Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pemuasan need for affiliation dengan self-disclosure pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan positif antara
need for affiliation dengan self-disclosure padaorang dengan HIV/AIDS (ODHA). Hasil utama penelitian ini memperlihatkan bahwa hipotesis penelitian diterima.
Hasil yang didapatkan dari penelitian ini menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara pemuasan need for affiliation dengan self-disclosure pada
orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Hasil tersebut menunjukkan menunjukkan bahwa semakin tinggi pemuasan need for affiliation ODHA maka semakin tinggi juga self-disclosurenya, dan semakin rendah need for affiliation maka semakin rendah pula self-disclosure. Hubungan positif antara kedua variabel ini dapat dikatakan sangat kuat karena hampir mendekati angka 1, angka korelasinya yaitu sebesar .979 dengan signifikansi sebesar .000. Hubungan positif antara kedua variabel juga diperkuat dari hasil uji korelasi antara aspek need for affiliation
dengan self-disclosure memiliki nilai yang juga mendekati 1 dan tingkat signifikansi .000.
Orang dengan HIV/AIDS yang memiliki need for affiliation akan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara berinteraksi dengan orang lain. Need for affiliation merupakan kebutuhan yang perlu untuk dipenuhi, sehingga untuk memenuhinya dibutuhkan suatu cara atau strategi tertentu. Individu yang cenderung memiliki need for affiliation yang tinggi atau dapat disebut sebagai sociable individual akan memiliki keinginan untuk menciptakan hubungan pertemanan, ingin berada di antara orang lain, dan mendapatkan perhatian dari orang lain (Cheek dan Buss, 1981).
Self-disclosure ODHA pada penelitian ini sebagian besarnya berada di kategori sedang. Terdapat 43 ODHA atau 82.7% ODHA memiliki self-disclosure
di taraf kategori sedang, dan 9 orang atau 17.3% memiliki self-disclosure di kategori rendah. Berdasarkan hasil tambahan yang dipaparkan sebelumnya tidak ada ODHA yang memiliki self-disclosure dengan kategori tinggi.
Gender atau jenis kelamin memiliki kontribusi dalam mempengaruhi tingkat self-disclosure yang dimiliki ODHA. Dindia dan Allen (1992) mengatakan bahwa perempuan akan lebih sering melakukan self-disclosure dibandingkan laki-laki. Subjek ODHA pada penelitian ini lebih banyak laki-laki yaitu sebanyak 30 orang dan perempuan 22 orang. Hal ini diperkirakan membuat tidak adanya subjek yang memiliki self-disclosure di rentang kategori tinggi, dan sebagian besarnya di kategori sedang dan rendah. Hal ini didukung oleh sebuah hasil penelitian yang juga mengatakan bahwa perbedaan gender akan mempengaruhi tingkat self-disclosure, dalam hal ini ODHA perempuan akan lebih mungkin melakukan self-disclosure
dibandingkan dengan ODHA laki-laki (Oladimeji, 2013). Perbedaan jumlah subjek laki-laki dan perempuan yang tidak terlalu besar tidak bisa terlalu menunjukkan bagaimana perbedaan self-disclosurenya, oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat bagaimana gender mempengaruhi self-disclosure pada ODHA.
Pada budaya-budaya tertentu terdapat anggapan bahwa ketika seseorang terinfeksi virus HIV/AIDS maka orang tersebut akan dianggap menyebarkan virus tersebut pada orang lain (Wiener, Battles & Wood, 2007). Etnis-etnis tertentu juga diasosiasikan dengan self-disclosure (Kim, et al., 2007). Sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki pandangan bahwa ODHA mempunyai perilaku buruk seperti seks bebas, narkoba, maupun homoseksual. Kondisi budaya Indonesia tersebut dapat membuat ODHA untuk tidak melakukan self-disclosure dengan orang lain. Penelitian ini melibatkan subjek ODHA yang menganut kebudayaan Indonesia. Budaya Indonesia yang cenderung memandang ODHA negatif akan membuat
ODHA enggan melakukan self-disclosure. Hal ini memiliki kemungkinan terjadi pada subjek. Ketika ODHA menganut kebudayaan tertentu, budaya tersebut dapat mempengaruhi bagaimana self-disclosurenya. Bagaimana budaya masyarakat tertentu memandang ODHA dapat dipengaruhi oleh pengetahuan terhadap virus dan penyakit tersebut. Ketika pendidikan masyarakat di daerah tertentu cenderung menengah ke rendah atau memiliki pengetahuan yang minim mengenai HIV/AIDS, maka akan semakin besar kemungkinan terciptanya stigma negatif terhadap ODHA, sehingga semakin mungkin juga ODHA menjadi enggan melakukan self-diclosure (Galuh & Novani, 2015).
