• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian, responden mayoritas berpengetahuan kurang yaitu 36 orang (51,9%), dan minoritas berpengetahuan baik yaitu 4 orang (5,7%).

Usia 20-35 tahun merupakan usia yang produktif bagi seseorang untuk dapat memotivasi diri memperoleh pengetahuan yang sebanyak banyaknya. Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Jadi semakin matang usia seseorang, maka dalam memahami suatu masalah akan lebih mudah (Nursalam dan Priani, 2001). Semakin banyak umur atau semakin tua seseorang, maka mempunyai kesempatan dan waktu yang lebih lama dalam mendapatkan informasi dan pengetahuan. Dengan demikian semakin tua umur seseorang maka tingkat pengetahuan ibu tentang perawatan payudara dan mastitis akan semakin baik.

Menurut Nursalam (2001) bahwa makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka makin mudah menerima informasi sehingga banyak pengetahuan yang diperoleh. Responden yang berpendidikan tinggi lebih mudah menyerap informasi, sehingga banyak ilmu pengetahuan yang diperoleh, namun sebaliknya orang tua yang berpendidikan rendah akan mengalami hambatan dalam penyerapan informasi sehingga ilmu yang diperoleh lebih rendah yang berdampak pada kehidupannya.

Faktor lain disebabkan karena status pekerjaan yaitu pengetahuan bertambah karena sering berinteraksi dengan orang lain dari pada yang responden yang tidak bekerja. Bekerja adalah cara seseorang untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Begitu juga dengan sumber informasi yang diperoleh dari tempat kerja atau dari tempat lain. Informasi yang diperoleh akan mudah diterima sehingga akan semakin termotivasi untuk melakukan pekerjaan yang bermanfaat. Hal ini diperkuat oleh Informasi yang diperoleh seseorang memberikan pengaruh meskipun orang tersebut mempunyai tingkat pendidikan rendah tetapi apabila sering mendapat informasi yang baik dari berbagai media, maka hal ini dapat meningkatkan pengetahuan orang tersebut. (Nursalam dan Siti Priani, 2001). Hal ini dikarenakan informasi mengenai perawatan payudara adalah informasi khusus yang tidak didapat di bangku sekolah atau Perguruan tinggi umum kecuali sekolah kesehatan. Adapun informasi mengenai perawatan payudara dan mastitis biasanya diperoleh melalui penyuluhan kesehatan atau melalui tenaga kesehatan dan puskesmas atau posyandu.

Hasil berdasarkan paritas diperoleh bahwa mayoritas berpengetahuan kurang yaitu multipara sebanyak 42 (60%) dan minoritas primipara yaitu 28 orang (40%). Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Melhasah, (2012) gambaran pengetahuan ibu tentang perawatan payudara selama kehamilan di puskesmas sungai tabuk yang menyatakan bahwa responden yang mempunyai paritas terbanyak berpengetahuan cukup multipara sebanyak 24 orang (53,3%) dan paritas terkecil yaitu primipara 19 orang (42,2%). Paritas didefinisikan sebagai keadaan melahirkan anak baik hidup atau mati, tetapi bukan aborsi tanpa

melihat jumlah anaknya. Menurut peneliti, jumlah paritas seorang ibu yang mempunyai anak lebih dari 1 memiliki pengalaman lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang baru pertama kali mempunyai anak.

Dari 70 responden mayoritas menjawab dengan benar tentang cara perawatan payudara normal dengan menjaga hidup sehat sebanyak 42 responden (60%). Hal ini dapat diketahui bahwa sebagian responden sudah mengetahui cara perawatan payudara normal dengan menjaga hidup sehat. Berdasarkan cara perawatan payudara normal yang tidak mempunyai kelainan sebanyak 40 responden (57,1%) yaitu ibu lebih sering melakukan perawatan payudara normal dari pada yang telah ada kelainan pada payudara. Berdasarkan cara perawatan payudara pada ibu menyusui agar memperlancar pengeluaran ASI sebanyak 33 responden (47,1%) yaitu ibu sebahagian sudah mengetahui cara dan manfaat perawatan payudara masa menyusui agar tidak ada kendala saat bayi siap untuk disapih. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Mas bagus, (2010) pengetahuan ibu nifas tentang perawatan payudara di PBS Keduwungu Kec Bayuwangi bahwa mayoritas berpengetahuan cukup yaitu 20 responden (55,5%), berpengetahuan kurang yaitu 9 orang atau (22,0%) dan minoritas berpengetahuan baik yaitu 4 orang atau (11,1%). Saat peneliti mengajak responden untuk diskusi sejenak bahwa responden belum pernah mendengar informasi tentang mastitis, tetapi mereka lebih sering mendengar tentang cara dan manfaat perawatan payudara yang tidak ada kelainan.

