Hasil pengujian dari hipotesis pertama menyimpulkan bahwa variabel kinerja
keuangan daerah yang diukur dengan rasio kemandirian keuangan daerah, rasio
efektivitas PAD, rasio efisiensi keuangan daerah, rasio tingkat pembiayaan SiLPA
secara serempak berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal. Sedangkan
secara parsial, variabel kinerja kinerja keuangan daerah yang diukur dengan rasio
kemandirian keuangan daerah, rasio efisiensi keuangan daerah berpengaruh negatif
dan signifikan terhadap alokasi belanja modal tahun berikutnya; rasio tingkat
pembiayaan SiLPA berpengaruh positif signifikan terhadap alokasi belanja modal
tahun berikutnya; rasio efektivitas PAD berpengaruh positif dan tidak signifikan
terhadap alokasi belanja modal.
Hasil pengujian dari hipotesis kedua menyimpulkan bahwa variabel DAK
tidak mampu memoderasi hubungan variabel kinerja keuangan daerah yang diukur
dengan rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas PAD, rasio efisiensi
keuangan daerah, rasio tingkat pembiayaan SiLPA dengan variabel alokasi belanja
modal
6.4.1 Pengaruh kinerja keuangan daerah yang diukur dengan rasio kemandirian keuangan daerah terhadap alokasi belanja modal
Hasil pengujian pengaruh variabel kinerja keuangan daerah yang diukur
dengan rasio kemandirian keuangan daerah terhadap alokasi belanja modal dengan
uji t menunjukkan hasil bahwa nilai koefisien regresi sebesar -0,278 dan tingkat
signifikansi sebesar 0,000 yang lebih kecil dari α = 0,05, hal ini menunjukan bahwa
rasio kemandirian keuangan daerah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
keuangan daerah tidak searah dengan alokasi belanja modal, dimana semakin
meningkatnya rasio kemandirian keuangan daerah akan menurunkan alokasi belanja
modal tahun berikutnya. Hasil penelitiaan ini sejalan dengan penelitian Gerungan,
Saerang, dan Pontoh (2013) dan Verawaty, Merina, dan, Sari (2015) yang
menyatakan bahwa rasio kemandirian keuangan daerah berpengaruh negatif
signifikan terhadap alokasi belanja modal namun penelitian ini tidak sejalan dengan
penelitian yang telah dilakukan Fitri (2013) dan Ardhini (2011) yang menyatakan
bahwa rasio kemandirian keuangan daerah tidak berpengaruh terhadap alokasi
belanja modal tahun berikutnya.
Rasio kemandirian keuangan menunjukkan kemampuan daerah dalam
membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada
masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan
yang diperlukan daerah. Suatu daerah yang dikatakan mandiri dapat meningkatkan
jumlah belanja modal untuk pelayanan publik (Ardhini, 2011). Rata-rata tingkat
kemandirian keuangan kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara adalah sebesar
5,68 % (Tabel 5.1), hal ini menunjukan bahwa pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Utara mampu mengelola PAD nya, walaupun masih tetap
bergantung kepada pemerintah pusat. Rasio kemandirian keuangan daerah memiliki
pengaruh negatif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal, kemungkinan hal ini
disebabkan pemerintah daerah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara,
mengalokasikan PAD kepada belanja-belanja lain selain belanja modal atau dengan
kata lain belanja modal bukan menjadi prioritas sehingga kenaikan rasio kemandirian
6.4.2 Pengaruh kinerja keuangan daerah yang diukur dengan rasio Efektivitas PAD terhadap alokasi belanja modal
Hasil pengujian pengaruh variabel kinerja keuangan daerah yang diukur
dengan rasio efektivitas PAD terhadap alokasi belanja modal dengan uji t
menunjukan hasil bahwa nilai koefisien regresi sebesar 0,35 dan tingkat signifikansi
sebesar 0,673 yang lebih besar dari α = 0,05. Hal ini menunjukan bahwa rasio
efektivitas PAD berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap alokasi belanja
modal. Pengaruh tidak signifikan, menunjukan bahwa rasio efektivitas PAD tidak
memiliki peranan penting dalam pengalokasian belanja modal.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Martini dan Dwirandra (2015)
dan juga Fitri (2014) yang menyatakan bahwa rasio efektivitas PAD berpengaruh
positif dan tidak signifikan terhadap alokasi belanja modal, namun tidak sejalan
dengan penelitian yang dilakukan Sularso dan Restianto (2011) serta Arsa (2015)
yang menyatakan bahwa rasio efektivitas PAD berpengaruh positif signifikan
terhadap belanja modal.
