• Tidak ada hasil yang ditemukan

Preparasi dan Aktivasi Zeolit Pada penelitian ini digunakan zeolit alam dari daerah Cikembar Sukabumi. Zeolit memiliki ukuran pori yang tidak seragam dan mengandung banyak pengotor, maka perlu dilakukan preparasi dan aktivasi zeolit. Proses preparasi dilakukan dengan pengayakan menggunakan saringan 200 mesh, selanjutnya zeolit diaktivasi secara kimia maupun fisis. Secara kimia, dilakukan penambahan asam HCl 0.032 M untuk membersihkan permukaan pori, membuang senyawa pengotor, dan mengatur kembali letak atom yang dapat dipertukarkan. Secara fisis, zeolit diaktivasi

5

dengan pemanasan atau kalsinasi dalam oven pada suhu 300

400 oC selama 3

4 jam (Suwardi 2000). Proses ini bertujuan menguapkan air yang terperangkap dalam pori-pori kristal zeolit sehingga pori-porinya menjadi kosong dan dapat digunakan untuk pertukaran ion dan proses adsorpsi.

Zeolit yang telah diaktivasi diayak kembali dengan saringan 325 mesh untuk menghasilkan ukuran pori yang lebih kecil sehingga memperluas permukaan atau bidang kontak adsorben (zeolit) dengan adsorbat (Rohaeti 2007). Hal ini dapat meningkatkan daya adsorpsi zeolit serta pergerakan logam-logam alkali dan alkali tanah yang ada di dalamnya.

Hasil Pencirian Zeolit dengan PSA, XRD, dan SEM

PSA bertujuan menentukan ukuran partikel dan distribusinya dari sampel yang representatif. Zeolit yang telah diaktivasi dan diayak 325 mesh dianalisis menggunakan PSA, diperoleh ukuran partikel rata-ratanya sebesar 414.3 nm. Zeolit juga dianalisis menggunakan SEM untuk melihat morfologi permukaan zeolit. Analisis dengan SEM dilakukan dengan perbesaran 3000×, fotonya ditunjukkan pada Gambar 1. Terlihat rongga-rongga zeolit di sebelah kanan dan kiri.

Gambar 1 Morfologi permukaan zeolit. Zeolit sebelum dan setelah aktivasi dicirikan dengan XRD untuk mengetahui jenis mineral zeolit asal Cikembar. Puncak-puncak khas 2θ yang diperoleh (Lampiran 2 dan 3) dibandingkan dengan data-data nilai 2θ

puncak standar pada PCPDFWIN dari ICDD (Lampiran 4). Diperoleh kemiripan nilai 2θ

dengan basis data standar nomor arsip 29-1257 yang merupakan jenis mordenit. Karena itu, zeolit yang digunakan dalam penelitian diduga termasuk ke dalam jenis mordenit. Pembandingan nilai 2θ dari puncak-puncak khas tersebut ditunjukkan pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1 Puncak XRD zeolit alam mordenit dan zeolit Cikembar sebelum aktivasi

Puncak (2θ)

Zeolit Alam (Mordenit) PCPDFWIN Nomor 29-1257 Zeolit Cikembar 9.754 19.579 9.785 19.647 22.205 22.049 27.680 27.692

Tabel 2 Puncak XRD zeolit alam mordenit dan zeolit Cikembar setelah aktivasi

Puncak (2θ)

Zeolit Alam (Mordenit) PCPDFWIN Nomor 29-1257 Zeolit Cikembar 9.754 19.579 - 19.6964 22.205 22.2710 27.680 27.6619

Kapasitar Tukar Kation

Sifat fisis mineral zeolit adalah memiliki 3 komponen, yaitu kerangka aluminasilikat dan ruang kosong atau pori yang dapat diisi oleh molekul air yang dapat berkoordinasi dengan kation (Wahyudi et al. 2010). Sifat kimia zeolit adalah kemampuannya mengikat kation yang tinggi atau memiliki nilai KTK yang tinggi.

