BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2 Pembahasan
Bologna guideline 2013 merupakan suatu konsensus terhadap penegakkan diagnosis dan manajemen sumbatan usus halus akut akibat adhesi yang
dikeluarkan oleh World Society of Emergency Surgery (WSES) pada tahun 2010 dan direvisi pada tahun 2013. Konsensus ini bertujuan untuk mengembangkan
suatu algoritma terapi konservatif dalam penangan pasien dengan sumbatan usus
halus akut yang lebih aman, dan juga menentukan kapan indikasi untuk dilakukan
tindakan operatif.
Ada beberapa guideline yang ada dalam penangan sumbatan usus halus akut akibat adhesi. Selain Bolgona guideline tahun 2013 juga ada guideline yang dikeluarkan oleh Eastern Association for Surgery of Trauma (EAST) tahun 2012 yang juga mengutamakan tindakan konservatif non operatif terhadap kasus
sumbatan usus halus akut akibat adhesi. Perbedaan yang paling mendasar dari
kedua guideline ini adalah dalam hal penggunaan CT-Scan sebagai alat bantu dalam menegakkan diagnosis sumbatan usus halus akut. Pada guideline yang dikeluarkan oleh EAST mengharuskan dilakukannya CT-Scan abdomen terhadap
semua pasien dengan sumbatan usus halus akut, sedangkan penggunaan CT-Scan
abdomen pada Bologna guideline merupakan pilihan apabila tidak didapatkan hasil yang konklusif terhadap adanya sumbatan usus halus akut akibat adhesi
setelah dilakukan anamnesis, pemeriksan fisik, dan foto polos abdomen.
Penulis memilih untuk menggunakan Bologna guideline karena lebih sesuai dengan kondisi di RSUP H.Adam Malik, dimana penggunaan CT-Scan
abdomen sangat selektif. Selain itu, Bologna guideline lebih aplikatif dan lebih mudah untuk diterapkan karena pada guideline tersebut sangat jelas alur dan
algoritma dalam menegakkan diagnosis dan menajemen pasien dengan sumbatan
usus halus akut akibat adhesi.
Selama bulan Desember 2013 hingga Februari 2014 didapatkan 14 kasus
sumbatan usus halus akibat adhesi pasca operasi. Tindakan non operatif dalam
penanganan ileus obstruktif karena adhesi dengan menggunakan Bologna guideline yang dilakukan terhadap 14 pasien secara keseluruhan didapatkan tingkat keberhasilan sebesar 92,85%.
Untuk kasus dengan parsial obstruksi didapakan keberhasilan hingga
100%, dimana tidak ada pasien dengan sumbatan usus halus parsial yang
dilakukan tindakan operatif. Pada kasus sumbatan usus halus total didapatkan 2
pasien. Sumbatan usus halus total didapatkan setelah dilakukan pemeriksaan
water soluble follow through tidak ada dijumpai adanya kontras di saekum setelah 24 jam foto kontrol. Satu orang dengan sumbatan usus halus total berhasil
dilakukan tindakan non operatif sedangkan pasien lainnya harus menjalani
tindakan operatif. Tindakan operatif dilakukan pada hari ke 4 dimana setelah
dilakukan perawatan selama 72 jam tidak didapatkan adanya perbaikan klinis,
dengan prosuksi NGT pada hari ke 3>500cc, VAS>4 dan disertai demam dan
takikardi.
Keberhasilan tindakan non operatif Bologna Guideline pada penelitian ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan keberhasilan yang didapatkan dari
beberapa literatur, dimana dari penelitian yang dilakukan oleh Seror et al
didapatkan angka keberhasilan untuk tindakan non operatif pada kasus ileus
pada kasus ileus obstruksi parsial. Tindakan non operatif manajemen pada kasus
ileus obstruksi total didapatkan tingkat keberhasilan antara 41% hingga 73%.