Dari 70 responden minoritas menjawab tentang cara penatalaksanaan penderita mastitis sebanyak 9 responden (27,1%). Hal ini dapat terjadi karena ibu sedikit menerima informasi dan jarang berinteraksi dengan orang lain sehingga pengetahuan ibu tentang penatalaksaan mastitis tidak pernah diperoleh. Berdasarkan pencegahan terjadinya mastitis dengan pemberian ASI eksklusif sebanyak 7 responden (10%). Hal ini dapat diketahui bahwa ibu belum sepenuhnya memahami tentang manfaat pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan sehingga banyak diantara ibu lebih sering memberi susu formula dari pada ASI eksklusif yang mempunyai manfaat besar untuk perkembangan mental dan fisik bayi. Hal ini sejalan dengan penelitian Khaira, (2013) hubungan prekuensi pemberian ASI dengan kejadian Mastitis pada ibu menyusui 0-6 bulan di RSIA Banda Aceh terdapat hubungan bahwa bayi yang tidak sering menyusu atau bayi malas menyusu, sehingga ASI bertumpuk dalam payudara. Frekuensi pemberian ASI harus dilakukan secara teratur agar mastitis tidak terjadi. Untuk mengatasinya lakukan pemberian ASI sesering mungkin tanpa menjadwalkannya dan lakukan pemijatan pada payudara dengan kedua tangan menggunakan minyak (baby oil), dari arah pangkal payudara menuju puting. Kemudian kompres payudara menggunakan lap handuk yang telah direndam dalam air hangat dan air dingin secara bergantian (Pramitasari & Saryono 2008). Banyak ibu yang kurang memahami dan kurang mendapat informasi tentang manfaat ASI eksklusif, cara menyusui dan langkah menyusui yang benar. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kejadian mastitis pada ibu nifas disebabkan karena ibu tidak menyusui bayi setelah melahirkan, mungkin disebabkan karena faktor malas

karena kurang informasi tentang cara menyusui dan tehnik- tehnik menyusui yang benar. Perawatan payudara perlu dilakukan agar tidak terjadi kelainan atau keabnormalan bentuk payudara. Ini dapat dilakukan pada ibu hamil dan menyusui. Perawatan payudara pada ibu menyusui harus dilakukan rutin tiap hari agar ibu dan bayi tidak ada kendala dalam proses menyusui serta terhindar dari mastitis (peradangan payudara) akibat ASI yang menumpuk dan tidak pernah dikeluarkan. Menurut Roesli (2001) ASI merupakan makanan paling sempurna bagi bayi, dimana kandungan sumber gizi utama memiliki sifat yang unggul untuk pertumbuhan dan perkembangan. ASI merupakan sumber gizi yang sangat ideal dengan komposisi yang seimbang dan disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan bayi. Namun demikian tidak semua ibu memberikan ASI kepada bayinya. Mungkin karena pengetahuan yang kurang memadai, atau persepsi yang keliru tentang payudara dan menyusui, pemahaman yang kurang tentang peran dan fungsi ibu, payudara tidak selalu dilihat sebagai perangkat untuk menyusui bayinya. Menyusui yang benar dan berhasil memerlukan suatu upaya diantaranya perawatan payudara. Perawatan payudara akan berhasil bila ibu mempunyai pengetahuan tentang manfaat perawatan payudara dalam meningkatkan produksi ASI yang sangat baik untuk meningkatkan kualitas bayi dan upaya menurunkan morbilitas dan mortalitas bayi. Dalam masa nifas, pengetahuan tentang perawatan payudara sangat penting untuk diketahui ibu, hal ini berguna untuk menjaga keindahan payudara serta menghindari masalah-masalah dalam proses menyusui (Suradi, 2004).

Menurut asumsi peneliti responden yang mayoritas berpengetahuan kurang disebabkan oleh pendidikan yang dimiliki responden adalah pendidikan dasar. Sumber informasi yang diperoleh kurang tentang cara perawatan payudara dan mastitis disebabkan jarang mendapat informasi dari media atau penyuluhan dan tidak mempunyai pengalaman tentang perawatan payudara dan mastitis. Pengalaman merupakan guru yang baik, pengalaman merupakan sumber pengetahuan untuk memperoleh kebenaran, dan pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan. Pendidikan berhubungan dengan pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan dan merupakan proses belajar dan mengajar (Notoatmodjo, 2003).

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait