• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi Penutupan Lahan

Kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam enam tipe penutupan lahan, antara lain: hutan mangrove, badan air, perkebunan, pemukiman, tambak dan lahan terbuka. Pengklasifikasian sebelumnya dilakukan dengan membagi kawasan hutan ke dalam 5 penutupan lahan utama, yaitu hutan mangrove, badan air, perkebunan, pemukiman dan lahan terbuka. Untuk tipe penutupan tambak dilakukan dengan merubah atribute data pada penutupan badan air yang berada di daratan dan membentuk pola menyerupai tambak. Proses ini dilakukan dengan menggunakan Petunjuk Teknis Penafsiran Citra yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.

Hal tersebut dilakukan mengingat dalam penggunaan klasifikasi terbimbing, tipe penutupan tambak secara visual memiliki rona, warna dan tekstur yang sama dengan badan air sehingga sulit terpisahkan. Untuk mengatasi hal ini maka digunakanlah kunci interpretasi sebagai acuan dengan tidak mengurangi akurasi pengkelasan tipe penutupan lahan lainnya yang menggunakan metode klasifikasi terbimbing. Hasil interpretasi citra Landsat menggunakan klasifikasi terbimbing dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Tipe penutupan lahan di kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan No

Tipe Penutupan

Lahan

Ciri-ciri pada citra satelit Gambar pada citra satelit

Kondisi di lapangan 1 Hutan

mangrove

1. Biasanya berwarna hijau dengan tekstur agak halus. 2. Rona agak gelap sampai

dengan terang.

3. Menampilkan pola yang tidak teratur dan terletak di daerah pantai serta di muara sungai sungai besar. 2 Badan air 1. Memiliki tekstur halus.

2. Warna biru sampai biru kehitaman.

3. Menampilkan pola yang tidak teratur.

3 Pemukiman 1. Biasanya berwarna merah muda sampai keunguan dengan tekstur agak kasar. 2. Rona terang sampai agak

gelap.

3. Menampilkan pola yang tidak teratur dan terkadang terlihat jaringan jalan.

4 Perkebunan 1. Umumnya berwarna hijau muda sampai tua dengan tekstur agak halus dan agak kasar.

2. Rona agak terang dengan bentuk beraturan (kelapa sawit) dan tidak beraturan (kelapa rakyat)

3. Biasanya terdapat jaringan jalan.

5 Tambak 1. Warna biru kehitaman menyerupai badan air dengan rona agak gelap. 2. Memiliki tekstur halus

dengan pola yang seragam.

3. Biasanya berada di pinggir laut atau dekat dengan muara sungai.

6 Lahan terbuka

1. Umumnya berwarna

kemerahan dengan rona agak terang.

2. Memiliki tekstur halus. 3. Biasanya memilki pola

tidak teratur.

Sumber: Hasil analisis GIS, 2011

Adapun nilai akurasi keseluruhan (overall accuracy) pengkelasan tipe penutupan lahan menggunakan klasifikasi terbimbing pada tahun 2002 sebesar 98,29 %, tahun 2006 sebesar 98,62% dan tahun 2010 sebesar 97,90 % (Lampiran 3). Menurut Jaya (2002) Pengklasifikasian harus diulang jika overall accuracy besarnya kurang dari 85%. Semakin tinggi nilai akurasinya maka pengklasifikasian yang dilakukan akan semakin baik.

Penutupan Lahan Tahun 2002, 2006 dan 2010

Pengklasifikasian tipe penutupan lahan yang telah dilakukan pada citra Landsat tahun 2002, 2006 dan 2010 di kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan dari masing-masing tipe penutupan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Distribusi penutupan lahan di kawasan hutan mangrove kab. Asahan tahun 2002, 2006 dan 2010.

