• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Keberhasilan Terapi Non Operatif Bologna Guideline Pada Ileus Obstruksi Karena Adhesi Pascaoperasi Di RSUP H.Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tingkat Keberhasilan Terapi Non Operatif Bologna Guideline Pada Ileus Obstruksi Karena Adhesi Pascaoperasi Di RSUP H.Adam Malik Medan"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL PENELITIAN AKHIR

TINGKAT KEBERHASILAN TERAPI NON OPERATIF

BOLOGNA GUIDELINE PADA ILEUS OBSTRUKSI KARENA ADHESI PASCAOPERASI DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

Oleh:

HELDRIAN DWINANDA SUYUTHIE

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PROGRAM PENDIDIKAN ILMU BEDAH

DEPARTEMEN ILMU BEDAH FK USU

JUDUL PENELITIAN : TINGKAT KEBERHASILAN TERAPI NON

OPERATIF BOLOGNA GUIDELINE PADA

ILEUS OBSTRUKSI KARENA ADHESI

PASCAOPERASI DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA MAHASISWA : HELDRIAN DWINANDA SUYUTHIE

NIM : 080036

PROGRAM STUDI : ILMU BEDAH

Menyetujui Pembimbing:

Dr. Budi Irwan, SpB.KBD Prof.Dr.Bachtiar Surya, SpB.KBD

Diketahui Oleh:

Kabag Ilmu Bedah USU Ketua Program Studi RSUP RSUP H.Adam Malik Medan Ilmu Bedah FK USU

(3)

SURAT KETERANGAN

SUDAH DIPERIKSA HASIL PENELITIAN :

JUDUL :TINGKAT KEBERHASILAN TERAPI NON

OPERATIF BOLOGNA GUIDELINE PADA ILEUS OBSTRUKSI KARENA ADHESI PASCAOPERASI DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

PENELITI : HELDRIAN DWINANDA SUYUTHIE

DEPARTEMEN : ILMU BEDAH

NIM : 080036

INSTITUSI : FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN, MARET 2014

KONSULTAN

METODOLOGI PENELITIAN

FAKULTAS KEDOKTERAN USU

(4)

PERNYATAAN

TINGKAT KEBERHASILAN TERAPI NON OPERATIF

BOLOGNA GUIDELINE PADA ILEUS OBSTRUKSI KARENA ADHESI PASCAOPERASI DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Maret 2014

(5)

Hasil penelitian ini penulis persembahkan

Untuk istriku yang tercinta dr.Amelia Dwifika Putri

dan kedua anakku Hadziq Elkhair Suyuthie dan Hagan Elfaeyza Suyuthie

Terimakasih atas kesabarannya sehingga penulis berhasil menyelesaikan tulisan ini.

MEDAN, MARET 2014

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR DIAGRAM ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

ABSTRAK ... vi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. LATAR BELAKANG ... 1

1.2. RUMUSAN MASALAH ... 2

1.3. HIPOTESIS PENELITIAN ... 2

1.4. TUJUAN PENELITIAN ... 2

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. DEFINISI ... 3

2.2. KLASIFIKASI ... 4

2.3. FAKTOR RISIKO ... 4

2.4. ETIOLOGI ... 6

2.5. DIAGNOSIS ... 7

2.5.1. ANAMNESIS DAN GEJALA KLINIS ... 7

2.5.2. PEMERIKSAAN FISIK ... 8

2.5.3. PEMERIKSAAN PENUNJANG ... 9

2.6. PENATALAKSANAAN ... 14

2.7. PROGNOSIS ... 15

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. DESAIN ... 16

3.2. TEMPAT DAN WAKTU ... 16

3.3. CARA KERJA DAN ALUR PENELITIAN ... 16

3.4. JUMLAH DAN BESAR SAMPEL ... 18

3.5. KRITERIA PENELITIAN ... 18

3.5.1. Kriteria Inklusi ... 19

3.5.2. Kriteria Eksklusi ... 19

3.6. ANALISA DATA ... 19

3.7. PERTIMBANGAN ETIK ... 19

3.8. DEFENISI OPERASIONAL ... 19

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 20

(7)

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan ... 29 5.2 Saran ... 29

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 : Kelompok jenis operasi penyebab terjadinya ileus obstruksi karena adhesi pasca operasi ... 20 Tabel 4.2 : Distribusi kejadian ileus obstruksi karena adhesi berdasarkan kelompok

jenis kelamin ... 21

Tabel 4.3 : Kejadian ileus obstruktif karena adhesi berdasarkan kelompok umur ... 21

Tabel 4.4 : Interval operasi hingga terjadinya ileus obstruksi akibat adhesi pasca operasi ... 22

(9)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 2.1 : Diagnosis sumbatan akut usus halus berdasarkan

Bologna Guidelines 2013 ... 12 Diagram 3.1 : Penatalaksaan sumbatan akut usus halus berdasarkan

(10)

DAFTAR GAMBAR

(11)

TINGKAT KEBERHASILAN TERAPI NON OPERATIF

BOLOGNA GUIDELINE PADA ILEUS OBSTRUKSI KARENA ADHESI PASCAOPERASI DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

Heldrian D. Suyuthie1, Bachtiar Surya2, Budi Irwan2 1

PPDS Bedah Universitas Sumatera Utara, 2Divisi Bedah Digestif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara-Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan

Abstrak

Latar belakang Ileus obsruksi yang disebabkan adhesi pasca operasi memerlukan penanganan yang tepat. Indikasi dan waktu yang dibutuhkan untuk tindakan non operatif masih dalam perdebatan. Belum ada konsensus standar yang dicapai dalam menegakkan diagnosis dan manajemen pasien dengan obstruksi usus halus karena adhesi pasca operasi. Bologna Guideline 2013 adalah salah satu konsensus yang telah ada dan terkini dalam penanganan dan diagnosis sumbatan usus halus akibat.

Metode Penelitian ini dilakukan dengan melakukan observasi dan pengawasan terhadap pasien yang telah didiagonsis dengan ileus obstruksi karena adhesi pasca operasi melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan dan pemeriksaan penunjang. Seluruh pasien dengan ileus obstruksi parsial dan total akibat adhesi dilakukan observasi ketat selama 72 jam dan bila dinilai terdapat kegagalan terapi non-operatif maka pasien segera dilakukan tindakan operatif.

Hasil Tingkat keberhasilan non operatif Bologna Guideline secara keseluruhan sebesar 92,85%. Perempuan lebih banyak mengalami ileus obstruksi pasca operasi dengan perbandingan 1,3:1. Operasi laparotomi merupakan operasi terbanyak yang menyebabkan terjadinya sumbatan usus akibat adhesi pada 42,85% kasus. Kelompok usia 31 - 40 tahun merupakan kelompok usia terbanyak terjadinya sumbatan usus halus akibat adhesi pasca operasi sebesar 35,71%. Interval tindakan operasi hingga terjadinya sumbatan usus halus akibat adhesi terbanyak pada kelompok 1-5 tahun sebesar 57,14%. Lamanya waktu rawatan rata-rata non operatif untuk sumbatan usus halus akibat adhesi adalah 4,2 hari dan rata-rata waktu rawatan untuk tindakan operatif adalah 12,4 hari.

Simpulan Penatalaksaan non operatif dengan menggunakan Bologna Guideline 2013 untuk kasus sumbatan usus halus akibat adhesi dapat dilakukan di RSUP H.Adam Malik Medan dan memberikan hasil yang cukup baik.

(12)

TINGKAT KEBERHASILAN TERAPI NON OPERATIF

BOLOGNA GUIDELINE PADA ILEUS OBSTRUKSI KARENA ADHESI PASCAOPERASI DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

Heldrian D. Suyuthie1, Bachtiar Surya2, Budi Irwan2 1

PPDS Bedah Universitas Sumatera Utara, 2Divisi Bedah Digestif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara-Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan

Abstrak

Latar belakang Ileus obsruksi yang disebabkan adhesi pasca operasi memerlukan penanganan yang tepat. Indikasi dan waktu yang dibutuhkan untuk tindakan non operatif masih dalam perdebatan. Belum ada konsensus standar yang dicapai dalam menegakkan diagnosis dan manajemen pasien dengan obstruksi usus halus karena adhesi pasca operasi. Bologna Guideline 2013 adalah salah satu konsensus yang telah ada dan terkini dalam penanganan dan diagnosis sumbatan usus halus akibat.

