• Tidak ada hasil yang ditemukan

Semen merupakan salah satu komponen penting dalam penghantaran spermatozoa baik secara konseptus alami maupun inseminasi buatan (IB).

Keberhasilan IB sangat dipengaruhi oleh kualitas semen yang digunakan.

Inseminasi di Indonesia sebagian besar menggunakan semen beku. Dalam pembuatannya semen beku mengalami berbagai macam kerusakan mulai dari efek larutan pengencer yang hipertonik, kerusakan akibat pembekuan dan akibat thawing. Untuk menjamin kualitas semen maka dilakukan serangkaian uji kualitas setelah thawing diantaranya adalah motilitas dan scoring individu.

Spermatozoa diselaputi oleh membran plasma. Membran plasma ini akan mengalami kerusakan akibat pembekuan. Kerusakan membran plasma spermatozoa bisa terjadi di bagian ekor atau bagian kepala. Kerusakan di bagian kepala akan menyebabkan hilangnya enzim-enzim yang terdapat di bagian akrosom sehingga spermatozoa kehilangan kemampuan untuk membuahi ovum, tetapi spermatozoa masih bisa bergerak kerena mitokondria di bagian ekor masih berfungsi. Sebaliknya jika kerusakan terjadi pada bagian ekor maka enzim aspartat aminotransferase yang berfungsi untuk merombak adenosin trifosfat (ATP) menjadi adenosin difosfat (ADP) dan adenosin monofosfat (AMP) hilang akibatnya spermatozoa akan kehilangan daya geraknya.

Pengujian terhadap rasio spermatozoa yang hidup dan mati atau keutuhan membran plasma spermatozoa dengan teknik HOS test perlu dilakukan untuk menjamin bahwa membran plasma spermatozoa dari semen beku masih baik, selain indikator motilitas dan scoring individu yang selama ini sudah dilakukan.

Metode HOS test dapat memberikan informasi tentang integritas membran spermatozoa.

Terdapat berbagai pendapat berbeda mengenai konsep penilaian kualitas spermatozoa dan kemungkinan perbedaan spesies pada kepentingan parameter individual, kualitas spermatozoa juga dapat dinilai dari jumlah spermatozoa, motilitas dan normalitas morfologi spermatozoa (Colenbrander et al. 2003).

Selain itu terdapat perameter tambahan, yaitu keutuhan membran plasma dan keutuhan kromatin (Graham 2001; Rodriguez-Martinez 2007). Menurut Morrell dan Rodriguez-Martinez (2009), terdapat hubungan yang kuat antara fertilitas dan

motilitas post-thawing, jumlah akrosom normal, keutuhan membran plasma, serta abnormalitas spermatozoa pada sejumlah spesies seperti kerbau (Ahmed et al.

2003), sapi (Al-Makhzoomi et al. 2008), dan antara morfologi, integritas kromatin dan pregnancy rates pada kuda (Morrell et al. 2008).

Gambar 2 Diagram Venn untuk menunjukkan sub-populasi spermatozoa dalam satu ejakulat berdasarkan parameter kualitas spermatozoa (Morrell &

Rodriguez-Martinez 2009).

Semen beku berbeda dengan semen segar. Semen beku sudah ditambahkan berbagai macam bahan sehingga melapisi/menyelimuti permukaan membran plasma. Oleh karena itu perlu dicari waktu yang optimal agar hasil pengujian menjadi lebih valid.

Hasil pengujian keutuhan membran plasma utuh (MPU) dengan metode HOS test pada semen beku sapi Limousin dan FH, didapatkan waktu yang paling optimal untuk melakukan pengujian tersebut adalah pada menit ke 30-45 masa inkubasi (Tabel 1 dan 2). Inkubasi ini dilakukan dalam larutan hipoosmotik dengan osmolaritas 150 mOsm Kg-1 pada suhu 37 °C.

Motilitas

Keutuhan Kromatin

Morfologi normal Viabilitas

Tabel 1 Persentase jumlah spermatozoa sapi Limousin yang bereaksi terhadap

Superskrip dengan notasi yang berbeda menyatakan perbedaan yang nyata (p<0.05).

