• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. J amur

1. J amur patogen Fusarium

Jamur patogen Fusarium sp. yang ditumbuhkan pada media V8 menunjukkan perkembangan yang cepat, koloni jamur pada hari ke 7 terlihat memenuhi cawan petri (Gambar 1). Bentuk spora jamur Fusarium sp seperti bulan sabit, jamur ini merupakan makrokonidia, tidak berwarna, kebanyakan bersekat dua sampai empat (Gambar 2). Menurut Semangun (2002), bahwa makrokonidia jamur ber sel satu sampai dua, tidak berwarna, tidak lonjong, burukuran 6-15 x 2,5-4 µm. Klamisdospora berbentuk berbentuk bulat, terbentuk dari sel hifa yang membesar dan membulat. Miselium dari Fusarium sp berwarna putih, lama kelamaan warnanya berubah menjadi krem atau kuning pucat. Bila ditumbuhkan pada media PDA isolat berwarna merah muda agak ungu (Semangun, 2001) dan (Sastrahidayat, 1994).

Gambar 1. Koloni jamur Fusarium sp pada cawan petri umur 7 hari

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

23

Gambar 2. Konidium jamur Fusarium sp. Perbesaran mikroskop : 10 x 40 2. Bakteri Pseudomonad fluoresen

Bakteri agensia hayati yang dugunakan untuk perlakuan pemnghambatan penyakit layu Fusarium sp adalah Pseudomonad fluoresen. Bakteri Pseudomonad fluoresen adalah kelompok genus pseudomonas yang mempunyai pigmen fluoresens, koloni akan berpendar bila ditumbuhkan pada media Kings’B dan diletakkan dibawah sinar UV (Gambar 3). Koloni Pseudomonad fluoresen berbentuk bulat (Gambar 4).

Gambar 3. Bakteri Pseudomonad fluoresen dibawah sinar UV

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

24

Gambar 4. Koloni Pseudomonad fluoresen di bawah UV

3. Per lakuan

Perlakuan pada tanaman dengan menggunakan bakteri agensia hayati Pseudomonad fluoresen dengan tahap perendaman tanaman cabai selama 30 menit (Gambar 5). Pada tiap-tiap lubang diinokulasikan dengan patogen jamur

Fusarium sp dengan cara disiramkan (Gambar 6). Pada perlakuan perendaman menggunakan konsentrasi 1010 cfu/ml dan pada perlakuan jamur Fusarium sp,

yaitu 20 ml per lubang.

Gambar 5. Proses perendaman tanaman cabai dengan bakteri Pseudomonad fluoresen

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

25

Gambar 6. Penyiraman suspensi Fusarium sp ke tiap-tiap lubang B. Per kembangan Penyakit

1. Masa Inkubasi

Pengamatan masa inkubasi dilakukan dengan mengamati munculnya gejala layu untuk pertama kalinya (awal munculnya gejala). Gejala permulaan dari serangan Fusarium sp adalah terjadinya pemucatan daun dan diikuti dengan layunya daun. Daun menjadi kuning (Gambar 7) dan selanjutnya mengalami kelayuan (Gambar 8), hal ini sesuai dengan pendapat Sastrahidayat (1994), bahwa kelayuan terjadi mulai dari daun terbawah dan terus ke daun bagian atas

Gambar 7. Gejala daun kuning pada tanaman cabai

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

26

Gambar 8. Layu pada tanaman cabai

Munculnya gejala penyakit layu Fusarium sp dari tiap-tiap perlakuan pemberian Pseudomonad fluoresen memperlihatkan hasil yang bervariasi (Gambar 9). Pada kontrol tanpapemberian Pseudomonad fluoresen menunjukkan masa inkubasi yang paling rendah atau paling cepat. Rata-rata masa inkubasi dari tiap-tiap ulangan.