Metode Penelitian ini dilakukan dengan melakukan observasi dan pengawasan terhadap pasien yang telah didiagonsis dengan ileus obstruksi karena adhesi pasca operasi melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan dan pemeriksaan penunjang. Seluruh pasien dengan ileus obstruksi parsial dan total akibat adhesi dilakukan observasi ketat selama 72 jam dan bila dinilai terdapat kegagalan terapi non-operatif maka pasien segera dilakukan tindakan operatif.

Hasil Tingkat keberhasilan non operatif Bologna Guideline secara keseluruhan sebesar 92,85%. Perempuan lebih banyak mengalami ileus obstruksi pasca operasi dengan perbandingan 1,3:1. Operasi laparotomi merupakan operasi terbanyak yang menyebabkan terjadinya sumbatan usus akibat adhesi pada 42,85% kasus. Kelompok usia 31 - 40 tahun merupakan kelompok usia terbanyak terjadinya sumbatan usus halus akibat adhesi pasca operasi sebesar 35,71%. Interval tindakan operasi hingga terjadinya sumbatan usus halus akibat adhesi terbanyak pada kelompok 1-5 tahun sebesar 57,14%. Lamanya waktu rawatan rata-rata non operatif untuk sumbatan usus halus akibat adhesi adalah 4,2 hari dan rata-rata waktu rawatan untuk tindakan operatif adalah 12,4 hari.

Simpulan Penatalaksaan non operatif dengan menggunakan Bologna Guideline 2013 untuk kasus sumbatan usus halus akibat adhesi dapat dilakukan di RSUP H.Adam Malik Medan dan memberikan hasil yang cukup baik.

(13)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ileus obsruksi yang disebabkan adhesi pasca operasi memerlukan

penanganan dan manajemen yang tepat. Indikasi dan waktu yang dibutuhkan

untuk tindakan non operatif masih dalam perdebatan. (Maung, 2012; Di

Saverio,2013; Choi 2002) Menunda tindakan operasi dapat meningkatkan

morbiditas dan mortalitas. Namun tindakan adhesiolisis dan operasi yang

berulang dapat memperburuk proses adhesi dan tingkat keparahan adhesi tersebut.

(Di Saverio,2013; Shou-Chuan,2003)

Pasien dengan sumbatan usus halus baik itu total ataupun parsial dapat

dilakukan tindakan non operatif. Tingkat keberhasilan terapi non operatif pada

kasus obstruksi usus halus parsial antara 65% hingga 90%. Sedangkan tingkat

keberhasilan untuk kasus obstruksi total usus halus sebesar 41% hingga 73%.

(Maung,2012; Chen,2005)

Belum ada konsensus standar yang dicapai dalam menegakkan diagnosis

dan manajemen pasien dengan obstruksi usus halus karena adhesi pasca operasi.

Salah satu konsensus yang telah ada dan terkini dalam penanganan dan diagnosis

sumbatan usus halus akibat adhesi adalah konsensus Bologna 2013. Konsensus

dikeluarkan oleh World Society of Emergency Surgery ASBO Working Group

pada tahun 2010 dan di revisi pada tahun 2013. (Di Saverio,2013)

Konsensus Bologna tahun 2013 mengedepankan dilakukannya tindakan non operatif pada kasus obstruksi usus halus akibat adhesi. Dalam konsensus

Bologna 2013 telah dibuat diagram dan alur penangan pasien dengan obstruksi

(14)

keberhasilan penangan konservatif dan mecegah terjadinya keterlambatan apabila

diperlukan tindakan operatif. Oleh sebab itu peneliti ingin mengetahui sejauh

mana keberhasilan terapi non operatif pada pasien dengan abstruksi akibat adhesi

pasca operasi dengan menggunakan konsensus Bologna 2013.

1.2. Rumusan Masalah

Pada penelitian ini penulis ingin mengetahui sejauh mana tingkat

keberhasilan penangan non operatif pada pasien dengan obstruksi usus halus

akibat adhesi pasca operasi dengan menggunakan konsensus Bologna 2013 dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di RSUP H.Adam Malik Medan.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui tingkat keberhasilan terapi non operatif pada pasien dengan

obstruksi usus halus akibat ahesi pasca operasi dengan menggunakan konsensus

Bologna 2013.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui tingkat keberhasilan terapi non operatif Bologna guideline pada pasien dengan sumbatan usus halus akibat adhesi pasca operasi di RSUP

H.Adam Malik Medan.

2. Mengetahui karakteristik pasien dengan sumbatan usus halus akibat adhesi

pasca operasi di RSUP H.Adam Malik

3. Mengetahui interval tindakan operasi hingga terjadinya sumbatan usus halus

akibat adhesi pasca operasi

4. Mengetahui lamanya rata-rata waktu rawatan terapi non operatif pada pasien

(15)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi

Adhesi peritoneal adalah pembentukan jaringan ikat patologis antara

omentum, usus dan dinding perut. (Diaz, 2008) Perlengketan ini dapat berupa

jaringan ikat tipis seperti film, jaringan fibrosis yang tebal mengandung pembuluh

darah dan jaringan saraf, atau perlengketan langsung antara dua permukaan organ

(Binda, 2009). Menurut etiologinya, adhesi peritoneal dapat diklasifikasikan

sebagai bawaan atau didapat sebagai reaksi pasca inflamasi atau pasca operasi

yang merupakan kasus terbanyak. (Binda, 2004; Schoman, 2009)

Adhesi dapat terjadi dalam beberapa jam pasca operasi dan berperan

dalam menyebabkan obstruksi usus halus pada 60%-70% kasus obstruksi secara

keseluruhan. ( Di Saverio, 2013; Hayanga,2005)

Ileus adalah keadaan dari gerakan dan pasase usus yang normal tidak

terjadi. Ileus timbul saat udara dan cairan sekresi tidak dapat keluar kearah anal

karena berbagai sebab baik karena faktor intrinsik maupun ekstrinsik (mechanical obstruction) atau paralisis (non mechanical obstruction atau pseudo ileus). (Moran, 2007; Hayanga,2005; Wilson, 1999)

Obstruksi usus halus mempunyai gambaran klinis nyeri kolik pada

abdomen, muntah, distensi, dan obstipasi.(Hayanga,2005) Kombinasi dari gejala

klinis tersebut sangat bervariasi, tergantung pada level dan derajat obstruksi. Pada

pasien dengan sumbatan letak tinggi akan mempunyai gejala mual dan muntah

yang lebih dominan dibandingkan pada pasien yang memiliki sumbatan yang

lebih ke distal. Kadang pada pasien sumbatan usus halus tidak dijumpai adanya

(16)

2.2 Klasifikasi

Obstruksi usus halus dapat diklasifikasikan berdasarkan total dan parsial.

Menurut klinisnya dini dan lanjut (>30 hari setelah pembedahan). Menurut

sebabnya ileus mekanikal dan ileus fungsional (paralitik) dan ileus karena

gangguan vaskularisasi. (Fevabg, 2004; Maung,2012)

Ileus obstruksi parsial terjadi apabila lumen usus menyempit tapi masih

dapat sebagian isi usus masih dapat lewat ke arah distal. Ileus obstruksi total

terjadi akibat lumen usus tersumbat total sehingga tidak ada isi usus yang dapat

lewat ke arah distal. Ileus obstruksi total menyebabkan peningkatan risiko

gangguan vaskular atau strangulasi dan bila ini terjadi maka membutuhkan

penanganan operatif segera. (Moran,2007; Maung,2012)

2.3 Faktor Risiko

Faktor risiko yang paling berperan terhadap terjadinya obstruksi usus

halus akibat adhesi adalah teknik operasi dan luasnya jaringan peritonium yang

mengalami kerusakan. Teknik operasi laparaskopi dan operasi terbuka

mempunyai peranan yang penting terhadap morbiditas adhesi. Pada penelitian

retrospektif 446.331 kasus operasi abdomen didapatkan data kejadian adhesi 7,1%

pada operasi cholesistekstomi terbuka dibandingkan 0.2% dengan teknik

laparaskopi. Pada total histerektomi didapatkan 15,6% kejadian adhesi

dibandingkan 0.0% pada prosedur laparaskopi. Kejadian adhesi tidak bermakna

pada tindakan operasi appendektomi, baik secara terbuka ataupun laparaskopi.