Pada awal masa inkubasi menit ke-0, sebanyak 33.16 ± 10.55 % spermatozoa sapi Limousin bereaksi terhadap larutan hipoosmotik, sedangkan sapi FH sebanyak 27.19 ± 6.11 % spermatozoa yang bereaksi. Perbedaan yang signifikan (P<0.05) terjadi pada menit ke-0 sampai ke-15, baik pada spermatozoa sapi Limousin maupun FH, yaitu 46.88 ± 9.63 % untuk sapi Limousin dan 35.97 ± 6.14 % untuk sapi FH.

Puncak reaksi dari spermatozoa terhadap larutan hipoosmotik terjadi pada menit ke-30 dan ke-45, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari persentase diantara kedua masa inkubasi tersebut. Spermatozoa sapi Limousin menunjukkan 53.90 ± 6.81 % dan 52.47 ± 8.00 % spermatozoa bereaksi, sedangkan spermatozoa sapi FH menunjukkan 44.52 ± 6.26 % dan 44.46 ± 8.42 %.

Penurunan terjadi pada masa inkubasi terakhir (menit ke-60), terjadi penurunan yang signifikan dari menit ke-45 menuju menit ke-60. Semen beku sapi Limousin menurun hingga 42.46 ± 9.43 %, sedangkan semen beku FH menjadi 33.17 ± 9.63

%.

Tabel 2 Persentase jumlah spermatozoa sapi FH yang bereaksi terhadap larutan

Superskrip dengan notasi yang berbeda menyatakan perbedaan yang nyata (P<0.05).

Pada awal pengamatan relatif belum banyak spermatozoa yang bereaksi terhadap larutan hipoosmotik. Hal ini dapat disebabkan karena pengaruh dari bahan pengencer yang diberikan sebelum pembekuan semen. Bahan pengencer ini mengurangi sensitivitas membran plasma spermatozoa terhadap larutan hipoosmotik. Pada masa inkubasi yang lebih lama, jumlah spermatozoa yang bereaksi semakin meningkat hingga menit ke-45. Bahan pengencer semen beku lama kelamaan akan habis dan pengaruhnya semakin berkurang sehingga spermatozoa semakin banyak yang bereaksi. Semakin lama masa inkubasi maka membran plasma spermatozoa ini akan rusak hingga tidak bereaksi terhadap larutan hipoosmotik. Hal inilah yang menyebabkan penurunan yang signifikan sampai akhir pengamatan. Reaksi spermatozoa semen beku dari sapi Limousin dan FH tersebut dapat dilihat dalam Gambar 3 dan Gambar 4.

Gambar 3 Grafik laju reaksi spermatozoa sapi Limousin terhadap larutan hipoosmotik selama masa inkubasi.

Gambar 4 Grafik laju reaksi spermatozoa sapi FH terhadap larutan hipoosmotik selama masa inkubasi.

Keutuhan membran plasma spermatozoa dapat ditentukan berdasarkan persentase keutuhan membran plasma spermatozoa yang diuji dengan metode HOS test dan diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 40 × 10.

Spermatozoa akan bereaksi dengan membengkak atau mengkerut karena masuk atau keluarnya air untuk mencapai kembali keseimbangan osmotik ketika spermatozoa berada dalam lingkungan yang hipotonis maupun hipertonis (Petrunkina et al. 2007). Hal tersebut lebih dahulu dikemukakan oleh Jeyendran et al. (1984) yang menyatakan bahwa, spermatozoa yang mempunyai integritas membran utuh ditandai dengan pembengkakan bagian kepala dan ekor yang berputar ketika dimasukkan ke dalam media hipotonis (Gambar 5).

0

Gambar 5 Reaksi spermatozoa dengan ekor membengkok yang berada pada larutan hipoosmotik.

Membran plasma yang meyelubungi sebuah sel berfungsi membatasi keberadaan sebuah sel dan memelihara perbedaan pokok antara bagian intrasel dan bagian ekstrasel. Membran plasma tersebut merupakan sebuah sekat atau sebagai filter yang mempunyai kemampuan memilih bahan yang masuk dan keluar sel sehingga tetap dapat memelihara perbedaan kadar ion di luar dan di dalam sel (Nawang 2005).

Spermatozoa dilindungi oleh membran plasma yang berfungsi sebagai pelindung terhadap berbagai pengaruh lingkungan. Selain itu, membran plasma juga berfungsi sebagai pengatur transport ion-ion dan air dari dalam keluar sel atau pun sebaliknya. Jika membran plasma spermatozoa mengalami kerusakan maka membran tidak dapat menjalankan fungsinya dengan normal sehingga kualitas spermatozoa yang bersangkutan akan menurun (Arifiantin et al. 1999).