Penelitian yang dilakukan oleh Salamah et al dengan menggunakan
kontras larut air untuk diagnosis dan manajemen obstruksi usus halus akibat
adhesi didapatkan angka keberhasilan non operatif pada kasus obstruksi parsial
sebesar 81,7%, sedangkan pada kasus obstruksi total dimana tidak didapatkannya
kontras pada kolon tindakan non operatif hanya berhasil pada 30,8%
kasus.(Salamah,2006)
Penggunaan kontras larut air sebagai diagnostik dan terapeutik yang juga
digunakan pada Bologna Guideline terbukti dapat meningkatkan angka keberhasilan tindakan non operatif pada pasien dengan ileus obstruktif karena
adhesi. Water soluble kontras dengan osmolaritas yang lebih tinggi dapat menarik cairan sehingga mengurangi edem pada usus. Selain itu water soluble kontras juga dapat menurunkan waktu kontak atau sebagai pelicin dalam pasase isi usus
sehingga meningkatkan motalitas usus dan mempermudah isi usus melewati celah
yang sempit. (Choi, 2002; Salamah, 2006; Srinivasa, 2009; Maung, 2012)
Pada penelitian ini yang digunakan adalah Iopamiro 370 yang mempunyai
osmolaritas lebih rendah bila dibandingkan Gastrografin. 30cc Iopamiro 370
dilarutkan dalam 100cc air kemasan dan dimasukkan via selang NGT. Untuk
tujuan diagnostik Iopamiro 370 masih dapat digunakan dengan terlihatnya
gambaran kontras pada kolon. Namun untuk tujuan terapeutik masih perlu diteliti
Gambar 4.1: Foto water soluble follow through pada 4 jam pertama dan 12 jam. Tampak kontras mengisi kolon setelah 12 jam yang menandakan sumbatan parsial.
Penelitian ini mendapatkan jumlah kasus ileus obstruksi karena adhesi
lebih banyak pada perempuan (8 kasus) dibandingkan pada pria (6 kasus).
Penelitian yang dilakukan oleh Fevang et al juga mendapatkan jumlah pasien
perempuan lebih banyak bila dibandingkan laki-laki. Lebih banyaknya kasus
akibat tindakan ginekologi dan sectio caesaria pada penelitian ini menjadi penyumbang terbanyak tingginya kejadian ileus obstruksi akibat adhesi pasca
operasi pada perempuan. Namun demikian, tidak ada literatur yang mengatakan
faktor jenis kelamin sebagai faktor risiko untuk terjadi ileus obstruktif karena
adhesi. (Salamah, 2006; Maung, 2012)
Pada penelitian ini didapatkan jenis operasi yang paling banyak
menyebabkan terjadinya ileus obstruktif adalah tindakan laparotomi, terutama
pada laparotomi akibat appendik perforasi. Operasi sectio caesaria dan ginekologi merupakan penyumbang terbanyak ke dua. Hal ini yang menyebabkan jumlah
pasien perempuan lebih banyak bila dibandingkan pasien laki-laki.
