• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemetaan Tingkat Kerusakan Mangrove Di Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemetaan Tingkat Kerusakan Mangrove Di Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

PEMETAAN TINGKAT KERUSAKAN MANGROVE

DI KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI Oleh:

MOEHAR MARAGHIY HARAHAP 071201012

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

PEMETAAN TINGKAT KERUSAKAN MANGROVE

DI KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh:

MOEHAR MARAGHIY HARAHAP 071201012/MANAJEMEN HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Pemetaan Tingkat Kerusakan Mangrove di Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara

Nama : Moehar Maraghiy Harahap

NIM : 071201012

Program Studi : Manajemen Hutan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D Yunus Afiffudin, S.Hut, M.Si

NIP. 19740721 200112 2 001 NIP. 19760725 200812 1 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Kehutanan

(4)

ABSTRAK

MOEHAR MARAGHIY HARAHAP: Pemetaan Tingkat Kerusakan Mangrove di Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara, dibimbing oleh RAHMAWATY dan YUNUS AFIFFUDDIN.

Kondisi hutan mangrove di Kabupaten Asahan saat ini mengalami tekanan akibat pemanfaatan dan pengelolaannya yang kurang memperhatikan aspek kelestarian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan tutupan lahan dan tingkat kerusakan pada kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan. Klasifikasi tutupan lahan menggunakan metode klasifikasi terbimbing serta extention change detection Arc View GIS 3.3 pada enam kelas tutupan lahan (mangrove, pemukiman, perkebunan, badan air, lahan terbuka dan tambak) dalam citra satelit Landsat ETM tahun 2002, 2006 dan 2010. Pemetaan tingkat kerusakan dilakukan dengan memberikan skor dan bobot pada tiap kriteria (tutupan lahan, kerapatan tajuk dan ketahanan tanah terhadap abrasi).

Hasil penelitian menunjukkan sepanjang tahun 2002-2010 hutan mangrove Kabupaten Asahan mengalami perubahan bentuk tutupan lahan menjadi perkebunan, pemukiman, badan air, lahan terbuka dan tambak. Tingkat kerusakan hutan mangrove Kabupaten Asahan terbagi ke dalam 5 kriteria. Data terakhir (tahun 2010) menunjukkan bahwa Kecamatan Sei Kepayang Timur memiliki kawasan hutan mangrove dengan kriteria rusak berat, rusak dan cukup rusak paling tinggi dibandingkan tiga kecamatan lainnya dengan luasan secara berturut 752,94 Ha, 905,20 Ha dan 931,98 Ha.

(5)

ABSTRACT

MOEHAR MARAGHIY HARAHAP: Damage Level Mapping of Mangrove in Asahan Regency of North Sumatra Province, supervised by RAHMAWATY and YUNUS AFIFFUDIN.

The condition of mangrove forests in Asahan currently experiencing pressure due to the utilization and management of the less noticed aspects of sustainability. This study aims to determine changes in land cover and damage level in mangrove forests Asahan Regency. Land cover classification using supervised classification methods and change detection extension Arc View GIS 3.3 on six classes of land cover (mangrove, settlements, plantations, water bodies, open land and pond) in satellite images of Landsat ETM 2002, 2006 and 2010. Mapping of damage level done by giving the score and the weighting of each criterion (land cover, canopy density and soil resistance to abrasion).

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 19 Agustus 1989 dari pasangan bapak Zulkifli Harahap dan Ibu Norina. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara.

Penulis menempuh pendidikan formal di MIS Ulumul Qur’an Medan dan lulus pada tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikannya di MTsN 1 Model Medan dan lulus pada tahun 2004. Tahun 2007 penulis menamatkan pendidikan menengah akhir di MAN 2 Model Medan. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di Universitas Sumatera Utara melalui jalur Pemanduan Minat dan Prestasi (PMP) dan diterima di Program Studi Manajemen Hutan, Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian.

Selama masa perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten Praktikum Mikroklimatologi Hutan, asisten pendamping Praktikum Ekologi Hutan, dan asisten pendamping Praktikum Ekologi Perairan pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Penulis juga aktif sebagai anggota Pecinta Lingkungan Alam Sekitar (PILAR) pada tahun 2008 dan Badan Kenaziran Mushola Baitul Asyjaar Kehutanan USU.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Adapun penelitian ini berjudul “Pemetaan Tingkat Kerusakan Mangrove di Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing penulis Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D dan Yunus Afifuddin, S.Hut, M.Si yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan proposal penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman satu angkatan yang telah mendukung penulis serta pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan proposal penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan proposal penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi materi maupun teknik penulisan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi penyempurnaan proposal penelitian ini.

Akhirnya penulis berharap proposal penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang kehutanan.

Medan, Juni 2011

(8)

DAFTAR ISI

Manfaat Penelitian... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ... 10

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 11

Bahan dan Alat ... 12

Penutupan Lahan Tahun 2002, 2006 dan 2010 ... 25

Perubahan Tutupan Lahan Kawasan Hutan Mangrove Kab. Asahan ... 27

Perubahan Penutupan Lahan Tahun 2002-2006 ... 28

Perubahan Penutupan Lahan Tahun 2006-2010 ... 32

Perubahan Penutupan Lahan Tahun 2002-2010 ... 35

Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Kabupaten Asahan ... 39

(9)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Data primer dan sekunder yang digunakan dalam penelitian ... 14 2. Kriteria, bobot dan skor penilaian untuk penilaian tingkat kerusakan

mangrove ... 20 3. Kriteria tingkat kerusakan mangrove ... 21 4. Tipe penutupan lahan di kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan . 24 5. Perubahan bentuk dan luas tutupan lahan di kawasan hutan

mangrove kabupaten Asahan periode tahun 2002-2006 ... 30 6. Perubahan bentuk dan luas tutupan lahan di kawasan hutan

mangrove kabupaten Asahan periode tahun 2006-2010 ... 33 7. Perubahan bentuk dan luas tutupan lahan di kawasan hutan

mangrove kabupaten Asahan periode tahun 2002-2010 ... 36 8. Tingkat kerusakan kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan

pada tahun 2002, 2006 dan 2010 ... 39 9. Tingkat kerusakan kawasan hutan mangrove di beberapa Kecamatan

(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Peta kawasan hutan mangrove di Kabupaten Asahan ... 10

2. Tahapan analisis citra untuk pembuatan peta penutupan lahan ... 18

3. Tahapan pemetaan perubahan lahan ... 20

4. Tahapan analisis tingkat kerusakan mangrove ... 22

5. Distribusi penutupan lahan di kawasan hutan mangrove kab. Asahan tahun 2002, 2006 dan 2010 ... 26

6. Perubahan hutan mangrove menjadi kebun kelapa rakyat dan kelapa sawit ... 31

7. Perubahan bentuk badan air menjadi pemukiman dan hutan mangrove menjadi pemukiman ... 34

8. Perubahan bentuk hutan mangrove menjadi badan air ... 37

9. Tingkat kerusakan hutan mangrove kabupaten Asahan tahun 2010 ... 41

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Daftar pertanyaan (interview guide) yang digunakan dalam

penelitian ... 48 2. Analisis akurasi klasifikasi terbimbing tahun 2002, 2006, 2010 ... 49 3. Perubahan penutupan lahan pada ketiga periode pengamatan ... 51 4. Peta pentupan lahan kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan

tahun 2002 ... 52 5. Peta pentupan lahan kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan

tahun 2006 ... 53 6. Peta pentupan lahan kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan

tahun 2010 ... 54 7. Perubahan pentupan lahan kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan

tahun 2002-2006 ... 55 8. Perubahan pentupan lahan kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan

tahun 2006-2010 ... 56 9. Perubahan pentupan lahan kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan

tahun 2002-2010 ... 57 10. Peta kerapatan tajuk kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan

tahun 2002 ... 58 11. Peta kerapatan tajuk kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan

tahun 2006 ... 59 12. Peta kerapatan tajuk kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan

tahun 2010 ... 60 13. Peta tekstur tanah kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan ... 61 14. Skoring untuk menentukan tingkat kerusakan mangrove Kabupaten

Asahan ... 62 15. Tingkat kerusakan kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan

tahun 2002 ... 65 16. Tingkat kerusakan kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan

(12)

ABSTRAK

MOEHAR MARAGHIY HARAHAP: Pemetaan Tingkat Kerusakan Mangrove di Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara, dibimbing oleh RAHMAWATY dan YUNUS AFIFFUDDIN.

Kondisi hutan mangrove di Kabupaten Asahan saat ini mengalami tekanan akibat pemanfaatan dan pengelolaannya yang kurang memperhatikan aspek kelestarian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan tutupan lahan dan tingkat kerusakan pada kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan. Klasifikasi tutupan lahan menggunakan metode klasifikasi terbimbing serta extention change detection Arc View GIS 3.3 pada enam kelas tutupan lahan (mangrove, pemukiman, perkebunan, badan air, lahan terbuka dan tambak) dalam citra satelit Landsat ETM tahun 2002, 2006 dan 2010. Pemetaan tingkat kerusakan dilakukan dengan memberikan skor dan bobot pada tiap kriteria (tutupan lahan, kerapatan tajuk dan ketahanan tanah terhadap abrasi).