Klasifikasi penutupan lahan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pada tahun 2002 penutupan lahan terbesar adalah hutan mangrove dengan luas 4083,60 Ha atau sebesar 58,42 % dari total luas kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan (Lampiran 3). Selanjutnya diikuti secara berturut, yaitu perkebunan seluas 2001,70 Ha atau 28,64 %, badan air seluas 714,47 Ha atau 10,22 %, pemukiman seluas 80,66 Ha atau 1,15 %, lahan terbuka seluas 58,31 Ha atau 0,83% dan tambak seluas 51,50 Ha atau 0,74 % dari total luas kawasan hutan.

Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa luasan hutan mangrove mengalami penurunan pada tahun 2006, yaitu menjadi 3976,83 Ha atau 56, 89 % dari total luasan. Selanjutnya disusul berturut-turut oleh perkebunan seluas 1895,16 Ha atau 27,11 %, badan air seluas 713,29 Ha atau 10,20 %, pemukiman seluas 250,17 Ha 3,58 %, lahan terbuka seluas 99,73 Ha atau 1,43 % dan tambak seluas 55,06 Ha atau 0,79%. Adapun tutupan lahan yang mengalami penambahan

Luas (Ha)

Tahun:

luasan dari tahun 2002 adalah pemukiman, lahan terbuka dan tambak sedangkan pada hutan mangrove, badan air dan perkebunan mengalami penurunan luasan.

Selama rentang waktu empat tahun dari tahun pengamatan sebelumnya (tahun 2006) dapat diketahui bahwa masing-masing tipe penutupan lahan mengalami penambahan maupun pengurangan jumlah luasan dan proporsi. Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui pada tahun 2010 hutan mangrove kembali mengalami penurunan luasan dan proporsi, yaitu hanya tinggal seluas 3573 Ha atau 51,11 % dari total luasan.

Tipe penutupan lahan lainnya yang juga mengalami penurunan luasan adalah lahan terbuka dengan luasan 69,28 Ha atau 0,99 % dari total luas kawasan hutan (Lampiran 3). Adapun tipe penutupan lahan yang mengalami penambahan jumlah luasan dan proporsi adalah badan air menjadi seluas 723,54 Ha atau 10,35%, perkebunan seluas 2189,53 Ha atau 31,32 %, pemukiman seluas 368,73 Ha atau 5,27 % dan tambak menjadi seluas 66,16 Ha atau 0,95 %.

Perubahan Tutupan Lahan Kawasan Hutan Mangrove Kabupaten Asahan Hutan mangrove memberikan kontribusi yang signifikan terhadap ekosistem flora dan fauna pantai sekaligus sebagai pelindung garis pantai dari abrasi, gelombang laut maupun angin topan. Secara tidak langsung menurunnya kondisi hutan mangrove mempengaruhi ketersediaan sumberdaya perairan. Para nelayan di sekitar kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan mengaku bahwa hasil-hasil tangkapan mereka di sekitar hutan mangrove semakin berkurang dari tahun ke tahun seiring dengan berkurangnya luasan hutan mangrove. Berbagai

kepentingan dan aktifitas manusia memberikan dampak terhadap kondisi hutan mangrove dan berbagai perubahan tutupan lahan yang terjadi.

Menurut Onrizal (2010) perubahan luas hutan mangrove primer menjadi hutan mangrove sekunder terutama disebabkan oleh aktivitas penebangan, baik untuk industri kayu arang maupun kayu bakar dan perancah. Perubahan dari hutan mangrove primer dan sekunder menjadi areal non hutan mangrove diakibatkan oleh konversi, terutama pembukaan areal untuk pertambakan, perkebunan, permukiman dan areal pertanian lainnya.

Pengamatan terhadap penutupan lahan di kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan dengan rentang waktu delapan tahun, yaitu tahun 2002, 2006 dan 2010 menunjukkan bahwa kawasan ini mengalami perubahan penutupan lahan baik penambahan maupun pengurangan luasan. Dalam penelitian ini perubahan lahan yang terjadi dibagi ke dalam tiga periode, yaitu periode perubahan tahun 2002-2006, perubahan tahun 2006-2010 dan perubahan tahun 2002-2010.

