• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini menggunakan tiga puluh gigi premolar mandibula yang dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok tanpa sistem adhesif, kelompok sistem total etsa dan kelompok sistem total etsa ditambah self cure activator. Gigi premolar mandibula digunakan karena relatif mudah diperoleh dan memiliki satu saluran akar yang cukup lebar untuk dipasangkan pasak. Beberapa kriteria ditentukan untuk mengontrol keadaan seluruh sampel yaitu tidak terdapat karies pada akar, panjang akar tidak bervariasi terlalu ekstrim serta konfigurasi anatomi yang berbentuk bulat. Seluruh sampel yang telah dikumpulkan kemudian direndam dalam larutan salin untuk menghindari kehilangan kelembaban dentin.25

Data pengukuran ketahanan fraktur pada penelitian ini, secara deskriptif menunjukkan nilai rerata ketahanan fraktur tertinggi terdapat pada kelompok pasak polyethylene fiber dengan sistem total etsa ditambah self cure activator sebesar 1160 N. Sementara nilai rerata ketahanan fraktur pada kelompok sistem total etsa sebesar 1070 N dan nilai rerata ketahanan fraktur terendah terdapat pada kelompok tanpa sistem adhesif yaitu 915 N. Namun hasil uji LSD menunjukkan secara statistik tidak terdapat perbedaan signifikan ketahanan fraktur diantara kelompok sistem total etsa dengan kelompok sistem total etsa ditambah self cure activator (p>0,05). Perbedaan signifikan terdapat diantara kelompok sistem tota etsa dengan kelompok tanpa sistem adhesif (p<0,05) dan kelompok sistem total etsa ditambah self cure activator dengan kelompok tanpa sistem adhesif (p<0,05).

Hasil penelitian ini menolak hipotesis pertama yang menunjukkan tidak terdapat pengaruh penambahan self cure activator terhadap ketahanan fraktur pasak polyethylene fiber. Hasil penelitian ini sama seperti hasil penelitian Faria-e-Silva, Cavalcanti dan Ratkhe yang juga menyatakan bahwa penambahan aktivator tidak mempengaruhi kekuatan perlekatan dengan dentin saluran akar. Namun fraktur pada gigi yang telah dilakukan perawatan endodonti ternyata tidak hanya dipengaruhi oleh adhesif pasak dengan dentin saluran akar tetapi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor

yang dapat berinteraksi dan mempengaruhi kekuatan perlekatan pasak dengan dentin saluran akar.1 Hal inilah yang mungkin mempengaruhi hasil penelitian sehingga tidak diperoleh perbedaan ketahanan fraktur yang signifikan meskipun telah digunakan aktivator sebagai bahan adhesi pasak terhadap dentin saluran akar.

Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan kekuatan gigi setelah perawatan endodonti berhubungan langsung dengan jumlah atau ketebalan struktur gigi yang tersisa. Penelitian lainnya menyatakan fraktur gigi ternyata tidak dapat diprediksi dan pembuangan dentin tidak selalu menjadi penyebab meningkatnya kerentanan terhadap fraktur.1 Gambar 22 menunjukkan beberapa variabel yang dapat menjadi predisposisi fraktur pada gigi setelah perawatan endodonti dan salah satu variabel mungkin dapat dengan mudah mendominasi variabel lainnya.1

Gambar 22. Faktor predisposisi fraktur dalam restorasi pasak-inti1

Pasak polyethylene fiber dipilih sebagai bahan untuk merestorasi gigi karena memiliki bentuk seperti pita anyaman yang dapat dibentuk mengikuti morfologi saluran akar. Bentuk pasak yang berupa serat anyaman dapat menyerap tekanan tanpa menyalurkannya kembali ke dentin sehingga mengurangi risiko fraktur gigi.7 Adaptasi pasak polyethylene fiber ke dalam saluran akar tidak memerlukan preparasi saluran akar tambahan sehingga mencegah kehilangan lapisan dentin yang cukup signifikan.7 Hal ini menyebabkan risiko fraktur pada gigi yang menggunakan

MAHKOTA Loading angle Ferrule INTI (CORE) • Bahan STRUKTUR DENTIN YANG TERSISA •Jaringan dentin

•Air terikat dan tidak terikat

PASAK

•Bentuk pasak

•Adhesi pasak dengan dentin

•Diameter pasak

pasak polyethylene fiber menjadi lebih rendah dibandingkan menggunakan pasak buatan pabrik (prefabricated).5,6