Hasil penelitian menunjukkan sepanjang tahun 2002-2010 hutan mangrove Kabupaten Asahan mengalami perubahan bentuk tutupan lahan menjadi perkebunan, pemukiman, badan air, lahan terbuka dan tambak. Tingkat kerusakan hutan mangrove Kabupaten Asahan terbagi ke dalam 5 kriteria. Data terakhir (tahun 2010) menunjukkan bahwa Kecamatan Sei Kepayang Timur memiliki kawasan hutan mangrove dengan kriteria rusak berat, rusak dan cukup rusak paling tinggi dibandingkan tiga kecamatan lainnya dengan luasan secara berturut 752,94 Ha, 905,20 Ha dan 931,98 Ha.

(13)

ABSTRACT

MOEHAR MARAGHIY HARAHAP: Damage Level Mapping of Mangrove in Asahan Regency of North Sumatra Province, supervised by RAHMAWATY and YUNUS AFIFFUDIN.

The condition of mangrove forests in Asahan currently experiencing pressure due to the utilization and management of the less noticed aspects of sustainability. This study aims to determine changes in land cover and damage level in mangrove forests Asahan Regency. Land cover classification using supervised classification methods and change detection extension Arc View GIS 3.3 on six classes of land cover (mangrove, settlements, plantations, water bodies, open land and pond) in satellite images of Landsat ETM 2002, 2006 and 2010. Mapping of damage level done by giving the score and the weighting of each criterion (land cover, canopy density and soil resistance to abrasion).

(14)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Kondisi hutan mangrove di Kabupaten Asahan saat ini mengalami tekanan

akibat pemanfaatan dan pengelolaannya yang kurang memperhatikan aspek

kelestarian. Onrizal (2010) menyatakan bahwa jika dibandingkan dengan hutan

mangrove tahun 1977, pada tahun 1988/1989, 1997 dan 2006 hutan mangrove di

pesisir timur Sumatera Utara terus berkurang. Laju kerusakan mangrove di pesisir

timur Sumatera Utara adalah sebesar 2128 Ha/tahun.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 44 Tahun 2005

hutan mangrove di Kabupaten Asahan berada pada kawasan hutan lindung seluas

6990 Ha. Namun pada kenyataanya luasan hutan mangrove di kawasan ini terus

berkurang dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan adanya pemanfaatan lahan yang

dilakukan masyarakat menjadi bentuk-bentuk penggunaan lahan lain. Kasus yang

sering ditemui di lapangan adalah adanya konversi hutan mangrove untuk

pembangunan tambak, perkebunan dan lahan pertanian yang menyebabkan

kerusakan ekosistem hutan mangrove dan degradasi lingkungan.

Purwoko dan Onrizal (2002) menyatakan bahwa interaksi yang tinggi

antara masyarakat dengan kawasan hutan biasanya membawa dampak cukup

serius terhadap ekosistem kawasan maupun terhadap fungsinya. Gambaran

kerusakan hutan mangrove di Sumatera Utara terlihat jelas dengan semakin

berkurangnya luasan hutan mangrove dari tahun ke tahun. Onrizal (2010)

menyatakan bahwa hutan mangrove di Sumatera Utara pada tahun 1977 mencapai

(15)

41.700 Ha. Lebih dari 50% hutan mangrove Sumatera Utara telah hilang dalam

kurun waktu 29 tahun.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat diketahui bahwa hutan mangrove di

Kabupaten Asahan terancam kelestariannya. Belum ada data terbaru mengenai

luas hutan mangrove Asahan dan informasi perubahan tutupan lahan dalam

beberapa tahun terakhir. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk

mengetahui perubahan tutupan hutan mangrove dan tingkat kerusakan mangrove

yang terjadi sebagai acuan dalam melaksanakan kegiatan pembangunan daerah.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui perubahan tutupan lahan pada kawasan hutan mangrove di

Kabupaten Asahan.

2. Mengetahui tingkat kerusakan hutan mangrove di beberapa Kecamatan dalam

Kabupaten Asahan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bisa menjadi rekomendasi kepada pemerintah

daerah dan pihak swasta dalam melaksanakan pengelolaan dan pemanfaatan

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Manggrove

Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara

lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove adalah suatu tipe hutan yang tumbuh di

daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung dan muara sungai) yang

tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang

komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam.

Hutan mangrove di pesisir pantai timur Sumatera Utara disusun oleh 20

jenis flora mangrove, dengan jenis paling dominan adalah Avicenia marina yang

merupakan jenis pionir. Tumbuhan mangrove yang dijumpai hanya berada pada

tingkat semai dan pancang, sedangkan tingkat pohon tidak dijumpai, sehingga

tergolong hutan mangrove muda (Onrizal, 2010).

Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk

menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing

sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat

pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang,

dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman

biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman

anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai

sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan

(17)

Hutan mangrove sebagai suatu ekosistem di daerah pasang surut,

kehadirannya sangat berpengaruh terhadap ekosistem-ekosistem lain di daerah

tersebut. Terjadinya kerusakan/gangguan pada ekosistem yang satu tentu saja

akan mengganggu ekosistem yang lain. Sebaliknya keberhasilan dalam

pengelolaan (rehabilitasi) hutan mangrove akan memungkinkan peningkatan

penghasilan masyarakat pesisir khususnya para nelayan dan petani tambak karena

kehadiran hutan mangrove ini merupakan salah satu faktor penentu pada

kelimpahan ikan atau berbagai biota laut lainnya (Sudarmadji, 2001).

Gambaran Kerusakan Ekosistem Mangrove

Luas hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara dari tahun ke tahun

mengalami penurunan. Berdasarkan hasil penelitian Onrizal (2010) dengan

menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh dalam 4 kali pengukuran berbeda

(1977, 1988/1989, 1997 dan 2006) terus menurun. Jika dibandingkan dengan

hutan mangrove tahun 1977, pada tahun 1988/1989, 1997, dan 2006 hutan

mangrove di pesisir timur Sumatera Utara secara berturut-turut terus berkurang,

yaitu sebesar 14,01% (tersisa menjadi 88.931 ha), 48,56% (tersisa menjadi 53.198

ha) dan 59,68% (hanya tersisa 41.700 ha) dari luas awal sebesar 103.415 ha pada

tahun 1977. Berdasarkan data di atas, maka dapat diketahui bahwa laju kerusakan

mangrove di pesisir timur Sumatera Utara adalah sebesar 2128,103 ha/tahun.

Pada dasawarsa ini terjadi penurunan luasan dan kualitas hutan mangrove

secara drastis. Ironisnya, sampai sekarang tidak ada data aktual yang pasti

mengenai luasan hutan mangrove, baik yang kondisinya masih alami maupun

(18)

batas-batas yang jelas. Estimasi kehilangan hutan selama tahun 1985 s/d tahun

1997 untuk pulau Sumatera sebesar 3.391.400 ha. Berdasarkan kondisi ekosistem

yang dijumpai tersebut, kawasan mangrove tersebut sudah tidak memungkinkan

lagi bagi vegetasi dan satwa untuk berlindung dan beregenerasi secara alami.

Gambaran kerusakan mangrove juga bisa dilihat dari kemerosotan sumber daya

alam yang signifikan di kawasan hutan mangrove, baik pada ekosistem hutan

pantai, ekosistem perairan, fisik lahan dan lain-lain. Hal ini berakibat langsung

pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar hutan mangrove

(Purwoko dan Onrizal, 2002).

Menurut Purwoko dan Onrizal (2002), interaksi yang tinggi antara

masyarakat dengan kawasan hutan biasanya membawa dampak yang cukup serius

terhadap ekosistem kawasan maupun terhadap fungsi dan keunikannya. Dari satu

sisi, hal ini mengindikasikan bahwa keterlibatan sektor kehutanan dalam

perekonomian dan kontribusinya terhadap perekonomian rakyat sudah cukup

intensif. Namun di sisi yang lain, dampak degradasi ekosistem mangrovenya

terhadap perekonomian wilayah pesisir secara keseluruhan jauh lebih serius.

Padahal kelestarian ekosistem mangrove mutlak harus tetap dipelihara sebagai

satu-satunya cara untuk mempertahankan peran, fungsi serta keseimbangan

ekosistem kehidupan di sekitar kawasan pesisir.

Menurut Onrizal (2010) perubahan luas hutan mangrove primer menjadi

hutan mangrove sekunder terutama disebabkan oleh aktivitas penebangan, baik

untuk industri kayu arang maupun kayu bakar dan perancah. Perubahan dari hutan

mangrove primer dan sekunder menjadi areal non hutan mangrove diakibatkan

(19)

permukiman dan areal pertanian lainnya. Selain itu, areal hutan mangrove juga

berkurang akibat abrasi yang diawali oleh rusaknya tegakan hutan mangrove

akibat konversi dan penebangan dalam skala yang besar.

Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove

Menurut Pasaribu (2004) permasalahan-permasalahan utama yang

melatarbelakangi terjadinya degradasi hutan mangrove di Sumatera Utara tidak

terlepas dari beberapa hal, antara lain:

1. Tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah

Kebanyakan masyarakat di kawasan pesisir bekerja sebagai nelayan

tradisional. Meskipun cukup potensial namun tingkat kesejahteraan masyarakat

pesisir relatif masih rendah jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain.