Perubahan Penutupan Lahan Tahun 2002-2006

Hasil klasifikasi penutupan lahan pada citra Landsat pada tahun 2002 dan tahun 2006 (Lampiran 7) menunjukkan bahwa sebagian besar tipe penutupan lahan mengalami perubahan menjadi tipe penutupan lahan lainnya. Hal ini diiringi dengan penambahan dan pengurangan luasan maupun proporsi dari setiap penutupan lahan. Perubahan bentuk dan luasan dari setiap penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar tipe penutupan lahan mengalami perubahan bentuk dan luasan sedangkan pemukiman tidak mengalami perubahan bentuk namun luasannya bertambah pada tahun 2006 menjadi 250,17 Ha atau meningkat sebesar 210,15 % dari tahun 2002. Pengurangan jumlah luasan terbesar terjadi pada hutan mangrove, yaitu sebesar 106,77 Ha dengan proporsi 2,61 % luas hutan mangrove pada tahun 2002. Selama rentang waktu empat tahun, hutan mangrove mengalami perubahan bentuk menjadi badan air, perkebunan, pemukiman, lahan terbuka dan tambak.

Penambahan jumlah luasan terbesar terjadi pada pemukiman, yaitu seluas 169,51 Ha. Selanjutnya diikuti berturut-turut lahan terbuka bertambah sebesar 41,42 Ha atau 71,03 % dan tambak seluas 3,56 Ha atau 6,91 % dari luasan tahun 2002. Perubahan bentuk setiap tutupan lahan selama periode 2002-2006 dapat dilihat pada peta.

Pengurangan jumlah luasan dan perubahan bentuk hutan mangrove menjadi berbagai bentuk tutupan lahan lainnya disebabkan oleh adanya aktifitas manusia di sekitar hutan dan kepentingan berbagai pihak. Selanjutnya Onrizal (2010) menyatakan bahwa areal hutan mangrove juga berkurang akibat abrasi yang diawali oleh rusaknya tegakan hutan mangrove akibat konversi dan penebangan dalam skala yang besar.

Tabel 3. Perubahan bentuk dan luas tutupan lahan di kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan periode tahun 2002-2006

Penutupan lahan tahun 2002

Penutupan Lahan tahun 2006 Total 2002

Hutan mangrove Badan

Air Perkebunan Pemukiman

Lahan terbuka Tambak Luas (Ha) Proporsi (%) Hutan mangrove 3917,08 62,44 13,55 84,48 2,70 3,35 4083,60 58,42 Badan air 59,75 650,85 - 3,87 - - 714,47 10,22 Perkebunan - - 1856,16 81,16 64,38 - 2001,70 28,64 Pemukiman - - - 80,66 - - 80,66 1,15 Lahan terbuka - - 25,45 - 25,95 6,91 58,31 0,83 Tambak - - - - 6,70 44,80 51,50 0,74

Total luas 2006 (Ha) 3976,83 713,29 1895,16 250,17 99,73 55,06 6990,24 100,00 Perubahan Tutupan lahan (Ha) -106,77 -1,18 -106,54 169,51 41,42 3,56

Perubahan Tutupan lahan (%) -2,61 -0,17 -5,32 210,15 71,03 6,91 Ket: tanda (+) mengindikasikan adanya penambahan jumlah dan tanda (-) mengindikasikan adanya pengurangan jumlah.

Sumber: Hasil analisis GIS, 2011

Berdasarkan hasil survei di lapangan sebagian besar perkebunan yang berada dalam kawasan hutan mangrove adalah kebun kelapa rakyat dan sisanya adalah kebun kelapa sawit. Menurut Tambunan dkk (2005) kawasan hutan mangrove di Kabupaten Asahan sebahagian besar telah berubah fungsi menjadi pemukiman masyarakat serta perkebunan kelapa rakyat. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 6.

