• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberadaan Tungau Predator Eksotis di dalam dan di luar Rumah Kaca Hasil pengamatan menunjukkan tungau predator eksotis P. persimilis tidak ditemukan di dalam rumah kaca. Berdasarkan informasi yang diperoleh pelepasan tungau predator P. persimilis di dalam rumah kaca, dilakukan terakhir kali pada bulan April tahun 2014. Rentang waktu yang cukup lama antara waktu pelepasan dengan waktu pengamatan ( 7 bulan), menyebabkan populasi P. persimilis

menurun secara drastis sehingga tidak dapat bertahan. Biologi dan karakteristik P. persimilis merupakan faktor penting yang juga berpengaruh terhadap perkembangan populasinya.

P. persimilis termasuk dalam phytoseiid tipe I yang bersifat spesialis terhadap mangsa tungau laba-laba khususnya Tetranychus spp. (Gerson et al. 2003; Zhang 2003). Tungau predator spesialis ini tidak mengkonsumsi makanan tambahan lain seperti nektar, tepung sari atau eksudat tanaman seperti halnya tungau predator generalis. Hal ini menyebabkan perkembangan populasi P. persimilis sangat bergantung pada perkembangan populasi mangsanya, sehingga saat populasi mangsa menurun maka populasi P. persimilisjuga menurun.

Hal tersebut merupakan salah satu keuntungan dari karakteristik agens hayati yang digunakan untuk pengendalian secara augmentatif. Dengan karakteristik tersebut, tungau predator eksotis tidak berpotensi untuk menjadi spesies invasif. Gerson et al. (2003) menyatakan bahwa, populasi P. persimilis

akan menurun seiring dengan menurunnya jumlah populasi mangsa sehingga sangat disarankan untuk digunakan dalam program pengendalian secara augmentatif di dalam rumah kaca.

Tungau predator P. persimilis merupakan tungau predator yang telah dikenal luas dan umum digunakan untuk pengendalian hayati di rumah kaca karena karakteristiknya. Tungau predator tersebut memiliki kemampuan untuk menekan populasi tungau hama dengan cepat terutama apabila dilepas saat populasi hama tinggi, namun populasinya akan cepat menurun saat populasi hama rendah (Cross et al. 2001). Penggunaan tungau predator P. persimilis terlihat seperti pestisida sehingga sering disebut dengan living pesticideatau biopesticide

karena dapat memberikan pengaruh yang sangat cepat tetapi hanya memiliki efek jangka pendek atau short term effect (Gerson et al. 2003). Menurut Cross et al. (2003), P. persimilis tidak dapat bertahan pada musim dingin sehingga harus dilepaskan pada setiap musim tanam. Untuk itulah pelepasannya harus dilakukan secara periodik untuk menjamin keberhasilan program pengendalian hayati tungau laba-laba di dalam rumah kaca.

Menurut petunjuk penggunaan dari produsen agens hayati tersebut, pengaplikasian atau pelepasan P. persimilis harus dilakukan secara berkala atau periodik. Hal tersebut menjadi salah satu kelemahan karena program pengendalian hama menjadi kurang efisien ditinjau dari segi teknis dan ekonomis. Kemungkinan faktor lain yang menyebabkan tidak ditemukannya P. persimilis

yaitu, kemungkinan adanya kompetisi interspesies dengan predator lokal salah satunya N. longispinosus atau artopod predator lainnya yang turut mempengaruhi populasi tungau predator eksotis tersebut.

Pengamatan terhadap keberadaan tungau predator eksotis P. persimilis di luar rumah kaca dilakukan pada lingkungan di sekitar rumah kaca dan perkebunan stroberi. Pengamatan dilakukan pada tanaman rapsberi, teh, ubi kayu dan berbagai jenis gulma seperti Ageratum conyzoides (L.) (Asterales: Asteraceae),

Chromolaena odorata (L.) (Asterales: Asteraceae), Axonopus compressus (Sw.) (Poales: Poaceae), Boreria alata (Aubl.) (Gentianales: Rubiaceae), Digitaria adsendence (L.) (Poales: Poaceae), dan Paspalum conjugatum (L.) (Poales: Poaceae).