Hal ini disebabkan terbatasnya peralatan yang dimiliki nelayan tradisional yang

mengakibatkan penurunan hasil tangkap dan penghasilan nelayan. Dalam satu

bulan nelayan tradisional hanya efektif bekerja 20 hari. Untuk mengisi waktu saat

tidak melaut nelayan melakukan pekerjaan sampingan untuk menambah

pendapatan seperti beternak kepiting, ikan kerapu dan mencari kayu bakar.

Pencarian kayu bakar dilakukan di hutan mangrove di sekitar mereka dengan

penebangan yang tidak memenuhi aturan sehingga mengakibatkan percepatan

kerusakan.

2. Penebangan liar (illegal logging)

Kayu mangrove termasuk bahan baku terbaik dalam pembuatan arang,

yang bernilai ekonomi untuk dipasarkan di dalam negeri dan di ekspor ke luar

(20)

mengakibatkan masyarakat mendirikan dapur arang yang beroperasi secara liar.

Untuk memenuhi bahan bakar tidak jarang masyarakat melakukan penebangan

liar di kawasan lindung dan sempadan pantai yang seharusnya terlarang bagi

pengambilan kayu.

3. Pembukaan tambak udang secara liar

Peningkatan harga udang di pasaran nasional sejak tahun delapan puluhan,

menyebabkan banyak masyarakat membuka lahan tambak di daerah pantai yang

menimbulkan konversi lahan. Kawasan mangrove berubah menjadi hamparan

tambak dan kerusakan mangrove di perparah oleh kurangnya kesadaran

pengusaha dan masyarakat dalam melakukan pelestarian di daerah lindung dan

sempadan. Pembukaan tambak tidak hanya dilakukan di kawasan hutan produksi

yang secara umum diperkenankan, juga dijumpai oknum-oknum tertentu

melakukan ekstensifikasi tambak sampai ke hutan lindung.

4. Persepsi yang keliru tentang mangrove

Banyak masyarakat maupun birokrat yang berhubungan dengan bidang

kesehatan mempunyai pandangan yang keliru tentang mangrove. Mangrove

dianggap sebagai tempat kotor untuk tempat bersarang dan berkembang biak

nyamuk malaria, lalat dan berbagai jenis serangga lainnya. Hal ini telah

mendorong terjadinya pembabatan mangrove yang berlebihan untuk mengatasi

timbulnya wabah penyakit.

5. Lemahnya penegakan hukum

Pada dasarnya telah banyak peraturan perundangan yang bertujuan untuk

mengatur dan melindungi sumberdaya mengrove melalui cara-cara pengelolaan

(21)

dibarengi dengan pelaksanaan penegakan hukum yang memadai. Sehingga dari

waktu ke waktu semakin banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan tanpa

adanya upaya penegakan hukum yang berarti.

Aplikasi SIG untuk Pemetaan Penyebaran Mangrove

Menurut Anam (2005), sistem informasi geografis (SIG) adalah suatu

komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan

sumberdaya manusia. Lebih lanjut Budiyanto (2002) menyatakan bahwa SIG

mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik

tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan

hasilnya. Dengan kemampuan tersebut, maka SIG dapat digunakan untuk

mengetahui perubahan tutupan lahan pada hutan mangrove.

Sistem Informasi Geografis (SIG) sudah cukup lama dikenal sejak awal

tahun 1960 di Kanada dan Amerika Serikat, yang saat itu banyak digunakan untuk

keperluan Land Information System. Saat ini SIG sudah banyak digunakan untuk

keperluan lain seperti pengembangan wilayah, perpetaan, lingkungan dan

sebagainya. SIG mulai dimanfaatkan di Indonesia pada awal tahun 1980 terutama

dalam pembuatan peta, pengelolaan wilayah, analisis lingkungan dan agraria

(Subaryono dkk, 2006).

Teknik tumpang tindih (overlay) merupakan hal yang terpenting dalam

aplikasi SIG untuk memperoleh tematik data spasial (peta) baru beserta data

atributnya. Terdapat empat jenis metode overlay yang paling penting, yaitu;

intersect, union, clip dan merge. Metode intersect adalah metode yang paling luas

(22)

mengkombinasikan secara silang data spasial dan non spasial dalam satu tema

informasi baru. Metode union digunakan ketika dua atau lebih data digabungkan

sehingga menghasilkan data yang dikehendaki hanya tergabung secara spasial

tanpa memperhatikan aspek data basenya. Metode clip adalah tumpang tindih dua

data spasial yang akan menghasilkan potongan sesuai poligon yang dikehendaki

(area of interest). Metode merge adalah penggabungan dua atau lebih data secara

spasial dan non spasial dengan syarat adanya dasar (field) kunci yang sama dalam

atribut (ESRI, 1996).

Kegiatan survei lapang mangrove yang dikombinasikan dengan

penginderaan jauh merupakan metode yang ideal untuk memperkirakan dan

menentukan status dari hutan mangrove dan lingkungannya (Neukermans et al.,

2008 dalam Satriya dkk, 2010). Menurut Satriya (2010) Pemetaan habitat

mangrove berperan penting dalam manajemen pengelolaan hutan mangrove

mencakup inventarisasi sumberdaya spesies, deteksi perubahan lahan yang terjadi

dan perencanaan tata ruang ekosistem yang berkelanjutan.

Satelit Landsat merupakan salah satu satelit sumber daya bumi yang

dikembangkan oleh NASA dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat.

Satelit ini terbagi dalam dua generasi yaitu generasi pertama dan generasi kedua.

Generasi pertama adalah satelit Landsat 1 sampai Landsat 3. Satelit generasi

kedua adalah satelit membawa dua jenis sensor yaitu sensor MSS dan sensor

(23)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2011 sampai dengan bulan

Mei 2011. Lokasi penelitian berada di Kabupaten Asahan, khususnya di semua

kecamatan yang memiliki kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan, yaitu

Kecamatan Silau laut, Kecamatan Tanjung Balai, Kecamatan Sei Kepayang Timur

dan Kecamatan Sei Kepayang (Gambar 1). Analisis data dilakukan di

Laboratorium Manajemen Hutan Terpadu Program Studi Kehutanan Fakultas

Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Gambar 1. Peta kawasan hutan mangrove di Kabupaten Asahan

Provinsi Sumatera Utara Kabupaten Asahan

(24)

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS (2010) wilayah Kabupaten

Asahan merupakan salah satu Kabupaten yang berada di kawasan Pantai Timur

Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Asahan berada pada 2003’00”-

3026’00” Lintang Utara, 99001’-100000’ Bujur Timur dengan ketinggian 0 – 1.000

m di atas permukaan laut.

Kabupaten Asahan memiliki cakupan wilayah administrasi seluas 371.945

Ha yang terdiri dari 25 Kecamatan, 204 Desa/Kelurahan Definitif. Batas-batas

geografis Kabupaten Asahan, antara lain:

1. Bagian timur berbatasan dengan Selat Malaka

2. Bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Simalungun

3. Bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Batubara

4. Bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu dan Toba

Samosir

Kabupaten Asahan termasuk daerah yang beriklim tropis dan memiliki dua

musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Musim kemarau dan musim hujan

biasanya ditandai dengan sedikit banyaknya hari hujan dan volume curah hujan

pada bulan terjadinya musim.

Menurut catatan Stasiun Klimatologi PTPN III Kebun Sei Dadap, pada

tahun 2007 terdapat 132 hari hujan dengan volume curah hujan sebanyak 2.150

mm. Curah hujan terbesar terjadi pada bulan September yaitu 342 mm dengan hari

hujan sebanyak 12 hari. Sedangkan curah hujan paling kecil terjadi pada bulan

Maret sebesar 8 mm dengan hari 3 hari. Rata-rata curah hujan tahun 2007

(25)

Kecamatan Silau Laut memiliki luas wilayah 89,45 Km2 dengan ibukota

Silo Lama. Jumlah penduduk yang berdomisili di wilayah ini sebanyak 21.297

jiwa (4.737 Kepala Keluarga) dengan rincian; laki-laki sebanyak 10.431 jiwa dan

perempuan 10.892 jiwa. Potensi pertanian yang terdapat di wilayah ini adalah padi

sawah, kelapa sawit, coklat dan kelapa dalam.

Luas wilayah Kecamatan Tanjung Balai adalah sebesar 55,61 Km2 dengan

Teluk Nibung sebagai ibukota Kecamatan. Jumlah penduduk sebanyak 34.010

jiwa (6.957 Kepala Keluarga) yang terdiri dari laki-laki sebanyak 17.881 jiwa dan

perempuan 16.129 jiwa. Potensi pertanian yang dimiliki adalah komoditas kelapa

dalam.

Kecamatan Sei Kepayang Timur secara administratif memiliki luas

wilayah 142,80 Km2 dengan Sungai Pasir sebagai ibukota Kecamatan. Jumlah

penduduk sebanyak 9.518 jiwa yang terdiri dari 2.067 KK. Adapun jumlah

penduduk laki-laki sebanyak 4.953 jiwa dan perempuan 4.565 jiwa. Potensi

pertanian adalah kelapa dalam dan kelapa sawit.