(a) (b)

Gambar 6. Perubahan hutan mangrove menjadi kebun kelapa rakyat (a) dan kelapa sawit (b). Bertambahnya jumlah penduduk juga memicu terjadinya penurunan luasan hutan mangrove. Peningkatan jumlah penduduk diiringi dengan kebutuhan akan ruang yang lebih luas sebagai tempat tinggal dan beraktifitas. Selama kurun waktu empat tahun sebanyak 84,48 Ha hutan mangrove berubah menjadi areal pemukiman.

Salah seorang warga yang tinggal di dalam kawasan hutan mangrove menyatakan bahwa selama kurun waktu 2002-2006 telah berdiri perusahan swasta untuk mengembangkan komoditi kelapa sawit di dalam kawasan hutan tersebut. Sebagian masyarakat mulai menggarap areal hutan mangrove untuk dijadikan sebagai tambak. Tambunan dkk (2005) menegaskan bahwa keterbatasan pemahaman atas nilai dan manfaat mangrove sangat menentukan bentuk, strategi dan kegiatan dalam pengelolaan mangrove yang ada.

Perubahan Penutupan Lahan Tahun 2006-2010

Hasil klasifikasi penutupan lahan pada kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan dengan menggunakan citra Landsat tahun 2006 dan 2010 (Lampiran 8) menunjukkan bahwa selama periode waktu tersebut mengalami perubahan tipe penutupan lahan yang tidak jauh berbeda dengan periode sebelumnya. Akan tetapi untuk luasan masing-masing penutupan lahan mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Bentuk perubahan lahan yang mengalami total perubahan terbesar selama periode 2006-2010 adalah hutan mangrove, yaitu seluas 403,83 Ha atau 10,15 % dari total luasnya pada tahun 2006. Selanjutnya diikuti secara berturut-turut oleh perkebunan sebesar 294,37 Ha, pemukiman seluas 118,56 Ha, lahan terbuka seluas 30,45 Ha, tambak seluas 11,10 Ha dan badan air seluas 10,25 Ha.

Tabel 4 menunjukkan bahwa tipe penutupan pemukiman tidak mengalami bentuk perubahan sedangkan kelima tipe penutupan lahan lainnya mengalami perubahan bentuk serta luasan. Hutan mangrove dengan luasan paling tinggi pada tahun 2006, yaitu 3976,83 Ha kembali mengalami perubahan bentuk dan luasan selama kurun waktu 4 tahun. Pada tahun 2010 hutan mangrove hanya tinggal seluas 3573,67 Ha.

Tabel 4. Perubahan bentuk dan luas tutupan lahan di kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan periode tahun 2006-2010

Penutupan lahan tahun 2006

Penutupan Lahan tahun 2010 Total 2006

Hutan mangrove Badan Air Perkebunan Pemukiman Lahan terbuka Tambak Luas (Ha) Proporsi (%)

Hutan mangrove 3527,67 57,50 315,63 66,81 8,01 1,21 3976,83 56,89 Badan air 45,33 666,04 - 1,92 - - 713,29 10,20 Perkebunan - - 1803,38 43,94 47,84 - 1895,16 27,11 Pemukiman - - - 250,17 - - 250,17 3,58 Lahan terbuka - - 70,52 5,89 13,43 9,89 99,73 1,43 Tambak - - - - - 55,06 55,06 0,79

Total luas 2010 (Ha) 3573,00 723,54 2189,53 368,73 69,28 66,16 6990,24 100,00 Perubahan Tutupan lahan (Ha) -403,83 10,25 294,37 118,56 -30,45 11,10

Perubahan Tutupan lahan (%) -10,15 1,44 15,53 47,39 -30,53 20,16 Ket: tanda (+) mengindikasikan adanya penambahan jumlah dan tanda (-) mengindikasikan adanya pengurangan jumlah.