Ketebalan dentin saluran akar merupakan faktor yang sangat penting untuk menahan gaya lateral dan menghindari fraktur gigi. Hal ini dikarenakan dentin mengandung komponen anorganik, organik dan air yang berperan penting dalam menjaga sifat mekanis dentin. Komponen anorganik berperan dalam menyediakan kekakuan (stiffness) dentin. Komponen organik terdiri atas serat kolagen tipe I yang kuat, mampu meningkatkan resistensi terhadap crack propagation dan berperan dalam menyediakan ketangguhan (thougness) dentin untuk menahan fraktur. Air berperan dalam menjaga serat kolagen untuk tetap lembut dan longgar sehingga mempermudah infiltrasi bahan adhesif. Air yang mengisi tubulus dentin juga berperan dalam menfasilitasi distribusi tekanan pada tubulus dentin. Kehilangan air menyebabkan infiltrasi bahan adhesif ke dalam tubulus dentin menjadi terhambat dan tidak dapat berikatan secara mikromekanis dengan serat kolagen untuk membentuk hybrid layers yang sangat penting meningkatkan retensi pasak dalam saluran akar. Disamping itu kehilangan air juga menyebabkan dentin bersifat lebih rapuh sehingga meningkatkan risiko fraktur gigi.1

Pasak polyethylene fiber juga memiliki modulus elastisitas yang menyerupai dentin.7 Beberapa penelitian menyatakan pasak dengan modulus yang mendekati dentin kurang merusak struktur dentin yang tersisa.1 Adhesi pasak dengan dentin saluran akar dibantu oleh semen resin dual cure dengan sistem adhesif. Sistem adhesif berfungsi untuk membantu meningkatkan kekuatan perlekatan diantara pasak dan semen resin dengan dentin saluran akar.5,9 Perlekatan yang erat diantara komponen sangat penting untuk membentuk suatu komponen yang homogen yang dapat berfungsi sebagai unit fungsional. Oleh karena pasak-semen resin-dentin memiliki modulus elastisitas yang sama dan saling merekat erat satu sama lain sehingga akan terbentuk sistem monoblock yang menyebabkan tekanan terdistribusi merata sepanjang saluran akar.14

Pada penelitian ini semen resin dual cure digunakan untuk proses sementasi pasak polyethylene fiber sekaligus sebagai pembentuk inti (core).Semen

resin mampu melekat secara mekanis dan kimiawi dengan struktur gigi. Modulus elastisitas semen resin yang mendekati dentin memberikan keuntungan karena membentuk lapisan semen yang berikatan dengan struktur intraradikular sehingga memiliki potensi memperkuat saluran akar.1 Insersi semen resin dual cure menggunakan delivery tip yang berbentuk jarum disarankan untuk meminimalkan void atau udara yang terperangkap di dalam saluran akar.3 Namun karena keterbatasan alat dalam penelitian ini maka digunakan lentulo spiral yang digerakkan mesin untuk memasukkan semen resin dual cure ke dalam saluran akar. Hal ini mungkin menyebabkan terbentuk void atau celah diantara permukaan semen resin dengan dentin saluran akar sehingga mengurangi retensi pasak polyethylene fiber.

Proses penyinaran semen resin juga dinyatakan mempengaruhi kekuatan perlekatan pasak. Semen resin dual cure digunakan dalam restorasi pasak karena memiliki komponen self-cure yang bereaksi secara kimia untuk menginisiasi proses polimerisasi, meskipun intensitas sinar berkurang atau bahkan tidak ada terutama pada apikal saluran akar.12 Namun Soares dkk dalam penelitiannya menyatakan bahwa reaksi kimia tersebut ternyata tidak mampu mengkompensasi secara penuh proses polimerisasi dari semen resin dual cure.36 De Moraez dkk juga menyatakan self-cure mechanism pada semen resin dual cure tidak hanya terjadi secara lambat tetapi juga kurang efektif dibandingkan aktifasi semen resin menggunakan sinar.37 Pada penelitian ini semen resin disinar selama 20 detik untuk seluruh sampel, namun karena intensitas sinar tidak mampu mencapai bagian apikal saluran akar menyebabkan polimerisasi semen resin berlangsung lambat sehingga mempengaruhi kekuatan perlekatan diantara pasak dengan dentin saluran akar.14,37