Kelompok Artopoda fitofag yang ditemukan yaitu Aphis spp. (Hemiptera: Aphididae), Thrips spp. (Thysanoptera: Thripidae), Frankliniela intonsa

(Thysanoptera: Thripidae), Hyposidra talaca (Lepidoptera: Geometridae),

Olygonychus coffeae, T. kanzawai, T. urticae (Acari: Tetranychidae). Kelompok Artopoda predator yang ditemukan yaitu N. longispinosus(Acari: Phytoseiidae),

Sterorus spp. (Coccinelidae: Coleoptera), larva Cecidomyiid (Diptera: Cecidomyidae), larva Chrysopid (Neuroptera: Chrysopidae), Formicid (Hymenoptera: Formicidae), dan Oligotaspp. (Coleoptera: Staphylinidae) (Tabel 1). Beberapa diantara artopod predator tersebut, juga berperan sebagai predator tungau laba-laba yaitu N. longispinosus, larva Cecidomyiid, larva Chrysopid, dan

Oligotaspp.

Tabel 1 Jenis artopod fitofag dan predator yang ditemukan pada habitat di luar rumah kaca dan perkebunan stroberi

Jenis Artopoda Ordo Famili Habitat

Rapsbery Teh Ubi kayu Gulma A. Predator

Neoseiulus longispinosusAcari Phytoseiidae -

-Oligotaspp. Coleoptera Staphylinidae - -

-Sterorusspp. Coleoptera Coccinelidae -

Cecidomyid Diptera Cecidomyidae - - -Formicid Hymenoptera Formicidae Chrysopid Neuroptera Chrysopidae - - -B. Fitofag

Tetranychus kanzawai Acari Tetranychidae - -

-Tetranychus urticae Acari Tetranychidae -

-Olygonychus coffeae Acari Tetranychidae - -

-Aphis spp. Hemiptera Aphididae -

Trips spp. Thysanoptera Thripidae -

-Frankliniela intonsa Thysanoptera Thripidae - -

-Hyposidra talaca Lepidoptera Geometridae - -

Tungau predator yang ditemukan pada sampel tanaman merupakan tungau predator lokal yaitu N. longispinosus. Tungau predator ini banyak ditemukan pada tanaman ubi kayu dan rapsberi di sekitar perkebunan stroberi. Pada tanaman ubi kayu tungau ditemukan berasosiasi dengan T. kanzawaisedangkan pada tanaman rapsberi ditemukan berasosiasi dengan T. urticae. Tungau hama T. kanzawai

sangat intens ditemukan pada tanaman ubi kayu dengan populasi yang cukup tinggi. Sementara T. urticae ditemukan pada stroberi dan rapsberi. Menurut 16

Santoso (2015, komunikasi pribadi) tungau hama T. urticae umumnya berada pada tanaman yang dibudidayakan di dataran tinggi seperti krisan, mawar, dan stroberi, sementara T. kanzawai cenderung ditemukan pada tanaman budidaya dataran rendah seperti ubi kayu. N. longispinosus banyak ditemukan berasosiasi dengan T. kanzawaipada tanaman ubi kayu, hal ini dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan pembiakan masal atau rearing N. longispinosus menggunakan

T. kanzawaisebagai alternatif mangsa selain T. urticae.

Agens hayati memiliki peluang untuk keluar dari lingkungan pengujian. Salah satunya karena faktor kemampuan pemencaran dari agens hayati tersebut. Pemencaran agens hayati dapat terjadi secara aktif dan pasif. Menurut Jung (2005) tungau predator phytoseiid memiliki 2 mode penyebaran yaitu ambulatory dispersaldan aerial dispersal. Hasil penelitian Jung (2005) menunjukkan bahwa, tungau predator spesialis P. persimilis memiliki kemampuan bergerak (walking activity) dan aerial dispersal yang lebih tinggi dibandingkan tungau predator generalis Neoseiulus fallacis dan N. californicus. Menurut Hoy (2011) tungau predator P. persimilis memiliki tungkai yang panjang dan sangat aktif bergerak dan diketahui dapat bergerak (walking) dari daun ke daun, tanaman ke tanaman, dan dapat bergerak beberapa meter diatas tanah dari tanaman budidaya ke gulma atau sebaliknya. Beberapa tungau phytoseiid dan tetranychid juga memiliki kemampuan aerial dispersal. Hasil penelitian Hoy (2011) menunjukkan bahwa,

Metaseilus occidentalis (Acari: Phytoseiidae) dan tungau laba-laba ditemukan terperangkap pada perangkap lekat (stick trap) yang berjarak 200 meter dari pertanaman anggrek. Untuk alasan inilah keamanan dari rumah kaca sangat diperlukan terutama jika digunakan untuk lingkungan pengujian agens hayati eksotis.