Sumber: Hasil analisis GIS, 2011

Perubahan bentuk dan luasan terbesar yang terjadi pada tutupan hutan mangrove adalah menjadi perkebunan, yaitu seluas 315,63 Ha. Pada kurun waktu 2006 sampai 2010 perusahan perkebunan swasta yang ada telah melakukan penggarapan dengan menanam komoditi kelapa sawit pada kawasan hutan mangrove. Hal ini dibuktikan pada saat observasi di lapangan dimana ditemukan tanaman sawit yang berumur sekitar 4 tahun telah tumbuh rapi pada kawasan hutan mangrove asahan.

Pemukiman pada tahun 2010 kembali mengalami peningkatan luasan menjadi 368,73 Ha. Hampir semua tipe penutupan lahan beralih fungsi menjadi pemukiman, hanya tipe penutupan tambak yang tidak beralih fungsi menjadi pemukiman. Pertambahan jumlah penduduk (BPS, 2006 dan 2010) kembali menjadi pemicu adanya perubahan fungsi kawasan menjadi bentuk pemukiman. Perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.

(a) (b)

Gambar 7. Perubahan bentuk badan air menjadi pemukiman (a) dan hutan mangrove menjadi pemukiman (b).

Tipe penutupan lahan terbuka mengalami penurunan jumlah luasan dan berubah menjadi perkebunan dan pemukiman. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan di lapangan, hal ini disebabkan lahan yang sebelumnya digarap oleh masyarakat maupun pihak swasta sebelum tahun 2006 telah ditanami menjadi

areal perkebunan kelapa sawit pada tahun 2010 serta sebagian luasan menjadi daerah pemukiman bagi para masyarakat yang bekerja di perusahaan perkebunan tersebut.

Perubahan Penutupan Lahan Tahun 2002-2010

Perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang tahun 2002 sampai dengan tahun 2010 merupakan akumulasi dari berbagai perubahan bentuk dan luasan yang terjadi pada setiap tipe penutupan lahan dalam dua periode sebelumnya, yaitu tahun 2002-2006 dan 2006-2010 (Lampiran 9). Sesungguhnya perubahan besar-besaran terhadap alih fungsi hutan mangrove menjadi bentuk pemanfaatan lahan yang lain terjadi pada awal tahun 1990-an. Menurut salah seorang warga, pada awal tahun 1990-an masyarakat Asahan mulai tertarik untuk menanam kelapa sawit di tanah milik mereka maupun di tanah garapan yang berada di hutan negara. Hal ini dikarenakan pada saat itu komoditi kelapa sawit memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

Interpretasi yang telah dilakukan pada citra Landsat tahun 2002 dan 2010 memberikan informasi mengenai bentuk-bentuk perubahan dan luasan yang terjadi selama kurun waktu delapan tahun. Adapun perubahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Perubahan bentuk dan luas tutupan lahan di kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan periode tahun 2002-2010

Penutupan lahan tahun 2002

Penutupan Lahan tahun 2010 Total 2002

Hutan mangrove Badan Air Perkebunan Pemukiman Lahan terbuka Tambak Luas (Ha) Proporsi (%)

Hutan mangrove 3506,43 81,35 414,00 62,28 17,48 2,06 4083,60 58,42 Badan air 66,57 642,19 - 5,71 - - 714,47 10,22 Perkebunan - - 1744,03 218,06 39,61 - 2001,70 28,64 Pemukiman - - - 80,66 - - 80,66 1,15 Lahan terbuka - - 31,50 2,02 12,19 12,60 58,31 0,83 Tambak - - - - - 51,50 51,50 0,74

Total luas 2010 (Ha) 3573,00 723,54 2189,53 368,73 69,28 66,16 6990,24 100,00 Perubahan Tutupan lahan (Ha) -510,60 9,07 187,83 288,07 10,97 14,66

Perubahan Tutupan lahan (%) -12,50 1,27 9,38 357,14 18,81 28,47 Ket: tanda (+) mengindikasikan adanya penambahan jumlah dan tanda (-) mengindikasikan adanya pengurangan jumlah.