Sistem total etsa jenis simplified adhesive dipilih untuk digunakan dalam proses sementasi pasak polyethylene fiber karena tahapan prosedur aplikasi yang lebih mudah dan relatif cepat. De Moraes dkk menyatakan sementasi pasak fiber dengan sistem total etsa menghasilkan kekuatan perlekatan yang sangat potensial dibandingkan menggunakan sistem self etch.37 Prosedur etsa asam melarutkan smear layers yang terbentuk setelah preparasi saluran akar dan menyebabkan demineralisasi tubulus dentin sehingga serat kolagen dentin terekspose. Infiltrasi bahan bonding ke

dalam tubulus dentin menjadi lebih mudah untuk kemudian membentuk resin tags dan zona resin-dentin interdiffusion atau hybrid layers.8,11 Kualitas perlekatan yang baik diperoleh apabila terbentuk continuous hybrid layer dan resin tags yang padat dalam saluran akar.19 Semakin banyak tubulus dentin yang terdemineralisasi dan semakin padat resin tags yang terbentuk menyebabkan kekuatan perlekatan yang maksimal akan diperoleh.20 Namun kepadatan tubulus dentin ternyata semakin berkurang pada bagian pertengahan hingga apikal saluran akar. Variasi anatomi menyebabkan prosedur aplikasi etsa asam menjadi tidak homogen di dalam saluran akar. Hal ini mempengaruhi infiltrasi bahan bonding ke dalam tubulus dentin untuk membentuk resin tags dan hybrid layer yang optimal.20,37 Oleh karena hybrid layers yang terbentuk tidak optimal menyebabkan retensi pasak polyethylene fiber juga menjadi berkurang di dalam saluran akar.

Pada penelitian ini terdapat kelompok yang tidak menggunakan sistem adhesif. Permukaan dentin tidak diaplikasikan etsa asam sehingga masih terkontaminasi oleh smear layers hasil preparasi saluran akar. Resin tags dan hybrid layers di dalam tubulus dentin juga tidak terbentuk karena tidak ada aplikasi bahan bonding. Hal inilah yang mungkin menyebabkan retensi pasak pada kelompok tanpa sistem adhesif menjadi sangat rendah karena ikatan mikromekanis dengan serat kolagen tidak terbentuk. Pasak-semen resin-dentin tidak saling merekat erat satu sama lain akibatnya tekanan tidak dapat terdistribusi merata di dalam saluran akar. Distribusi tekanan yang tidak merata memicu timbulnya retakan pada dentin (crack initiation). Oleh karena tekanan terjadi secara berulang dan terus-menerus, menyebabkan crack initiation tersebut membentuk garis-garis retakan (crack propagation) hingga kemudian menyebabkan terpisahnya fragmen atau terjadi fraktur pada gigi. Hal ini yang menyebabkan risiko fraktur pada kelompok tanpa sistem adhesif menjadi lebih tinggi dibandingkan kelompok yang menggunakan sistem adhesif. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian oleh Faria-e-Silva dkk yang juga menemukan bahwa kelompok yang tidak menggunakan sistem adhesif memiliki retensi yang sangat rendah dibandingkan kelompok yang menggunakan sistem adhesif.16

Secara statistik kelompok yang menggunakan sistem total etsa dan sistem total etsa ditambah self cure activator tidak memiliki perbedaan ketahanan fraktur yang signifikan. Sistem total etsa merupakan teknik yang sensitif karena membutuhkan kondisi dentin yang lembab untuk menghasilkan adhesi yang baik. Namun kontrol kelembaban sangat sulit dilakukan terutama pada bagian apikal saluran akar yang sulit dicapai. 37 Disamping itu minimnya keterampilan operator juga mempengaruhi kemampuan untuk mengontrol kelembaban dan mempengaruhi kemampuan prosedur aplikasi bahan adhesif pada apikal saluran akar.