Namun demikian, beberapa literatur menyebutkan bahwa kejadian
sumbatan usus halus akibat adhesi lebih banyak terjadi pada pasca tindakan
laparotomi appendektomi (23%) bila dibandingkan tindakan laparotomi
ginekologi (12%). Penelitian Hayanga juga menyatakan bahwa sumbatan usus
halus kompleks atau yang disertai dengan strangulasi lebih banyak terjadi akibat
single adhesi bila dibandingkan pada adhesi yang multiple. Dimana pada adhesi yang multiple jarang menimbulkan strangulasi namun hanya menimbulkan
obstruksi sederhana. (Hayanga,2005)
Penelitan Fevang juga mendapatkan kejadian ileus obstruksi karena adhesi
berulang lebih banyak terjadi pada kasus appendektomi bila dibandingkan akibat
kasus ginekologi. Operasi appendektomi mempunyai risiko rekuren untuk terjadi
ileus obstruksi yang lebih tinggi bila dibandingkan tindakan laparotomi akibat
kelainan ginekologi. (Fevang,2004)
Interval pasca operasi hingga terjadinya ileus obstruksi pada penelitian ini
paling banyak didapatkan antara 1 hingga 5 tahun (57,14%) setelah tindakan
pembedahan sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Miller et al juga
mendapatkan bahwa interval kejadian ileus obstruksi pasca operasi lebih sering
terjadi pada 1 hingga 5 tahun pasca tindakan laparotomi. (Fevang,2004)
Penelitian yang dilakukan oleh Fevang tahun 2004 mendapatkan bahwa
sebanyak 50% pasien mendapatkan kejadian ileus obstruksi berulang akibat
adhesi pada 5 tahun setelah perawatan mereka yang pertama. Interval kejadian
ileus obstruksi berulang akan lebih singkat pada pasien yang dilakukan perawatan
ataupun yang tidak dilakukan pembedahan akan mempunyai risiko yang sama
terhadap tindakan pembedahan untuk episode ileus obstruktif berulang berikutnya.
Faktor umur merupakan faktor risiko untuk terjadi ileus obstruktif karena
adhesi. Umur kurang dari 60 tahun merupakan risiko untuk terjadinya ileus
obstruktif karena adhesi (Di Saverio, 2013). Kelompok umur yang paling banyak
terjadi ileus obstruksi karena adhesi pada penelitian ini adalah pada kelompok
umur 31 - 40 tahun yaitu sebanyak 5 kasus (35,71%).
Lamanya waktu rawatan rata-rata non operatif untuk ileus obstruktif
karena adhesi pada penelitian ini adalah 4,2 hari. Waktu rawatan tersebut jauh
lebih singkat bila dibandingkan dengan waktu rata-rata rawatan pada pasien yang
dilakukan tindakan operatif yaitu hingga 12,4 hari. Penelitian yang dilakukan
Isaksson et al tahun 2010 mendapatkan waktu rata-rata rawatan pasien yang
dilakukan tindakan non operatif adalah 2 hari dan yang dilakukan tindakan
operatif selama 13 hari. Hal ini juga sesuai dengan beberapa literatur yang
menyatakan bahwa terapi non operatif untuk ileus obstruktif akibat adhesi lebih
rendah bila dibandingkan dengan yang dilakukan tindakan operatif.
(Fevang,2004; Chen,2004; Salamah,2008; Maung,2012).
Melakukan terapi non operatif pada sebagian besar kasus sumbatan usus
halus akibat adhesi masih cukup aman untuk dilakukan hingga 5 hari.
(Chen,1999) Bahkan pada penelitian yang dilakukan oleh Shih tahun 2003
mendapatkan waktu rata-rata rawatan non operatif untuk mendapatkan resolusi
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan
1. Tingkat keberhasilan non operatif Bologna guideline pada sumbatan usus halus akibat adhesi pasca operasi secara keseluruhan sebesar 92,85%.
2. Perempuan lebih banyak mengalami sumbatan usus halus pasca operasi
dibanding laki-laki dengan perbandingan 1,3:1.
3. Operasi laparotomi merupakan operasi terbanyak penyebab terjadinya
sumbatan usus akibat adhesi sebesar 42,85%.
4. Kelompok usia 31 - 40 tahun merupakan kelompok usia terbanyak
terjadinya sumbatan usus halus akibat adhesi pasca operasi sebesar
35,71%.
5. Interval tindakan operasi hingga terjadinya sumbatan usus halus akibat
adhesi pasca operasi terbanyak pada kelompok 1-5 tahun sebesar 57,14%
6. Lamanya waktu rawatan rata-rata non operatif untuk sumbatan usus halus
akibat adhesi adalah 4,2 hari dan rata-rata waktu rawatan untuk tindakan
operatif adalah 12,4 hari.