Sumber: Hasil analisis GIS, 2011

Tabel 5 menunjukkan bahwa tipe penutupan lahan yang mengalami perubahan alih fungsi lahan paling besar sepanjang tahun 2002-2010 adalah hutan mangrove yaitu sebesar 510,60 Ha. Kemudian secara berturut oleh pemukiman seluas 288,07 Ha, perkebunan seluas 187,83 Ha, tambak seluas 14,66 Ha, lahan terbuka seluas 10,97 Ha dan badan air seluas 9,07 Ha.

Sepanjang tahun 2002 sampai dengan tahun 2010 hutan mangrove mengalami alih fungsi penggunaan lahan dan perubahan luasan menjadi badan air seluas 81,35 Ha, perkebunan seluas 414 Ha, pemukiman seluas 62,28 Ha, lahan terbuka seluas 17,48 Ha dan tambak seluas 2,06 Ha. Pada tahun 2010 diketahui bahwa hutan mangrove hanya tinggal seluas 3573 Ha setelah sebelumnya seluas 4083,60 Ha pada tahun 2002.

Perubahan hutan mangrove menjadi badan air disebabkan oleh adanya penebangan yang telah dilakukan masyarakat di tepi-tepi pantai dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup berupa kayu bakar. Hal ini menyebabkan terjadinya abrasi pantai sehingga daerah pasang surut air laut menjadi lebih meningkat ke daratan. Lebih lanjut Purwoko dkk (2006) menyatakan bahwa perubahan lahan menjadi badan air disebabkan sebagian dari luasan hutan mangrove yang telah ditebang tergenang air. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 8.

(a) (b)

Perubahan bentuk hutan mangrove menjadi lahan terbuka disebabkan oleh adanya kegiatan penebangan yang dilakukan masyarakat dan juga aktifitas perkebunan. Kegiatan penebangan yang dilakukan masyarakat umumnya dengan membongkar tunggak-tunggak kayu yang telah ditebang sebelumnya sehingga kayu tidak dapat beregenerasi vegetatif secara alami. Lahan terbuka yang bertambah juga disebabkan karena adanya areal pertambakan yang tidak diusakan lagi.

Laju pengurangan luasan mangrove terjadi dapat ditekan dengan melakukan kegiatan penanaman kembali. Berdasarkan keterangan yang diberikan masyarakat tahun 2007 telah dilakukan kegiatan penanaman yang dilakasanakan oleh pemerintah setempat dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam upaya melestarikan hutan mangrove. Penanaman dilakukan di sepanjang garis pantai dengan luasan 600 Ha. Namun kegiatan ini dinilai masyarakat tidak berhasil untuk melestarikan mangrove karena pada kenyataannya tidak semua bibit mangrove yang ditanam dapat bertahan hidup. Sebagian besar bibit mati maupun terbawa arus pantai. Hanya sebagian kecil bibit yang dapat hidup, terutama bibit yang ditanam paling dekat dengan daratan.

Selama periode 2002-2010 pemukiman mengalami peningkatan luasan yang paling tinggi dibandingkan tipe penutupan lahan lainnya, yaitu meningkat seluas 288,07 ha atau bertambah sebesar 357,14 % dari total luasan pemukiman pada tahun 2002 yang hanya seluas 80,66 ha. Menurut Purwoko dkk (2006) perubahan penggunaan lahan menjadi pemukiman maupun tambak diakibatkan oleh masyarakat sekitar hutan membuka hutan mangrove primer atau sekunder menjadi pemukiman maupun tambak. Hal ini juga terkait dengan kondisi

demografi di sekitar kawasan tersebut, dimana terjadi penambahan jumlah penduduk yang konsekuensinya membutuhkan ruang yang lebih luas untuk pemukiman dan penghidupan.