Kecamatan Sei Kepayang secara administratif memiliki luas wilayah

235,30 Km2 dengan ibukota Sei Kepayang Tengah. Sebanyak 17.128 jiwa

penduduk (3.720 KK) mendiami wilayah ini yang terdiri dari laki-laki 8.914 jiwa

dan perempuan 8.214 jiwa. Potensi pertanian yang dimiliki adalah kelapa sawit,

kelapa dalam dan padi sawah.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian, antara lain: Citra Landsat

(26)

administrasi Kabupaten Asahan skala 1:250.000, Peta kawasan hutan Kabupaten

Asahan sesuai SK Menhut No.44/Kpts-II/2005 skala 1:250.000, Peta Usulan

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Asahan (RTRWK) tahun 2011 skala

1:250.000 dan data penggunaan/penutupan lahan di Kabupaten Asahan.

Alat yang digunakan adalah perangkat keras (hardware) berupa PC

(Personal Computer) dan perangkat lunak (software), yaitu Frame and fill win 32,

Erdas 8.5 dan ArcView GIS 3.3, perangkat GPS (Global Positioning System) dan

kamera digital.

Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini meliputi kegiatan pengumpulan data dan

informasi yang dibutuhkan serta menganalisis data sesuai kebutuhan. Tahapan

kegiatannya adalah sebagai berikut;

1. Pengumpulan data

Data yang dikumpulkan pada penelitian berupa data primer dan sekunder.

Data primer merupakan data yang dikumpulkan dengan cara pengecekan langsung

di lokasi penelitian. Data ini diperoleh dengan mengambil koordinat titik dengan

menggunakan GPS serta melakukan wawancara kepada masyarakat dengan

menggunakan daftar pertanyaan (Lampiran 1) sebagai acuan.

Data sekunder adalah data yang telah ada sebelumnya, baik data yang

dikeluarkan oleh instansi terkait, penelitian sebelumnya maupun literatur

pendukung lainnya. Data-data yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada

(27)

Tabel 1. Data primer dan sekunder yang digunakan dalam penelitian

No Nama Data Jenis

Data Sumber Tahun Keterangan

1 Titik sampel (training

area) Primer GPS 2011 -

2 Titik sampel uji lapangan Primer GPS 2011 -

3 Citra Landsat 7 ETM+

Sekunder www.glovis.usgs.gov 2002 Baik 4 Citra Landsat 7 ETM+ Sekunder www.glovis.usgs.gov 2006 Rusak 5 Citra Landsat 7 ETM+ Sekunder www.glovis.usgs.gov 2010 Rusak 6 Peta Administrasi

Kabupaten Asahan Sekunder Dishut Sumatera Utara 2009 Baik 7 Peta Rupa Bumi

Indonesia Sekunder Dishut Sumatera Utara 1992 Baik 8 Peta Kawasan Hutan

Kabupaten Asahan Sekunder Dishut Sumatera Utara 2005 Baik 9 Peta Usulan RTRWK

Kabupaten Asahan Sekunder

BAPPEDA Kabupaten

Asahan 2011 Baik

10 Kondisi lahan mangrove Primer Daftar pertanyaan 2011 -

Jumlah tutupan lahan yang dianalisis pada penelitian sebanyak enam kelas.

Jumlah tersebut berdasarkan hasil survei awal yang telah dilakukan dan

disesuaikan dengan resolusi spasial citra Landsat, yaitu 30m x 30 m untuk setiap

pixel. Tutupan lahan yang dianalisis antara lain; hutan manggrove, badan air,

pemukiman, perkebunan, lahan terbuka, dan tambak.

2. Analisis Data

Analisis citra untuk pembuatan peta tutupan lahan

Analisis yang dilakukan pada citra Landsat bertujuan untuk memperoleh

peta penggunaan lahan (land use) dari kawasan yang diteliti. Menurut Sukojo dan

Susilowati (2003) pengelolaan citra Landsat bertujuan untuk mengekstrak

informasi-informasi yang terdapat pada citra baik yang bersifat informasi spasial

maupun informasi deskriptik, dimana semua proses pengelolaan dilakukan secara

(28)

masing-masing citra (2002, 2006 dan 2010) dapat dilakukan dalam beberapa

tahap, yaitu;

1. Koreksi citra

Koreksi citra merupakan kegiatan memperbaiki citra satelit agar diperoleh

data yang sesuai dengan aslinya. Hal ini dikarenakan citra hasil rekaman sensor

penginderaan jauh mengalami berbagai distorsi yang disebabkan oleh gerakan

sensor, kerusakan rekaman, media antara, dan objeknya sendiri sehingga perlu

dipulihkan kembali. Kegiatan dalam koreksi citra mencakup:

a. Koreksi rekaman bergaris (stripping)

Sejak tahun 2003 citra satelit Landsat mengalami kerusakan rekaman

sehingga muncul garis-garis hitam (strip) pada hasil pemotretannya.

Garis-garis hitam ini merupakan kawasan atau area yang tidak terpotret oleh satelit

Landsat. Oleh karena itu citra tersebut perlu diperbaiki. Proses ini

menggunakan program Frame and fill for win. 32. Tahapan pengerjaannya

adalah sebagai berikut;

1. Siapkan citra tahun 2006 sebanyak 2 buah dengan waktu perekaman yang

berbeda, tidak memiliki daerah bergaris yang sama dan kondisi awan

paling sedikit.

2. Dipilih citra dengan kondisi awan dan jumlah garis (strip) paling sedikit

sebagai citra acuan dan sisanya sebagai citra pengisi.

3. Jalankan program Frame and fill for win. 32, kemudian lakukan proses

pengisian citra acuan dengan menggunakan citra pengisi.

4. Dilakukan hal yang sama untuk citra tahun 2010.

(29)

Menurut Sukojo dan Susilowati (2003) koreksi geometris disebabkan oleh

pergeseran posisi terhadap sistem koordinat referensi dengan menggunakan

data titik kontrol tanah. Koreksi geometris dilakukan dengan menggunakan

program Erdas Imagine 8.5 pada citra tahun 2006 dan 2010 sedangkan citra

tahun 2002 digunakan sebagai acuan. Hal ini disebabkan citra tahun 2002

memiliki kondisi paling baik dan posisi paling tepat dengan peta administrasi

Kabupaten Asahan. Prosedur pengerjaan koreksi geometris adalah sebagai

berikut;

1. Jalankan program Erdas Imagine 8.5, kemudian buka citra landsat tahun

2006 pada viewer 1 sebagai citra yang belum terkoreksi dan citra tahun

2002 pada viewer 2 sebagai citra referensi.

2. Buat Ground Control Point (GCP) dengan posisi menyebar dan merata

(sedikitnya empat titik) pada seluruh areal sampai nilai RMS Error di

bawah 0.5 (Wijaya, 2005).

3. Hal yang sama dilakukan untuk citra tahun 2010.

2. Memotong citra (Subset image)

Subset image merupakan kegiatan memotong citra sesuai dengan daerah

kawasan yang akan diteliti. Proses ini menggunakan bantuan program Arc View

GIS 3.3. Tahapan pengerjaannya antara lain;

1. Jalankan program Arc View 3.3, kemudian buka citra tahun 2002 dan

poligon daerah penelitian.

2. Dilakukan pemotongan citra dengan menggunakan poligon tersebut

(30)

3. Lakukan hal yang sama untuk citra tahun 2006 dan 2010 yang telah

dikoreksi sebelumnya.

3. Klasifikasi citra

Klasifikasi citra bertujuan untuk mengelompokkan

kenampakan-kenampakan yang homogen pada citra. Klasifikasi yang digunakan dalam

penelitian ini adalah klasifikasi terbimbing (supervised classification). Klasifikasi

terbimbing adalah proses klasifikasi dengan memilih training area untuk tiap kriteria

penutupan lahan yang mewakili sebagai kunci interpretasi. Proses pengklasifikasian

citra menggunakan program Erdas Imagine 8.5. Tahapan pengerjaannya, antara lain;

1. Buka citra tahun 2002 dengan kombinasi ban 5,4,3 untuk warna sebenarnya

atau natural color (wijaya, 2005), kemudian ditentukan sampel tutupan lahan

(training area).

2. Masing-masing training area yang telah dibuat disimpan ke dalam folder

khusus untuk pengerjaan klasifikasi citra.

3. Memasukkan informasi yang terdapat pada training area ke dalam signature

editor.

4. Dilakukan uji akurasi untuk melihat keakuratan klasifikasi hasil interpretasi

yang diperoleh dengan menghitung nilai yang terdapat pada matriks akurasi.

Menurut Jaya (2002) nilai uji akurasi dihitung dengan menggunakan rumus

sebagai berikut:

Produser’s accuracy = x100%

(31)

Ket: N = Jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan

x

kk= Jumlah piksel pada kelas bersangkutan (diagonal matriks)

x

kt= Jumlah semua kolom pada baris ke-i

x

tk= Jumlah semua kolom pada baris ke-j

5. Selanjutnya membuat peta hasil klasifikasi.

Secara singkat tahapan-tahapan pembuatan peta penutupan lahan dapat

digambarkan dalam diagram alir seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Tahapan analisis citra untuk pembuatan peta penutupan lahan.

Pemetaan Perubahan Penutupan Lahan

Rentang waktu pengamatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

empat tahun, yaitu tahun 2002, 2006 dan 2010. Dalam rentang waktu tersebut

diperkirakan telah terjadi berbagai macam bentuk alih fungsi penggunaan lahan di Citra Landsat 128/58

Koreksi Citra

Citra Terkoreksi

Subset Image

Uji Akurasi

(32)

dalam kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan sehingga dapat dilihat dengan

jelas perubahan-perubahan penutupan lahan yang terjadi.