KTK merupakan jumlah milliekuivalen (mek) kation yang dapat dipertukarkan maksimum oleh 100 g bahan penukar ion (zeolit) dalam kondisi kesetimbangan. Nilai KTK ditunjukkan dari tingkat substitusi Al terhadap Si yang menghasilkan muatan negatif. Nilai KTK zeolit akan meningkat apabila semakin banyak kation diperlukan untuk menetralkan muatan negatif dari zeolit. Pada penentuan KTK dilakukan perkolasi dengan pelarut amonium asetat untuk membersihkan dan membuka pori zeolit. Alkohol 96% selanjutnya ditambahkan untuk membersihkan sisa amonium dari pasir, kuarsa, dan kertas saring, namun menjaga amonium tetap berada dalam sampel zeolit. Kation NH4+ akan menjenuhi tempat pertukaran kation dan menggantikan kation dapat tukar pada rongga zeolit. Pelarut NaCl 10% dimasukkan ke dalam tabung perkolasi untuk mempertukarkan kation NH4+ dalam kerangka zeolit tersebut dengan kation Na sehingga menjadi Na-zeolit. Filtratnya yang

6

berupa NH4Cl ditampung dalam labu takar. Kation NH4+ inilah yang diukur sebagai KTK. Menurut Al-Jabri (2008), KTK zeolit berdasarkan SNI 13-3494-1994 dinyatakan lolos uji mutu (LUM) jika nilainya 100 cmol(+)kg-1. Berdasarkan Permentan No. 02/Pert/HK.060/2/2006, KTK zeolit dikatakan tinggi jika nilainya 80 cmol(+)kg-1. Hasil analisis KTK zeolit setelah diaktivasi pada penelitian ini sebesar 46.22 cmol(+)/kg. Nilai ini tergolong kecil, namun nilai KTK juga bergantung pada jenis dan asal daerah zeolit yang digunakan. Zeolit yang berasal dari tempat yang berbeda akan memiliki kondisi morfologi yang beragam dan komposisi yang berbeda pula. Hal ini dibuktikan dalam penelitian sebelumnya berdasarkan prosedur Permentan No 02/Pert/HK.060/2/2006 terhadap beberapa zeolit, salah satunya berasal dari Sukabumi juga menghasilkan nilai KTK yang kecil, yaitu 39 cmol(+)/kg (Al-Jabri 2008). Nilai KTK zeolit juga sangat ditentukan oleh sifat pergerakan logam-logam alkali dan alkali tanah yang ada di dalamnya (K, Na, Ca, Mg, dan Fe) (Susetyaningsih et al.

2009). Distribusi kation dapat-tukar zeolit bergantung pada suhu pemanasan spesies kationik, dan tingkat hidrasi (Yang 2003). Nilai KTK yang kecil ini juga dapat menunjukkan kemungkinan zeolit memiliki kemampuan mengadsorpsi anion lebih besar daripada kation (Furi 2010). Hal ini sesuai dengan pemanfaatannya sebagai adsorben untuk adsorpsi Cr(VI), karena Cr(VI) yang berasal dari larutan K2Cr2O7 dalam larutan akan berada dalam bentuk anionnya.

Kapasitas Adsorpsi Zeolit terhadap Cr(VI) dan Analisis Cr(VI)

Metode adsorpsi yang digunakan adalah metode tumpak (batch adsorption). Pada metode tumpak, larutan contoh yang berisi adsorbat dan adsorben dicampur kemudian dikocok selama waktu tertentu hingga tercapai kesetimbangan. Kesetimbangan terjadi saat adsorben telah jenuh oleh adsorbat. Tahap selanjutnya dilakukan penyaringan sehingga dapat diukur konsentrasi sisa dalam larutan untuk menentukan kapasitas adsorpsi. Kapasitas adsorpsi menyatakan jumlah adsorbat yang dapat teradsorpsi tiap gram adsorben. Faktor-faktor yang memengaruhi proses adsorpsi antara lain sifat fisis dan kimia adsorben (luas permukaan, ukuran pori partikel, dan komposisi kimia), sifat fisis dan kimia adsorbat (ukuran molekul dan komposisi kimia), serta konsentrasi adsorbat dalam fase cairan.

Pada penelitian ini, adsorben yang digunakan adalah zeolit dan adsorbat yang ingin dijerap adalah Cr(VI). Penentuan kapasitas adsorpsi diawali dengan pengukuran konsentrasi sisa larutan Cr(VI) yang tidak teradsorpsi oleh zeolit. Metode yang umum digunakan untuk pengukuran kadar kromium total dan heksavalen adalah spektroskopi sinar tampak. Metode ini didasarkan pada pengukuran serapan larutan berwarna ungu kemerahan yang menunjukkan terbentuknya kompleks antara DPC dan Cr(VI) (Gambar 2). Reaksi ini berlangsung cepat dan spesifik. Senyawa kompleks berwarna lembayung yang terbentuk menyerap pada panjang gelombang ~540 nm (Wulandari 2010).

