pematangan dilakukan dengan baik, efektif atau tidak. Dari hasil penelitian rataan nilairendemen curd yang diperoleh dari hasil penelitian dapat dilihat pada table 4 sebagai berikut: perbedaan yang nyata (P < 0,05)

Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa rata-rata persentase rendemen curd pada perlakuan yang menggunakan rennet nabati enzim papain (P1,P2,P3)

berkisar antara 18,01 - 22,17 % lebih rendah daripada rendemen curd yang dihasilkan pada rennet komersil (P0) yaitu sebesar 23,44 %. Hal yang sama juga terjadi pada penelitian Pangaribuan (2018) pada penelitiannya pembuatan keju dengan penambahan koagulan buah jeruk limau. Didapatkan hasil bahwa penambahan koagulan buah jeruk limau (P1, P2, P3) sebesar 0,06 %, 0,09 %, 0,10

%, lebih rendah daripada rendemen curd yang dihasilkan oleh koagulan rennet komersil yaitu sebesar 0,11%.

Hasil analisis ragam pada perlakuan P0, P1, P2, P3 menunjukkan bahwa nilai rendemen keju segar memberikan pengaruh yang nyata (P < 0,05) terhadap rendemen curd yang dihasilkan dari produk curd yang terbentuk. Rendemen curd pada tiap perlakuan mengalami peningkatan yaitu rendemen curd tertinggi terdapat pada P3 sebesar 22,17% dan yang terendah pada P1 sebesar 18,01%.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa rataan hasil rendemen curd yang dihasilkan oleh koagulan rennet enzim papain lebih rendah daripada rendemen curd yang dihasilkan oleh rennet komersil. Hal ini diduga karena perbedaan

koagulan yang diberikan dan penggunaan rennet enzim papain dalam konsentrasi enzim masih rendah dalam menggumpalkan protein susu sehingga mempengaruhi berat curd pada perlakuan rennet enzim papain. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Walstra dkk. (1999) curd yang terbentuk dipengaruhi oleh bahan koagulan, sedangkan koagulan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu inkubasi, pH, konsentrasi substrat dan konsentrasi bahan koagulan.

Kualitas Organoleptik Warna

Warna merupakan sensori pertama yang dapat dilihat langsung oleh panelis. penentuan mutu bahan makanan umumnya bergantung pada warna yang dimilikinya, warna yang tidak menyimpang dari warna yang seharusnya akan memberi kesan penilaian tersendiri oleh panelis. Organoleptik warna keju yang diperoleh dari hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 6. Sebagai berikut:

Tabel 11. Warna perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01).

Dari hasil pengamatan uji organoleptik pada warna keju menunjukkan bahwa pada perlakuan P0 dengan rata-rata skor sebesar 3, terdapat 18 dari 20 panelis yang memilih skor 3. Pada perlakuan P1 dengan rata-rata skor 3,6, terdapat 12 dari 20 panelis yang memilih skor 4. Pada perlakuan P2 dengan rata-rata skor 3,95, terdapat 19 dari 20 panelis yang memilih skor 4. Pada perlakuan P3 dengan rata-rata skor 3,85, terdapat 18 dari 20 panelis yang memilih skor 4.

Hasil analisis sidik ragam pada perlakuan P0, P1, P2, P3 menunjukkan bahwa skor warna pada keju berpengaruh sangat nyata (P < 0,01). Dari hasil pengamatan panelis rata-rata skor tertinggi yaitu pada perlakuan P2 sebesar 3,95 dengan pemilih skor 4 sebanyak 19 dari 20 panelis sedangkan nilai terendah pada skor warna keju terdapat pada P0 sebesar 3,04 dengan pemilih skor 3 sebanyak 18 dari 20 panelis. Hal ini diduga karena tidak larutnya pigmen karoten didalam susu dan peningkatan dosis pemberian rennet enzim papain sebagai koagulan mengakibatkan warna yang dihasilkan menjadi putih . Hal yang sama juga terjadi pada penelitian Syaikal (2016) bahwa semakin tinggi level bahan penggumpal maka warna dangke yang dihasilkan semakin putih buram.

Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Adnan (1984) warna putih dari susu diakibatkan oleh dispersi yang merefleksikan sinar dari globula-globula lemak serta partikel-pertikel koloid senyawa kasein dan kalsium fosfat. Warna

kekuningan disebabkan oleh adanya pigmen karoten yang terlarut di dalam lemak susu. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Buckle dkk. (1987) bahwa warna kuning disebabkan oleh kandungan karoten dan riboflavin.

Aroma

Menurut J.K Negara dkk. (2016), aroma merupakan bau yang dihasilkan dari indera penciuman yaitu hidung dan berasal dari rongga hidung, aroma pada keju dihasilkan oleh bakteri asam laktat yang berperan untuk menimbulkan aroma dan asam. Organoleptik dari aroma keju yang diperoleh dari hasil penelitian dapat dilihat pada T abel 7 sebagai berikut:

Tabel 12. Aroma

Dari hasil pengamatan uji organoleptik pada warna keju menunjukkan bahwa pada perlakuan P0 dengan rata-rata skor sebesar 3,1, terdapat 9 dari 20 panelis yang memilih skor 3. Pada perlakuan P1 dengan rata-rata skor 3,1, terdapat 8 dari 20 panelis yang memilih skor 3. Pada perlakuan P2 dengan rata-rata skor 3,15, te rdapat 9 dari 20 panelis yang memilih skor 4. Pada perlakuan P3 dengan rata-rata skor 3,45, terdapat 10 dari 20 panelis yang memilih skor 4.

Hasil analisis sidik ragam uji organoleptik aroma menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan berpengaruh tidak nyata (P > 0,05). Dari hasil pengamatan panelis rata-rata skor tertinggi yaitu pada perlakuan P3 sebesar 3,45 dengan pemilih skor 4 sebanyak 10 dari 20 panelis sedangkan nilai terendah pada

skor aroma keju terdapat pada P1 sebesar 3,1 dengan pemilih skor 3 sebanyak 8 dari 20 panelis, sesuai dengan tabel 12. Aroma yang dihasilkan agak berbau susu, hal ini diduga karena faktor yang mempengaruhi aroma pada susu adalah asam lemak susu. Hal ini sesuai pernyataan Suryani (2013) menyatakan bahwa aroma susu yang khas berasal dari asam lemak yang terdapat dalam susu. Asam lemak pada susu kerbau termasuk asam lemak volatil, asam lemak yang berpengaruh pada bau khas susu kerbau yaitu asam butirat, kaproat, kaplirat, kaprat, dan laurat, diantaranya yang mudah larut adalah asam butirat, kaprilat, dan kaprat. Menurut pendapat Setyawati dkk. (1999) adanya perubahan pada produk olahan susu seperti keju disebabkan karena fermentasi laktosa, sitrat, dan senyawa organik lainnya menjadi bermacam-macam asam, ester, alkohol dan senyawa pembentuk flavor dan aroma yang mudah menguap.

Tekstur

Menurut Sidik dan Prayitno (1979) tekstur adalah nilai raba pada suatu permukaan, baik itu nyata maupun semu. Suatu permukaan mungkin kasar, halus, keras atau lunak, kasar atau licin. Organoleptik dari tekstur keju yang diperoleh dari hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 8 sebagai berikut:

Tabel 13. Tekstur perbedaanyang tidak nyata (P > 0,05).

Dari hasil pengamatan uji organoleptik pada tekstur keju menunjukkan bahwa pada perlakuan P0 dengan rata-rata skor sebesar 4, terdapat 8 dari 20