Keamanan lingkungan pengujian merupakan hal penting dalam pengendalian hayati secara augmentatif di dalam rumah kaca. Hal ini bertujuan untuk mencegah agens hayati eksotis keluar dari lingkungan pengujian menjadi spesies invasif. Tidak ditemukannya P. persimilis di luar rumah kaca menunjukkan bahwa rumah kaca tersebut memiliki tingkat keamanan yang cukup baik dalam mencegah keluarnya tungau predator dari lingkungan pengujian. Menurut Van Lenteran et al. (2006), program pengendalian T. urticae

menggunakan P. persimilis efektif selama beberapa dekade tanpa ditemukan keberadaan tungau predator tersebut di luar rumah kaca dan dampak yang merugikan bagi fauna asli pada iklim dingin di Eropa Barat. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Gerson et al. (2003), bahwa tungau predator P. persimilisdapat mengendalikan tungau laba-laba pada berbagai tanaman pada daerah temperate dan subtropis, serta tidak dapat menetap pada flora asli.

Di beberapa negara terdapat beberapa kasus yang dilaporkan tentang kemampuan menetap tungau predator eksotik, namun hal tersebut sangat jarang terjadi. Walter et al. (2006) melaporkan bahwa, P. persimilis, A. californicusdan

M. occidentalis dapat menetap pada beberapa lokasi setelah pelepasan predator secara augmentatif. Namun demikian, walaupun P. persimilis dapat menetap di Australia, tetapi predator tersebut tidak dapat masuk lebih jauh ke dalam hutan hujan (Walter et al. 2006).

Perkembangan Populasi Tungau Predator Lokal dan Tungau Hama di dalam Rumah Kaca

Hasil pengamatan menunjukkan tidak ditemukan tungau predator eksotis P. persimilis di dalam rumah kaca dan hanya ditemukan tungau predator lokal N. longispinosus. Gambar 10 menunjukkan perkembangan populasi tungau predator lokal N. longispinosusdan tungau hama T. urticae pada blok pelepasan tungau predator eksotis dan blok tanpa pelepasan selama 8 minggu pengamatan.

Gambar 10 Rata-rata populasi N. longispinosus dan T. urticae pada (A) blok pelepasan predator eksotis dan (B) blok tanpa pelepasan selama 8 minggu pengamatan 0 10 20 30 40 50 60 70 80 1 2 3 4 5 6 7 8 R at a-ra ta p op ul as i (i nd iv id u/ da un ) Minggu Pengamatan N. longispinosus T. urticae 0 10 20 30 40 50 60 70 80 1 2 3 4 5 6 7 8 R at a-ra ta p op ul as i (i nd iv id u/ da un ) Minggu Pengamatan N. longispinosus T. urticae A B 18

Pada blok pelepasan predator eksotis, populasi N. longispinosus cenderung semakin menurun hingga pengamatan minggu terakhir (Gambar 10A). Rata-rata populasi N. longispinosus tertinggi pada minggu ke-3 yaitu sebanyak 5.47 individu per daun dan terendah pada minggu ke-8 sebanyak 0.23 individu per daun (Gambar 10A). Rata-rata N. longispinosus semakin meningkat hingga minggu ke-5 dan merupakan populasi tertinggi yaitu sebanyak 3.65 individu per daun. Populasi N. longispinosus terendah pada minggu ke-2 sebanyak 0.10 individu per daun (Gambar 10B). Populasi N. longispinosus kemudian menurun hingga minggu terakhir pengamatan (Gambar 10B).

Tungau predator N. longispinosus termasuk dalam phytoseiid tipe II yang memangsa tidak hanya tungau laba-laba Tetranychusspp. tetapi juga spesies lain yang menghasilkan sedikit jaring dan mengkonsumsi nektar serta eksudat tanaman (Gerson et al. 2003). Hal ini diduga sebagai penyebab N. longispinosus

dapat bertahan dengan baik karena mampu bertahan pada rentang makanan yang bervariasi. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Cross et al. (2001) bahwa

Neoseiulusspp. memiliki kemampuan untuk bertahan pada rentang makanan yang bervariasi sehingga mampu menjaga keseimbangan antara predator dan mangsanya dalam jangka waktu yang cukup lama dan beberapa spesies juga dapat mengendalikan tungau tarsonemid. N. longispinosus juga merupakan spesies asli atau lokal sehingga telah beradaptasi dengan lingkungannya.