Metode yang digunakan untuk mengetahui perubahan lahan pada hutan

mangrove Kabupaten Asahan dari citra Landsat tahun 2002, 2006 dan 2010

adalah dengan change detection. Menurut Sumantri (2006) change detection

adalah suatu analisis deteksi perubahan yang dilakukan untuk menentukan

laju/tingkat perubahan lahan setiap waktu dimana menggunakan teknologi

penginderaan jauh (remote sensing) dalam menentukan perubahan di obyek studi

khusus di antara dua atau lebih periode waktu.

Tahapan pengerjaan pemetaan perubahan penutupan lahan adalah sebagai

berikut;

1. Dibuka peta hasil klasifikasi tahun 2002, 2006 dan 2010 dengan

menggunakan program Arc View GIS 3.3.

2. Digunakan extention change detection untuk melihat bentuk-bentuk

perubahan tutupan lahan pada periode tahun 2002-2006

3. Langkah yang sama dilakukan untuk periode 2006-2010 dan 2002-2010

4. Hasil akhir berupa peta perubahan penutupan lahan

Rangkaian kegiatan dalam menganalisis perubahan lahan (2002, 2006 dan

2010) dapat dilihat pada Gambar 3.

Penutupan Lahan Tahun A

Penutupan Lahan Tahun B

(33)

Gambar 3. Tahapan pemetaan perubahan lahan

Analisis Tingkat Kerusakan Mangrove

Penilaian tingkat kerusakan hutan mangrove dapat dilakukan dengan

bantuan teknologi GIS. Menurut Departemen Kehutanan (2006) tingkat kerusakan

mangrove dapat diketahui dengan mengacu kepada tiga keriteria, yaitu jenis

penggunaan lahan, kerapatan tajuk dan ketahanan tanah terhadap abrasi. Kriteria

pembobotan dan skoring dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria, bobot dan skor penilaian untuk penentuan tingkat kerusakan mangrove

No Kriteria Bobot Skor Penilaian

1 Jenis penggunaan

lahan (Jpl) 45

a. 3: Hutan

b. 2: Perkebunan

c. 1: Pemukiman, tambak, industri, sawah dan tanah

kosong

2 Kerapatan tajuk (Kt) 35

a. 3: Kerapatan tajuk lebat (0,43 < NDVI < 1,00)

b. 2: Kerapatan tajuk sedang (0,33 < NDVI < 0,42)

c. 1: Kerapatan tajuk jarang (-1,0 < NDVI < 0,32)

3 Ketahanan tanah

terhadap abrasi (Kta) 20

a. 3: Jenis tanah tidak peka erosi (tekstur lempung)

b. 2: Jenis tanah peka erosi (tekstur campuran)

c. 1: Jenis tanah sangat peka erosi (tekstur pasir)

Sumber: Kementerian Kehutanan, 2006

Selanjutnya dihitung Total Nilai Skoring (TNS) dengan menggunakan

rumus sebagai berikut:

TNS = (Jpl x 45) + (Kt x 35) + (Kta x 20) Ket: TNS = Total Nilai Skoring

Jpl = Jenis penggunaan lahan

(34)

Kta = Ketahanan tanah terhadap abrasi

Total Nilai Skoring yang telah dihitung kemudian dibagi ke dalam lima kelas

dengan menggunakan rumus statistik;

CI = R/K Ket: CI = interval kelas

K = jumlah kelas

R = selisih data terbesar dengan data terkecil

Berdasarkan rumus di atas, maka dapat ditentukan tingkat kerusakan mangrove

sebagai berikut:

Tabel 3. Kriteria tingkat kerusakan mangrove

No Total Nilai Skoring Kriteria

1 100-139 Rusak berat

2 140-179 Rusak

3 180-219 Cukup Rusak

4 220-259 Baik

5 260-300 Sangat Baik

Sumber: Hasil analisis GIS, 2011

Pembagian tingkat kerusakan ke dalam lima kelas dianggap telah menggambarkan

secara jelas kerusakan yang terjadi pada hutan mangrove.

Analisis tingkat kerusakan mangrove dilakukan dengan bantuan program

Arc View GIS 3.3. Prosedur pengerjaannya adalah sebagai berikut;

1. Jalankan program Arc View kemudian buka peta penutupan lahan

kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan tahun 2010 (Lampiran 7),

peta kerapatan tajuk tahun 2010 (Lampiran 13), dan peta tekstur tanah

(Lampiran 14).

2. Lakukan proses tumpang tindih (overlay) pada ketiga peta tersebut dengan

(35)

3. Berikan skor pada setiap kriteria (Tabel 2) kemudian dihitung skor total

(Lampiran 14).

4. Dibuat peta tingkat kerusakan mangrove berdasarkan skor total tersebut.

5. Langkah kerja yang sama dilakukan untuk tahun 2002 dan 2006

Secara sederhana tahapan kerja analisis ini dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Tahapan analisis tingkat kerusakan mangrove Peta Kerapatan

Tajuk (Kt)

Peta Penutupan Lahan Kawasan Hutan Mangrove Kabupaten Asahan

Tahun 2010 (Jpl)

Peta Tingkat Kerusakan Mangrove Kabupaten Asahan Tumpang tindih (overlay)

dan skoring

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Klasifikasi Penutupan Lahan

Kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan secara umum dapat

diklasifikasikan ke dalam enam tipe penutupan lahan, antara lain: hutan

mangrove, badan air, perkebunan, pemukiman, tambak dan lahan terbuka.

Pengklasifikasian sebelumnya dilakukan dengan membagi kawasan hutan ke

dalam 5 penutupan lahan utama, yaitu hutan mangrove, badan air, perkebunan,

pemukiman dan lahan terbuka. Untuk tipe penutupan tambak dilakukan dengan

merubah atribute data pada penutupan badan air yang berada di daratan dan

membentuk pola menyerupai tambak. Proses ini dilakukan dengan menggunakan

Petunjuk Teknis Penafsiran Citra yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal

Planologi Kehutanan.

Hal tersebut dilakukan mengingat dalam penggunaan klasifikasi

terbimbing, tipe penutupan tambak secara visual memiliki rona, warna dan tekstur

yang sama dengan badan air sehingga sulit terpisahkan. Untuk mengatasi hal ini

maka digunakanlah kunci interpretasi sebagai acuan dengan tidak mengurangi

akurasi pengkelasan tipe penutupan lahan lainnya yang menggunakan metode

klasifikasi terbimbing. Hasil interpretasi citra Landsat menggunakan klasifikasi

(37)

Tabel 4. Tipe penutupan lahan di kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan

No

Tipe Penutupan

Lahan

Ciri-ciri pada citra satelit Gambar pada citra satelit

Kondisi di lapangan

1 Hutan mangrove

1. Biasanya berwarna hijau dengan tekstur agak halus.

2. Rona agak gelap sampai dengan terang.

3. Menampilkan pola yang tidak teratur dan terletak di daerah pantai serta di muara sungai sungai besar.

2 Badan air 1. Memiliki tekstur halus.

2. Warna biru sampai biru kehitaman.

3. Menampilkan pola yang tidak teratur.

3 Pemukiman 1. Biasanya berwarna merah muda sampai keunguan dengan tekstur agak kasar.

2. Rona terang sampai agak gelap.

3. Menampilkan pola yang tidak teratur dan terkadang terlihat jaringan jalan.

4 Perkebunan 1. Umumnya berwarna hijau muda sampai tua dengan tekstur agak halus dan agak kasar.

2. Rona agak terang dengan bentuk beraturan (kelapa sawit) dan tidak beraturan (kelapa rakyat)

(38)

5 Tambak 1. Warna biru kehitaman menyerupai badan air dengan rona agak gelap.

2. Memiliki tekstur halus dengan pola yang seragam.

3. Biasanya berada di pinggir laut atau dekat dengan muara sungai.

2. Memiliki tekstur halus.

3. Biasanya memilki pola tidak teratur.

Sumber: Hasil analisis GIS, 2011

Adapun nilai akurasi keseluruhan (overall accuracy) pengkelasan tipe

penutupan lahan menggunakan klasifikasi terbimbing pada tahun 2002 sebesar

98,29 %, tahun 2006 sebesar 98,62% dan tahun 2010 sebesar 97,90 % (Lampiran

3). Menurut Jaya (2002) Pengklasifikasian harus diulang jika overall accuracy

besarnya kurang dari 85%. Semakin tinggi nilai akurasinya maka

pengklasifikasian yang dilakukan akan semakin baik.

Penutupan Lahan Tahun 2002, 2006 dan 2010

Pengklasifikasian tipe penutupan lahan yang telah dilakukan pada citra

Landsat tahun 2002, 2006 dan 2010 di kawasan hutan mangrove Kabupaten

(39)

Gambar 5. Distribusi penutupan lahan di kawasan hutan mangrove kab. Asahan tahun 2002, 2006

dan 2010.