Harahap & Siahaan (1987) dalam hasil penelitiannya menuliskan ciri menonjol yang dimiliki etnis Batak Toba yaitu berani dan cenderung kasar dalam mengungkapkan pemikirannya. Mereka tidak takut akan terjadi konflik dengan seseorang yang mempunyai tingkatan atau kedudukan yang lebih tinggi. Budaya Indonesia yang cenderung melihat ketika seseorang terinfeksi atau menderita HIV/AIDS berarti orang tersebut juga sudah melakukan hal-hal yang negatif serta enis Batak Toba yang berani dan cenderung kasar ketika mengungkapkan pendapat memungkinkan tingkat self-disclosure ODHA yang menjadi subjek penelitian ini sebagian besarnya berada di kategori sedang dan rendah, dan tidak ada di kategori tinggi.
Who you are yang merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
self-disclosure. Who you are yang menggambarkan kepribadian individu dapat mempengaruhi apakah individu akan melakukan self-disclosure atau tidak. Terdapat banyak tipe kepribadian yang dirumuskan para ahli untuk
menggambarkan bagaimana individu. Pada penelitian ini salah satu aspek kepribadian yang diambil adalah need for affiliation. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa aspek kepribadian need for affiliation memiliki hubungan dengan self-disclosure. Sesuai dengan hasil penelitian ini yaitu hubungan kedua variabel bersifat positif berarti need for affiliation meningkatkan self-disclosure pada ODHA.
Berdasarkan deskripsi dan kategorisasi penelitian didapatkan bahwa sebagian besar ODHA memiliki need for affiliation di rentang kategori sedang, dan selanjutnya tinggi. Perbandingannya yaitu 44 ODHA atau 90.1% memiliki need for affiliation di kategori sedang, 8 ODHA atau 9.7% memiliki need for affiliation di kategori tinggi, dan tidak ada yang memiliki need for affiliation yang rendah.
Martaniah (1984), mengemukakan salah satu faktor yang mempengaruhi kebutuhan afiliasi adalah kebudayaan. Kebutuhan afiliasi sebagai kebutuhan sosial tidak luput dari pengaruh kebudayaan. Sarwono (1998) mengungkapkan beberapa nilai budaya Indonesia yaitu harmonis dan toleransi. Harmonis dan toleransi berarti menjaga keseimbangan dalam bermasyarakat serta menghindari adanya konflik dengan pihak lain. Budaya Indonesia juga dikenal sebagai budaya yang cenderung kolektif karena masyarakatnya yang terlihat sering bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu (Hofstede, 1994). Bekerja sama dan menghindari konflik menunjukkan ciri-ciri individu yang memiliki need for affiliation. Individu dengan
need for affiliation yang tinggi cenderung mengikuti pendapat mayoritas untuk menghindari konflik (Hardy, 1957). Penelitian Sianipar (2011) menunjukkan bahwa etnis Batak Toba memiliki tingkat extroversion yang cukup tinggi. Individu
dengan tingkat extroversion yang tinggi memiliki ciri-ciri suka bersosialisasi, mudah mengekspresikan pendapat, suka menghabiskan waktu dengan orang lain digambarkan sebagai individu yang memiliki need for affiliation tinggi. (Jemmott, 1987; McClelland, 1979; McClelland & Jemmott, 1980 dalam Pervin, 2008). Hal ini mendukung need for affiliation yang dimiliki oleh ODHA pada penelitan ini yaitu lebih banyak yang berada di kategori sedang, selanjutnya kategori tinggi, dan dan tidak ada yang rendah.