Strand (1994) menyatakan bahwa Neoseiulus californicusMcGregor (Acari: Phytoseiidae) dapat bertahan dengan memakan nektar tetapi tidak dapat berkembang biak jika tidak ada tungau laba-laba sehingga jumlahnya tidak menurun drastis seperti P. persimilis ketika populasi tungau hama berkurang. Menurut Cross et al. (2001) tungau predator P. persimilis tetap menjadi predator yang efektif untuk mengendalikan T. urticae khususnya untuk stroberi yang dibudidayakan di dalam naungan yang terlindungi. Sehingga untuk pengendalian secara augmentatif agens hayati yang bersifat spesialis akan lebih cocok dibandingkan predator yang bersifat generalis. Sementara phytoseiid lainnya seperti Neoseiulus spp. menjadi alternatif terbaik untuk mengendalikan tungau laba-laba pada beberapa kondisi tertentu.

N. longispinosus dianggap cukup berpotensi untuk dikembangkan sebagai agens pengendali hayati T. urticae. Salah satu caranya dengan melakukan teknik konservasi terhadap tungau predator lokal tersebut. Teknik konservasi merupakan salah satu teknik pengendalian hayati dengan memanfaatkan keberadaan agens hayati lokal. Teknik konservasi dapat dilakukan dengan cara memodifikasi lingkungan yang sesuai untuk perkembangan tungau predator lokal N. longispinousus. Salah satunya dengan pemeliharaan jenis gulma yang berbunga sebagai pakan tambahan untuk N. longispinosus. Pengembangan tungau predator lokal N. longispinosus memiliki keuntungan yaitu lebih efisien dan ekonomis karena tidak perlu melakukan importasi. Pemeliharaan atau rearing untuk mencapai kuantitas produksi yang cukup digunakan untuk pengendalian hayati tungau laba-laba menjadi tantangan tersendiri.

Menurut Alatawi et al. (2011), dalam program pengendalian hayati secara augmentatif, efisiensi predator dalam menemukan dan mengkonsumsi mangsa dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan termasuk distribusi dari mangsa. Untuk itulah pemantaun populasi hama untuk mengetahui populasi dan distribusi 19

mangsa sebelum predator eksotis dilepaskan menjadi sangat penting untuk keberhasilan program pengendalian hama secara augmentatif.

Efektifitas dari tungau predator dalam menekan populasi tungau hama diduga dipengaruhi oleh musim. Hasil penelitian Mori & Saito (1979), menyatakan bahwa terdapat perbedaan tingkat penekanan terhadap populasi T. urticae oleh P. persimilis dan Amblyseius longispinosuspada musim panas dan musim gugur di dalam rumah kaca. Tingkat penekanan populasi T. urticaepada musim gugur oleh 2 spesies phytoseiid tersebut lebih rendah dibandingkan pada musim panas dan diketahui bahwa P. persimilisberperan lebih efektif dibanding

A. longispinosuspada musim gugur (Mori & Saito 1979). Hasil penelitian Mori & Saito (1979) juga menunjukkan bahwa kepadatan populasi T. urticae tertekan pada tingkat yang rendah oleh P. persimilis dan A. longispinosus yang diintroduksikan secara berkala. Hal tersebut diduga disebabkan oleh pengaruh musim yang berimplikasi terhadap dinamika populasi tungau hama dan musuh alaminya. Dengan adanya perkembangan populasi tungau hama akibat pengaruh musim menyebabkan populasi tungau predator ikut terpengaruh.