Klasifikasi penutupan lahan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

pada tahun 2002 penutupan lahan terbesar adalah hutan mangrove dengan luas

4083,60 Ha atau sebesar 58,42 % dari total luas kawasan hutan mangrove

Kabupaten Asahan (Lampiran 3). Selanjutnya diikuti secara berturut, yaitu

perkebunan seluas 2001,70 Ha atau 28,64 %, badan air seluas 714,47 Ha atau

10,22 %, pemukiman seluas 80,66 Ha atau 1,15 %, lahan terbuka seluas 58,31 Ha

atau 0,83% dan tambak seluas 51,50 Ha atau 0,74 % dari total luas kawasan

hutan.

Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa luasan hutan mangrove

mengalami penurunan pada tahun 2006, yaitu menjadi 3976,83 Ha atau 56, 89 %

dari total luasan. Selanjutnya disusul berturut-turut oleh perkebunan seluas

1895,16 Ha atau 27,11 %, badan air seluas 713,29 Ha atau 10,20 %, pemukiman

seluas 250,17 Ha 3,58 %, lahan terbuka seluas 99,73 Ha atau 1,43 % dan tambak

seluas 55,06 Ha atau 0,79%. Adapun tutupan lahan yang mengalami penambahan

Luas (Ha)

Tahun:

(40)

luasan dari tahun 2002 adalah pemukiman, lahan terbuka dan tambak sedangkan

pada hutan mangrove, badan air dan perkebunan mengalami penurunan luasan.

Selama rentang waktu empat tahun dari tahun pengamatan sebelumnya

(tahun 2006) dapat diketahui bahwa masing-masing tipe penutupan lahan

mengalami penambahan maupun pengurangan jumlah luasan dan proporsi.

Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui pada tahun 2010 hutan mangrove kembali

mengalami penurunan luasan dan proporsi, yaitu hanya tinggal seluas 3573 Ha

atau 51,11 % dari total luasan.

Tipe penutupan lahan lainnya yang juga mengalami penurunan luasan

adalah lahan terbuka dengan luasan 69,28 Ha atau 0,99 % dari total luas kawasan

hutan (Lampiran 3). Adapun tipe penutupan lahan yang mengalami penambahan

jumlah luasan dan proporsi adalah badan air menjadi seluas 723,54 Ha atau

10,35%, perkebunan seluas 2189,53 Ha atau 31,32 %, pemukiman seluas 368,73

Ha atau 5,27 % dan tambak menjadi seluas 66,16 Ha atau 0,95 %.

Perubahan Tutupan Lahan Kawasan Hutan Mangrove Kabupaten Asahan Hutan mangrove memberikan kontribusi yang signifikan terhadap

ekosistem flora dan fauna pantai sekaligus sebagai pelindung garis pantai dari

abrasi, gelombang laut maupun angin topan. Secara tidak langsung menurunnya

kondisi hutan mangrove mempengaruhi ketersediaan sumberdaya perairan. Para

nelayan di sekitar kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan mengaku bahwa

hasil-hasil tangkapan mereka di sekitar hutan mangrove semakin berkurang dari

(41)

kepentingan dan aktifitas manusia memberikan dampak terhadap kondisi hutan

mangrove dan berbagai perubahan tutupan lahan yang terjadi.

Menurut Onrizal (2010) perubahan luas hutan mangrove primer menjadi

hutan mangrove sekunder terutama disebabkan oleh aktivitas penebangan, baik

untuk industri kayu arang maupun kayu bakar dan perancah. Perubahan dari hutan

mangrove primer dan sekunder menjadi areal non hutan mangrove diakibatkan

oleh konversi, terutama pembukaan areal untuk pertambakan, perkebunan,

permukiman dan areal pertanian lainnya.

Pengamatan terhadap penutupan lahan di kawasan hutan mangrove

Kabupaten Asahan dengan rentang waktu delapan tahun, yaitu tahun 2002, 2006

dan 2010 menunjukkan bahwa kawasan ini mengalami perubahan penutupan

lahan baik penambahan maupun pengurangan luasan. Dalam penelitian ini

perubahan lahan yang terjadi dibagi ke dalam tiga periode, yaitu periode

perubahan tahun 2002-2006, perubahan tahun 2006-2010 dan perubahan tahun

2002-2010.

Perubahan Penutupan Lahan Tahun 2002-2006

Hasil klasifikasi penutupan lahan pada citra Landsat pada tahun 2002 dan

tahun 2006 (Lampiran 7) menunjukkan bahwa sebagian besar tipe penutupan

lahan mengalami perubahan menjadi tipe penutupan lahan lainnya. Hal ini diiringi

dengan penambahan dan pengurangan luasan maupun proporsi dari setiap

penutupan lahan. Perubahan bentuk dan luasan dari setiap penutupan lahan dapat

(42)

Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar tipe penutupan lahan

mengalami perubahan bentuk dan luasan sedangkan pemukiman tidak mengalami

perubahan bentuk namun luasannya bertambah pada tahun 2006 menjadi 250,17

Ha atau meningkat sebesar 210,15 % dari tahun 2002. Pengurangan jumlah luasan

terbesar terjadi pada hutan mangrove, yaitu sebesar 106,77 Ha dengan proporsi

2,61 % luas hutan mangrove pada tahun 2002. Selama rentang waktu empat tahun,

hutan mangrove mengalami perubahan bentuk menjadi badan air, perkebunan,

pemukiman, lahan terbuka dan tambak.

Penambahan jumlah luasan terbesar terjadi pada pemukiman, yaitu seluas

169,51 Ha. Selanjutnya diikuti berturut-turut lahan terbuka bertambah sebesar

41,42 Ha atau 71,03 % dan tambak seluas 3,56 Ha atau 6,91 % dari luasan tahun

2002. Perubahan bentuk setiap tutupan lahan selama periode 2002-2006 dapat

dilihat pada peta.

Pengurangan jumlah luasan dan perubahan bentuk hutan mangrove

menjadi berbagai bentuk tutupan lahan lainnya disebabkan oleh adanya aktifitas

manusia di sekitar hutan dan kepentingan berbagai pihak. Selanjutnya Onrizal

(2010) menyatakan bahwa areal hutan mangrove juga berkurang akibat abrasi

yang diawali oleh rusaknya tegakan hutan mangrove akibat konversi dan

(43)

Tabel 3. Perubahan bentuk dan luas tutupan lahan di kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan periode tahun 2002-2006

Penutupan lahan tahun 2002

Penutupan Lahan tahun 2006 Total 2002

Hutan mangrove Badan

Air Perkebunan Pemukiman

Lahan

Ket: tanda (+) mengindikasikan adanya penambahan jumlah dan tanda (-) mengindikasikan adanya pengurangan jumlah.

Sumber: Hasil analisis GIS, 2011

(44)

Berdasarkan hasil survei di lapangan sebagian besar perkebunan yang

berada dalam kawasan hutan mangrove adalah kebun kelapa rakyat dan sisanya

adalah kebun kelapa sawit. Menurut Tambunan dkk (2005) kawasan hutan

mangrove di Kabupaten Asahan sebahagian besar telah berubah fungsi menjadi

pemukiman masyarakat serta perkebunan kelapa rakyat. Untuk lebih jelas dapat

dilihat pada Gambar 6.

(a) (b)

Gambar 6. Perubahan hutan mangrove menjadi kebun kelapa rakyat (a) dan kelapa sawit (b).

Bertambahnya jumlah penduduk juga memicu terjadinya penurunan luasan

hutan mangrove. Peningkatan jumlah penduduk diiringi dengan kebutuhan akan

ruang yang lebih luas sebagai tempat tinggal dan beraktifitas. Selama kurun waktu

empat tahun sebanyak 84,48 Ha hutan mangrove berubah menjadi areal

pemukiman.

Salah seorang warga yang tinggal di dalam kawasan hutan mangrove

menyatakan bahwa selama kurun waktu 2002-2006 telah berdiri perusahan swasta

untuk mengembangkan komoditi kelapa sawit di dalam kawasan hutan tersebut.

Sebagian masyarakat mulai menggarap areal hutan mangrove untuk dijadikan

sebagai tambak. Tambunan dkk (2005) menegaskan bahwa keterbatasan

pemahaman atas nilai dan manfaat mangrove sangat menentukan bentuk, strategi

(45)

Perubahan Penutupan Lahan Tahun 2006-2010

Hasil klasifikasi penutupan lahan pada kawasan hutan mangrove

Kabupaten Asahan dengan menggunakan citra Landsat tahun 2006 dan 2010

(Lampiran 8) menunjukkan bahwa selama periode waktu tersebut mengalami

perubahan tipe penutupan lahan yang tidak jauh berbeda dengan periode

sebelumnya. Akan tetapi untuk luasan masing-masing penutupan lahan

mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal tersebut dapat dilihat pada

Tabel 4.

Bentuk perubahan lahan yang mengalami total perubahan terbesar selama

periode 2006-2010 adalah hutan mangrove, yaitu seluas 403,83 Ha atau 10,15 %

dari total luasnya pada tahun 2006. Selanjutnya diikuti secara berturut-turut oleh

perkebunan sebesar 294,37 Ha, pemukiman seluas 118,56 Ha, lahan terbuka

seluas 30,45 Ha, tambak seluas 11,10 Ha dan badan air seluas 10,25 Ha.