Gambar 9. Rata-rata masa inkubasi penyakit layu fusarium pada tanaman cabai dengan pemberian Pseudomonad fluoresen

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 Pf 122 Pf 36 Pf 142 Pf 81 Pf B Pf 160 K Perlakuan H a r i

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

27

Keterangan :

K : Kontrol (tanpa aplikasi bakteri agensia hayati Pseudomonad fluoresen) Pf 122 : Aplikasi agensia hayati Pseudomonad fluoresen isolat Pf 122

Pf 36 : Aplikasi agensia hayati Pseudomonad fluoresen isolat Pf 36 Pf 142 : Aplikasi agensia hayati Pseudomonad fluoresen isolat Pf 142 Pf 81 : Aplikasi agensia hayati Pseudomonad fluoresen isolat Pf 81 Pf B : Aplikasi agensia hayati Pseudomonad fluoresen isolat Pf B Pf 160 : Aplikasi agensia hayati Pseudomonad fluoresen isolat Pf 160

Berdasarkan diagram di atas, terlihat bahwa masa inkubasi yang paling lama adalah pada tanaman dengan pemberian Pf 160, dengan masa inkubasi 17 hari setelah inokulasi kemudian diikuti dengan Pf B, Pf 36 dan Pf 122. Bila dibandingkan dengan kontrol yang mempunyai masa inkubasi 4 hari setelah inokulasi, perlakuan dengan aplikasi menggunakan agensia hayati Pf 160 sudah mampu menunda masa inkubasi selama 13 hari setelah inokulasi Fusarium sp.

Sedangkan dengan Pf B, Pf 36 dan Pf 122, mampu menunda munculnya gejala selama 11 hari, 9 hari, dan 6 hari. Dengan memperhatikan masa perkembangan atau waktu yang diperlukan Fusarium sp untuk menimbulkan gejala layu, terlihat bahwa dengan pemberian agensia hayati Pf 160, Pf B, Pf 36 dan Pf 122, ternyata mampu menunda munculnya gejala. Hal ini menunjukan bahwa perlakuan Pseudomonad fluoresen mampu menekan Fusarium sp dalam menginfeksi tanaman cabai.

Adanya bakteri agensia hayati Pseudomonad fluoresen di sekitar akar mungkin akan berkompetisi dengan jamur Fusarium sp atau mungkin menghasilkan senyawa tertentu yang dapat menghambat perkembangan jamur

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

28

Fusarium sp sehingga dapat menghambat jamur Fusarium sp untuk menginfeksi pada tanaman cabai. Menurut Agrios (1996), adanya penundaan masa inkubasi disebabkan terjadinya persaingan antara patogen dengan antagonis, sehingga patogen membutuhkan waktu yang lebih lama untuk,menginfeksi tanaman. 2. Indeks Penyakit

Tanaman cabai yang diperlakukan dengan isolat Pseudomonad fluoresen (Pf 160, Pf 142, Pf 36, Pf 81, Pf 122, Pf B) pada bak yang telah diberi patogen

Fusarium sp dengan cara disiramkan menunjukkan bahwa Peudomonad fluoresen Pf B dan Pf 160 mempunyai kemampuan paling tinggi dalam menekan perkembangan penyakit layu Fusarium sp.

Hal ini jelas terlihat sampai pengamatan ke-15 Hari Setelah Tanam (HST). Sebaliknya cabai, yang tidak diperlakukan dengan Pseudomonad fluoresen (kontrol), pada masa rata-rata indeks penyakit hari ke-15 HST telah menunjukkan daun layu (Tabel 1).

Tabel 1. Rata-rata indeks penyakit Fusarium sp pada hari ke-15 Per lakuan Data asli Data Transformasi Notasi

Pf B 0,00 1,28 a Pf 160 0,00 1,28 a Pf 122 6,66 6,04 ab Pf 81 19,99 12,88 ab Pf 36 13,33 16,46 b Pf 142 33,32 16,48 b K 26,66 17,79 b BNT 5% 13,79

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

29

Dibandingkan dengan isolat yang lain dan kontrol pada pengamatan hari ke-15 isolat Pf B dan Pf 160, menunjukkan kemampuan menghambat paling tinggi kemudian diikuti isolat Pf 122 dan Pf 81. Pada pengamatan hari ke-15, indeks penyakit tanaman cabai yang diperlakukan dengan Pf B mencapai 1,28% sedangkan kontrol sudah mencapai indeks penyakit 17,79%. Apabila dilihat perkembangan penyakitnya mulai dari hari ke-15, terlihat bahwa perkembangan penyakit layu pada cabai yang paling lambat adalah cabai yang diperlakukan dengan isolat Pf B kemudian diikuti Pf 160 dan Pf 122.

Pada penelitian ini serangan terjadi pada waktu tanaman rata-rata berumur 15 hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Davies dan Whitebread (1989), mengatakan bahwa perkembangan penyakit sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Selain hal itu, keberadaan sklerotium didalam tanah berpengaruh terhadap perkembangan penyakit. Sklerotium didalam tanah yang dibenamkan dalam tanah mempunyai tingkat perkecambahan yang lebih rendah dibandingkan dengan sklerotium yang berada di permukaan tanah. Makin banyak perakaran suatu tanaman, makin banyak bakteri tersebut mengkoloni dan makin lama masa inkubasinya. Hal ini nampak bahwa bahwa perlakuan Pf 36 lebih rendah indeks penyakitnya dibandingkan perlakuan Pseudomonad fluoresen lainnya yang sama dengan perendaman akar tanaman cabai selama 30 menit.

Indeks penyakit layu Fusarium sp pada tanaman cabai dipengaruhi oleh perlakuan dengan menggunakan bakteri agensia hayati Pseudomonad fluoresen. Pada umumnya perendaman akar tanaman cabai dengan Pseudomonad fluoresen mampu menekan perkembangan serangan penyakit layu Fusarium sp, karena pada

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

30

penelitian ini terlihat adanya perkembangan penyakit pada tanaman yang diperlakukan dengan Pseudomonad fluoresen lebih lambat dibandingkan dengan kontrol mulai awal pengamatan sampai dengan pengamatan terakhir. Pada umumnya pemberian bakteri Pseudomonad fluoresen 36 mampu menurunkan gejala layu jika dibandingkan dengan perendaman dengan Pseudomonad ffluoresen lainnya. Bahkan pada perendaman akar tanaman cabai ke dalam larutan Pf 36 menunjukkan penekanan perkembangan penyakit layu yang paling rendah pada pengamatan terakhir.

Gambar 10. Grafik rata-rata indeks penyakit dari setiap perlakuan yang dicoba. Pada gambar 10 diatas menunjukkan rata-rata indeks penyakit pada tanaman cabai dengan tujuh macam perlakuan selama kurun waktu 35 hari. Grafik rata-rata indeks penyakit tersebut menunjukkan bahwa pada hari ke-5 rata-rata indeks penyakit tertinggi adalah perlakuan kontrol dengan nilai 4, pemberian isolat Pf 142 mencapai rata-rata indeks penyakit 2, dan pemberian isolat Pf 81, Pf 122, Pf 36, Pf 160 dan Pf B belum menampakkan gejala penyakit. Pada hari ke-10

0 5 10 15 20 25 30 0 10 20 30 40 R a t a-R at a S e ran g an f u sa ri u m Hari Pengamat an Pf 36 Pf 81 K Pf 122 Pf 160 Pf 142 Pf B

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

31

pemberian isolat Pf 142 mencapai angka 7, sedangkan kontrol tetap pada angka 4 begitu pula dengan pemberian isolat Pf 81, pemberian Pf 122 mulai menampakkan gejala mencapai angka 2, dan pemberian Pf 36, Pf 160 dan Pf B belum menampakkan gejala. Dari hasil akhir pengamatan rata-rata indeks penyakit pemberian isolat Pf 36 merupakan isolat yang baik untuk menghambat

Fusarium sp pada tanaman cabai, kemudian diikuti oleh isolat Pf 160 dan Pf 122 yang indeks penyakitnya kurang dari 20%.

3. Pengaruh Pseudomonad fluoresen terhadap pertumbuhan tanaman cabai Perlakuan dengan pemberian pseudomonad fluoresen dengan cara perendaman bibit tanaman cabai selama 30 menit, mampu mempengaruhi tinggi tanaman, hal ini dapat dilihat pada pengamatan terakhir (Gambar 10). Pertumbuhan tanaman khususnya pada tinggi tanaman, pada tanaman yang diperlakukan dengan agensia hayati Pseudomonad fluoresen dapat terlihat perbedaan tinggi tanaman. Pada kontrol tanaman terlihat lebih pendek dan daunnya menguning, hal ini berarti lebih baik dibandingkan kontrol, bakteri Pseudomonad fluoresen mempunyai kemampuan untuk berkembang di daerah perakaran yang kemungkinan dapat mendukung pertumbuhan tanaman.

Mekanisme ini dikelompokkan menjadi dua yaitu secara langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung rizobakteri terkait dengan produksi metabolit seperti antibiotik dan siderofor, yang dapat berfungsi menurunkan pertumbuhan fitopatogen. Secara langsung PGPR mampu memproduksi zat pengatur tumbuh dan meningkatkan pengambilan nutrisi oleh tumbuhan (Kloepper, 1993).