Metode HOS test mengevaluasi fungsi membran, tetapi variabel lainnya mungkin terlibat dalam potensi fertilitas, terutama di bawah kondisi in vitro (Rota et al.

1999). Menurut Jeyendran et al. (1984) kemampuan spermatozoa membengkak dalam larutan hipoosmotik menunjukkan membran tersebut berfungsi.

Penurunan kualitas spermatozoa selama penyimpanan, baik persentase motilitas progresif maupun keutuhan membran plasma diduga akibat banyaknya spermatozoa yang mati dan menjadi toksik terhadap spermatozoa yang masih

hidup, sehingga secara umum kualitasnya menjadi menurun. Keberadaan zat yang bersifat toksik baik yang berasal dari spermatozoa mati maupun yang berasal dari bahan pengencer yang telah mengalami oksidasi akibat penyimpanan dapat menyebabkan tingginya kadar radikal bebas yang dapat merusak keutuhan membran plasma spermatozoa. Apabila membran plasma spermatozoa sudah mengalami kerusakan, maka metabolisme spermatozoa akan terganggu dan mulai kehilangan motilitasnya sehingga mengakibatkan kematian spermatozoa (Yulnawati & Setiadi 2005).

Sebetulnya teori yang sangat sederhana yang mendasari metode HOS test ini, teori tersebut adalah hukum osmosis. Seperti yang telah kita ketahui bila sel (spermatozoa) terpapar pada media hipoosmotik, maka air akan mengalir ke dalamnya sampai mencapai keseimbangan osmotik antara intrasel dan ekstrasel, sehingga sel akan membengkak. Kebengkakan ini akan menyebabkan pembengkokan pada ekor yang mudah dilihat.

Seperti halnya membran plasma pada sel lain yang bersifat semipermeabel yang apabila dibatasi oleh larutan yang berbeda tekanan osmotiknya, maka air akan mengalir masuk melintasi membran dari kompartemen hipoosmotik ke kompartemen hiperosmotik. Hal tersebut yang menyebabkan banyaknya air pada larutan yang hiperosmotik dan tekanan osmotiknya mengecil, sedangkan banyaknya air pada larutan hipoosmotik semakin berkurang dan tekanan osmotiknya semakin besar. Keadaan ini akan terus berjalan sampai dengan tekanan osmotik kedua kompartemen seimbang.

Penggunaan metode HOS Test untuk menguji fertilitas spermatozoa telah dilakukan sejak lama. Ekor spermatozoa sapi akan membengkok dan melingkar seperti spiral bila spermatozoa tersebut berada dalam cairan hipoosmotik.

Pembengkokan ini adalah akibat gangguan kontraksi dan relaksasi ekor oleh karena adanya aliran ion atau bahan yang berat molekulnya dari ekor ke medium hipoosmotik tersebut. Menurut Fonseca et al. (2005) ekor melingkar dimulai dari ujung distal ekor dan berlanjut menuju bagian tengah dan kepala saat tekanan osmotik pada media pembeku menurun.

Gambar 6 Ilustrasi regulasi pengaturan volume pada spermatozoa.

Seperti sel lainnya, spermatozoa mengontrol volumenya ketika berada dalam keadaan hipotonis dengan pembukaan channel K+ dan Cl- (Gambar 6a).

Saat air masuk ke dalam sel untuk mencapai keseimbangan antara tonisitas internal dan eksternal sel, channel terbuka untuk pengeluaran K+ untuk menurunkan gradien konsentrasi (konsentrasi K+ intraselular secara normal lebih tinggi dibandingkan dengan ekstraselular). Untuk mempertahankan netralitas elektris, Cl- keluar bersamaan. Keseluruhan pengeluaran ion menurunkan tonisitas intraselular dan konsekuensinya adalah air masuk ke dalam sel, sehingga pembengkakan menurun atau bakan kembali ke keadaan semula (RVD-regulatory volume decrease) (Petrunkina et al. 2007).

Pada sel somatik, aktivasi dari channel K+ dan Cl- sangat sensitif terhadap pembengkakan sel, seperti pada saluran osmolit. Aktivasi tersebut diketahui melibatkan arus sinyal yang diperantarai oleh protein phosphorylation dan dephosphorylation (Petrunkina et al. 2007). Seperti yang terlihat pada Gambar 6b,

Membengkak

aktivasi dari mekanisme transport untuk mengatur volume sel diperantarai oleh protein kinase C (PKC) dan protein phosphatase (PP). Dengan memelihara serine dan threonin sisa dari tahap phosphorilasi, aktivitas PKC terlihat untuk menjaga channel ion tertutup, sementara itu penghambatan PKC atau peningkatan aktivitas PP menyebabkan channel terbuka dan mengawali proses RVD (Gambar 7).