Prosedur aplikasi etsa asam selain melarutkan smear layers juga menyebabkan demineralisasi tubulus dentin sehingga serat kolagen terekspos dan kolaps. Serat kolagen yang kolaps harus dikembalikan (re-expansion) dan dijaga untuk tetap longgar. Air merupakan salah satu bahan yang penting untuk menjaga dan mencegah kolapsnya serat kolagen tersebut. Sejumlah komponen air yang mengisi tubulus dentin juga berperan dalam proses infitrasi bahan primer dan bonding dari sistem adhesif. Hal ini dikarenakan bahan primer yang bersifat hidrofilik akan mudah infiltasi ke dalam tubulus dentin yang mengandung air. Bahan primer akan menjaga wettability dentin dan membantu pertukaran komponen air dari dalam tubulus dentin dengan monomer resin. Sementara itu bahan bonding yang bersifat hidrofobik akan membantu infiltrasi semen resin ke dalam tubulus dentin untuk kemudian membentuk resin tags dan berikatan mikromekanis dengan serat kolagen membentuk hybrid layers.11 Ikatan mikromekanis tersebut membantu meningkatkan retensi pasak dengan dentin saluran akar. Namun permukaan substrat yang terlalu basah juga mempengaruhi perlekatan dengan dentin.11,38 Kondisi permukaan dentin yang over- wet karena tidak adekuatnya pengeringan dapat menyebabkan pemisahan komponen hidrofobik dan hidrofilik dari sistem adhesif. Hal ini menyebabkan terbentuk blisters dan globule-like voids pada permukaan antara dentin dengan semen resin. Kondisi dentin yang terlalu lembab juga menyebabkan rendahnya degree of conversion monomer resin (bahan bonding) sehingga mengurangi sifat mekanis dari lapisan adhesif.

Kondisi dentin yang over-dry juga harus dihindari selama prosedur aplikasi sistem adhesif.38 Serat kolagen yang kering bersifat rapuh dan kaku sehingga meningkatkan risiko fraktur pada gigi.1 Serat kolagen dentin terdiri dari microfibrills yang dipisahkan oleh ruangan yang berisi air. Dehidrasi pada serat kolagen dentin dapat menyebabkan hilangnya ruang interfibrillar dan penyusutan diameter fibrils.1 Dehidrasi menyebabkan serat kolagen menjadi kolaps sehingga mencegah infiltrasi bahan bonding kedalam tubulus dentin untuk membentuk resin tags. Kolapsnya serat kolagen juga mencegah infiltrasi bahan bonding untuk berikatan dengan serat kolagen membentuk hybrid layers.11

Proses pengeringan setelah pencucian etsa asam mungkin tidak berhasil sepenuhnya dilakukan oleh peneliti. Kontrol kelembaban yang tidak optimal menyebabkan permukaan dentin saluran akar menjadi over-wet ataupun over-dry sehingga mempengaruhi infiltrasi bahan adhesif. Prosedur pencucian akan menyisakan sejumlah air yang terkandung di dalam tubulus dentin dan residu cairan tersebut tidak berhasil sepenuhnya dikeringkan dengan paper points.16 Droplet cairan akan tetap ada dalam lapisan adhesif dan bertindak sebagai stress raiser yang juga ikut berperan dalam crack propagation selama proses pengujian sehingga mengurangi retensi pasak dalam saluran akar.16

Kekurangan pada penelitian ini yaitu jumlah aplikasi bahan bonding ke dalam saluran akar tidak dikendalikan pada semua sampel. Ratkhe dkk dalam penelitiannya menyatakan bahwa variasi selama prosedur bonding merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kekuatan perlekatan.15 Variasi jumlah aplikasi bahan bonding mungkin menyebabkan infiltasi bahan tidak homogen dengan tubulus dentin sehingga resin tags dan ikatan mikromekanis yang terbentuk tidak merata. Malyk dkk dalam penelitiannya menyatakan variasi diameter tubulus dentin yang semakin kecil pada bagian apikal dibandingkan bagian servikal juga mempengaruhi penetrasi bahan bonding terhadap dentin. Pada penelitiannya, sejumlah tubulus dentin yang tidak terinfiltasi bahan adhesif lebih banyak dijumpai pada bagian apikal dibandingkan bagian servikal sehingga mempengaruhi resin tags yang terbentuk dalam saluran akar. Malyk dkk menyatakan karena aplikasi etsa asam melarutkan smear layers

sehingga menghasilkan akses yang baik untuk infiltrasi bahan adhesif secara penuh ke dalam tubulus dentin. Sementara aktivator meningkatkan kontinuitas dan menyempurnakan resin tags yang terbentuk.19