Rasio efektivitas yang tinggi, mencerminkan kemampuan daerah yang
sudah baik dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan
target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Tidak berpengaruhnya rasio
efektivitas PAD terhadap alokasi belanja modal, walaupun rata-rata rasio efektivitas
PAD mencapai 111,19 % (Tabel 5.1) kemungkinan disebabkan oleh PAD yang
diperoleh pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara tidak dialokasikan
untuk belanja modal namun untuk belanja lain, seperti belanja barang dan jasa,
belanja pegawai dan belanja lain-lain. Hal ini akan berimbas pada terhambatnya
6.4.3 Pengaruh kinerja keuangan daerah yang diukur dengan rasio efisiensi keuangan daerah terhadap alokasi belanja modal
Hasil pengujian pengaruh variabel kinerja keuangan daerah yang diukur
dengan rasio efisiensi keuangan daerah terhadap alokasi belanja modal dengan uji t
menunjukkan hasil bahwa nilai koefisien regresi sebesar -1,306 dan tingkat
signifikansi sebesar 0,006 yang lebih kecil dari α = 0,05. Hal ini menunjukan bahwa
rasio efektifitas keuangan daerah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap alokasi
belanja modal. Pengaruh negatif menunjukan arti bahwa rasio efektifitas keuangan
daerah tidak searah dengan alokasi belanja modal, dimana semakin meningkatnya
rasio efektivitas keuangan daerah akan menurunkan alokasi belanja modal tahun
berikutnya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Martini dan Dwirandra
(2015) dan juga penelitian Gerungan, Saerang, dan Pontoh (2013) serta Ardhini
(2011) yang menyatakan bahwa rasio efisiensi keuangan daerah berpengaruh negatif
dan signifikan terhadap alokasi belanja modal tahun berikutnya, namun hasil
penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Fitri (2014) yang menyatakan rasio
efisiensi keuangan daerah tidak berpengaruh terhadap alokasi belanja modal.
Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara output
dan input atau realisasi pengeluaran dengan realisasi penerimaan daerah. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi rasio efisiensi keuangan daerah
maka akan menurunkan alokasi belanja modal tahun berikutnya. Pengaruh negatif
rasio efisiensi keuangan daerah terhadap alokasi belanja modal kemungkinan
disebabkan karena penggunaan keuangan daerah oleh pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Utara kurang efisien yang digambarkan oleh tingginya rata-rata
rasio efisiensi keuangan daerah yaitu sebesar 91,22 % (Tabel 5.1). Tingginya rasio
pengeluaran namun tidak diimbangi dengan realisasi penerimaan daerah, sehingga
terjadi pemborosan belanja daerah namun tidak digunakan untuk belanja modal
secara maksimal. Selama ini, pengeluaran daerah didominasi oleh belanja pegawai
dan belanja operasional lainnya sedangkan porsi belanja modal relatif kecil. Hal lain
yang diduga menjadi penyebab rasio efisiensi keuangan daerah memiliki pengaruh
negatif terhadap alokasi belanja modal adalah kemungkinan pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara tidak semuanya menerapkan Standar
Analisis Biaya dalam menyusun anggaran kegiatan/program, sehingga kemungkinan
banyak kegiatan/program tidak efisien (tidak wajar) dalam penganggaran biayanya.