Gambar 7 Perubahan volume spermatozoa sebagai respon terhadap kondisi hipoosmotik.

Menurut Hafez (1987), membran plasma merupakan salah satu yang mempengaruhi motilitas spermatozoa dan dapat diuji keutuhannya dengan menggunakan metode HOS test. Proses pembekuan semen dan proses thawing mengakibatkan kerusakan pada membran plasma, hal ini disebabkan oleh penurunan dan peningkatan suhu semen yang sangat drastis sehingga terjadi perubahan metabolisme yang sangat cepat. Spermatozoa dengan membran plasma utuh dan berfungsi dengan baik akan bertambah besar volumenya jika disimpan dalam suatu media yang hipoosmotik. Media tersebut akan menggunakan tekanan osmotik yang cukup besar untuk mengakibatkan aliran masuk ke dalam spermatozoa sehinga spermatozoa menjadi bengkak (Jeyendran et al. 1984).

Menurut Yeung et al. (1999) kemampuan mengatur volume sangat penting untuk mencapai fertilitas. Seperti yang disebutkan di atas, spermatozoa membengkak ditandai dengan pembengkokan ekor, efek inilah yang merusak motilitas spermatozoa, yang akibatnya transport spermatozoa dan penetrasi sel telur akan terganggu. Pada hewan domestik, kemampuan mengontrol volume ini sangat erat kaitannya dengan kemampuan spermatozoa membuahi telur in vivo (Petrunkina et al. 2007; Khalil et al. 2006).

Dalam proses pembekuan semen, diperlukan larutan pengencer yang dapat menjamin kebutuhan fisik dan kimia spermatozoa. Selama pembekuan ini terjadi pembentukan kristal-kristal es akibat dari penurunan suhu yang sangat rendah (-196 °C), disamping itu juga terjadi perubahan konsentrasi elektrolit yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada spermatozoa. Pemberian senyawa krioprotektan ke dalam pengencer dapat mengurangi efek yang tidak menguntungkan bagi spermatozoa (Rusiyantono 2008). Krioprotektan dibedakan menjadi dua jenis menurut cara kerjanya, krioprotektan intraseluler dan krioprotektan ekstraseluler. Krioprotektan yang paling berperan penting dalam melindungi sel adalah krioprotektan intraseluler karena dapat menembus membran sel. Salah satu contoh krioprotektan intraseluler yang sering digunakan adalah gliserol dan etilen glikol, keduanya dapat memodifikasi pembentukan kristal es melalui pencegahan peningkatan konsentrasi elektrolit yang dapat membahayakan sel yang dibekukan.

Gliserol merupakan krioprotektan yang lazim digunakan dalam proses pembekuan semen. Selain dapat memodifikasi pembentukan kristal es, gliserol juga dapat mencegah pengumpulan molekul H2O dari kristalisasi es pada daerah titik beku larutan. Sedangkan etilen glikol merupakan salah satu krioprotektan yang telah dilaporkan keberhasilannya dalam proses pembekuan sel yang lebih besar dari spermatozoa, misalnya ovum (Rusiyantono 2004).

Dari hasi pengamatan terlihat bahwa dari menit ke-0 sampai menit ke-45 persentase spermatozoa yang bereaksi semakin meningkat. Hal ini menandakan bahwa pada awal inkubasi belum semua spermatozoa bereaksi hingga akhirnya mencapai waktu yang optimal yaitu pada menit ke-45. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan pada semen segar sapi oleh Revell dan Mrode (1994).

Pada penelitian tersebut spermatozoa yang bereaksi pada awal inkubasi sangat tinggi dan berangsur-angsur menurun. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ketika pemberian larutan hipoosmotik dilakukan, spermatozoa langsung bereaksi dengan larutan tersebut. Peristiwa tersebut terjadi terus menerus hingga akhirnya membran sel rusak dan spermatozoa tidak bereaksi lagi.