Bahan bonding dari sistem total etsa memiliki kandungan pelarut organik yang cukup tinggi di dalamnya. Evaporasi bahan pelarut mungkin terjadi sehingga menyebabkan lapisan adhesif yang terbentuk sedikit lebih tipis. Sementara itu self cure activator yang digunakan dalam penelitian ini juga mengandung pelarut organik berupa acetone yang cukup tinggi. Penggabungan kedua bahan meningkatkan kandungan pelarut dan proses evaporasi berjalan cepat menyebabkan lapisan adhesif yang terbentuk semakin bertambah menipis.17 Proses penyinaran yang kemudian dilakukan pada bahan adhesif menimbulkan tekanan osmotik yang tinggi sehingga lapisan adhesif bertindak menjadi membran semipermeabel.13,15,16

Tekanan osmotik yang tinggi pada lapisan adhesif yang tipis dan bertindak sebagai membrane semipermeabel mengakibatkan proses difusi cairan dentin yang sangat cepat. Difusi cairan dimulai dari tubulus dentin membentuk saluran yang bercabang-cabang seperti water tree melewati lapisan adhesif hingga terperangkap diatas permukaan semen resin dual cure. Difusi cairan yang terperangkap akan ikut terpolimerisasi bersama semen resin dual cure membentuk struktur honeycomb-like resin. Droplet cairan tersebut kemudian membentuk water blisters yang akan bertindak sebagai stress raiser. Disamping itu blisters juga ikut berkontribusi dalam crack growth dan crack propagation pada dentin saluran akar.13,15,16 Akibatnya risiko fraktur akar gigi masih tetap ada meskipun telah digunakan self cure activator.

Penggabungan kedua bahan adhesif dinyatakan masih tetap menghasilkan residu pelarut di dalam saluran akar, meskipun telah dilakukan pengeringan.17 Residu pelarut menghambat pembentukan free-radical polymerization yang dihasilkan baik melalui inisiasi sinar maupun menggunakan aromatic sodium sulfinate salt dari self cure activator.Radikal bebas yang dihasilkan oleh self cure activator tersebut sangat berperan penting dalam proses inisiasi polimerisasi semen resin dual cure.13,15-17

Namun karena proses polimerisasi yang kurang optimal menyebabkan retensi pasak polyethylene fiber di dalam saluran akar menjadi berkurang.

Prosedur aplikasi bahan adhesif akan menyebabkan bahan mengalir ke bagian apikal dan mengurangi ketebalan lapisan adhesif pada bagian korona.16 Pada bagian apikal terbentuk genangan (pooling) residu pelarut dengan lapisan adhesif yang menjadi lebih tebal. Genangan menurunkan degree of conversion dari lapisan adhesif karena contact angle yang terbentuk lebih besar dari 90⁰ sehingga wetting permukaan dentin kurang baik dan kekuatan perlekatan juga rendah. Idealnya, contact angle yang terbentuk 0⁰ akan menghasilkan wetting lebih baik sehingga diperoleh adhesi yang optimal.28 Faria-e-Silva dkk dalam penelitiannya juga menyatakan kontak yang rapat antara semen resin dengan dentin saluran akar akan mengurangi friksi sehingga meningkatkan retensi pasak fiber.16

Beberapa faktor lain juga mempengaruhi ketahanan fraktur pasak polyethylene fiber di dalam saluran akar. Proses obturasi pada penelitian ini menggunakan sealer berbasis resin dan guttaperca dengan teknik kondensasi lateral. Sealer berbasis resin dipilih untuk menghindari sealer berbasis eugenol yang dapat menghambat polimerisasi semen resin. Namun kelemahan pada penelitian ini adalah tidak dilakukan rontgen foto untuk mengetahui kepadatan hasil obturasi pada saluran akar. Pembuangan sealer dan guttaperca dari saluran akar mungkin tidak berhasil dilakukan secara optimal oleh peneliti. Sisa sealer menutupi tubulus dentin dan menyebabkan bahan bonding tidak dapat infiltrasi secara penuh sehingga resin tags dan hybrid layers tidak terbentuk sempurna didalam saluran akar. Disamping itu semen resin dual cure yang digunakan juga memiliki teknik yang paling sensitif dibandingkan dengan jenis semen lainnya. Kontaminasi sisa sealer pada permukaan dentin akan mempengaruhi proses polimerisasi semen resin dual cure.39 Hal inilah yang mungkin menyebabkan retensi pasak polyethylene fiber didalam saluran akar menjadi rendah meskipun digunakan self cure activator.