Sihombing (1986) mengatakan bahwa salah satu nilai inti budaya batak adalah kekerabatan. Kekerabatan terlihat pada tutur sapa baik karena pertautan darah ataupun pertalian perkawinan. Nilai inti kekerabatan masyarakat Batak utamanya terwujud dalam pelaksanaan adat Dalihan Na Tolu yaitu suatu ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada suku Batak yang terdiri dari tiga unsur yaitu dongan sabutuha (teman semarga), hula-hula (keluarga dari pihak Istri), dan boru (keluarga dari pihak menantu laki-laki kita). Konsep ini merupakan suatu kesatuan yang tak terpisah (Marbun dan Hutapea, 1987). Nilai inti ini menjadi falsafah hidup masyarakat Batak Toba yang paling tinggi sehingga setiap generasi ditanamkan nilai ini sejak kecil dan harus dipelihara serta dipertahankan. Konsep Dalihan Na Tolu ini menghasilkan hubungan antar marga
yang akhirnya saling terkait dan menunjukkan bahwa sesama individu bersuku batak dalah saudara dan keluarga. Hal ini juga diperkirakan membuat subjek dengan suku bangsa Batak Toba di penelitian ini tidak ada yang memiliki need for affiliation rendah.
Need for affiliation yang tinggi sering diasosiasikan juga dengan fear of rejection yang tinggi (McClelland 1987). Berdasarkan data penelitian ini dapat dikatakan bahwa need for affiliation yang dimiliki ODHA sebagian besarnya berada di tingkat rata-rata sehingga kemungkinan untuk munculnya rasa takut akan diskriminasi dan penolakan tidak terlalu tinggi.
Hubungan kedua variabel dapat dikatakan sangat kuat. Pemuasan need for affiliation ODHA yang mendominasi kategori sedang diperkirakan membuat self-disclosure pada ODHA juga sebagian besarnya berada di kategori sedang. Terdapat beberapa subjek yang memiliki need for affiliation yang cenderungtinggi. Jika need for affiliation ODHA terlalu tinggi maka bisa menimbulkan rasa takut akan penolakan yang tinggi juga, sehingga ODHA tidak berani melakukan self-disclosure pada orang lain. Hal tersebut terlihat juga dari beberapa ODHA yang memiliki self-disclosure rendah. Hasil penelitian ini didukung juga oleh penelitian yang mengatakan bahwa ODHA yang memiliki ketakutan akan diskriminasi dan penolakan oleh teman, keluarga, pasangan, dan komunitas sehingga membuat ODHA tidak berani mengungkapkan diri terutama mengingat kondisi HIV/AIDSnya yang dapat menimbulkan konsekuensi negatif ketika orang lain mengetahuinya (Van Dyk, 2001).
Ketika individu yang termasuk di dalamnya ODHA melakukan self-disclosure maka dapat dikatakan bahwa hal ini disebabkan karena individu ingin memperdalam hubungan dengan orang lain, memberi kesan pada orang lain, mengenal antara satu orang dengan yang lainnya dan menginginkan perhatian.
Individu yang memiliki tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan memiliki kebutuhan afiliasi (dalam Berg & Derlega, 1987).
Self-disclosure merupakan hal penting yang sebaiknya dilakukan oleh ODHA. Subjek penelitian ini sudah mengungkapkan kondisi HIV/AIDSnya pada orang-orang tertentu dan mendapatkan dukungan dari orang-orang yang mengetahui kondisinya. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian yang mengatakan bahwa jika ODHA berhasil melakukan self-disclosure pada significant others yang tepat maka kemungkinan ODHA untuk mendapatkan dukungan sosial akan semakin tinggi (Maman., Rooyen, Groves & Allison., 2014). Ketika mendapatkan dukungan dari orang lain, maka need for affiliation yang dimiliki ODHA juga akan terpenuhi karena pada saat yang sama ODHA juga bisa berinteraksi dengan orang lain. Pada penelitian ini, ODHA tidak terlalu memiliki masalah ketika akan memenuhi need for affiliation yang dimilikinya seperti ingin berada di antara orang lain, mendapat pujian, dan memiliki orang lain di sisinya ketika mengalami masalah atau sedih karena dinilai dapat melakukan self-disclosure. Hal ini dimungkinkan juga karena ODHA sudah mendapatkan pembinaan dari para Komite AIDS HKBP.
Penelitian ini memiliki beberapa kelemahan terkait dengan jumlah sampel. Sampel yang sulit untuk dicari sehingga tidak terlalu banyak menyebabkan variasi dalam sampelnya tidak terlalu banyak sehingga mempengaruhi generalisasi dari penelitian ini.
BAB V