5.2 Saran
1. Perlu dicari variabel lain yang dapat menentukan kapan diperlukannya
tindakan operasi pada pasien dengan sumbatan usus halus akibat adhesi
pasca operasi.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor yang
menentukan dilakukan tindakan operatif pada pasien dengan sumbatan
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang efek terapeutik kontras larut
air lopamiro dibandingkan gastrografin sebagai kontras dalam pemeriksaan water soluble follow through
DAFTAR PUSTAKA
Abbas SM, Bissett IP, Parry BR. Meta-analysis of oral water-soluble contrast agent in the Management of adhesive small bowel obstruction.British Journal of Surgery. 2007; 94: 404–411
Arung W, Meurisse M, Detry O. Pathophysiology and prevention of postoperative peritoneal adhesions. World J Gastroenterol. 2011 November ; 17(41): 4545-53 Al Salamah SM, Fahim F, Mirza SM. Value of Water-soluble Contrast
(Meglumine Amidotrizoate) in the Diagnosis and Management of Small Bowel Obstruction.World J Surg. 2006; 30: 1290–94
Binda MM, Koninckx PR. Prevention of adhesion formation in a laparoscopic mouse model should combine local treatment with peritoneal cavity conditioning. Human Reproduction. 2009; 24(6): 1473–79
Binda MM, Molinas CR, Mailova K, Koninckx PR. Effect of temperature upon adhesion formationin a laparoscopic mouse model. Human Reproduction. 2004; 19 (11): 2626–32
Brokelman WJA, Lensvelt M, Rinkes HM, Klinkenbijl JHG, Reijnen M.
Peritoneal changes due to laparoscopic surgery. Surg Endosc. 2011. 25:1–9 Chen SC, Yen ZS, Lee CC, Liu YP. Non surgical management of partial
adhesive small-bowel obstruction with oral therapy: a randomized
clinical trial. Canadian Medical Association. Journal. 2005; 173(10): 1165 Chen SC, Chang KJ, Lee PH, Wang SM, Chen KM. Oral Urografin in Postoperative
Small Bowel Obstruction. World Journal of Surgery. 1999; 1051-4 Choi HK, Chu KW, Law WL. Therapeutic Value of Gastrografin in Adhesive
Small Bowel Obstruction After Unsuccessful Conservative Treatment A Prospective Randomized Trial.Annals of surgery. 2002; 236(1): 1–6
Cheong YC, Laird SM, Shelton JB, Ledger WLI, Cooke ID. Peritoneal healing and adhesion formation/reformation. Human Reproduction Update. 2001;
7(6):556-66
Dubuisson J, et all. Incidence of intraabdominal adhesions in a continuous series of 1000 laparoscopic procedures. American Journal of Obstetrics & Gynecology. 2010; 9: 13-7
Di Saverio et al.Bologna guidelines for diagnosis and management of
adhesive small bowel obstruction (ASBO): 2013 update of the evidence-based guidelines from the world society of emergency surgery ASBO working group. World Journal of Emergency Surgery. 2013
Diaz JJ et al. Guidelines for Management of Small Bowel Obstruction. J Trauma. 2008; 64:1651–166
Federicco C et al. Peritoneal adhesion index (PAI): proposal of a score for the
“ignored iceberg” of medicine and surgery. World Journal of Emergency
Surgery. 2013; 8:6
Fevang BT, Fevang J, Lie SA, Søreide O, Svanes K, Viste A. Long-term Prognosis After Operation for Adhesive Small Bowel Obstruction. Annals of Surgery. 2004; 240(2): 193-201
Hayanga AJ, Bass-Wilkins K, Bulkley GB. Current Management of Small- Bowel Obstruction. Advances in Surgery. Mosby. 2005
Maung AA et al. Evaluation and management of small-bowel obstruction: An Eastern Association for the Surgery of Trauma practice management guideline. J Trauma Acute Care Surg. 2012; 73(5): 362-9
Huang JC, Chen SC, Yang TK, Yu FJ, Yang FO, Chang JM. Peritoneal
adhesion: it can be life-threatening, and life-saving. BMC Nephrology. 2012; 13:113
Isaksson K, Weber E, Andersson R, Tingstedt B. Small bowel obstruction: early parameters predicting the need for surgical intervention. Eur J Trauma Emerg Surg. 2011; 37:155–159
Ikechebelu JI, Eleje GU, Umeobika JC, Eke NO, Eke AC, Mbachu II.