Penelitian ini merupakan penelitian in-vitro yang menggunakan gigi nonvital. Lamanya jangka waktu pencabutan dan usia gigi tidak dapat dikendalikan oleh peneliti. Sampel pada penelitian ini telah banyak kehilangan kandungan air

sehingga mempengaruhi kekuatan fisik struktur gigi yang tersisa. Namun perendaman sampel di dalam larutan saline dilakukan sebagai upaya mengurangi hilangnya air yang berlebih dari dalam dentin.25 Komponen air di dalam tubulus dentin memiliki kemampuan untuk mendistribusikan tekanan pada gigi. Kehilangan cairan dari tubulus dentin menyebabkan kekakuan (stiffness) dentin menjadi semakin meningkat dan serat kolagen menjadi kering.1 Serat kolagen yang kering menyebabkan infiltrasi bahan bonding menjadi sulit ke dalam tubulus dentin sehingga mempengaruhi kekuatan perlekatan dan retensi pasak dengan dentin. Usia juga mempengaruhi struktur dentin karena meningkatnya usia akan meningkatkan proses mineralisasi. Semakin banyak komponen mineral yang menggantikan air maka jaringan keras akan semakin kaku.1 Faktor tersebut yang mungkin mempengaruhi ketahanan fraktur pada sampel sehingga tidak diperoleh perbedaan signifikan meskipun telah digunakan self cure activator. Hasil yang berbeda mungkin akan diperoleh jika dilakukan penelitian in-vivo dimana dentin masih terhidrasi meskipun sudah nonvital. Hidrasi pada dentin menyebabkan serat kolagen masih lembut dan lentur sehingga infiltrasi bahan adhesif akan menjadi lebih mudah dan meningkatkan kekuatan perlekatan pasak sehingga retensi pasak menjadi optimal. Disamping itu crack initiation-toughness dan crack growth-toughness pada dentin yang masih basah lebih tinggi dibandingkan dentin yang kering.1

Penelitian ini juga menggunakan larutan sodium hypochlorite sebagai bahan irigasi. Larutan sodium hypochlorite dinyatakan sebagai gold standard irrigant yang banyak direkomendasikan untuk larutan irigasi saluran akar.30 Namun sodium hypochlorite ternyata dapat meninggalkan lapisan kaya akan oksigen pada permukaan dentin saluran akar. Lapisan oksigen pada permukaan dentin dapat menyebabkan proses polimerisasi semen resin menjadi terganggu sehingga mempengaruhi retensi pasak polyethylene fiber.11,34

Salah satu faktor penting untuk keberhasilan restorasi pasak adalah ferrule. Kehadiran ferrule menunjukkan masih terdapat sisa struktur mahkota gigi yang dapat mengurangi risiko fraktur gigi. Ferrule memberikan retensi dan resistensi pada gigi yang direstorasi serta memperpanjang durasi pasak di dalam saluran akar.

Sebuah penelitian menyatakan gigi yang menggunakan ferrule setinggi 2 mm memiliki risiko fraktur lebih rendah dibandingkan tanpa ferrule.40 Disamping itu pola fraktur pada gigi yang menggunakan ferrule umumnya memiliki pola fraktur repairable.39

Pola fraktur yang terjadi pada ketiga kelompok diamati secara visual. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan secara statistik terdapat perbedaan pola fraktur signifikan pada ketiga kelompok (p=0,016). Perbedaan pola fraktur signifikan terjadi antara kelompok tanpa sistem adhesif dengan kelompok yang menggunakan sistem adhesif. Sementara perbedaan pola fraktur yang tidak signifikan terjadi antara kelompok yang menggunakan sistem total etsa dengan kelompok yang menggunakan sistem total etsa ditambah aktivator (p=1,00). Kedua kelompok tersebut memiliki pola fraktur yang sama yaitu 90% pola fraktur repairable dan hanya 10% pola fraktur irrepairable. Namun perbedaannya terletak pada lokasi fraktur yang terjadi dimana kelompok sistem total etsa lokasi frakturnya 70% fraktur inti dan 20% fraktur pasak- inti. Sementara kelompok sistem total etsa ditambah self cure activator memiliki 50% fraktur inti dan 40% fraktur pasak-inti.

Perbedaan pola fraktur yang tidak signifikan pada kelompok sistem total etsa dengan kelompok sistem total etsa ditambah self cure activator mungkin

Dokumen terkait