Cr2O72+

Gambar 2 Reaksi 1,5-difenilkarbazida (DPC) dan Cr(VI).

Penentuan kapasitas adsorpsi zeolit terhadap Cr(VI) dilakukan dengan meragamkan konsentrasi larutan Cr(VI), pH, dan waktu kontak sehingga dapat diperoleh konsentrasi, pH, dan waktu kontak optimum pada penentuan kapasitas adsorpsi. Penentuan kapasitas adsorpsi dilakukan dengan mengukur konsentrasi sisa larutan Cr(VI) yang tidak teradsorpsi oleh zeolit menggunakan spektrofotometer. Konsentrasi awal larutan Cr(VI) juga diukur dengan spektrofotometer agar dapat diketahui konsentrasi sebenarnya. Pengukuran dilakukan pada panjang gelombang maksimum 543 nm. Kurva standar pengukuran konsentrasi Cr(VI) menghasilkan linearitas sebesar 99.81% (Lampiran 5).

Konsentrasi, pH, dan Waktu Kontak Optimum Adsorpsi

Penentuan konsentrasi optimum adsorpsi zeolit terhadap Cr(VI) dilakukan dengan meragamkan konsentrasi larutan Cr(VI) dari 5

7

sampai 280 ppm. Konsentrasi optimum dicapai pada konsentrasi 200 ppm dengan kapasitas adsorpsi sebesar 3.227 mg/g adsorben (Gambar 3).

Gambar 3 Kurva penentuan konsentrasi optimum adsorpsi zeolit terhadap Cr(VI).

Gambar 3 memperlihatkan peningkatan kapasitas adsorpsi seiring dengan kenaikan konsentrasi awal larutan Cr(VI). Kenaikan konsentrasi akan meningkatkan jumlah ion logam adsorbat yang dapat diadsorpsi oleh adsorben selama tapak aktif adsorben masih memungkinkan untuk mengadsorpsinya. Pada konsentrasi awal larutan Cr(VI) 220 ppm terjadi penurunan kapasitas adsopsi menjadi 2.993 mg/g. Penurunan terus berlanjut sampai konsentrasi 260 ppm, yaitu mencapai 2.286 mg/g. Pada konsentrasi 280 ppm terjadi sedikit kenaikan menjadi 2.888 mg/g, namun tetap berada di bawah nilai kapasitas adsorpsi pada konsentrasi 200 ppm (Lampiran 6.) Hal ini menunjukkan bahwa adsorpsi zeolit terhadap Cr(VI) telah mengalami kondisi jenuh. Permukaan zeolit telah terisi penuh oleh Cr(VI) pada konsentrasi larutan Cr(VI) 200 ppm sehingga ketika konsentrasi dinaikkan, zeolit tidak mampu mengadsorpsi Cr(VI) lebih banyak dan dapat mengalami proses desorpsi, yaitu pelepasan ikatan antara tapak aktif adsorben dan adsorbat (Suprayogi 2009) yang menyebabkan kapasitas adsorpsi berbalik menurun.

Penentuan kondisi pH optimum adsorpsi zeolit terhadap larutan Cr(VI) dilakukan dengan meragamkan pH larutan Cr(VI) 200 ppm dari 2

sampai

6. pH optimum dicapai pada pH 3 dengan kapasitas adsorpsi sebesar 3.376 mg/g adsorben. Hal ini menunjukkan bahwa adsorpsi Cr(VI) oleh zeolit lebih mudah dilakukan pada kondisi asam. Pada

Lampiran 7 dan Gambar 4 dapat dilihat penurunan kapasitas adsorpsi saat pH larutan Cr(VI) dinaikkan.

Gambar 4 Kurva penentuan pH optimum adsorpsi zeolit terhadap Cr(VI). Peningkatan dan penurunan kapasitas adsorpsi Cr(VI) dapat dipengaruhi oleh terjadinya kesetimbangan kromat-dikromat dalam larutan.

2CrO42+ 2H+⇋ Cr2O72+ H2O Kc = 4.2 × 1014

Penambahan basa akan menggeser ketimbangan ke arah kiri sehingga bentuk ion Cr(VI) yang lebih dominan pada suasana basa adalah kromat (CrO42). Sebaliknya, penambahan asam akan menggeser kesetimbangan ke arah kanan sehingga bentuk ion Cr(VI) yang lebih dominan pada suasana asam adalah dikromat (Cr2O72) (Yari & Bagheri 2009).