panelis yang memilih skor 5. Pada perlakuan P1 dengan rata-rata skor 3,15, terdapat 10 dari 20 panelis yang memilih skor 4. Pada perlakuan P2 dengan rata-rata skor 3,1, terdapat 7 dari 20 panelis yang memilih skor 4. Pada perlakuan P3 dengan rata-rata skor 3,4, terdapat 6 dari 20 panelis yang memilih skor 5.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan berpengaruh tidak nyata (P > 0,05). Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa Rata-rata skor tertinggi yaitu pada perlakuan P0 sebesar 4 dengan pemilih skor 5 sebanyak 8 dari 20 panelis sedangkan nilai terendah pada skor tekstur keju terdapat pada P2 sebesar 3,1 dengan pemilih skor 4 sebanyak 7 dari 20 panelis. . Tekstur yang dihasilkan dari pengamatan panelis agak lembut pada perlakuan P1, P2 dan P3 sedangkan pada kontrol perlakuan P0 tekstur pada keju lembut sesuai dengan Tabel 13. Hal ini diduga karena susu kerbau memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi dibandingkan susu sapi dan susu kambing. Susu kerbau memiliki lemak sebesar 7,40 % sehingga tekstur yang dihasilkan cenderung agak lembut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Williamson dan Payne (1993) bahwa sebesar 7,40 %. Menurut Legowo dkk. (2009) bahwa proporsi lemak susu yang tinggi justru akan mengakibatkan tekstur dadih yang lunak, hal ini menjadikan tekstur keju yang lunak pula.

Rasa

Menurut Irmayanti (2016) rasa adalah suatu rangsangan yang dapat dirasakan oleh indera pembau dan perasa secara sama-sama. Penilaian tersebut langsung berhubungan dengan indera manusia, sehingga merupakan salah satu unsur kualitas yang hanya bisa diukur secara subjektif. Organoleptik dari rasa keju yang diperoleh dari hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 8 sebagai berikut:

Tabel 14. Rasa perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01)

Dari hasil pengamatan uji organoleptik pada warna keju menunjukkan bahwa pada perlakuan P0 dengan rata-rata skor sebesar 4,6 terdapat 14 dari 20 panelis yang memilih skor 5. Pada perlakuan P1 dengan rata-rata skor 4, terdapat 10 dari 20 panelis yang memilih skor 4. Pada perlakuan P2 dengan rata-rata skor 2,9, terdapat 15 dari 20 panelis yang memilih skor 3. Pada perlakuan P3 dengan rata-rata skor 2,8, terdapat 18 dari 20 panelis yang memilih skor 4.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan berpengaruh sangat nyata (P < 0,01). Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa skor yang tertinggi terdapat pada P0 yaitu sebesar 4,6 sedangkan skor terendah terdapat pada P3 yaitu sebesar 2,8. Rasa yang dihasilkan dari pengamatan panelis pada keju cenderung agak tidak pahit pada perlakuan P1 sedangkan pada perlakuan P2 dan P3 cenderung pahit sesuai dengan Tabel 14. Hal ini diduga karena didalam pemberian dosis enzim papain memiliki kandungan enzim proteolitik yang berbeda yang dapat mempengaruhi rasa dari keju segar tersebut.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Sulistyo dkk. (2012) Enzim papain sebagai koagulan mempunyai aktivitas proteolitik tinggi sehingga memungkinkan menghidrolisis berlebih. Proses hidrolisis enzim papain yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya rasa pahit (bitter) akibat dari perombakan protein

menjadi beberapa rantai pendek dan asam-asam amino yang memberikan kontribusi terhadap timbulnya rasa pahit (bitter).

Nilai Kesukaan

Menurut Soekarto (1985) pada uji hedonik, panelis dimintakan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya ketidaksukaan. Panelis mengemukakan tanggapan senang, suka atau sebaliknya serta tingkat kesukaannya (skala hedonik). Dalam analisis, skala hedonik ditransformasikan menjadi skala numerik menurut tingkat kesukaan. Organoleptik dari Uji kesukaan keju yang diperoleh dari hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 8 sebagai

Keterangan: Superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P > 0,05)

Dari hasil pengamatan uji organoleptik pada warna keju menunjukkan bahwa pada perlakuan P0 dengan rata-rata skor sebesar 3,45, terdapat 11 dari 20 panelis yang memilih skor 4. Pada perlakuan P1 dengan rata-rata skor 3,2, terdapat 9 dari 20 panelis yang memilih skor 4. Pada perlakuan P2 dengan rata-rata skor 3,3, terdapat 11 dari 20 panelis yang memilih skor 4. Pada perlakuan P3 dengan rata-rata skor 3,3, terdapat 10 dari 20 panelis yang memilih skor 3.