Tingkat kerusakan hutan mangrove Kabupaten Asahan

Berbagai aktifitas manusia di sekitar hutan mangrove memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keberadaan hutan mangrove Kabupaten Asahan. Perubahan bentuk dan luasan suatu tutupan lahan seringkali disebabkan oleh adanya kepentingan dari berbagai pihak yang tekait di dalamnya. Hal ini dimulai dari yang paling mendasar, yaitu pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat akan ruang untuk hidup dan bermukim sampai kepada pengusahaan areal hutan oleh pihak swasta menjadi bentuk penggunaan lahan seperti perkebunan maupun tambak. Oleh sebab itu, kegiatan penebangan pun tidak dapat terelakkan. Hal ini lah yang terjadi pada kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan.

Interpretasi citra yang telah dilakukan pada citra Landsat tahun 2002, 2006 dan 2010 menunjukkan bahwa kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan terbagi menjadi lima kriteria tingkat kerusakan. Kriteria tingkat kerusakan yang terjadi pada ketiga tahun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Tingkat kerusakan kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan pada tahun 2002, 2006 dan 2010

Kriteria Kerusakan

Tahun 2002 Tahun 2006 Tahun 2010

Luas (Ha) Proporsi (%) Luas (Ha) Proporsi (%) Luas (Ha) Proporsi (%) Rusak Berat 747,11 10,69 999,26 14,30 1004,58 14,37 Rusak 2056,99 29,43 1741,54 24,91 1088,53 15,57 Cukup Rusak 889,85 12,73 1007,51 14,41 1145,65 16,39 Baik 3227,35 46,17 3025,17 43,28 2344,83 33,54 Sangat Baik 68,94 0,99 216,76 3,10 1406,65 20,12 Total 6990,24 100,00 6990,24 100,00 6990,24 100,00

Tabel 6 memberikan informasi bahwa tingat kerusakan mangrove untuk kriteria rusak berat mengalami peningkatan dari tahun 2002 seluas 747,11 Ha menjadi 999,26 Ha pada tahun 2006 dan bertambah menjadi seluas 1004,58 Ha pada tahun 2010. Tingkat kerusakan dengan kriteria cukup rusak juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002 tingkat kerusakan pada kriteria ini masih seluas 889,85 Ha kemudian meningkat menjadi 1007,51 Ha dan tahun 2010 menjadi 1145,65 Ha.

Tingkat kerusakan dengan kriteria baik mengalami penurunan pada setiap tahun pengamatan, yaitu seluas 3227,35 Ha pada tahun 2002, menurun pada tahun 2006 menjadi 3025,17 Ha dan kembali mengalami penurunan luasan pada tahun 2010 menjadi 2344,83 Ha. Hal ini umumnya disebabkan oleh aktifitas manusia di kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan berupa perubahan alih fungsi lahan menjadi, pemukiman, perkebunan, tambak maupun lahan terbuka sebagai dampak penebangan liar.

Lebih lanjut Khomsin (2005) menyatakan bahwa tekanan yang berasal dari manusia adalah berupa dampak intervensi kegiatan manusia di habitat mangrove. Tekanan tersebut termasuk kegiatan industri, pembangunan rumah, tambak ikan atau udang, pemanfaatan kayu mangrove untuk berbagai keperluan berupa kayu bakar dan bahan bangunan. Tingkat kerusakan yang terjadi pada tahun 2010 di kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan dapat disajikan ke dalam bentuk peta seperti pada Gambar 9.

Tingkat kerusakan hutan mangrove di empat Kecamatan pada Kabupaten Asahan

Kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan secara administratif berada dalam empat kecamatan, yaitu Sei Kepayang, Sei Kepayang Timur, Tanjung Balai dan Silau laut. Tingkat kerusakan hutan mangrove yang terjadi pada keempat kecamatan tersebut dalam tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 9. Distribusi tingkat kerusakan kawasan hutan mangrove ditampilkan pada Gambar 10.