Tabel 4 menunjukkan bahwa tipe penutupan pemukiman tidak mengalami

bentuk perubahan sedangkan kelima tipe penutupan lahan lainnya mengalami

perubahan bentuk serta luasan. Hutan mangrove dengan luasan paling tinggi pada

tahun 2006, yaitu 3976,83 Ha kembali mengalami perubahan bentuk dan luasan

selama kurun waktu 4 tahun. Pada tahun 2010 hutan mangrove hanya tinggal

(46)

Tabel 4. Perubahan bentuk dan luas tutupan lahan di kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan periode tahun 2006-2010

Penutupan lahan tahun 2006

Penutupan Lahan tahun 2010 Total 2006

Hutan mangrove Badan Air Perkebunan Pemukiman Lahan terbuka Tambak Luas (Ha) Proporsi (%)

Hutan mangrove 3527,67 57,50 315,63 66,81 8,01 1,21 3976,83 56,89

Badan air 45,33 666,04 - 1,92 - - 713,29 10,20

Perkebunan - - 1803,38 43,94 47,84 - 1895,16 27,11

Pemukiman - - - 250,17 - - 250,17 3,58

Lahan terbuka - - 70,52 5,89 13,43 9,89 99,73 1,43

Tambak - - - 55,06 55,06 0,79

Total luas 2010 (Ha) 3573,00 723,54 2189,53 368,73 69,28 66,16 6990,24 100,00

Perubahan Tutupan lahan (Ha) -403,83 10,25 294,37 118,56 -30,45 11,10

Perubahan Tutupan lahan (%) -10,15 1,44 15,53 47,39 -30,53 20,16

Ket: tanda (+) mengindikasikan adanya penambahan jumlah dan tanda (-) mengindikasikan adanya pengurangan jumlah.

Sumber: Hasil analisis GIS, 2011

(47)

Perubahan bentuk dan luasan terbesar yang terjadi pada tutupan hutan

mangrove adalah menjadi perkebunan, yaitu seluas 315,63 Ha. Pada kurun waktu

2006 sampai 2010 perusahan perkebunan swasta yang ada telah melakukan

penggarapan dengan menanam komoditi kelapa sawit pada kawasan hutan

mangrove. Hal ini dibuktikan pada saat observasi di lapangan dimana ditemukan

tanaman sawit yang berumur sekitar 4 tahun telah tumbuh rapi pada kawasan

hutan mangrove asahan.

Pemukiman pada tahun 2010 kembali mengalami peningkatan luasan

menjadi 368,73 Ha. Hampir semua tipe penutupan lahan beralih fungsi menjadi

pemukiman, hanya tipe penutupan tambak yang tidak beralih fungsi menjadi

pemukiman. Pertambahan jumlah penduduk (BPS, 2006 dan 2010) kembali

menjadi pemicu adanya perubahan fungsi kawasan menjadi bentuk pemukiman.

Perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.

(a) (b)

Gambar 7. Perubahan bentuk badan air menjadi pemukiman (a) dan hutan mangrove menjadi pemukiman (b).

Tipe penutupan lahan terbuka mengalami penurunan jumlah luasan dan

berubah menjadi perkebunan dan pemukiman. Berdasarkan observasi yang telah

dilakukan di lapangan, hal ini disebabkan lahan yang sebelumnya digarap oleh

(48)

areal perkebunan kelapa sawit pada tahun 2010 serta sebagian luasan menjadi

daerah pemukiman bagi para masyarakat yang bekerja di perusahaan perkebunan

tersebut.

Perubahan Penutupan Lahan Tahun 2002-2010

Perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang tahun 2002 sampai dengan

tahun 2010 merupakan akumulasi dari berbagai perubahan bentuk dan luasan

yang terjadi pada setiap tipe penutupan lahan dalam dua periode sebelumnya,

yaitu tahun 2002-2006 dan 2006-2010 (Lampiran 9). Sesungguhnya perubahan

besar-besaran terhadap alih fungsi hutan mangrove menjadi bentuk pemanfaatan

lahan yang lain terjadi pada awal tahun 1990-an. Menurut salah seorang warga,

pada awal tahun 1990-an masyarakat Asahan mulai tertarik untuk menanam

kelapa sawit di tanah milik mereka maupun di tanah garapan yang berada di hutan

negara. Hal ini dikarenakan pada saat itu komoditi kelapa sawit memiliki nilai

ekonomi yang tinggi.

Interpretasi yang telah dilakukan pada citra Landsat tahun 2002 dan 2010

memberikan informasi mengenai bentuk-bentuk perubahan dan luasan yang

terjadi selama kurun waktu delapan tahun. Adapun perubahan tersebut dapat

(49)

Tabel 5. Perubahan bentuk dan luas tutupan lahan di kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan periode tahun 2002-2010

Penutupan lahan tahun 2002

Penutupan Lahan tahun 2010 Total 2002

Hutan mangrove Badan Air Perkebunan Pemukiman Lahan terbuka Tambak Luas (Ha) Proporsi (%)

Hutan mangrove 3506,43 81,35 414,00 62,28 17,48 2,06 4083,60 58,42

Badan air 66,57 642,19 - 5,71 - - 714,47 10,22

Perkebunan - - 1744,03 218,06 39,61 - 2001,70 28,64

Pemukiman - - - 80,66 - - 80,66 1,15

Lahan terbuka - - 31,50 2,02 12,19 12,60 58,31 0,83

Tambak - - - 51,50 51,50 0,74

Total luas 2010 (Ha) 3573,00 723,54 2189,53 368,73 69,28 66,16 6990,24 100,00

Perubahan Tutupan lahan (Ha) -510,60 9,07 187,83 288,07 10,97 14,66

Perubahan Tutupan lahan (%) -12,50 1,27 9,38 357,14 18,81 28,47

Ket: tanda (+) mengindikasikan adanya penambahan jumlah dan tanda (-) mengindikasikan adanya pengurangan jumlah.

Sumber: Hasil analisis GIS, 2011

(50)

Tabel 5 menunjukkan bahwa tipe penutupan lahan yang mengalami

perubahan alih fungsi lahan paling besar sepanjang tahun 2002-2010 adalah hutan

mangrove yaitu sebesar 510,60 Ha. Kemudian secara berturut oleh pemukiman

seluas 288,07 Ha, perkebunan seluas 187,83 Ha, tambak seluas 14,66 Ha, lahan

terbuka seluas 10,97 Ha dan badan air seluas 9,07 Ha.

Sepanjang tahun 2002 sampai dengan tahun 2010 hutan mangrove

mengalami alih fungsi penggunaan lahan dan perubahan luasan menjadi badan air

seluas 81,35 Ha, perkebunan seluas 414 Ha, pemukiman seluas 62,28 Ha, lahan

terbuka seluas 17,48 Ha dan tambak seluas 2,06 Ha. Pada tahun 2010 diketahui

bahwa hutan mangrove hanya tinggal seluas 3573 Ha setelah sebelumnya seluas

4083,60 Ha pada tahun 2002.

Perubahan hutan mangrove menjadi badan air disebabkan oleh adanya

penebangan yang telah dilakukan masyarakat di tepi-tepi pantai dalam rangka

memenuhi kebutuhan hidup berupa kayu bakar. Hal ini menyebabkan terjadinya

abrasi pantai sehingga daerah pasang surut air laut menjadi lebih meningkat ke

daratan. Lebih lanjut Purwoko dkk (2006) menyatakan bahwa perubahan lahan

menjadi badan air disebabkan sebagian dari luasan hutan mangrove yang telah

ditebang tergenang air. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 8.

(a) (b)

(51)

Perubahan bentuk hutan mangrove menjadi lahan terbuka disebabkan oleh

adanya kegiatan penebangan yang dilakukan masyarakat dan juga aktifitas

perkebunan. Kegiatan penebangan yang dilakukan masyarakat umumnya dengan

membongkar tunggak-tunggak kayu yang telah ditebang sebelumnya sehingga

kayu tidak dapat beregenerasi vegetatif secara alami. Lahan terbuka yang

bertambah juga disebabkan karena adanya areal pertambakan yang tidak diusakan

lagi.

Laju pengurangan luasan mangrove terjadi dapat ditekan dengan

melakukan kegiatan penanaman kembali. Berdasarkan keterangan yang diberikan

masyarakat tahun 2007 telah dilakukan kegiatan penanaman yang dilakasanakan

oleh pemerintah setempat dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam upaya

melestarikan hutan mangrove. Penanaman dilakukan di sepanjang garis pantai

dengan luasan 600 Ha. Namun kegiatan ini dinilai masyarakat tidak berhasil untuk

melestarikan mangrove karena pada kenyataannya tidak semua bibit mangrove

yang ditanam dapat bertahan hidup. Sebagian besar bibit mati maupun terbawa

arus pantai. Hanya sebagian kecil bibit yang dapat hidup, terutama bibit yang

ditanam paling dekat dengan daratan.

Selama periode 2002-2010 pemukiman mengalami peningkatan luasan

yang paling tinggi dibandingkan tipe penutupan lahan lainnya, yaitu meningkat

seluas 288,07 ha atau bertambah sebesar 357,14 % dari total luasan pemukiman

pada tahun 2002 yang hanya seluas 80,66 ha. Menurut Purwoko dkk (2006)

perubahan penggunaan lahan menjadi pemukiman maupun tambak diakibatkan

oleh masyarakat sekitar hutan membuka hutan mangrove primer atau sekunder

(52)

demografi di sekitar kawasan tersebut, dimana terjadi penambahan jumlah

penduduk yang konsekuensinya membutuhkan ruang yang lebih luas untuk

pemukiman dan penghidupan.