Rata-rata skor tertinggi yaitu pada perlakuan P0 sebesar 3,45 dengan pemilih skor 4 sebanyak 11 dari 20 panelis sedangkan nilai terendah pada skor nilai kesukaan keju terdapat pada P1 sebesar 3,2 dengan pemilih skor 3 sebanyak

10 dari 20 panelis. Dari hasil pengamatan uji organoleptik pada uji kesukaan keju memiliki skor pada perlakuan rennet enzim papain sebesar 3,2 – 3,3 sedangkan pada perlakuan rennet komersil memiliki skor sebesar 3,4.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan tidak nyata (P > 0,05). Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa skor yang tertinggi terdapat pada P0 yaitu sebesar 3,45 sedangkan skor yang terendah terdapat pada P1 yaitu sebesar 3,2 sesuai dengan tabel 15. Hal ini diduga karena respon panelis yang berbeda-beda dalam menentukan suka atau tidak sukanya dalam menilai kesukaan dari keju. Hal ini sesuai dengan penyataan Soekarto (1985) pada uji hedonik, panelis dimintakan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya ketidaksukaan. Panelis mengemukakan tanggapan senang, suka atau sebaliknya serta tingkat kesukaannya (skala hedonik). Dalam analisis, skala hedonik ditransformasikan menjadi skala numerik menurut tingkat kesukaan. Hal ini juga diperkuat oleh Harmianto (1993) nilai hedonik makanan dipengaruhi oleh tekstur, aroma, rasa, dan kenampakan. Semakin baik hal tersebut maka semakin baik pula nilai hedoniknya, yang berarti semakin tinggi daya terima konsumen terhadap makanan.

Rekapitulasi Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pembuatan keju segar dengan koagulan rennet nabati enzim papain memeberikan pengaruh terhadap berat curd, rendemen curd, uji organoleptik meliputi warna, aroma, tekstur, rasa dan nilai kesukaaan. Adapun pengaruh koagulan rennet nabati enzim papain disajikan pada Tabel. 16.

Perlakuan Berat

perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01).

Superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P > 0,05)

Diketahui bahwa perlakuan rennet nabati enzim papain P0 memiliki berat curd 234,4 g, rendemen curd 23,44 %, warna dengan nilai skor 3, aroma dengan nilai skor 3,1, tekstur dengan nilai skor 4, rasa dengan nilai skor 4,6, nilai kesukaan dengan nilai skor 3,45. Pada P1 memiliki berat curd 180,14 g, rendemen curd 18,01 %, warna dengan nilai skor 3,6, aroma dengan nilai skor 3,1, tekstur dengan nilai skor 3,15, rasa dengan nilai skor 4, nilai kesukaan dengan nilai skor 3,2. Pada P2 memiliki berat curd 213,36 g, rendemen curd 21,33 %, warna dengan nilai skor 3,95, aroma dengan nilai skor 3,15, tekstur dengan nilai skor 3,1, rasa dengan nilai skor 2,9, nilai kesukaan dengan nilai skor 3,3. Pada P3 memiliki berat curd 221,72 g, rendemen curd 22,17 %, warna dengan nilai skor 3,85, aroma dengan nilai skor 3,45, tekstur dengan nilai skor 3,4 rasa dengan nilai skor 2,8, nilai kesukaan dengan nilai skor 3,3.

Penggunaan rennet enzim papain dengan dosis 0,2 gram (P2) optimal dan efisien dalam meningkatkan berat curd dan rendemen curd serta uji organoleptik warna. Hal ini disebabkan karena pemberian dengan dosis 0,2 gram sudah efektif dalam pemberian dosis yang diberikan, sebagai bahan alternatif dalam menggantikan rennet komersil untuk menggumpalkan susu dan harga dari rennet tersebut lebih ekonomis dibandingkan rennet komersil.

Dokumen terkait