Penurunan kapasitas adsorpsi pada suasana basa dapat disebabkan kompetisi antara ion OHdari larutan NaOH yang digunakan untuk mengatur suasana basa pada larutan K2Cr2O7 dan ion kromat (Rohaeni 2005). Peningkatan kapasitas adsorpsi pada suasana asam dapat disebabkan karena tidak adanya kompetisi ion pada larutan sehingga ion dikromat sebagai bentuk ion yang paling dominan dapat dengan mudah masuk atau terjerap pada rongga zeolit. Penentuan waktu kontak optimum adsorpsi zeolit terhadap larutan Cr(VI) dilakukan pada pH dan konsentrasi optimum yang telah diperoleh. Waktu kontak diragamkan dari 3, 6, 12, 24, 36, dan 48 jam. Waktu kontak yang menghasilkan kapasitas adsorpsi Cr(VI) tertinggi, yaitu 2.838 mg/g, adalah 24 jam. Berdasarkan Gambar 5, dapat dilihat adanya kenaikan kapasitas adsorpsi pada rentang waktu kontak adsorpsi sampai 24 jam. Penurunan terjadi setelah waktu kontak 36 jam menjadi 2.772 mg/g (Lampiran 8). Hal ini

8

menunjukkan bahwa proses pengocokan dengan waktu kontak yang semakin lama menyebabkan semakin banyak ion Cr(VI) yang teradsorpsi zeolit sampai dengan waktu pengocokan selama 24 jam. Pada waktu kontak 24 jam kontak zeolit sebagai adsorben dan Cr(VI) sebagai adsorbat telah mencapai kesetimbangan, permukaan zeolit menjadi jenuh karena seluruhnya telah dipenuhi oleh ion Cr(VI). Jika waktu kontak terus dinaikkan, maka dapat terjadi proses desorpsi.

Gambar 5 Kurva penentuan waktu kontak optimum adsorpsi zeolit terhadap Cr(VI).

Elektrode Selektif Ion Cr(VI) Pengukuran ESI Cr(VI) menggunakan potensiometer. Pengamatan dasar pada pengukuran potensiometri adalah potensial (E) yang timbul antara 2 elektrode pada kondisi sekitar aliran arus nol. Sel potensiometri lengkap terdiri atas elektrode rujukan dalam (elektrode kerja) dan elektrode rujukan luar (elektrode pembanding). Elektroda rujukan dalam merupakan ESI Cr(VI) yang pada penelitian ini dibuat dari kawat Ag yang dilapisi AgCl melalui elektrolisis dan bahan pengenal atau ionofor yang ditempatkan dalam membran. Sementara elektrode rujukan luar yang digunakan adalah elektode Ag/AgCl. Pada ESI, yang diukur adalah beda potensial dari sel elektrokimia yang dihasilkan (potensial ESI versus elektrode rujukan luar) yang menunjukkan hubungan linear dengan logaritma aktivitas ion dalam larutan.

Komponen penting ESI adalah membran selektif ionnya, terutama bahan pengenal ion atau ionofor. Beberapa sifat harus dimiliki oleh membran selektif ion agar elektrode memiliki selektivitas dan sensitivitas yang baik terhadap kation dan anion, yaitu tidak

larut dalam air, stabil terhadap pH, lentur, tahan terhadap keretakan dan mudah dalam penanganan, dapat menghantarkan listrik, serta bereaksi secara selektif dengan ion-ion analit melalui 3 jenis ikatan, yaitu pertukaran ion, kristalisasi, dan kompleksasi (Bailey 1983).