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

32

Gambar 11. Perbedaan tanaman yang pertumbuhannya terhambat menjadi pendek

Apabila dilihat dari pengamatan tinggi tanaman, perlakuan dengan Pseudomonad fluoresen yang paling memacu pertumbuhan tanaman adalah perlakuan denga Pf 36 kemudian diikuti Pf 142, Pf B dan Pf 122. Pada kontrol di akhir pengamatan tinggi tanaman hanya mencapai 46,03cm, sedangkan pada perlakuan dengan Pf 142 tinggi tanaman mencapai 58,11cm (Tabel 2).

Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman pengamatan pada hari ke-35

Per lakuan Data Notasi

K 46,03 a Pf 81 49,81 ab Pf 122 55,34 b Pf 36 56,61 b Pf B 57,36 b Pf 160 57,89 b Pf 142 58,11 b BNT 5% 4,39

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

33

Pada hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tinggi tanaman tampak berbeda nyata pada masing-masing perlakuan. Pada perlakuan Pf 142 menunjukan pertumbuhan tanaman yang paling tinggi dibandingkan kontrol dan perlakuan Pf lainnya. Pada perlakuan kontrol berbeda nyata dengan Pf 81, dan juga berbeda nyata dengan Pf 122, Pf 36, Pf B, Pf 160 dan Pf 142. Hal tersebut terjadi karena pemberian bakteri Pseudomonad fluoresen 142 mampu menekan perkembangan patogen sehingga tanaman dapat tumbuh dan berkembang tanpa adanya serangan dari patogen dan mampu meningkatkan pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan penelitian Maqqon et al. (2006), Santoso et al. (2007) dan Hastopo et al.(2008), bahwa penerapan antagonis Pseudomonad fluoresen mampu menurunkan tingkat populasi patogen tanaman didalam tanah dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Selain itu adanya peningkatan tinggi tanaman bakteri agensia hayati Pseudomonad mampu menghasilkan senyawa hormon, hal tersebut sesuai dengan pendapat Heller (1988), bahwa Pseudomonad fluoresen mampu merangsang pertumbuhan sistem akar dan menghambat jamur dan bakteri yang merugikan.

Gambar 12. Diagram rata-rata tinggi tanaman cabai pada hari ke-35 0 10 20 30 40 50 60 70 k pf 36 pf 81 pf 142 pf B pf 160 pf 122

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

34

Keadaan tersebut menunjukkan adanya kemampuan Pseudomonad fluoresen sebagai bakteri pendukung pertumbuhan. Hal ini menurut Scippers (1988), bahwa Pseudomonad fluoresen juga dapat meningkatkan hasil panen dan perpanjangan akar pada tanaman tomat. Selanjutnya, Davies and Whitebread (1989) dan Kloepper (1993) melaporkan bahwa Pseudomonad fluoresen dapat merangsang pertumbuhan di sekitar Rhizosfer dan rhizoplan.

Data analisa ragam menunjukan bahwa pengaruh Pseudomonad fuoresen terhadap tinggi tanaman berbeda nyata. Hal ini bahwa dengan adanya Pseudomonad fluoresen itu dapat memacu pertumbuhan, karena tanpa perlakuan Pseudomonad fluoresen tanaman jauh lebih pendek / rendah. Adapun antar perlakuan dengan pemberian Pseudomonad fluoresen ternyata tidak ada beda nyata. Hal itu mungkin kemampuan bakteri Pseudomonad fluoresen baik Pf 142, Pf 122, Pf 81, Pf 36, Pf 160 dan Pf B sama. Seosanto (2008) mengatakan bahwa bakteri Pseudomonad fluoresen dapat meberikan pengaruh menguntungkan terhadap perkembangan tanaman, dan Azizah (2009) membuktikan bahwa antagonis Pseudomnad fluoresen memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman, yaitu menyebabkan adanya pertambahan tinggi tanaman.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

35

V. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa bakteri antagonis Pseudomonad fluoresen terutama Pf 160 dengan perendaman 30 menit mampu menunda munculnya gejala penyakit layu Fusarium sp dan cenderung menekan perkembangan penyakit layu Fusarium sp. Selain itu pemberian Pseudomonad fluoresen dengan semua isolat mampu mendukung pertumbuhan tanaman dibedakan dengan tanpa pemberian Pseudomonad fluoresen.

