• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Pembahasan

Dari hasil penelitian di wilayah Kecamatan Afulu Kabupaten Nias Utara dengan sampel 96 orang maka diperoleh status gizi baik sebesar 61,4%, namun terdapat balita yang mempunyai status gizi kurang sebesar 37,5%. Hasil ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan target MDGs tahun 2015 secara nasional bahwa status gizi kurang dan gizi buruk pada balita harus ditekan hingga 15% dan juga target Pemerintah Provinsi Sumatera Utara tahun 2015 dalam RAD-PG harus dibawah 15,5% maka masalah status gizi balita belum seluruhnya optimal. Oleh sebab itu masalah ini tidak hanya menimbulkan masalah kesehatan saja tetapi juga menjadi ancaman penurunan sumber daya manusia.

Dari hasil penelitian yang diperoleh bahwa status gizi kurang di Kecamatan Afulu Kabupaten Nias Utara dapat disebabkan oleh beberapa faktor baik dari ibu maupun dari balita itu sendiri. Dengan demikian gambara faktor- faktor yang mempengaruhi status gizi balita adalah tingkat pendidikan yang rendah dimana pendidikan ini merupakan pendidikan formal yang sama halnya dengan daerah lain diluar wilayah penelitian. Terbukti bahwa 81,2% ibu yang mempunyai tingkat pendidikan rendah. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan menginplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan perbaikan gizi. Hasil penelitian ini dapat dikuatkan dengan penelitian Ernawati (2006) membuktikan bahwa pendidikan sangat mempengaruhi penerimaan informasi tentang gizi.

Selain itu tingkat pendidikan juga ikut menentukan mudah tidaknya seseorang menerima suatu informasi dan pengetahuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 59,4% ibu yang berpengetahuan rendah. Menurut Oetoro (2011) bahwa masalah gizi kurang pada balita disebabkan oleh ketidaktahuan, ketidakmampuan dan ketidakmauan dari orangtua. Ketidaktahuan terjadi akibat minimnya pengetahuan orangtua mengenai panduan gizi. Hal ini dikuatkan oleh penelitian Ihsan (2012) bahwa pengetahuan ibu tentang gizi merupakan faktor resiko balita gizi kurang. Pengetahuan ibu tentang gizi dapat memberikan kontribusi dan pengaruh terhadap sikap dan perilaku anak terhadap kebiasaan makannya yang pada akhirnya berpengaruh pada keadaan gizinya (Soekirman, 2001). Hasil ini sejalan dengan teori Notoatmodjo (2007) bahwa pengetahuan merupakan domain yang sangat penting bagi terbentuknya perilaku seseorang karena perilaku yang didasari pengetahuan akan bertahan daripada yang tidak didasari pengetahuan.

Kekurangan gizi juga dapat disebabkan oleh ketidakmampuan dari orangtua yang biasanya dialami oleh masyarakat golongan menengah kebawah. Ketidakmampuan tersebut akibat faktor ekonomi keluarga yang pas-pasan sehingga tidak mampu membeli makanan bergizi (Oetoro, 2011). Terbukti dengan hasil penelitian bahwa pendapatan keluarga sebagaian besar yaitu 75% yang memiliki pendapatan berada dibawah UMR wilayah Kabupaten Nias Utara. Masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah biasanya berpotensi lebih rentan terhadap malnutrisi, hal tersebut bisa terjadi karena orang dengan tingkat ekonomi

rendah sulit dalam penyediaan pangan keluarga sehingga sulit untuk mendapatkan makanan dengan nilai gizi yang bisa dibilang layak (Supariasa, 2002).

Selain itu pengaruh tingkat pendapatan dengan jumlah anak sangat erat kaitannya sehingga penyediaan makanan untuk keperluan balita tidak dapat terpenuhi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 63,5% ibu yang mempunyai jumlah anak >2 orang. Menurut Nurainun (2004) menunjukkan bahwa semakin kecil jumlah anggota keluarga, kemampuan utnuk menyediakan makanan yang beragam bagi balitanya semakin besar, karena tidak terlalu membutuhkan biaya yang cukup besar jika dibanding dengan jumlah anak yang lebih banyak.

Status gizi kurang juga ditimbulkan oleh faktor lingkungan yaitu riwayat infeksi yang sinergis dengan malnutrisi (Supariasa, 2002). Terbukti dengan hasil penelitian bahwa 64,6% balita mengalami riwayat infeksi dalam tiga bulan terakhir. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi balita baik secara kualitas maupun kuantitas (Supariasa, 2002). Dari hasil penelitian maka diperoleh 51,0% balita yang mendapat konsumsi makanan dengan kategori kurang. Maka dengan demikian anak yang mendapat makanan cukup tetapi sering diserang penyakit infeksi akhirnya dapat menderita kekurangan gizi. Sebaliknya anak yang makan tidak cukup, daya tahan tubuh nya akan melemah sehingga dalam keadaan demikian mudah terserang penyakit infeksi. Itu artinya riwayat infeksi dan konsumsi makanan sangat bersinergis dalam mempengaruhi status gizi balita (Soekirman, 2001). Hasil ini dikuatkan oleh penelitian Ihsan (2012) bahwa ada hubungan yang signifikan penyakit infeksi dengan status gizi balita.

Keadaan demikian disebabkan oleh hilangnya nafsu makan penderita infeksi hingga masukan zat gizi, energi kurang dari kebutuhannya. Setiap makanan mengandung zat gizi yang bervariasi dan hal ini tergantung jenis dan jumlah zat gizi tersebut. Setiap jenis pangan paling sedikit mengandung satu jeniz zat gizi dengan kadar relatif yang berbeda, ada yang rendah dan ada yang tinggi. Jenis-jenis zat gizi adalah sumber hidarat arang, protein hewani dan nabati, sayuran, buahan, susu dan minyak (Supariasa, 2002). Hal ini dikuatkan oleh penelitian Ernawati (2006) bahwa semakin tinggi frekuensi konsumsi makanannnya semakin baik pula status gizinya dan sebaliknya maka tidak dipungkiri lagi bahwa masukan zat gizi terutama energi dan protein dapat mempengaruhi gizi seseorang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 53,1% ibu balita yang melakukan higienitas makanan balita dengan kategori kurang. Itu artinya perlakuan ibu dalam kebersihan dalam mengelola bahan makanan, penyimpanan sampai penyajian makanan balita di wilayah Kecamatan Afulu Kabupaten Nias Utara masih belum optimal. Cousins dkk (2002) mengemukakan bahwa ada beberapa motivasi atau alasan mengapa balita memutuskan untuk makan suatu makanan yaitu kenyamanan (convenience). Perilaku higienitas makanan sangat berpengaruh dengan berbagai macam penyakit saluran pencernaan misalnya diare. Menurut penelitian Pradipta (2013) menunjukkan bahwa anak yang tidak higienis makanannya mengalami diare sebanyak 83,05%. Menurut Mini shet dan Monika

Obrah (2006) dalm Pradipta (2013) dalam “Diarrhea Prevention Through Food Safety Education” bahwa makanan yang kurang bersih serta tidak higienis dapat

meningkatkan kejadian diare. Sebagian besar diare pada balita dapat disebabkan oleh infeksi rotavirus, bakteri dan parasit juga. Sehingga penyakit diare dapat berpengaruh dengan status gizi balita itu sendiri (Supariasa,2002). Orangtua sangat berperan besar dalam higienitas makanan balita agar tidak terkontaminasi dengan bakteri, virus dan parasit. Mulai dari kebersihan alat makan balita sampai pada penyajian makanan balita.

Dokumen terkait