Tingkat kerusakan hutan mangrove Kabupaten Asahan

Berbagai aktifitas manusia di sekitar hutan mangrove memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap keberadaan hutan mangrove Kabupaten

Asahan. Perubahan bentuk dan luasan suatu tutupan lahan seringkali disebabkan

oleh adanya kepentingan dari berbagai pihak yang tekait di dalamnya. Hal ini

dimulai dari yang paling mendasar, yaitu pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat

akan ruang untuk hidup dan bermukim sampai kepada pengusahaan areal hutan

oleh pihak swasta menjadi bentuk penggunaan lahan seperti perkebunan maupun

tambak. Oleh sebab itu, kegiatan penebangan pun tidak dapat terelakkan. Hal ini

lah yang terjadi pada kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan.

Interpretasi citra yang telah dilakukan pada citra Landsat tahun 2002, 2006

dan 2010 menunjukkan bahwa kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan

terbagi menjadi lima kriteria tingkat kerusakan. Kriteria tingkat kerusakan yang

terjadi pada ketiga tahun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Tingkat kerusakan kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan pada tahun 2002, 2006 dan 2010

Kriteria Kerusakan

Tahun 2002 Tahun 2006 Tahun 2010

Luas

(53)

Tabel 6 memberikan informasi bahwa tingat kerusakan mangrove untuk

kriteria rusak berat mengalami peningkatan dari tahun 2002 seluas 747,11 Ha

menjadi 999,26 Ha pada tahun 2006 dan bertambah menjadi seluas 1004,58 Ha

pada tahun 2010. Tingkat kerusakan dengan kriteria cukup rusak juga mengalami

peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002 tingkat kerusakan pada kriteria

ini masih seluas 889,85 Ha kemudian meningkat menjadi 1007,51 Ha dan tahun

2010 menjadi 1145,65 Ha.

Tingkat kerusakan dengan kriteria baik mengalami penurunan pada setiap

tahun pengamatan, yaitu seluas 3227,35 Ha pada tahun 2002, menurun pada tahun

2006 menjadi 3025,17 Ha dan kembali mengalami penurunan luasan pada tahun

2010 menjadi 2344,83 Ha. Hal ini umumnya disebabkan oleh aktifitas manusia di

kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan berupa perubahan alih fungsi lahan

menjadi, pemukiman, perkebunan, tambak maupun lahan terbuka sebagai dampak

penebangan liar.

Lebih lanjut Khomsin (2005) menyatakan bahwa tekanan yang berasal dari

manusia adalah berupa dampak intervensi kegiatan manusia di habitat mangrove.

Tekanan tersebut termasuk kegiatan industri, pembangunan rumah, tambak ikan

atau udang, pemanfaatan kayu mangrove untuk berbagai keperluan berupa kayu

bakar dan bahan bangunan. Tingkat kerusakan yang terjadi pada tahun 2010 di

kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan dapat disajikan ke dalam bentuk peta

(54)
(55)

Tingkat kerusakan hutan mangrove di empat Kecamatan pada Kabupaten Asahan

Kawasan hutan mangrove Kabupaten Asahan secara administratif berada

dalam empat kecamatan, yaitu Sei Kepayang, Sei Kepayang Timur, Tanjung Balai

dan Silau laut. Tingkat kerusakan hutan mangrove yang terjadi pada keempat

kecamatan tersebut dalam tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 9. Distribusi

tingkat kerusakan kawasan hutan mangrove ditampilkan pada Gambar 10.

Tabel 9. Tingkat kerusakan kawasan hutan mangrove di beberapa Kecamatan dalam

Kabupaten Asahan

Kriteria Kerusakan

Kecamatan

Sei Kepayang Sei Kepayang Timur Silau Laut Tanjung Balai Luas

Berdasarkan hasil analisis GIS yang telah dilakukan Kecamatan Sei

Kepayang Timur memiliki kawasan hutan mangrove paling luas dibandingkan

ketiga Kecamatan lainnya. Hutan mangrove di kecamatan ini mencapai 5447,45

Ha. Sebanyak 1254,46 Ha hutan mangrove berada pada wilayah Kecamatan Sei

Kepayang. Kecamatan Tanjung Balai memiliki hutan mangrove seluas 199,78

Ha. Hutan mangrove seluas 88,55 Ha berada dalam wilayah Kecamatan Silau

Laut.

Tabel 9 menunjukkan bahwa tingkat kerusakan dengan kriteria rusak berat

paling banyak ditemukan pada Kecamatan Sei Kepayang Timur, yaitu seluas

752,94 Ha (13,82 %). Demikian juga dengan kriteria rusak paling banyak terdapat

(56)

(16,62 %). Kecamatan Sei Kepayang Timur juga memiliki kawasan hutan

mangrove dengan kriteria cukup rusak paling luas dibandingkan ketiga kecamatan

lainnya, yaitu seluas 931,98 Ha (17,11 %).

Gambar 10. Distribusi tingkat kerusakan hutan mangrove pada empat kecamatan di

Kabupaten Asahan.

Kawasan hutan mangrove dengan kriteria baik paling banyak ditemukan

pada Kecamatan Sei Kepayang Timur, yaitu seluas 1883,76 Ha (34,58%).

Kecamatan Sei Kepayang Timur juga memiliki hutan mangrove dengan kriteria

sangat baik paling luas di antara keempat kecamatan tersebut, yaitu seluas 973,57

Ha (17,87 %). Hal ini dikarenakan kawasan hutan mangrove di Kecamatan Sei

Kepayang Timur merupakan yang terluas. Selain itu juga pada Kecamatan ini

banyak terjadi alih fungsi perubahan hutan mangrove menjadi bentuk

pemanfaatan lain seperti perkebunan, pemukiman dan lahan terbuka (Lampiran 9).

Berdasarkan kegiatan survei lapangan yang telah dilakukan pada lokasi

penelitian umumnya masyarakat nelayan yang hidup di sekitar kawasan hutan

mangrove mengeluhkan hasil-hasil tangkapan mereka dari tahun ke tahun semakin

Sei Kepayang Sei Kepayang Timur

(57)

berkurang. Salah seorang nelayan mengaku kesulitan untuk mencari ikan sebagai

sumber pendapatan keluarga dan kehidupan. Menurutnya hal ini sangat berbeda

dengan keadaan sekitar 30 tahun lalu dimana saat itu kondisi hutan mangrove

masih baik. Saat itu, Mereka hanya perlu pergi ke sekitar muara sungai untuk

mendapatkan ikan dan kepiting dengan hasil yang cukup melimpah. Namun

sekarang mereka harus berlayar jauh ke tengah laut untuk mencari ikan. Keadaan

ini mengindikasikan adanya pengaruh kerusakan kawasan mangrove terhadap

keberadaan sumberdaya perairan.

Hal tersebut ditegaskan oleh penelitian Purwoko dan Onrizal (2002) yang

menyatakan bahwa gambaran kerusakan mangrove juga bisa dilihat dari

kemerosotan sumber daya alam yang signifikan di kawasan hutan mangrove, baik

pada ekosistem hutan pantai, ekosistem perairan, fisik lahan dan lain-lain. Hal ini

berakibat langsung pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar

Gambar

Gambar 1. Peta kawasan hutan mangrove di Kabupaten Asahan
Tabel 1. Data primer dan sekunder yang digunakan dalam penelitian Jenis
Gambar 2. Tahapan analisis citra untuk pembuatan peta penutupan lahan.
Tabel 2. Kriteria, bobot dan skor penilaian untuk penentuan tingkat kerusakan mangrove No Kriteria Bobot Skor Penilaian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perbandingan Klasifikasi Statistic Based Dan Similarity Based Pada Pemetaan Tutupan Lahan ( Studi Kasus Kecamatan Peukan Bada ) Tugas Akhir Perbandingan Klasifikasi Statistic

1) Telah tersedianya teknologi komputasi dan komunikasi yang memungkinkan dilakukannya penciptaan, pengumpulan dan manipulasi informasi. 2) Infrastruktur jaringan

Bukti Pembelajaran Sosial, di mana penugasan portofolio belum mampu menunjukkan kemampuan mahasiswa bekerja sama dengan orang lain, berbagi dan saling bantu dengan

9 10 11 12 13 14 15 16 17 PEMANFAATAN PEKARANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA JML. PENYULUHAN WARUNG

Penelitian lainnya oleh Suhaili, Irawan, Fahrizal, &amp; Herusutopo (2014) yang melakukan analisis perbandingan algortima pathfinding Greedy Best-First Search dengan A* dalam

Penulis kemudian banyak berdialog dengan anak laki-laki yang mendapatkan sebuah permasalahan dengan Ibunya dan menemukan kesamaan dalam hal kebencian dan juga rasa sayang

Hour angle H merupakan representasi setengah siang hari (karena besar sudut H adalah setengah panjang busur XMY) serta lingkaran yang memuat X, Y¸dan M

Pendekatan SAVI (Somatis, Auditori, Visual, dan Intelektual) melalui model Problem Based Learning tidak memberikan pengaruh yang lebih baik daripada model pembelajaran