(17)

Faktor risiko lainnya adalah usia lebih muda dari 60 tahun, peritonitis,

tindakan operasi emergensi, luka tusuk, luka tembak, tindakan laparatomi dalam

lima tahun belakang, mempunyai risiko yang lebih besar untuk mengalami

adhesi.(Di Saverio, 2013)

Hampir seluruhnya ileus obstruksi karena adhesi pasca operasi terjadi pada

usus halus dan jarang sekali terjadi pada usus besar. Diperkirakan setiap tahunnya

kasus ileus obstruksi yang disebabkan adhesi pascaoperasi ± 1 % dari seluruh

kasus rawat inap, 3% dari kasus emergensi, dan 4% dari seluruh kasus laparotomi

eksplorasi. Ileus obstruksi yang disebabkan adhesi juga menyebabkan gangguan

produktivitas dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk operasi

adhesiolisis. Penelitian Ray tahun 1998 di Amerika Serikat memperlihatkan

adhesiolisis menghabiskan 1.3 milyar US dollar setiap tahunnya.(Di Saverio,

2013)

Penelitian retrospektif Menzies dan Ellis tahun 1990 terhadap 80 kasus

ileus obstruksi karena adhesi pascaoperasi terjadi paling sering (57%) dalam

waktu 1 tahun setelah tindakan operasi yang pertama, diikuti 21.25% terjadi

dalam waktu 1-5 tahun, 21.25% terjadi dalam waktu lebih dari 10 tahun dan

paling sedikit terjadi dalam waktu 1 bulan sebanyak 0.5%.

Penelitian ini juga menyebutkan 75% dari seluruh pasien yang mengalami

ileus obstruksi karena adhesi pascaoperasi tersebut awalnya menjalani

pembedahan di daerah abdomen dibawah kolon transverum, diantaranya

(18)

2.4 Etiologi dan Patogenesis terjadinya Adhesi Peritoneal

Trauma jaringan selama operasi, proses inflammasi, sisa darah, bakteri dan

jaringan nekrotik memang akan memicu sel-sel mesotel memproduksi eksudat

yang kaya fibrin dan menyebabkan terbentuknya adhesi fibrinous. Akan tetapi

cepatnya pembentukan adhesi fibrinous dalam waktu beberapa jam setelah ini

karena peritoneum memiliki daya penyembuhan yang jauh lebih cepat

dibandingkan penyembuhan luka biasa.(Cheong,2001; Koninckx,2010)

Fibrin-fibrin ini dapat diabsorpsi secara komplit, sehingga rongga

peritoneal menjadi bersih kembali atau dapat diorganisasi dengan tumbuhnya

fibroblast yang membentuk adhesi fibrous yang menetap. Adhesi fibrous dapat

terjadi karena 3 situasi sebagai hasil dari pembedahan abdomen

yaitu:(Binda,2009)

1. Aposisi dua permukaan organ yang peritoneumnya dilepaskan. Keadaan

ini sudah dibuktikan pada percobaan binatang tikus yang dua permukaan

organ yang peritoneumnya dilepaskan ternyata meningkatkan adhesi

sampai 80%.

2. Keadaan iskemia jaringan. Hal ini dapat terjadi karena proses patologis

intraabdomen, atau karena penjahitan ataupun devaskularisasi.

3. Adanya benda asing dalam rongga peritoneal,misalnya benang, bedak

pada sarung tangan, bubuk antibiotika dan material sintetik lainnya.

Inti dari patofisiologi adhesi pascaoperasi adalah keseimbangan dinamis

antara pembentukan fibrin dan fibrinolisis. Dengan kadar PAA yang menurun

maka kadar plasminogen menjadi plasmin akan menurun, sehingga

(19)

Fibrin dapat terbentuk dalam waktu 10 menit dan organisasi dimulai

dengan migrasi dari fibroblast dalam waktu 3 hari pertama. Fibroblast akan

membentuk prekollagen lalu selanjutnya menjadi serabut kollagen serta akhirnya

membentuk serabut elastik. Pembentukan adhesi yang komplit selesai dalam

waktu 10 hari. (Liakakos,2001; Pismensky,2011)

2.5 Diagnosis

Diagnosis dari ileus berdasarkan adanya tanda-tanda dan gejala klasik dari

ileus lalu dikonfirmasikan dengan pencitraan yaitu foto polos abdomen atau

dilakukan CT-Scan. Untuk lebih dapat melihat antara sumbatan total atau parsial

dapat dilihat dari pemeriksaan water soluble follow through. Etiologi dapat ditemukan dengan anamnesis yang seksama disertai pencitraan radiologis.

(Salamah,2006; Choi,2001)

2.5.1 Anamnesis dan Gejala Klinis Ileus Obstruksi Adhesi Pascaoperasi Gambaran klinis ileus obstruksi adhesi pascaoperasi tidak berbeda dengan

gambaran ileus oleh sebab lain yaitu nyeri perut, kembung tidak dapat buang air

besar (BAB), mual dan muntah. Biasanya nyeri perut dan kembung mendahului

mual dan muntah beberapa jam sebelumnya. (Kamel, 2010, Moran,2007) Namun

demikian pada pasien dengan sumbatan yang lebih proximal terkadang gejala

kembung tidak dijumpai, dan gejala mual muntah akan lebih dominan.

(Moran,2007)

Semakin proksimal obstruksinya maka gejala mual dan muntah lebih awal

dirasakan dan makin hebat. Untuk obstruksi usus halus, rasa nyeri dirasakan tidak

(20)

semakin lama semakin nyeri. Untuk obstruksi usus besar, interval rasa nyeri dan

durasi nyeri lebih panjang dibandingkan obstruksi usus halus. (Kamel,2010)

Riwayat penyakit sebelumnya ditanyakan untuk menegakkan diagnosis,

misalnya riwayat konstipasi kronis, perubahan bowel habit, riwayat keganasan dan penatalaksanaan untuk keganasan tersebut (pembedahan,

kemoterapi,radioterapi ), serta riwayat penyakit Crohn’s. Bila ada kecurigaan

ileus obstruksi karena adhesi pascaoperasi, riwayat operasi sebelumnya harus

ditanyakan, berapa kali dan berapa lama intervalnya dari keluhan.(Kamel,2010)

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus dilakukan dan harus meliputi tanda-tanda vital dan

status hidrasi, pemeriksaan abdomen, pemeriksaan kearah pintu-pintu hernia dan

pemeriksaan colok dubur. Adanya luka operasi sebelumnya juga harus

diperhatikan.(Kamel,2010)

Pada ileus obstruksi, pemeriksaan abdomen sangat memegang peranan.

Pada inspeksi dapat terlihat kontur usus dan gerakan usus yang terlihat dari luar

(visible peristaltic). Pada auskultasi bising usus akan meningkat dan biasanya

akan terdengar suara tinggi (metallic sound) dan menyerupai suara tetes air yang jatuh ke dalam penampungan yang besar. Pada palpasi dapat dijumpai tanda-tanda

rangsang peritoneal seperti nyeri lepas dan muscular rigidity.(Kamel,2010)

Pemeriksaan colok dubur juga harus dilakukan untuk menilai total atau

tidaknya suatu obstruksi dengan menilai kollaps tidaknya ampulla rekti. Bila

pasien telah mengalami peritonitis maka akan ditemukan nyeri tekan pada

(21)

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

1. Labotarorium

Data laboratorium tidak dapat membantu diagnostik tetapi dapat

membantu dalam menentukan kondisi dari pasien dan memandu resusitasi.

Pemeriksaan darah lengkap dan hitung jenis, disertai elektrolit darah, kadar ureum

dan kreatinin serta urinalisis harus dilakukan untuk menilai status hidrasi dan

menyingkirkan sepsis.