Prevalence and pattern of intra-abdominal adhesions seen at diagnostic
laparoscopy among infertile women with prior open appendicectomy in Nnewi, south-east Nigeria. Journal of Medicine and Medical Sciences. October 2010; 1(9) : 391- 94
Kamel RM. Prevention of postoperative peritoneal adhesions. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology. 2010; 150: 111–118 Koninckx PR, Binda MM, Corona R, Molinas CR. Postoperative adhesions and their prevention.August 2010
Liakakos T, Thomakos N, Fine PM, Dervenis C, Young RL. Peritoneal Adhesions:Etiology, Pathophysiology, and Clinical Significance Recent Advances in Prevention and Management. Dig Surg. 2001; 18:260–73 Moran BJ. Adhesion-related small bowel obstruction. Journal of Colorectal
Disease. 2007; 9( 2): 39–44
Pismensky et al. Severe inflammatory reaction induced by peritoneal trauma is the key driving mechanism of postoperative adhesion formation. BMC surgery. 2011; 11:30-9
Rakesh V, Sanjay K, Raul S, Yoel P, Joseph S. Role of water-soluble contrast study in adhesive small bowel obstruction: A randomized controlled Study. Indian Journal of Surgery 2007; 69(2): 47-51
Schonman R, Corona R, Bastidas A, Cicco CD, Koninckx PR. Effect of Upper Abdomen Tissue Manipulation on Adhesion Formation between Injured Areas
in a Laparoscopic Mouse Model. Journal of Minimally Invasive Gynecology. 2009; 16 (3): 307-12
Shou-Chuan S, et all. Adhesive small bowel obstruction: How long can patients tolerate conservative treatment?. World J Gastroenterol. 2003; 9(3): 603-605 Swank DJ, Swank SCG, Hop WCJ, Erp WFM, Janssen IMC, Bonjer HJ,
Jeekel J. Laparoscopic adhesiolysis in patients with chronic abdominal pain: a blinded randomised controlled multi-centre trial. The Lancet. 2003; 361: 1247-51
Srinivasa S, Thakore N, Abbas , Mahmood M, Kahokehr A. Impact of
Gastrografin in clinical practice in the management of adhesive small bowel obstruction. Canadian Journal of Surgery. Apr 2011; 54.2: 123-7
Staunton, Marie, Malone, Dermot E. Can Diagnostic Imaging Reliably Predict the Need for Surgery in Small Bowel Obstruction? Critically Appraised Topic. Canadian Association of Radiologists Journal . Apr 2005; 56(2): 79-81
Tanaka K et al. Lactate levels in the detection of preoperative bowel strangulation. The American Surgeon. January 2012; 78: 86-8
Wilson MS, Ellist H, Menziest D, Moran BJ, Parker MC, Thompson JN. A review of the management of small bowel obstruction. Ann R Coll Surg Engl.1999; 81: 320-8
Lampiran 1
Susunan Peneliti Peneliti
a. Nama lengkap : Dr. Heldrian Dwinanda Suyuthie
b. Fakultas : Kedokteran
c. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara
Pembimbing I
a. Nama lengkap : Prof.Dr.Bachtiar Surya, SpB-KBD
b. Fakultas : Kedokteran
c. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara d. Bidang Keahlian : Bedah Digestif
Pembimbing II
a. Nama lengkap : Dr.Budi Irwan, SpB-KBD
b. Fakultas : Kedokteran
c. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara d. Bidang Keahlian : Bedah Digestif