Pada blok pelepasan predator eksotis, rata-rata populasi T. urticae

cenderung semakin menurun hingga pengamatan minggu terakhir (Gambar 10A). Populasi T. urticaetertinggi pada minggu ke-1 sebanyak 70.53 individu per daun, sementara populasi terendah pada minggu ke-8 sebanyak 6.83 individu per daun. Menurunnya populasi T. urticaediduga dipengaruhi oleh semakin meningkatnya umur tanaman dan musim. Pada blok yang dilepaskan dengan tungau predator eksotis P. persimilis umur tanaman stroberi mencapai ‰ 10 bulan. Umumnya pergantian tanaman stroberi dilakukan pada saat umur tanaman mencapai 1 tahun atau lebih. Populasi T. urticaeakan menurun seiring dengan meningkatnya umur tanaman. Faktor lain yang mempengaruhi adalah waktu pengambilan sampel tanaman. Pengambilan sampel dilakukan menjelang musim hujan (November-Desember 2014). Pada musim hujan populasi tungau hama umumnya akan semakin menurun. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Zhang (2003), bahwa pada saat musim kemarau aktivitas makan dan reproduksi T. urticae

meningkat secara signifikan dan sebaliknya pada musim hujan aktivitas makan dan reproduksi akan menurun.

Pada blok tanpa pelepasan, secara umum populasi T. urticae cenderung berfluktuasi dan semakin menurun hingga pengamatan minggu terakhir (Gambar 10B). Populasi T. urticae menurun pada minggu ke-2 kemudian meningkat kembali pada minggu ke-3 yang merupakan populasi tertinggi sebanyak 71.70 individu per daun. Populasi T. urticae kemudian semakin menurun hingga pengamatan minggu terakhir (Gambar 10B). Populasi T. urticaeterendah adalah pada minggu ke-8 sebanyak 0.94 individu per daun. Pada saat populasi T. urticae

menurun secara drastis pada minggu ke-6 populasi N. longispinousus mencapai populasi tertinggi pada minggu ke-5 dan ke-6. Menurunnya populasi T. urticae

diduga dipengaruhi dengan semakin meningkatnya umur tanaman dan musim saat pengambilan sampel. Pada blok tanpa pelepasan, umur tanaman stroberi mencapai ‰ 7 bulan atau lebih muda dibandingkan umur tanaman stroberi pada blok pelepasan. Sehingga bila dilihat populasi T. urticae pada blok tanpa pelepasan cenderung lebih tinggi pada setiap pengamatan dibanding pada blok yang dilepaskan kecuali pada minggu terakhir pengamatan. Faktor lain yang 20

mempengaruhi, diduga karena pada blok pelepasan predator eksotis P. persimilis, populasi T. urticaetelah mengalami penekanan oleh predator eksotis tersebut.

Praktek pengendalian kimiawi dan teknik budidaya yang dilakukan, diduga juga mempengaruhi perkembangan populasi tungau predator dan tungau hama di dalam rumah kaca. Selain pengendalian hayati, aplikasi akarisida juga masih dilakukan di dalam rumah kaca. Sehingga berpengaruh terhadap perkembangan populasi tungau hama T. urticae tersebut. Pemeliharaan dengan teknik pemangkasan (pruning) yaitu dengan menyingkirkan daun stroberi yang sudah tua atau kering, dapat mempengaruhi perkembangan populasi tungau hama dan tungau predator apabila daun yang disingkirkan tersebut terinfestasi oleh tungau hama.

Kemampuan Memangsa N. longispinosus

Rata-rata pemangsaan tungau predator N. longispinosus terhadap tungau hama T. urticae tidak berbeda nyata dengan mangsa T. kanzawai (P=0.486), sementara rata-rata pemangsaan antara fase deutonimfa dan imago betina predator berbeda nyata (P<0.05) dan rata-rata pemangsaan terhadap fase telur dan imago betina hama berbeda nyata (P<0.05) (Lampiran 1). Rata-rata telur T. urticaedan

T. kanzawai yang dimangsa imago betina predator sebanyak 14.15 1.87 butir dan 15.15 1.20 butir secara nyata (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan telur yang dimangsa oleh deutonimfa predator (9.00 2.03 butir dan 9.15 1.14 butir telur) (Tabel 2). Rata-rata imago betina T. urticae dan T. kanzawai yang dimangsa deutonimfa predator (1.05 0.32; 1.05 0.41 ekor) tidak berbeda nyata dengan imago betina predator (1.95 0.32; 2.15 0.57 ekor) (Tabel 2). Tingkat pemangsaan terendah adalah pada fase deutonimfa predator yang memangsa 1.05

0.32 ekor dan 1.05 0.41 ekor imago betina T. urticaedan T. kanzawai.