Tabel 9. Tingkat kerusakan kawasan hutan mangrove di beberapa Kecamatan dalam Kabupaten Asahan

Kriteria Kerusakan

Kecamatan

Sei Kepayang Sei Kepayang Timur Silau Laut Tanjung Balai Luas (Ha) Proporsi (%) Luas (Ha) Proporsi (%) Luas (Ha) Proporsi (%) Luas (Ha) Proporsi (%) Rusak berat 239,98 19,13 752,94 13,82 2,30 2,60 9,36 4,69 Rusak 178,77 14,25 905,20 16,62 1,01 1,14 3,55 1,78 Cukup rusak 130,60 10,41 931,98 17,11 34,77 39,27 48,3 24,18 Baik 329,94 26,30 1883,76 34,58 45,68 51,59 85,45 42,77 Sangat baik 375,17 29,91 973,57 17,87 4,79 5,41 53,12 26,59 Total 1254,46 100,00 5447,45 100,00 88,55 100,00 199,78 100,00

Sumber: Hasil analisis GIS, 2011

Berdasarkan hasil analisis GIS yang telah dilakukan Kecamatan Sei Kepayang Timur memiliki kawasan hutan mangrove paling luas dibandingkan ketiga Kecamatan lainnya. Hutan mangrove di kecamatan ini mencapai 5447,45 Ha. Sebanyak 1254,46 Ha hutan mangrove berada pada wilayah Kecamatan Sei Kepayang. Kecamatan Tanjung Balai memiliki hutan mangrove seluas 199,78 Ha. Hutan mangrove seluas 88,55 Ha berada dalam wilayah Kecamatan Silau Laut.

Tabel 9 menunjukkan bahwa tingkat kerusakan dengan kriteria rusak berat paling banyak ditemukan pada Kecamatan Sei Kepayang Timur, yaitu seluas 752,94 Ha (13,82 %). Demikian juga dengan kriteria rusak paling banyak terdapat pada Kecamatan Sei Kepayang Timur dengan luas kawasan sebesar 905,20 Ha

(16,62 %). Kecamatan Sei Kepayang Timur juga memiliki kawasan hutan mangrove dengan kriteria cukup rusak paling luas dibandingkan ketiga kecamatan lainnya, yaitu seluas 931,98 Ha (17,11 %).

Gambar 10. Distribusi tingkat kerusakan hutan mangrove pada empat kecamatan di Kabupaten Asahan.

Kawasan hutan mangrove dengan kriteria baik paling banyak ditemukan pada Kecamatan Sei Kepayang Timur, yaitu seluas 1883,76 Ha (34,58%). Kecamatan Sei Kepayang Timur juga memiliki hutan mangrove dengan kriteria sangat baik paling luas di antara keempat kecamatan tersebut, yaitu seluas 973,57 Ha (17,87 %). Hal ini dikarenakan kawasan hutan mangrove di Kecamatan Sei Kepayang Timur merupakan yang terluas. Selain itu juga pada Kecamatan ini banyak terjadi alih fungsi perubahan hutan mangrove menjadi bentuk pemanfaatan lain seperti perkebunan, pemukiman dan lahan terbuka (Lampiran 9).

Berdasarkan kegiatan survei lapangan yang telah dilakukan pada lokasi penelitian umumnya masyarakat nelayan yang hidup di sekitar kawasan hutan mangrove mengeluhkan hasil-hasil tangkapan mereka dari tahun ke tahun semakin

Sei Kepayang Sei Kepayang Timur

berkurang. Salah seorang nelayan mengaku kesulitan untuk mencari ikan sebagai sumber pendapatan keluarga dan kehidupan. Menurutnya hal ini sangat berbeda dengan keadaan sekitar 30 tahun lalu dimana saat itu kondisi hutan mangrove masih baik. Saat itu, Mereka hanya perlu pergi ke sekitar muara sungai untuk

Dokumen terkait