Jumlah leukosit dapat memberikan gambaran tentang kondisi usus. Pada

usus halus yang tidak mengalami komplikasi jumlah leukosit akan tetap normal

atau sedikit meningkat, namun jumlah leukosit yang mengalami peningkatan

(>15.000) atau jumlah leukosit yang sangat sedikit (<4000) merupakan suatu

kondisi yang harus diwaspadai oleh klinisi akan adanya iskemik pada usus.

Jumlah leukosit yang sangat tinggi lebih dari 18.000 telah terbukti mempunyai

korelasi adanya usus yang telah mengalami ganggrenous. (Moran,2007)

Namun hasil yang berbeda didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh

Tanaka pada tahun 2011 dengan melihat beberapa parameter laboratorium

pemeriksaan darah yaitu laktat, leukosit, amylase, dan C-reaktif protein untuk

mendeteksi terjadinya strangulasi usus akibat sumbatan usus halus. Dari penelitian

ini didapatkan bahwa satu-satunya parameter pemeriksaan laboratorium yang

bermakna terhadap viabilitas usus adalah pemeriksaan laktat dalam darah.

(22)

2. Pencitraan Ileus Obstruksi

Foto toraks tegak dikombinasikan dengan foto abdomen tegak dan datar

dapat menjadi alat bantu diagnostik pasien yang dicurigai ileus obstruksi. Foto

toraks tegak dapat membantu untuk mendeteksi kondisi di luar abdomen yang

dapat menyerupai ileus obstruksi, misalnya proses pneumonia. Adanya udara

bebas intraabdomen yang mengindikasikan adanya perforasi organ berongga dan

dapat terlihat pada foto toraks tegak. (Maung,2012)

Gambar 2.1 : Foto polos abdomen supine dan erek dengan dijumpainya dilatasi usus, gambaran herring bone dan multiple air fluid level disertai mukosa yang edema, tidak dijumpainya udara pada kolon.

Semua pasien yang dicurigai ileus obstruksi harus diperiksa foto polos

abdomen. Pasien dengan foto polos yang tidak mendukung ileus obstruksi letak

tinggi atau total perlu dilakukan diperiksa CT-Scan. CT-scan memberikan

informasi lebih jelas dibandingkan foto polos. Ct-Scan dapat memberikan

informasi adanya tanda-tanda strangulasi. Tanda-tanda pada CT scan yang

mengindikasikan adanya strangulasi merupakan indikasi mutlak untuk

(23)

Pemeriksaan water soluble follow through merupakan pemeriksaan yang

dapat meberikan informasi tentang sumbatan usus halus parsial atau total. Bila

dijumpai adanya gambaran kontras pada saekum kurang dari 24 jam menunjukkan

sumbatan parsial dan bila tidak terdapat gambaran kontras setelah 24 jam

menunjukkan adanya sumbatan total.(Hayanga, 2005; Di Saverio,2013)

Pemeriksaan water soluble follow through selain bermanfaat sebagai

diagnostik juga berperan sebagai terapeutik. Water soluble kontras dengan osmolaritas yang lebih tinggi dapat menarik cairan sehingga mengurangi edem

pada usus. Selain itu water soluble kontras juga dapat menurunkan waktu kontak atau sebagai pelicin dalam pasase isi usus sehingga meningkatkan motalitas usus

dan mempermudah isi usus melewati celah yang sempit. (Choi, 2002; Salamah,

(24)

Diagram 2.1. Diagnosis sumbatan akut usus halus berdasarkan Bologna Guideline 2013  Pemeriksaan Fisik

 Leukosit,Laktat,Elektrolit,BUN:Cr  Riwayat Operasi

X-Ray Abdomen Supine - Erek dan atau dengan kontras water soluble

 Multiple air-fluid level  Distensi usus halus

 Tidak dijumpai gas pada kolon

USG Abdomen (Keterbatasan nilai)  Peristaltik/Distensi

 Diferensiasi lipatan mukosa didaerah transisional  Cairan bebas (iskemia)

CT scan abdomen dengan kontras water soluble

 Multiple air-fluid level  Distensi usus halus

 Tidak dijumpai gas pada kolon

MRI Abdomen (Keterbatasan nilai)

 Terbatas hanya pada pasien yang kontraindikasi terhadap CT atau kontras iodin

Kontras water-soluble follow-through

Pasien dirawat secara konservatif untuk menyingkirkan sumbatan total usus halus dan memprediksi perlunya

tindakan pembedahan

DIAGNOSIS SUMBATAN USUS HALUS AKUT

Evaluasi Awal

(25)

2.6 Penatalaksanaan Ileus Obstruksi karena Adhesi Pascaoperasi

Sebagian besar ileus obstruksi adhesi pascaoperasi adalah obstruksi usus

halus, dan penatalaksanaanya tidak berbeda dengan ileus obstruksi usus yang lain.

Penatalaksanaan awal dari pasien dengan obstruksi usus halus harus ditujukan

pada resusitasi cairan yang agresif, dekompresi usus yang mengalami obstruksi

dan mencegah aspirasi. Koreksi elektrolit harus dilakukan sesegera mungkin.(Di

Saverio,2013; Maung,2012)

Langkah awal yang paling penting adalah resusitasi cairan yang agresif

karena pasien dengan obstruksi usus halus sering banyak kehilangan cairan dan

elektrolit, khususnya kalium. Resusitasi dilakukan dengan cairan kristaloid seperti

NaCl 0.9% atau Ringer Laktat dan keberhasilan resusitasi dapat dimonitor dengan

produksi urine, minimal 0.5cc/kg/jam. Diharapkan setelah resusitasi secara klinis

hemodinamik pasien stabil dan fungsi renal dapat kembali ke normal. (Di

Saverio,2013)

Dekompresi dengan pemasangan nasogastric tube (NGT) mutlak harus dilakukan dalam manajemen ileus obstruksi yang disebabkan adhesi pasca

operasi. NGT juga mencegah distensi intestinal karena tertelannya udara dan

mencegah aspirasi selama pasien muntah. Secara simptomatis, dekompresi

membantu meringankan distensi abdomen dan dapat meningkatkan ventilasi pada

(26)

2.7 Penatalaksanaan Non-Operatif Ileus Obstruksi Adhesi Pascaoperasi Penatalaksanaan non-operatif ditujukan untuk pasien dengan ileus

obstruksi usus halus baik total maupun parsial dengan klinis tanpa tanda-tanda

peritonitis dan atau strangulata. Indikator klinis, yang meliputi demam,

leukositosis, takikardia, nyeri yang terus menerus, asidosis metabolik, dan

sistemik inflamasi respon sindrom (SIRS), menunjukkan telah terjadinya iskemia

usus pada 40% hingga 50% kasus. Pencitraan akan lebih menentukan apakah

pasien membutuhkan tindakan operasi segera pada 70%-96%

kasus.(Shou-Chuan,2003, Di Saverio, 2013)

Manajemen awal pasien dengan obstruksi total usus halus masih

kontroversial. Meskipun pada obstruksi total akan membutuhkan reseksi usus

hingga 31%, namun manajemen non operatif masih berhasil pada 41% hingga

73% pasien. Sementara angka keberhasilan terapi non operatif secara keseluruhan

mencapai 65-81%, terutama pada pasien dengan parsial obstruksi.(Maung, 2012)

Pasien yang diterapi non-operatif memerlukan observasi ketat selama

24-48 jam. Adanya tanda dan gejala seperti demam, takikardia, leukositosis, nyeri

tekan terlokalisir, nyeri abdomen yang terus menerus dan peritonitis

mengindikasikan adanya obstruksi dengan komplikasi. Bila terdapat 3 dari gejala

berikut ini: nyeri berkelanjutan, takikardia, leukositosis, tanda rangsang peritonitis

dan demam memiliki angka prediktif 82% untuk ileus obstruksi strangulata

sementara bila terdapat 4 dari gejala diatas memiliki angka prediktif mendekati

(27)

Bila pada foto abdomen ulang ternyata terdapat udara bebas intraabdomen

atau tanda-tanda dari obstruksi “closed-loop” maka pasien harus segera diterapi

operatif. Bila pada CT-Scan terdapat bukti iskhemia, strangulata atau gangguan

vaskular maka pasien juga harus segera diterapi operatif. (Di Saverio,2013;

Isaksson, 2011)

Bila setelah 72 jam ternyata tidak ada perbaikan dengan terapi

non-operatif maka sebaiknya dilakukan terapi non-operatif segera karena dengan

memperpanjang terapi non-operatif akan meningkatkan lama rawat inap di rumah

sakit, meningkatkan biaya dan meningkatkan risiko morbiditas perioperatif. (Di

Saverio,2013; Isaksson, 2011)

2.9 Prognosis Ileus Obstruksi Adhesi Pasca Operasi

Studi oleh Fevang dkk tahun 2002 menunjukkan bahwa angka mortalitas

pada kelompok ileus obstruksi total yang diterapi non-operatif hanya sebesar 6%.