Tabel 2 Rata-rata telur dan imago betina T. urticae dan T. kanzawai yang dimangsa deutonimfa dan imago betina N. longispinosus

Fase

N.longispinosus

Jumlah fase yang dimangsa SDa

T. urticae T. kanzawai

Telur Imago betina Telur Imago betina Deutonimfa 9.00 2.03 b 1.05 0.32 c 9.15 1.14 b 1.05 0.41 c Imago betina 14.15 1.87 a 1.95 0.32 c 15.15 1.20 a 2.15 0.57 c a Rata-ratayang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Tukey α = 0.05

Tingkat pemangsaan N. longispinosus baik fase deutonimfa maupun fase imago betina terhadap mangsa berupa telur lebih tinggi dibandingkan mangsa berupa imago T. urticae dan T. kanzawai. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Puspitarini (2005) yang menyatakan bahwa rata-rata telur Panonychus citri

McGregor (Acari: Tetranychidae) yang dimangsa deutonimfa dan imago betina A. longispinosus secara nyata lebih tinggi dibandingkan nimfa P. citri. Fase imago betina A. longispinosus dapat memangsa 9.8 ‰ 2.50 sementara fase deutonimfa memangsa 4.00 ‰ 0.70 butir telur (Puspitarini 2005). Umumnya tungau phytoseiid lebih banyak mengkonsumsi telur dibanding larva, nimfa atau imago Tetranychidae (McMurty & Rodriguez 1987). Hasil penelitian Rachman (2011) 21

menunjukkan bahwa sebagian besar imago N. longispinosus lebih banyak dijumpai pada daun yang berisi telur T. kanzawai yang menunjukkan bahwa predator memiliki ketertarikan yang cukup tinggi terhadap mangsa dalam fase telur.

Tungau predator lebih banyak memangsa fase telur karena lebih mudah untuk memangsa telur dibandingkan fase imago yang aktif bergerak dan berkaitan dengan kandungan nutrisi fase mangsa. Mangsa pada fase nimfa dan imago aktif bergerak dan sering memberikan perlawanan sehingga untuk menangkap dan memangsanya diperlukan waktu dan energi yang lebih banyak (Huffacker et al.

1970). Mangsa yang berbeda menyediakan kandungan nutrisi yang berbeda pula (Hoy 2011). Fase telur diketahui memiliki kandungan protein yang tinggi (Sabelis 1985). Kandungan protein telur yang tinggi dibutuhkan oleh imago betina predator untuk pembentukan telur. Pemangsaan predator terhadap telur atau fase pradewasa dari mangsa sangat membantu dalam menekan perkembangan populasi hama.

Tingkat pemangsaan juga ditentukan oleh faktor suhu (Rahman et al. 2012). Tingkat pemangsaaan A. longispinosus terhadap Aponycus corpuzae Rimando (Acari : Tetranychidae) dan Schizotetranychus nanjingensis Ma & Yuan (Acari : Tetranychidae) ditentukan oleh suhu (Zhang et al. 1998; Zhang et al. 1999). Tungau predator A. longispinosus efektif mengendalikan A. corpuzae pada rentang suhu 15 ƒC sampai 35 ƒC dan paling efektif pada suhu 25 ƒC (Zhang et al. 1998). Hasil penelitian Zhang et al. (1999) menunjukkan bahwa A. longispinosus

efektif mengendalikan S. nanjingensis pada suhu 30-35 ƒC dan tetapi kurang efektif pada suhu 10-15 ƒC. Dapat disimpulkan bahwa tingkat pemangsaan N. longispinosus lebih efektif pada suhu tinggi dibandingkan suhu rendah. Pada pengujian ini suhu rata-rata laboratorium adalah 29 ƒC dan dapat dianggap merupakan suhu yang optimal bagi N. longispinosusuntuk memangsa T. urticae

dan T. kanzawai.