B. Sar an

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang agensia hayati Pseudomonad fluoresen dengan waktu aplikasi dan teknik yang tepat serta menjaga faktor lingkungan agar pengaruh Pseudomonad fluoresen dalam menekan perkembangan penyakit layu Fusarium sp pada tanaman cabai lebih optimal lagi.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

36

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2002. Penyakit layu Fusarium. Departemen Pertanian (On-line). http://www.deptan.go.id/ditlinhorti/opt/pisang/ fusarium. htm diakses 18 januari 2012.

,2009.Luas Pertanaman Cabai Merah.

(http:www.deptan.go.id/ditlinhorti/da-its-2009 ). Diakses 2 februari 2012.

, 2010. Pseudomonas fluorescens

http://z47d.wordpress.com/2010/04/18/pseudomonas-fluorescens-p60/. Diakses tanggal 3 februari 2012.

, 2010. Penyakit layu fusarium (penyakit panama) pada tanaman pisang.http://www.gerbangpertanian.com/2010/07/penyakit-layu-fusarium-penyakit-panama.html. Diakses 20 januari 2012.

, 2011. Layu Fusarium Pada Tanaman Pisang (Fusarium oxysporum). http://makasri2011.blogspot.com/2011/12/layu-fusarium-pada-tanaman-pisang.html. (diakses tanggal 14 Februari 2012).

Agrios G.N., 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Azizah N. 2009. Pengimbasan Ketahanan Bibit Pisang Raja terhadap Penyakit Layu Fusarium dengan Ekstrak Antagonis. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Baker dan Cook, 1974. Biological Control of Plant Pathogens, dalam USU digital library, hal. 23-38.

Cook & Baker, 1991. The Nature and Practice Of Biological Control Of Plant Pathogen. APS Press, St. Paul Minnesota, 539 p.

Cahyono, 2001. Teknik budidaya dan analisis usaha tani cabai rawit. Yogyakarta: Kanisius.

Cristianti, 2004. Prospek Pengendalian Penyakit Layu Fusarium Pisang dengan menggunakan Agens Antagonis Pseudomonad Fluerescen dan Fusarium Nonpatogenik, Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Djafruddin. 2004. Dasar – Dasar Pengendalian Penyakit Tanaman. Edisi ke-1. Cetakan ke-2. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

37

Estiati, A. 1993. Pengendali Genetik Sifat Ketahanan Phaseolus vulgaris L. Terhadap Penyakit Busuk Batang Fusarium. Tesis. Institut Pertanian Bogor. pp 49.

Goto, M. 1992. Fundamentals of Bacterial Plant Pathology. Academic Press, Sidney. Hal. 56-58, 282-285.

Glick BR, Karaturovıc DM, and P. C. Newell. 1995. A novel procedure for rapid isolation of plant growth promoting pseudomonads. Can J Microbiol. 41:533–536

Haryono, S. 2007. Penyakit – Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Edisi ke-2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hidayat, R. 2002. Uji PseudomonasFluorescens P60 sebagai Agensia Pengendali Hayati Penyakit Busuk Batang Pada Tanaman kacang Tanah. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 63 Hal. Husen E. 2003. Screening of soil bacteria for palnt growth promoting activities in

vitro. Short communication. Indonesian J Agric Sci 4: 27-31.

Innes, C.M.J. and E.J. Allan. 2001. Induction, growth and antibiotic production of

Streptomyces viridifaciens L-form bacteria. Journal of Applied Microbiology. Department of Agriculture and Forestry, University of Aberdeen, UK, 901:301-308.

Kloepper JW, Leong J, Tentre M & Schrot MN. 1980. Enhanced Plant Growth by Siderophores produced by Plant Growth-Promoting Rhizobakteria. Nature

286: 885-886.

.1993. Plant growth-promoting rhizobacteria as biocontrol agens. Di dalam: F.B. Meeting, Jr. (ed.) Soil Microbial Ecology. Application in Agricultural and Environmental Management. Marcel Dekker Inc., New

York.

Kusumadewi AAI. 1999. Telaah Konstribusi Kombinasi Bakteri Akar Permacu Pertumbuhan Tanaman (Pseudomonas putida) dan Nitrogen terhadap Neraca Nitrogen Tanah serta Adaptibilitas Sorgum pada Inceptisol Sumatra Selatan. Tesis Pasca Sarjana. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Kardinan. 2002. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Jakarta: Penebar

Swadaya.