Ileus obstruksi karena adhesi pasca operasi menyebabkan morbiditas yang cukup

bermakna. Kemungkinan akan terjadi ileus obstruksi adhesi pascaoperasi berulang

pada 12 % pasien yang diberi terapi non-operatif dan 8-32% pada pasien setelah

tindakan operatif. (Moran,2007; Wilson,1999)

Hasil penelitian Fevang et al tahun 2004 mengatakan bahwa satu tahun

setelah tindakan operasi dalam kasus sumbatan usus halus akibat adhesi akan

mempunyai risiko untuk terjadi sumbatan ulang sebesar 7%, dalam 10 tahun akan

mempunyai risiko 18% dan akan tetap meningkat hingga 29% pada 25 tahun

pasca operasi yang pertama. Tidak ada pasien yang mengalami kejadian obstruksi

berulang setelah 25 tahun pasca sumbatan usus halus akibat adhesi.

(28)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain

Penelitian ini adalah noneksperimental, deskriptif prospektif.

3.2 Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di sub bagian Bedah Digestif Rumah Sakit Adam

Malik Medan dari Desember 2013 hingga Februari 2014.

3.3 Cara Kerja dan Alur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan melakukan observasi dan pengawasan

terhadap pasien yang telah didiagonsis dengan ileus obstruksi karena adhesi pasca

operasi dan memenuhi kriteria inklusi.

Seluruh pasien ileus obstruksi karena adhesi pasca operasi ditegakkan

diagnosis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan dan pemeriksaan penunjang.

Seluruh pasien dengan ileus obstruksi parsial dan total diterapi non-operatif

dengan pemasangan NGT, rehidrasi cairan dan koreksi elektrolit. Observasi ketat

dilakukan selama 72 jam dan bila ternyata dinilai terdapat kegagalan terapi

non-operatif maka pasien segera dilakukan tindakan non-operatif.

Kriteria kegagalan terapi non-operatif pada pasien ileus obstruksi parsial

dan total karena adhesi pasca operasi yang dipakai adalah adanya tanda-tanda

peritonitis dan adanya tanda-tanda strangulata atau tidak menunjukkan adanya

(29)

Diagram 3.1: Penatalaksaan sumbatan akut usus halus akibat adhesi berdasarkan Bologna Guideline 2013

 Strangulasi atau peritonitis

 Riwayat operasi kurang dari 6 minggu

 Karsinoma atau hernia irreponibel

 Tidak ada perbaikan dalam 72 jam

Managemen Non-operatif  Dekompresi dengan NGT

 Pemasangan infus

 Observasi tanda klinis

Tindakan Operatif  Laparoskopi

 Explorasi laparotomi

Pemberian kontras

water soluble

Tidak dijumpai adanya kontras pada kolon dalam 24-36 jam

Dijumpai kontras pada kolon dalam 24 jam

Prediksi adanya

RESOLUSI/PERBAIKAN

PENATALAKSANAAN OBSTRUKSI USUS HALUS AKUT

 Tidak ada tanda-tanda strangulasi atau peritonitis

 Riwayat operasi lebih dari 6 minggu

 Sumbatan parsial

 Tanda-tanda resolusi pada saat dilakukan perawatan

Indikasi lanjut untuk tindakan Operasi

 Dijumpai tanda peritonitis

 Ileus >72 jam

 Volume NGT >500cc dalam 3 hari

 CRP≥74 mg/L

 Leukosit ≥ 10.000/mm3

(30)

3.4 Jumlah dan Besar Sampel

Rumus besar sampel yang digunakan :

Z21-/2 P (1-P)

n = --- d2

di mana n = Besar sampel minimum

Z1-/2 = Nilai distribusi normal baku (1,96 CI 95%)

P = Harga proporsi di populasi (0,85)

d = Kesalahan (absolut) yang dapat ditolerir (20%)

Jadi didapatkan jumlah sampel untuk penelitian adalah 14 pasien

3.5 Kriteria Penelitian 3.5.1 Kriteria inklusi

1. Pasien dengan obstruksi yang disebabkan adhesi pascaoperasi dengan usia

diatas 16 tahun.

2. Tidak dijumpai adanya tanda-tanda strangulasi ataupun peritonitis.

3.5.2 Kriteria Eksklusi

1. Pasien dengan obstruksi yang disebabkan oleh sebab lain.

2. Dijumpai tanda-tanda peritonitis

3. Dijumpai adanya tanda-tanda strangulasi

4. Pasien yang menunjukkan tanda-tanda resolusi pada saat akan dilakukan

(31)

3.6 Analisa data

Data dikumpulkan, diolah dan disajikan secara deskriptif.

3.7 Pertimbangan Etik

Karena peneliti menggunakan manusia sebagai subjek penelitian, maka

sebagai manusia harus dilindungi dengan memperhatikan prinsip-prinsip dalam

pertimbangan etik yaitu: responden mempunyai hak untuk memutuskan apakah ia

bersedia untuk menjadi subjek atau tidak tanpa sanksi apapun. Responden juga

mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan harus dirahasiakan,

untuk itu perlu adanya anonimity dan confidentiality.

3.8 Definisi Operasional

1. Usia adalah usia kronologis seseorang yang didata berdasarkan Kartu

Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), atau kartu

keluarga.

2. Jenis kelamin ditetapkan dengan menilai langsung jenis kelamin penderita

dan melihat tanda pengenal.

3. Obstruksi usus halus akibat adhesi pasca operasi adalah obstruksi usus

halus dengan riwayat operasi abdomen lebih dari 2 minggu.

4. Peritonitis adalah peradangan pada peritonium

5. Visual analog scale (VAS) penilaian sekala nyeri oleh pasien berdasarkan angka dari skala 0-10, dimana 0 tidak dijumpai nyeri dan 10 adalah nyeri

(32)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil

Dari hasil penelitian prospektik yang dilakukan dari bulan Desember 2013

hingga Februari 2014 didapatkan 14 kasus obstruksi usus halus akibat adhesi

pasca operasi. Jenis operasi terbanyak yang menyebabkan terjadinya ileus

obstruksi akibat adhesi adalah laparotomi sebanyak 6 kasus (42,85%). Laparotomi

atas indikasi appendik perforasi sebanyak 4 kasus, laparotomi pasca gaster

perforasi sebanyak 1 kasus dan laparotomi pasca operasi ileum perforasi akibat

trauma tumpul abdomen sebanyak 1 kasus. Kasus sumbatan usus halus akibat

adhesi pasca operasi sectio sesaria sebanyak 3 kasus (21,42%). Jenis operasi

lainnya yang menyebabkan terjadinya ileus obstruksi karena adhesi pasca operasi

dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Kelompok jenis operasi penyebab terjadinya ileus obstruksi karena adhesi pasca operasi

Jenis Operasi

Konservatif Operatif

Jmlh Total Obstruksi Parsial Obstruksi Total Obstruksi Parsial Obstruksi Total Jmlh % Jmlh % Jmlh % Jmlh %

Laparotomi 4 25% 1 6,25% - - 1 6,25% 6

Sectio Caesaria 3 18,75% - - - - 3

Appendektomy 3 18,75% - - - 3

Tumor Adnexa 1 6,25% - - - 1

Hernia 1 6,25% - - - 1

Jumlah Total 12 85,72% 1 7,14% - - 1 7,14% 14

Berdasarkan jenis kelamin, kejadian obstruksi karena adhesi lebih banyak

terjadi pada perempuan sebanyak 8 kasus (57,14%) bila dibandingkan

[image:32.595.114.508.468.646.2]
(33)

sesaria dan kasus ginekologis merupakan penyumbang terbanyak terhadap kasus

sumbatan usus halus akibat adhesi. Distribusi jenis kelamin terhadap kejadian

sumbatan usus halus akibat adhesi dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Distribusi kejadian ileus obstruksi karena adhesi berdasarkan kelompok jenis kelamin