6.4.4 Pengaruh kinerja keuangan daerah yang diukur dengan rasio Tingkat Pembiayaan SiLPA terhadap alokasi belanja modal
Hasil pengujian pengaruh variabel kinerja keuangan daerah yang diukur
dengan rasio tingkat pembiayaan SiLPA daerah terhadap alokasi belanja modal
dengan uji t menunjukan hasil bahwa nilai koefisien regresi sebesar 0,049 dan
tingkat signifikansi sebesar 0,034 yang lebih kecil dari α = 0,05, hal ini menunjukkan
bahwa rasio tingkat pembiayaan SiLPA berpengaruh positif dan signifikan terhadap
alokasi belanja modal. Pengaruh positif menunjukkan arti bahwa rasio tingkat
pembiayaan SiLPA searah dengan alokasi belanja modal, dimana semakin
meningkatnya tingkat pembiayaan SiLPA akan menaikan alokasi belanja modal
tahun berikutnya.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Martini dan Dwirandra
(2015) yang menyatakan bahwa rasio tingkat pembiayaan SiLPA tahun lalu
namun sejalan dengan penelitian Kusnandar dan Siswantoro (2012) yang
menyatakan bahwa SiLPA berpengaruh positif terhadap belanja modal pada α = 1 %.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pembiayaan SiLPA
berpengaruh positif signifikan terhadap alokasi belanja modal tahun berikutnya. hal
ini dapat menunjukkan kemungkinan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi
Sumatera Utara mengalokasikan SiLPA daerahnya untuk mendanai pelaksanaan
kegiatan yang bertujuan untuk pelayanan publik yang ditampung dalam kegiatan
belanja modal, hal ini sesuai dengan tujuan SiLPA berdasarkan penjelasan
Permendagri Nomor 13 tahun 2006.
6.4.5 DAK sebagai variabel moderating
Hasil uji residual menunjukkan nilai koefisien adalah -0,086 dan signifikansi
sebesar 0,141 lebih dari α = 0,05 sehigga DAK tidak mampu memoderasi hubungan antara kinerja keuangan daerah terhadap alokasi belanja modal atau dapat dikatakan
bahwa variabel DAK bukanlah variabel pemoderasi.
DAK bersifat special grant, dimana peruntukanya untuk pembangunan yang
sudah ditentukan dari pusat, yang lebih diprioritaskan untuk belanja modal
(Verawaty, Meriana dan Sari, 2015). Besaran DAK ditentukan oleh pemerintah pusat
melalui kajian menteri teknis berdasarkan kriteria tertentu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, bila usulan pembiayaan daerah diterima menteri teknis dan
anggarannya ditampung dalam DAK maka daerah akan mempunyai sumber
pembiayaan yang dapat digunakan untuk melaksanakan kegiatan yang ditampung
dalam belanja modal namun jika besaran DAK yang diusulkan pemerintah daearah
maka pemerintah daerah harus mencari sumber pembiayaan lain untuk menutupi
belanja modal yang pendanaanya berasal dari DAK.
Berdasarkan deskripsi dan evaluasi APBD 2014 yang dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Perimbangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2014),
menyatakan bahwa salah satu permasalahan yang disampaikan pemerintah daerah
dalam penyusunan APBD adalah terlambatnya informasi alokasi dana transfer ke
daerah yang ditetapkan dalam APBN setiap tahunnya. Keterlambatan informasi
alokasi dana transfer yang mencakup DAK, DBH dan DAU ke daerah
mempengaruhi proses penganggaran APBD termasuk penganggaran untuk belanja
modal. Jadi, kemungkinan penyebab DAK tidak mampu memoderasi hubungan
antara kinerja keuangan daerah yang diukur dengan rasio kemandirian keuangan
daerah, rasio efektivitas PAD, rasio efisiensi keuangan daerah, rasio tingkat
pembiayaan SiLPA terhadap alokasi belanja modal adalah karena ketidakpastian
jumlah alokasi DAK yang diterima pemerintah daerah. Ketidakpastian ini
disebabkan oleh lambatnya informasi alokasi dana transfer ke daerah oleh
Kementerian Keuangan, sehingga seringkali besaran alokasi DAK yang dianggarkan
pemerintah daerah pada APBD tidak sesuai dengan jumlah yang diberikan
BAB VI