Efesiensi pemangsaan diduga juga terkait dengan efisiensi pencarian mangsa oleh predator. Menurut Huffaker (1971) predator melakukan pencarian mangsa secara acak sampai terjadi kontak dengan mangsa. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Krips et al. (1999), bahwa Phytoseiulus persimilis melakukan pencarian mangsa secara acak. Sebagian besar tingkah laku pemangsa cenderung mencari mangsa yang mempunyai sifat berkelompok daripada mangsa yang sifatnya terpencar (Marchal et al. 1996). Pencarian mangsa oleh predator juga dipengaruhi oleh keadaan permukaan daun. Hasil penelitian Krips et al. (1999) menunjukkan bahwa efisiensi pencarian P. persimilis terhadap mangsanya pada

Gerbera sp. dipengaruhi oleh kepadatan trikoma pada permukaan daun. Permukaan arena percobaan berupa daun stroberi diketahui memiliki trikoma yang cukup banyak, sehingga cukup mempengaruhi efisiensi pencarian mangsa. Luas dari arena percobaan dan kepadatan mangsa juga merupakan faktor yang mempengaruhi efisiensi pencarian mangsa oleh predator. Arena percobaan daun stroberi berukuran 2 cm x 2 cm. Pada arena percobaan yang berbeda luasan maka efesiensi predator dalam mencari mangsa akan berbeda juga.

McMurty & Rodriguez (1987) menyatakan bahwa, tingkat kelaparan mempengaruhi rasio pertemuan dan penangkapan mangsa oleh predator. Krips et al. (1999) juga menyatakan bahwa rata-rata pemangsaan tergantung pada rata-rata pertemuan antara predator dengan mangsanya dan motivasi predator untuk 22

memangsa mangsa yang ditemuinya. Pada percobaan, tungau predator N. longispinosus telah dilaparkan selama 6 jam sebelum perlakuan. Perlakuan tersebut diduga dapat mempengaruhi tingkat pemangsaan tungau predator.

Berdasarkan hasil pengujian, N. longispinosusmemiliki tingkat pemangsaan yang sama atau tidak berbeda nyata (P=0.486) terhadap T. urticae dan T. kanzawai (Lampiran 1). Kedua mangsa tersebut masih tergolong dalam satu famili Tetranychidae sehingga tingkat pemangsaan N. longispinosus tidak berbeda. Berdasarkan hasil tersebut tungau hama T. kanzawai berpotensi digunakan untuk pembiakan atau rearing N. longispinosussebagai mangsa selain

T. urticae. Hal ini karena T. kanzawai cukup mudah ditemui dan dikembangbiakan pada tanaman ubi kayu sehingga lebih efisien dan ekonomis dibandingkan dengan pengembangbiakan N. longispinosus dengan mangsa T. urticaepada tanaman stroberi.

Pengaruh Fase Mangsa terhadap Tingkat Oviposisi N. longispinosus

Gambar 11 menunjukkan rata-rata telur yang diletakkan imago betina N. longispinosuspada saat diberi mangsa dengan fase yang berbeda. Rata-rata telur yang diletakkan imago betina predator N. longispinosus pada saat diberikan mangsa telur secara nyata lebih tinggi (P<0.05) dibanding dengan saat diberi mangsa imago betina T. urticae dan T. kanzawai (Lampiran 2). Saat diberikan mangsa telur T. urticae dan T. kanzawai imago betina N. longispinosus

meletakkan rata-rata 2.00  0.39 dan 1.80  0.73 butir telur, sedangkan saat diberikan mangsa imago betina T. urticae dan T. kanzawai predator hanya meletakkan 0.90 0.13 dan 0.70 0.20 butir telur per hari (Gambar 11). Umumnya phytoseiid dapat menghasilkan 2-4 telur perhari dengan total 20-50 telur per imago betina selama hidupnya (Hoy 2011).

Gambar 11 Rata-rata ( SD) telur yang diletakkan oleh imago betina N. longispinosuspada saat diberi mangsa dengan fase berbeda

Hasil pengujian ini sesuai dengan hasil penelitian Oliviera et al. (2007) yang menunjukkan rata-rata oviposisi P. macropilis Banks (Acari: Phytoseidae) tertinggi saat diberikan mangsa telur dan kombinasi telur dan imago T. urticae.

0 0.5 1 1.5 2 2.5 T. urticae T. kanzawai R at a-ra ta te lu r N . lo n g ip si n o su s (b ut ir /h ar i) Jenis mangsa Telur Imago a b b a 23

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Bruce-Oliver & Hoy (1990), bahwa imago betina M. occidentalismemproduksi lebih banyak telur saat diberi mangsa telur dibandingkan fase aktif (larva, nimfa dan imago). Diduga kandungan nutrisi pada telur sangat dibutuhkan dan penting bagi siklus hidup tungau predator terutama

Dokumen terkait