Mekanisme ESI secara umum adalah ion dapat melewati batas antara fase organik dan fase berair, maka akan dikenali oleh ionofor dalam membran selektif ion. Kesetimbangan secara elektrokimia akan tercapai dengan adanya beda potensial di antara 2 fase tersebut. Bahan pengenal hanya dapat menukarkan satu jenis ion di antara 2 fase. Karena itu, bahan ini menjadi sumber selektivitas dari sensor. Beda potensial yang dihasilkan kemudian akan diatur hanya oleh aktivitas ion tertentu dalam 2 fase larutan dan juga dalam fase membran (Faridbod et al. 2007). Diagram skematik dari rangkaian sel potensiometri selektif-ion ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram skematik dari rangkaian sel potensiometri selektif-ion. Potensial elektrode yang terjadi saat pengukuran dapat ditulis

Esel = Eref dalam - Eref luar + Ememb + Ej (2) Membran yang bersifat selektif bergantung pada aktivitas ion di kedua sisi. Persamaan potensial yang dihasilkan dapat ditulis

Ememb = RT/nF ln (ai1/ai2) (3) Bila persamaan (3) disubstitusikan ke persamaan (2), maka menjadi persamaan (4):

Esel = Eref dalam - Eref luar + RT/nF ln (ai1)

9

Potensial setengah sel kedua elektrode pembanding bersifat konstan. Kondisi larutan contoh dan larutan di dalam membran dapat diatur sehingga Ej akan konstan, maka persamaan 4 dapat disederhanakan menjadi

Esel = RT/nF ln ai1+ K (5) Keterangan:

ai1 = Aktivitas ion di bagian luar membran atau contoh

ai2 = Aktivitas di bagian dalam membran

K = Tetapan total dari elektrode

R = Tetapan molar gas (8.314 J/K mol)

T = Suhu (K)

N = Muatan ion

F = Bilangan Faraday (96 500 C) Pada penelitian ini digunakan PVC sebagai matriks polimer, THF sebagai pelarut membran, asetofenon, asam oleat sebagai pemlastis, dan aseton sebagai pelarut ionofor. Ionofor yang digunakan pada penelitian ini adalah DPC, zeolit, dan gabungan keduanya.

Komposisi dari masing-masing bahan didasarkan pada penelitian Asri (2011) yang memberikan hasil membran terbaik untuk digunakan pada ESI. Asam oleat dan asetofenon merupakan bahan pemlastis yang apabila dicampurkan dengan PVC akan menghasilkan membran yang tipis sehingga daya difusi ion terhadap membran akan lebih besar. Jika komposisi PVC ditambah, membran akan semakin tebal dan kaku (Asri 2011), porositasnya menjadi kecil, kerapatan ion akan semakin besar, sedangkan daya difusi ion akan semakin kecil sehingga ion semakin tidak bebas dipertukarkan, maka nilai faktor Nernst dan linearitas semakin rendah (Fardiyah 2003). Pemlastis ditambahkan untuk menurunkan nilai Tg (suhu transisi kaca) sehingga diperoleh membran yang lentur dan viskositas yang rendah.

Faktor Nernst dan Trayek Pengukuran Faktor Nernst dan trayek pengukuran dapat dijadikan ukuran sensitivitas suatu elektrode. Faktor Nernst diperoleh dari kemiringan kurva persamaan Nernst, yaitu 2.303RT/nF. Kisaran konsentrasi tertentu yang berada pada garis linear disebut trayek pengukuran.

Nilai faktor Nernst pada suhu 25 ºC adalah 59.2/n mV/dekade dengan n adalah jumlah elektron yang terlibat dalam proses oksidasi dan reduksi (Rahmat 2007) atau muatan ion

yang akan dideteksi, misalnya untuk ion monovalen nilainya 59.2 mV/dekade karena nilai n = 1 (Fardiyah 2003). Harga faktor Nernst juga dapat ditentukan berdasarkan ion paling dominan yang terdapat dalam larutan (Zazoua et al. 2008).

Pada penelitian ini, tiap ESI dilakukan perlakuan yang sama, yaitu dibuat 6 ulangan pembuatan elektrode kemudian ditentukan faktor Nernst dan koefisien korelasi terbaik.

Kawat Ag/AgCl yang digunakan pada ESI dielektrolisis terlebih dahulu dan ditentukan pula faktor Nersntnya melalui pengukuran potensial larutan KCl standar 10-1

10-5 M (Lampiran 9). Nilai faktor Nernst untuk kawat Ag/AgCl harus mendekati nilai teoretis faktor Nernst untuk ion monovalen karena Ag memiliki muatan +1.

Fraksi spesies kromat yang dominan dan paling dominan pada larutan ditunjukkan pada diagram Pourbaix pada Gambar 7.

Gambar 7 Diagram Pourbaix spesies ion Cr(VI) pada suhu 25 oC (Welch

et al. 2005).