Jenis Kelamin

Konservatif Operatif

Jmlh Total Obstruksi Parsial Obstruksi Total Obstruksi Parsial Obstruksi Total Jmlh % Jmlh % Jmlh % Jmlh %

Laki-Laki 5 35,71% 1 7,14% - - - - 6

Perempuan 7 50% - - - - 1 7,14% 8

Total 12 85,72% 1 7,14% - - 1 7,14% 14

Berdasarkan kelompok umur kejadian obstruksi akibat adhesi pasca

operasi paling banyak terjadi pada kelompok umur 41- 50 tahun sebanyak 5 kasus

(35,71%). Umur termuda yang mengalami obstruksi akibat adhesi adalah 16 tahun

dan yang tertua adalah 72 tahun. Distribusi kelompok umur dan jumlah kejadian

[image:33.595.115.511.185.316.2]

ileus obstruksi karena adhesi pasca operasi dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3. Kejadian ileus obstruksi karena adhesi berdasarkan kelompok umur Umur

(Tahun)

Konservatif Operatif

Jmlh Total Obstruksi Parsial Obstruksi Total Obstruksi Parsial Obstruksi Total Jmlh % Jmlh % Jmlh % Jmlh %

16 – 20 1 7,14% - - - 1

21 – 30 1 7,14% - - - 1

31 – 40 4 28,57% - - - - 1 7,14% 5

41 – 50 2 14,28% 1 7,14% - - - - 3

51 – 60 2 14,28% - - - 2

61 – 70 1 7,14% - - - 1

71 – 80 1 7,14% - - - 1

[image:33.595.113.512.490.693.2]
(34)

Interval tindakan operasi hingga menimbulkan gejala ileus obstruksi

karena adhesi terbanyak pada kelompok 1-5 tahun pasca operasi yaitu sebanyak 8

kasus (57,14%). Kejadian dengan interval terpendek yaitu 6 bulan dan yang

terpanjang sejak operasi pertama adalah 16 tahun. Interval kejadian ileus

obstruksi pasca operasi dapat dilihat pada tabel 4.4.

Tabel 4.4. Interval operasi hingga terjadinya ileus obstruksi akibat adhesi pasca operasi

Interval Operasi (Tahun)

Konservatif Operatif

Jmlh Total Obstruksi Parsial Obstruksi Total Obstruksi Parsial Obstruksi Total Jmlh % Jmlh % Jmlh % Jmlh %

< 1 4 28,57% - - - - 4

1 – 5 6 42,85% 1 7,14% - - 1 7,14% 8

> 5 2 14,28% - - - 2

Total 12 85,72% 1 7,14% - - 1 7,14% 14

Rata-rata waktu rawatan pasien yang dilakukan tindakan non operatif

adalah sebesar 4,2 hari, sedangkan pada pasien yang dilakukan tindakan operatif

membutuhkan waktu rawatan hingga 12,4 hari. Waktu rawatan non operatif yang

tersingkat adalah 2 hari dan yang terlama adalah 6 hari. Lamanya waktu rawatan

pada pasien dengan ileus obstruksi akibat adhesi dapat dilihat pada tabel 4.5.

Tabel 4.5. Lamanya waktu rawatan pada pasien dengan ileus obstruksi akibat adhesi pasca operasi

Waktu Rawatan

Konservatif Operatif

Jmlh Total Obstruksi Parsial Obstruksi Total Obstruksi Parsial Obstruksi Total Jmlh % Jmlh % Jmlh % Jmlh %

< 3 hari 2 14,28% - - - 2

3 – 5 8 57,14% - - - 8

[image:34.595.115.509.262.397.2]
(35)

4.2 Pembahasan

Bologna guideline 2013 merupakan suatu konsensus terhadap penegakkan diagnosis dan manajemen sumbatan usus halus akut akibat adhesi yang

dikeluarkan oleh World Society of Emergency Surgery (WSES) pada tahun 2010 dan direvisi pada tahun 2013. Konsensus ini bertujuan untuk mengembangkan

suatu algoritma terapi konservatif dalam penangan pasien dengan sumbatan usus

halus akut yang lebih aman, dan juga menentukan kapan indikasi untuk dilakukan

tindakan operatif.

Ada beberapa guideline yang ada dalam penangan sumbatan usus halus akut akibat adhesi. Selain Bolgona guideline tahun 2013 juga ada guideline yang

dikeluarkan oleh Eastern Association for Surgery of Trauma (EAST) tahun 2012 yang juga mengutamakan tindakan konservatif non operatif terhadap kasus

sumbatan usus halus akut akibat adhesi. Perbedaan yang paling mendasar dari

kedua guideline ini adalah dalam hal penggunaan CT-Scan sebagai alat bantu dalam menegakkan diagnosis sumbatan usus halus akut. Pada guideline yang dikeluarkan oleh EAST mengharuskan dilakukannya CT-Scan abdomen terhadap

semua pasien dengan sumbatan usus halus akut, sedangkan penggunaan CT-Scan

abdomen pada Bologna guideline merupakan pilihan apabila tidak didapatkan

hasil yang konklusif terhadap adanya sumbatan usus halus akut akibat adhesi

setelah dilakukan anamnesis, pemeriksan fisik, dan foto polos abdomen.

Penulis memilih untuk menggunakan Bologna guideline karena lebih

sesuai dengan kondisi di RSUP H.Adam Malik, dimana penggunaan CT-Scan

abdomen sangat selektif. Selain itu, Bologna guideline lebih aplikatif dan lebih

(36)

algoritma dalam menegakkan diagnosis dan menajemen pasien dengan sumbatan

usus halus akut akibat adhesi.

Selama bulan Desember 2013 hingga Februari 2014 didapatkan 14 kasus

sumbatan usus halus akibat adhesi pasca operasi. Tindakan non operatif dalam

penanganan ileus obstruktif karena adhesi dengan menggunakan Bologna guideline yang dilakukan terhadap 14 pasien secara keseluruhan didapatkan

tingkat keberhasilan sebesar 92,85%.

Untuk kasus dengan parsial obstruksi didapakan keberhasilan hingga

100%, dimana tidak ada pasien dengan sumbatan usus halus parsial yang

dilakukan tindakan operatif. Pada kasus sumbatan usus halus total didapatkan 2

pasien. Sumbatan usus halus total didapatkan setelah dilakukan pemeriksaan

water soluble follow through tidak ada dijumpai adanya kontras di saekum setelah 24 jam foto kontrol. Satu orang dengan sumbatan usus halus total berhasil

dilakukan tindakan non operatif sedangkan pasien lainnya harus menjalani

tindakan operatif. Tindakan operatif dilakukan pada hari ke 4 dimana setelah

dilakukan perawatan selama 72 jam tidak didapatkan adanya perbaikan klinis,

dengan prosuksi NGT pada hari ke 3>500cc, VAS>4 dan disertai demam dan

takikardi.

Keberhasilan tindakan non operatif Bologna Guideline pada penelitian ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan keberhasilan yang didapatkan dari

beberapa literatur, dimana dari penelitian yang dilakukan oleh Seror et al

didapatkan angka keberhasilan untuk tindakan non operatif pada kasus ileus

(37)

pada kasus ileus obstruksi parsial. Tindakan non operatif manajemen pada kasus

ileus obstruksi total didapatkan tingkat keberhasilan antara 41% hingga 73%.