LaMondia, J. A. and T. M. Rathier. 1995. The Influence Of Plant Nutrition On Fusarium Wilt Of Broadleaf Tobbaco. Tob. Sci. 39:111 - 116.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

38

Maqqon M, Kustantinah & Soesanto L. 2006. Penekanan Hayati Penyakit layu Fusarium pada Tanaman Cabai merah, Agrosains 8 (1) :50 – 56.

Nawangsih, A. A dan Imdad, P. 1994. Cabai Hot Beauty. Penebar Swadaya. Jakarta.

Prajnanta, F. 2007. Agribisnis Cabai Hibrida. Jakarta. Penebar Swadaya.

Pracaya. 2007. Hama dan Penyakit Tanaman. Edisi Revisi. Jakarta: Penebar Swadaya

Rao, 1994. Biological Control of Damping off Diseases with Seed Treatments. p. 145-155.

Scipper, B. 1988. Biological control of pathogen laboratory rhizobacteria. Phytopathological Laboratory Phi. Trans. R. Soc. Lond. B318:283-293. Sastrahidayat, I.R. 1990. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Usaha Nasional, Surabaya.

366 hal.

Semangun, H. 1993. Konsep dan azas dasar pengelolaan penyakit tumbuhan terpadu. Makalah Simposium Pendidikan Fitopatologi dan Pengendalian Hayati. Kongres Nasional XII dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Yogyakarta: 6 - 9 September 1993. , H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada

Unversity Press, Yogyakarta. 754 hal.

Sitepu, D. 1993. Konsep pengendalian hayati. Makalah Simposium Pendidikan Fitopatologi dan Pengendalian Hayati. Kongres Nasional XII dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Yogyakarta: 6 9 September 1993.

Suparyono, 1995. Upaya Pengendalian Penyakit Tanaman Tembakau. Ekspose Hasil Penelitian PTPN X.

Stefania, K. 1998. Identifikasi Bakteri Rizosper Kelompok Fluorescens dan Uji Efektifitasnya Dalam Menekan Penyakit Layu Fusarium (Fusrium oxyxporum) Pada Tanaman Kapas. Skripsi Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin,Makassar. Hal. 35-37.

Santoso SE, Sosanto L & Haryanto TAD. 2007. Penekanan Hayati penyakit moler pada bawang merah dengan Trichoderma harzianum, Trichoderma koningii, dan Pseudomonas fulorescens P60. J. hama Penyakit Tanaman Tropika 7(1) : 53-61.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

39

Sayuti A. 2006. Geografi budaya dalam wilayah pembangunan daerah Sumatera Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Sarsito, dkk. 2008. Patogen Serangga dan Agens Antagonis Pada Tanaman Padi, Ekplorasi, Identifikasi dan Pembiakan Massal, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta. Soesanto L. 2008. Pengantar Pengendalian hayati Penyakit Tanaman. PT Raja

Grafindo Persada. Jakarta.

Tjahjadi, N. 1991. Bertanam Cabai. Kanisius. Yogyakarta.

Tilak KVBR, Ranganyaki N, Pal KK, De R, Saxena AK. 2005. Diversity of plant growth and soil health supporting bacteria. Curr Sci 89:136-150.

Upadhyay, R.S. & B. Rai. 1987. Studies on antagonism between Fusarium udum Aspiras, R.B. p. 89-92.

Widodo. 1993. Penggunaan Pseudomonas spp. Kelompok fluorescens untuk pengendalian penyakit akar gada (Plasmodiophora brassicae Wor) pada caisin (Brassica campestris L) var Chinensis (Rupr) Olson (Tesis).Program Pascasarjana. IPB.

Widodo. 2006. Peran Mikroba Bermanfaat dalam Pengelolaan Terpadu Hama dan Penyakit Tanaman. Makalah disampaikan pada Apresiasi

Penanggulangan OPT Tanaman Sayuran, Nganjuk, 3 – 6 Oktober 2006. Wuryandari, Y., A. Purnawati, T. Arwiyanto, B. Hadisutrisno, 2005. Perlakuan

Benih Tomat Secara Biologi dengan Pseudomonad fluoresen untuk Pengendalian Penyakit Layu Bakteri, Laporan Hibah Pekerti

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

Dokumen terkait