Fraksi spesies kromat dalam larutan bergantung pada pH dan konsentrasi ion. Pada rentang pH 0.75

6.45 terdapat 2 spesies dominan kromat, yaitu HCrO4 jika konsentrasi Cr(VI) rendah (kurang dari 0.01 g/L) atau Cr2O72 jika konsentrasi Cr(VI) tinggi (Welch et al. 2005). Menurut Yari & Bagheri (2009), spesies kromat yang paling dominan pada larutan K2Cr2O7 dengan rentang pH 4

6 adalah HCrO4. Pernyataan ini diperkuat oleh Choi & Moon (2004): spesies kromat yang paling dominan pada larutan K2Cr2O7 dengan rentang pH 3.5

6 tanpa ion pengganggu adalah HCrO4. Larutan K2Cr2O7 yang digunakan pada penelitian ini

10

memiliki kisaran konsentrasi 10-1

10-6 M dengan rentang pH sekitar 4

6 (Lampiran 10). Karena itu, spesies kromat paling dominan pada larutan adalah HCrO4.

Pada ESI I yang menggunakan membran termodifikasi DPC, elektrode terbaik memiliki koefisien korelasi paling tinggi, yaitu 0.9954, dengan faktor Nernst -18.4 mV/dekade (Lampiran 11). Nilai faktor Nernst untuk transfer ion monovalen adalah 59.2 mV/dekade, namun faktor Nernst yang ditunjukkan dengan nilai kemiringan pada ESI I (Gambar 8) mengindikasikan respons Nernst untuk ion trivalen. Hal ini dapat disebabkan ketika terjadi pertukaran ion antara fase organik, yaitu membran yang mengandung ionofor DPC, dan larutan K2Cr2O7, ion yang paling dominan, yaitu HCrO4, terekstraksi ke dalam fase organik dengan mengalami reduksi secara spontan menjadi Cr(III) (Choi & Moon 2004).

Gambar 8 Kurva hubungan (-) log [K2Cr2O7] dengan potensial (mV) pada ketiga ESI. [ ] ESI I, [ ] ESI II, dan [ ] ESI III.

Pada ESI II yang menggunakan membran termodifikasi zeolit, elektrode terbaik memiliki koefisien korelasi tertinggi 0.9938 dan nilai faktor Nernst -29.11 mV/dekade (Lampiran 11 dan Gambar 8) yang mengindikasikan bahwa ion paling dominan saat pengukuran adalah Cr2O72. Nilai ini lebih sesuai dengan pernyataan Welch et al.

(2005) dan diperkuat oleh Hasan et al. (2005) bahwa ion HCrO4 dan Cr2O72 paling dominan dan terdapat bersama-sama di dalam larutan K2Cr2O7 dengan rentang pH 2

6, namun berbeda dari pernyataan Yari & Bagheri (2009) dan Choi & Moon (2004). Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan jenis ionofor yang digunakan pada membran ESI dalam penelitian ini, yaitu DPC dan zeolit, sehingga kemungkinan dapat memengaruhi kinerja ESI. Namun, pada

penelitian ini mekanisme keselektifan membran termodifikasi zeolit terhadap Cr2O72 dibandingkan dengan HCrO4 tidak dipelajari.

Pada ESI III yang menggunakan membran termodifikasi zeolit dan DPC, elektrode terbaik memiliki koefisien korelasi tertinggi 0.9946 dan nilai faktor Nernst -28.8 mV/dekade (Lampiran 11). Nilai ini juga mendekati nilai faktor Nernst untuk ion divalen, yaitu 29.6 mV/dekade. Seperti halnya ESI II, ion paling dominan yang berada pada larutan saat pengukuran adalah Cr2O72.

Limit Deteksi

Limit deteksi adalah konsentrasi ion yang merupakan batas antara daerah linear dan taklinear pada kurva persamaan Nernst. Daerah kurva yang taklinear tidak memenuhi hukum Nernst dan terjadi pada konsentrasi rendah (Saputra 2009). Limit deteksi ditentukan dengan mencari titik potong antara fungsi garis lurus dan garis lengkung pada kurva hubungan (-) log konsentrasi K2Cr2O7 dengan potensial larutan standar K2Cr2O7 hasil pengukuran dengan ESI (Lampiran 12). Ekstrapolasi titik potong yang dihasilkan terhadap absis menghasilkan nilai limit deteksi. Hasilnya ditunjukkan pada Tabel 3. Pada konsentrasi yang lebih kecil dari nilai limit deteksi, ESI tidak dapat digunakan karena akan menghasilkan koefisien korelasi (r) yang jelek dan tidak linear.