Penelitian yang dilakukan oleh Salamah et al dengan menggunakan

kontras larut air untuk diagnosis dan manajemen obstruksi usus halus akibat

adhesi didapatkan angka keberhasilan non operatif pada kasus obstruksi parsial

sebesar 81,7%, sedangkan pada kasus obstruksi total dimana tidak didapatkannya

kontras pada kolon tindakan non operatif hanya berhasil pada 30,8%

kasus.(Salamah,2006)

Penggunaan kontras larut air sebagai diagnostik dan terapeutik yang juga

digunakan pada Bologna Guideline terbukti dapat meningkatkan angka

keberhasilan tindakan non operatif pada pasien dengan ileus obstruktif karena

adhesi. Water soluble kontras dengan osmolaritas yang lebih tinggi dapat menarik cairan sehingga mengurangi edem pada usus. Selain itu water soluble kontras juga

dapat menurunkan waktu kontak atau sebagai pelicin dalam pasase isi usus

sehingga meningkatkan motalitas usus dan mempermudah isi usus melewati celah

yang sempit. (Choi, 2002; Salamah, 2006; Srinivasa, 2009; Maung, 2012)

Pada penelitian ini yang digunakan adalah Iopamiro 370 yang mempunyai

osmolaritas lebih rendah bila dibandingkan Gastrografin. 30cc Iopamiro 370

dilarutkan dalam 100cc air kemasan dan dimasukkan via selang NGT. Untuk

tujuan diagnostik Iopamiro 370 masih dapat digunakan dengan terlihatnya

gambaran kontras pada kolon. Namun untuk tujuan terapeutik masih perlu diteliti

(38)

Gambar 4.1: Foto water soluble follow through pada 4 jam pertama dan 12 jam. Tampak kontras mengisi kolon setelah 12 jam yang menandakan sumbatan parsial.

Penelitian ini mendapatkan jumlah kasus ileus obstruksi karena adhesi

lebih banyak pada perempuan (8 kasus) dibandingkan pada pria (6 kasus).

Penelitian yang dilakukan oleh Fevang et al juga mendapatkan jumlah pasien

perempuan lebih banyak bila dibandingkan laki-laki. Lebih banyaknya kasus

akibat tindakan ginekologi dan sectio caesaria pada penelitian ini menjadi

penyumbang terbanyak tingginya kejadian ileus obstruksi akibat adhesi pasca

operasi pada perempuan. Namun demikian, tidak ada literatur yang mengatakan

faktor jenis kelamin sebagai faktor risiko untuk terjadi ileus obstruktif karena

adhesi. (Salamah, 2006; Maung, 2012)

Pada penelitian ini didapatkan jenis operasi yang paling banyak

menyebabkan terjadinya ileus obstruktif adalah tindakan laparotomi, terutama

pada laparotomi akibat appendik perforasi. Operasi sectio caesaria dan ginekologi

merupakan penyumbang terbanyak ke dua. Hal ini yang menyebabkan jumlah

pasien perempuan lebih banyak bila dibandingkan pasien laki-laki.

[image:38.595.183.442.84.244.2]
(39)

Namun demikian, beberapa literatur menyebutkan bahwa kejadian

sumbatan usus halus akibat adhesi lebih banyak terjadi pada pasca tindakan

laparotomi appendektomi (23%) bila dibandingkan tindakan laparotomi

ginekologi (12%). Penelitian Hayanga juga menyatakan bahwa sumbatan usus

halus kompleks atau yang disertai dengan strangulasi lebih banyak terjadi akibat

single adhesi bila dibandingkan pada adhesi yang multiple. Dimana pada adhesi

yang multiple jarang menimbulkan strangulasi namun hanya menimbulkan

obstruksi sederhana. (Hayanga,2005)

Penelitan Fevang juga mendapatkan kejadian ileus obstruksi karena adhesi

berulang lebih banyak terjadi pada kasus appendektomi bila dibandingkan akibat

kasus ginekologi. Operasi appendektomi mempunyai risiko rekuren untuk terjadi

ileus obstruksi yang lebih tinggi bila dibandingkan tindakan laparotomi akibat

kelainan ginekologi. (Fevang,2004)

Interval pasca operasi hingga terjadinya ileus obstruksi pada penelitian ini

paling banyak didapatkan antara 1 hingga 5 tahun (57,14%) setelah tindakan

pembedahan sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Miller et al juga

mendapatkan bahwa interval kejadian ileus obstruksi pasca operasi lebih sering

terjadi pada 1 hingga 5 tahun pasca tindakan laparotomi. (Fevang,2004)

Penelitian yang dilakukan oleh Fevang tahun 2004 mendapatkan bahwa

sebanyak 50% pasien mendapatkan kejadian ileus obstruksi berulang akibat

adhesi pada 5 tahun setelah perawatan mereka yang pertama. Interval kejadian

ileus obstruksi berulang akan lebih singkat pada pasien yang dilakukan perawatan

(40)

ataupun yang tidak dilakukan pembedahan akan mempunyai risiko yang sama

terhadap tindakan pembedahan untuk episode ileus obstruktif berulang berikutnya.

Faktor umur merupakan faktor risiko untuk terjadi ileus obstruktif karena

adhesi. Umur kurang dari 60 tahun merupakan risiko untuk terjadinya ileus

obstruktif karena adhesi (Di Saverio, 2013). Kelompok umur yang paling banyak

terjadi ileus obstruksi karena adhesi pada penelitian ini adalah pada kelompok

umur 31 - 40 tahun yaitu sebanyak 5 kasus (35,71%).

Lamanya waktu rawatan rata-rata non operatif untuk ileus obstruktif

karena adhesi pada penelitian ini adalah 4,2 hari. Waktu rawatan tersebut jauh

lebih singkat bila dibandingkan dengan waktu rata-rata rawatan pada pasien yang

dilakukan tindakan operatif yaitu hingga 12,4 hari. Penelitian yang dilakukan

Isaksson et al tahun 2010 mendapatkan waktu rata-rata rawatan pasien yang

dilakukan tindakan non operatif adalah 2 hari dan yang dilakukan tindakan

operatif selama 13 hari. Hal ini juga sesuai dengan beberapa literatur yang

menyatakan bahwa terapi non operatif untuk ileus obstruktif akibat adhesi lebih

rendah bila dibandingkan dengan yang dilakukan tindakan operatif.

(Fevang,2004; Chen,2004; Salamah,2008; Maung,2012).

Melakukan terapi non operatif pada sebagian besar kasus sumbatan usus

halus akibat adhesi masih cukup aman untuk dilakukan hingga 5 hari.

(Chen,1999) Bahkan pada penelitian yang dilakukan oleh Shih tahun 2003

mendapatkan waktu rata-rata rawatan non operatif untuk mendapatkan resolusi

(41)

BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan

1. Tingkat keberhasilan non operatif Bologna guideline pada sumbatan usus

halus akibat adhesi pasca operasi secara keseluruhan sebesar 92,85%.

2. Perempuan lebih banyak mengalami sumbatan usus halus pasca operasi

dibanding laki-laki dengan perbandingan 1,3:1.

3. Operasi laparotomi merupakan operasi terbanyak penyebab terjadinya

sumbatan usus akibat adhesi sebesar 42,85%.

4. Kelompok usia 31 - 40 tahun merupakan kelompok usia terbanyak

terjadinya sumbatan usus halus akibat adhesi pasca operasi sebesar

35,71%.

5. Interval tindakan operasi hingga terjadinya sumbatan usus halus akibat

adhesi pasca operasi terbanyak pada kelompok 1-5 tahun sebesar 57,14%

6. Lamanya waktu rawatan rata-rata non operatif untuk sumbatan usus halus

akibat adhesi adalah 4,2 hari dan rata-rata waktu rawatan untuk tindakan

operatif adalah 12,4 hari.

5.2 Saran

1. Perlu dicari variabel lain yang dapat menentukan kapan diperlukannya

tindakan operasi pada pasien dengan sumbatan usus halus akibat adhesi

pasca operasi.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor yang

menentukan dilakukan tindakan operatif pada pasien dengan sumbatan

(42)

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang efek terapeutik kontras larut

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas SM, Bissett IP, Parry BR. Meta-analysis of oral water-soluble contrast agent in the Management of adhesive small bowel obstruction.British Journal of Surgery. 2007; 94: 404–411

Arung W, Meurisse M, Detry O. Pathophysiology and prevention of postoperative peritoneal adhesions. World J Gastroenterol. 2011 November ; 17(41): 4545-53 Al Salamah SM, Fahim F, Mirza SM. Value of Water-soluble Contrast

(Meglumine Amidotrizoate) in the Diagnosis and Management of Small Bowel Obstruction.World J Surg. 2006; 30: 1290–94

Binda MM, Koninckx PR. Prevention of adhesion formation in a laparoscopic mouse model should combine local treatment with peritoneal cavity conditioning. Human Reproduction. 2009; 24(6): 1473–79

Binda MM, Molinas CR, Mailova K, Koninckx PR. Effect of temperature upon adhesion formationin a laparoscopic mouse model. Human Reproduction. 2004; 19 (11): 2626–32

Brokelman WJA, Lensvelt M, Rinkes HM, Klinkenbijl JHG, Reijnen M.