Jika dibandingkan dengan penelitian pada semen segar, hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis awal yakni adanya pengaruh bahan pengencer yang

diberikan pada semen beku pada sensitivitas membran plasma spermatozoa terhadap larutan hipoosmotik. Hasil tersebut didukung oleh Rusiyantono (2008) yang menyatakan bahwa, pemberian krioprotektan dalam media pengencer dapat memberikan pengaruh positif terhadap integritas sel.

Pada saat pembekuan dan thawing terjadi tekanan yang tinggi terhadap spermatozoa akibat penurunan suhu yang drastis saat pembekuan dan peningkatan suhu yang drastis juga saat thawing. Pada saat tersebut pemberian krioprotektan, baik gliserol maupun etilen glikol, mampu memberikan perlindungan yang optimum terhadap keutuhan membran plasma dan integritas spermatozoa. Dengan demikian, maka proses metabolisme akan berjalan dengan baik, sehingga motilitas dan daya hidup spermatozoa akan terlindungi.

Gliserol dan etilen glikol dapat dengan mudah memasuki intrasel melaui membran sel dengan cara difusi bebas. Gliserol dan etilen glikol menggantikan posisi sebagian molekul air yang memang harus keluar supaya tidak terjadi kristal es intraseluler saat pembekuan sehingga tidak terjadi efek solusi. Selain itu, gliserol dan etilen glikol mempunyai gugus hidroksil yang mampu mengikat air, sehingga tidak semua air bisa keluar. Sel akan kekeringan sampai mati ketika kehilangan 65 % molekul air. Kehadiran krioprotektan yang mampu mengikat air, secara langsung mencegah molekul air yang membeku di dalam sel menyatu untuk membentuk kristal es yang ukurannya lebih besar dan memiliki daya rusak yang besar terhadap sel. Gliserol dan etilen glikol yang membeku mempunyai permukaan yang halus sehingga tidak merusak membran sel, sehingga keutuhan membran plasma tetap terjaga (Supriatna & Pasaribu 1992).

Pengujian keutuhan membran plasma ini dianggap penting karena hal tersebut sangat berperan dalam proses fertilisasi untuk keberhasilan IB. Rusaknya membran plasma biasa disertai dengan rusaknya tudung akrosom, sehingga menyebabkan keluarnya enzim-enzim yang diperlukan dalam proses fertilisasi.

Rusaknya bagian ini menyebabkan kegagalan program IB karena tidak terjadi fertilisasi dan akhirnya tidak terjadi kebuntingan (Herdis et al. 2003). Lebih lanjut Herdis et al. (2003) menambahkan pada spermatozoa, bagian membran plasma dan akrosom lebih peka dibandingkan inti dan bagian lokomotor. Membran luar

akrosom spermatozoa lebih sensitif dibandingkan bagian dalam akrosom spermatozoa.

Kerusakan atau perubahan tudung akrosom merupakan salah satu bentuk abnormalitas dari kepala spermatozoa. Perubahan bentuk tudung akrosom dapat berupa pembengkakan (swollen), pecah (ruptured), berkerut (ruffled) dan terlepas (detached). Kerusakan tudung akrosom menyebabkan berkurangnya kemampuan spermatozoa dalam proses fertilisasi. Keadaan ini terjadi karena pada selubung akrosom mengandung bahan-bahan akrosomal yaitu enzim-enzim penting untuk proses fertilisasi, seperti hyaluronidase, CPE (corona penetrating ezyme) dan akrosin (Vercarcel et al. 1997).

Kerusakan tudung akrosom menyebabkan ketidakmampuan spermatozoa melakukan reaksi akrosom. Reaksi akrosom merupakan suatu proses eksositosis yang ditandai dengan terjadinya fusi antara membran plasma spermatozoa dengan membran luar akrosom di bagian anterior kepala spermatozoa, sehingga memungkinkan enzim-enzim hidrolitik yang dikandung dalam kantung akrosom tersebut keluar melalui pori-pori yang terbentuk, dan selanjutnya enzim-enzim tersebut akan melisiskan lapisan luar sel telur (Flesch & Gadella 2000).

Pengujian keutuhan membran plasma spermatozoa sangat penting dilakukan untuk menguji fertilitas spermatozoa. Pada semen segar, tidak terdapat faktor yang mempengaruhi reaksi antara spermatozoa dan larutan hipoosmotik.

Sedangkan pada semen beku terdapat bahan pengencer yang mengandung krioprotektan yang dapat menghambat reaksi antara spermatozoa dan larutan hipoosmotik.

Dokumen terkait