Tabel 3 Limit deteksi ketiga jenis ESI ESI Limit Deteksi (10-6 M)

I 1.44

II 1.91

III 2.14

Waktu Respons

Waktu respons adalah waktu yang dibutuhkan suatu ESI untuk menghasilkan pembacaan potensial yang stabil dan konstan pada saat pengukuran larutan. Nilai tersebut dicapai saat kesetimbangan reaksi terjadi. Pengukuran dilakukan dari konsentrasi rendah ke tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu respons ESI semakin cepat seiring dengan kenaikan konsentrasi larutan (Tabel 4). Hal ini disebabkan difusi ion larutan contoh melalui permukaan membran dan karena itu, pertukaran ion ke dalam membran, semakin cepat pada konsentrasi tinggi. Faktor–faktor lain yang memengaruhi waktu respons suatu ESI di antaranya adalah ketebalan membran, kecepatan pengadukan,

11

adanya ion pengganggu dalam larutan, dan kecepatan melarutnya ionofor membran (Naibaho 2007).

Tabel 4 Waktu respons rerata ketiga jenis ESI

Konsentrasi (M)

Waktu respons (detik)

ESI I ESI II ESI III 10-1 5 15 15 10-2 10 24 24 10-3 10 67 67 10-4 12.5 225 190 10-5 15 480 247 10-6 15 262 262

Tabel 4 memperlihatkan, ESI I memiliki waktu respons yang lebih cepat dibandingkan dengan ESI II dan III. Waktu respons yang dihasilkan untuk setiap konsentrasi juga relatif hampir sama cepat. Hal ini dapat disebabkan ionofor larut sempurna dalam pembuatan membran sehingga membran yang dihasilkan ketebalannya merata. Berdasarkan pengamatan, membran ESI I terlihat lebih tipis dibandingkan dengan ESI II dan ESI III. Semakin tipis membran ESI, pertukaran ion Cr(VI) dari larutan ke dalam membran akan semakin mudah sehingga waktu respons semakin cepat.

Waktu respons ESI II semakin lambat seiring dengan penurunan konsentrasi, tetapi pada konsentrasi 10-6 waktu respons lebih cepat dibandingkan dengan pada konsentrasi 10-5. Hal ini dapat disebabkan ion-ion dalam larutan yang akan dideteksi tidak tersebar merata sehingga dimungkinkan difusi ion ke dalam membran melambat. Hal ini dapat diatasi dengan mengaduk larutan sebelum pengukuran potensial, tetapi akan lebih baik lagi jika selama pengukuran, larutan terus diaduk menggunakan pengaduk magnetik. Kecepatan pengadukan yang homogen diharapkan dapat menghasilkan data yang homogen. Data lengkap pengukuran waktu respons ditampilkan pada Lampiran 13.

Pengaruh pH Terhadap ESI Penentuan pengaruh pH terhadap ESI dilakukan dengan meragamkan pH larutan standar K2Cr2O7 10-3 M dari 2 sampai 14, kemudian diukur potensialnya menggunakan ESI I, II, dan III. Data yang diperoleh (Lampiran 14) dialurkan ke dalam kurva hubungan pH larutan standar K2Cr2O7 dengan potensial yang dihasilkan (Gambar 9). Berdasarkan kurva tersebut, kisaran pH yang memberikan pembacaan potensial yang stabil untuk ketiga jenis ESI adalah sama, yaitu 8–

12. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Ardakani et al. (2005) yang

menyatakan bahwa ESI yang dibuat cocok untuk pengukuran larutan K2Cr2O7 pada kisaran pH 8

12.

Gambar 9 Kurva pengaruh pH terhadap ESI. [ ] ESI I, [ ] ESI II, dan [ ] ESI

III.

Tahap selanjutnya ialah pengukuran larutan standar K2Cr2O7 10-1

10-6 M pada kisaran pH 8

12 (dipilih pH 9), untuk mengamati pengaruh pH terhadap faktor Nernst dan koefisien korelasi. Hasil yang diperoleh ditunjukkan pada Lampiran 15.

Kurva hubungan (-) log konsentrasi larutan standar K2Cr2O7 pada pH 9 dengan potensial yang dihasilkan (Gambar 10) menunjukkan perubahan nilai faktor Nernst dan koefisien korelasi, namun tidak terlalu

Dokumen terkait