Peritoneal changes due to laparoscopic surgery. Surg Endosc. 2011. 25:1–9 Chen SC, Yen ZS, Lee CC, Liu YP. Non surgical management of partial

adhesive small-bowel obstruction with oral therapy: a randomized

clinical trial. Canadian Medical Association. Journal. 2005; 173(10): 1165 Chen SC, Chang KJ, Lee PH, Wang SM, Chen KM. Oral Urografin in Postoperative

Small Bowel Obstruction. World Journal of Surgery. 1999; 1051-4 Choi HK, Chu KW, Law WL. Therapeutic Value of Gastrografin in Adhesive

Small Bowel Obstruction After Unsuccessful Conservative Treatment A Prospective Randomized Trial.Annals of surgery. 2002; 236(1): 1–6

Cheong YC, Laird SM, Shelton JB, Ledger WLI, Cooke ID. Peritoneal healing and adhesion formation/reformation. Human Reproduction Update. 2001;

7(6):556-66

Dubuisson J, et all. Incidence of intraabdominal adhesions in a continuous series of 1000 laparoscopic procedures. American Journal of Obstetrics & Gynecology. 2010; 9: 13-7

Di Saverio et al.Bologna guidelines for diagnosis and management of

(44)

Diaz JJ et al. Guidelines for Management of Small Bowel Obstruction. J Trauma. 2008; 64:1651–166

Federicco C et al. Peritoneal adhesion index (PAI): proposal of a score for the

“ignored iceberg” of medicine and surgery. World Journal of Emergency

Surgery. 2013; 8:6

Fevang BT, Fevang J, Lie SA, Søreide O, Svanes K, Viste A. Long-term Prognosis After Operation for Adhesive Small Bowel Obstruction. Annals of Surgery. 2004; 240(2): 193-201

Hayanga AJ, Bass-Wilkins K, Bulkley GB. Current Management of Small- Bowel Obstruction. Advances in Surgery. Mosby. 2005

Maung AA et al. Evaluation and management of small-bowel obstruction: An Eastern Association for the Surgery of Trauma practice management guideline. J Trauma Acute Care Surg. 2012; 73(5): 362-9

Huang JC, Chen SC, Yang TK, Yu FJ, Yang FO, Chang JM. Peritoneal

adhesion: it can be life-threatening, and life-saving. BMC Nephrology. 2012; 13:113

Isaksson K, Weber E, Andersson R, Tingstedt B. Small bowel obstruction: early parameters predicting the need for surgical intervention. Eur J Trauma Emerg Surg. 2011; 37:155–159

Ikechebelu JI, Eleje GU, Umeobika JC, Eke NO, Eke AC, Mbachu II.

Prevalence and pattern of intra-abdominal adhesions seen at diagnostic

laparoscopy among infertile women with prior open appendicectomy in Nnewi, south-east Nigeria. Journal of Medicine and Medical Sciences. October 2010; 1(9) : 391- 94

Kamel RM. Prevention of postoperative peritoneal adhesions. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology. 2010; 150: 111–118 Koninckx PR, Binda MM, Corona R, Molinas CR. Postoperative adhesions and their prevention.August 2010

Liakakos T, Thomakos N, Fine PM, Dervenis C, Young RL. Peritoneal Adhesions:Etiology, Pathophysiology, and Clinical Significance Recent Advances in Prevention and Management. Dig Surg. 2001; 18:260–73 Moran BJ. Adhesion-related small bowel obstruction. Journal of Colorectal

Disease. 2007; 9( 2): 39–44

Pismensky et al. Severe inflammatory reaction induced by peritoneal trauma is the key driving mechanism of postoperative adhesion formation. BMC surgery. 2011; 11:30-9

(45)

Schonman R, Corona R, Bastidas A, Cicco CD, Koninckx PR. Effect of Upper Abdomen Tissue Manipulation on Adhesion Formation between Injured Areas

in a Laparoscopic Mouse Model. Journal of Minimally Invasive Gynecology. 2009; 16 (3): 307-12

Shou-Chuan S, et all. Adhesive small bowel obstruction: How long can patients tolerate conservative treatment?. World J Gastroenterol. 2003; 9(3): 603-605 Swank DJ, Swank SCG, Hop WCJ, Erp WFM, Janssen IMC, Bonjer HJ,

Jeekel J. Laparoscopic adhesiolysis in patients with chronic abdominal pain: a blinded randomised controlled multi-centre trial. The Lancet. 2003; 361: 1247-51

Srinivasa S, Thakore N, Abbas , Mahmood M, Kahokehr A. Impact of

Gastrografin in clinical practice in the management of adhesive small bowel obstruction. Canadian Journal of Surgery. Apr 2011; 54.2: 123-7

Staunton, Marie, Malone, Dermot E. Can Diagnostic Imaging Reliably Predict the Need for Surgery in Small Bowel Obstruction? Critically Appraised Topic. Canadian Association of Radiologists Journal . Apr 2005; 56(2): 79-81

Tanaka K et al. Lactate levels in the detection of preoperative bowel strangulation. The American Surgeon. January 2012; 78: 86-8

(46)

Lampiran 1

Susunan Peneliti

Peneliti

a. Nama lengkap : Dr. Heldrian Dwinanda Suyuthie

b. Fakultas : Kedokteran

c. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara

Pembimbing I

a. Nama lengkap : Prof.Dr.Bachtiar Surya, SpB-KBD

b. Fakultas : Kedokteran

c. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara

d. Bidang Keahlian : Bedah Digestif

Pembimbing II

a. Nama lengkap : Dr.Budi Irwan, SpB-KBD

b. Fakultas : Kedokteran

c. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara

Gambar

Gambar 2.1 : Foto polos abdomen supine dan erek dengan dijumpainya dilatasi usus, gambaran herring bone dan multiple air fluid level disertai mukosa yang edema, tidak dijumpainya udara pada kolon
Tabel 4.1. Kelompok jenis operasi penyebab terjadinya ileus obstruksi karena adhesi pasca operasi
Tabel 4.2. Distribusi kejadian ileus obstruksi karena adhesi berdasarkan
Tabel 4.4. Interval operasi hingga terjadinya ileus obstruksi akibat adhesi pasca operasi
+2

Referensi

Dokumen terkait

kami mengundang Bapak/lbu sebagaimana daftar terlampir untuk hadir pada.. Kegiatan Penyelenggaraan Layanan Informasi Keagamaan dan

Rumusan Kompetensi Dasar dikembangkan dengan mempertimbangkan karakteristik peserta didik, kemampuan awal, serta ciri dari suatu mata pelajaran1. Kompetensi Dasar

Setiap orang atau instansi pasti menginginkan suatu keamanan data yang sangat kuat agar suatu informasi yang dianggap sangat rahasia dapat terjamin kerahasiaanya,maka dengan

Penerapan tema pada bangunan adalah dengan membuat disain yang terdiri dari berbagai unsur-unsur yang tedapat pada bangunan tradisional Jepang yang kemudian digabungkan

[r]

Kant or Pusat Tat a Usaha Universit as Gadjah M ada, Bulaksumur Universit as Gadjah M ada mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/ Jasa Dana DIPA unt uk pelaksanaan kegiat an t

7,6 Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis seperti hipertensi, diabetes melitus, pertambahan usia, ada riwayat keluarga

Penelitian siklisasi lateks karet alam dengan katalis asam sulfat ini dilakukan untuk mengetahui kinetika reaksi siklisasi lateks karet alam dan nilai konstanta