• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

5.2 Pembahasan

Urutan kandungan karotenoid Chlorella sp. dari yang tertinggi adalah perlakuan C disusul kemudian perlakuan B, lalu perlakuan D sampai yang terendah yaitu perlakuan A. Urutan rata-rata kepadatan populasi Chlorella sp. dari yang tertinggi yaitu perlakuan C disusul kemudian perlakuan B, D sampai yang terendah yaitu perlakuan A. Ini menunjukan ada hubungan yang relevan antara kandungan karotenoid dengan kepadatan populasi Chlorella sp. Hubungan ini dipertegas dari analisis korelasi linier antara kandungan karotenoid dengan kepadatan populasi, yang menyatakan terdapat hubungan diantara keduanya (R2=0,8327).

Hasil analysis of variance (ANOVA) terhadap kandungan karotenoid menunjukkan bahwa setiap perlakuan intensitas cahaya memberikan pengaruh

yang berbeda nyata terhadap kandungan karotenoid Chlorella sp. (p<0,05). Ini berarti intensitas cahaya berpengaruh terhadap kandungan karotenoid Chlorella sp. Semakin tinggi intensitas cahaya maka kandungan karotenoid yang dihasilkan akan semakin tinggi. Hal ini karena pada kondisi intensitas cahaya tinggi, enzim bekerja secara optimal untuk menghasilkan karotenoid. Karotenogenesis ini disintesis oleh kombinasi β-carotene hydroxylase gene (CrtR-b) dan β-karoten ketolase (CtrW, BKT). Intensitas cahaya mampu meningkatkan level mRNA carotenoid hydroxylase (CH) dan phytoene synthase (PSY) (Steinbrenner and Linden, 2001). Dengan meningkatnya level mRNA carotenoid hydroxylase (CH) dan phytoene synthase (PSY) maka phytoene yang merupakan penyusun karoten juga meningkat. Meningkatnya phytoene dapat mempengaruhi meningkatnya karotenoid yang disintesis. Simkin et al. (2003) dalam Kurniawan (2010) menyatakan bahwa biosintesis karotenoid dipengaruhi oleh adanya gen psy-1 kemudian gen psy-1 yang akan menyandi enzim phytoen synthase. Adanya enzim tersebut akan mengawali biosintesis karotenoid. Johnson and An (1991) dan Albrecht and Sandman (1994) dalam Kurniawan (2010) mengemukakan bahwa cahaya merupakan salah satu faktor penting dalam biosintesis karotenoid. Menurut Bramley (2002) dalam Kurniawan (2010) peran cahaya tersebut adalah untuk meningkatkan aktivitas enzim yang berperan dalam biosintesis karotenoid.

Cahaya dapat menyebakan naiknya produk fotosintesis (Peel and Wveatherly, 1962 dalam Servaites and Geiger, 1974). Cahaya dapat menyebakan meningkatkan ATP yang dihasilkan pada fotosintesis (Plaut and Reinhold, 1969

dalam Servaites and Geiger, 1974). Naiknya ATP akan memicuh semakin cepatnya laju metabolisme dan akan mempengaruhi metabolisme karotenoid dalam sel alga. Peri et al. (2009) menyatakan bahwa intensitas cahaya memiliki hubungan positif terhadap kecepatan fotosintetik bersih dan konduksii stomata. Kecepatan fotosintetik menurun dengan menurunya intensitas cahaya begitu sebaliknya.

Terlihat dari data kandungan karotenoid bahwa semakin tinggi intensitas cahaya semakin tinggi pula kandungan karotenoid yang didapatkan kecuali pada perlakuan D. Jika dibandingkan antara perlakuan A (500 lux) dengan perlakuan D (11.700 lux) terlihat bahwa kandungan karotenoid perlakuan A lebih rendah dari pada perlakuan D meskipun tidak berbeda nyata.

Hubungan suhu dan karotenoid menyebabkan perlakuan D lebih rendah dibanding perlakuan C. Muhtadi (1992) dalam Satriyanto dkk. (2012) mengatakan bahwa terdapat pengaruh suhu terhadap oksidasi karotenoid. Dijelaskan bahwa karotenoid belum mengalami kerusakan pada pemanasan 60 oC tetapi reaksi oksidasi karotenoid dapat berjalan lebih cepat pada suhu yang relatif tinggi. Erawati (2006) dalam Satriyanto dkk. (2012) menyatakan semakin tinggi temperatur maka akan terjadi peningkatan laju reaksi menyebabkan total karoten yang dihasilkan juga semakin besar. Setelah mencapai titik tertentu peningkatan temperatur justru akan merusak pigmen itu sendiri dan akan menurunkan total karoten.

Kandungan karotenoid pada perlakuan D lebih rendah dari perlakuan C juga dikarenakan kepadatan populasi Chlorella sp. perlakuan D lebih rendah dibanding perlakuan C. Akumulasi sel Chlorella sp. akan mempengaruhi akumulasi akhir karotenoid yang dihasilkan. Dengan begitu perlakuan C yang jumlah selnya lebih banyak mampu mengoptimalkan penyerapan cahaya dibandingkan dengan perlakuan yang lain sehingga Chlorella sp. pada perlakuan C bisa mengakumulasi karotenoid lebih banyak.

Hasil analysis of variance (ANOVA) terhadap kepadatan populasi Chlorella sp. menunjukkan bahwa setiap perlakuan intensitas cahaya memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kepadatan populasi Chlorella sp. (p<0,05). Ini berarti intensitas cahaya berpengaruh terhadap kepadatan populasi Chlorella sp.

Hal ini karena intensitas cahaya merupakan faktor yang sangat penting untuk memaksimalkan konversi dari energi cahaya menjadi biomasa alga (Edwards et al.,2006 dalam Choochote et al., 2012). Dalam penelitiannya (Choochote et al., 2012), terlihat bahwa intensitas cahaya 5000 lux menghasilkan kepadatan tertinggi (3,88x 108 sel/ml) dibandingkan perlakuan 4000 lux dan 3000 lux. Sel yang tumbuh di bawah kondisi intensitas cahaya tinggi mampu menghasilkan kepadatan yang tinggi (Choochote et al., 2012). Seperti halnya menurut Hu et al. (1998) dalam Choochote et al. (2012) yang menyatakan bahwa terdapat peningkatan kepadatan sel Chlorococccum littorale dengan meningkatnya intensitas cahaya menggunakan sebuah fotobiorekator pipih.

Untuk perlakuan D (11.700 lux) dimana memiliki intensitas yang tinggi namun memiliki kepadatan yang lebih rendah dari perlakuan C dan B. Hal ini karena intensitas cahaya berpengaruh pada suhu dan salinitas sehingga perlakuan D (11.700 lux) memiliki kendala dalam pertumbuhan yang berakibat pada rendahnya kepadatan populasi akhirnya. Menurut Alim dan Kurniastuty (1995) dalam Merizawati (2008), Chlorella sp. adalah organisme kosmopolit yang mampu tumbuh pada salinitas nol sampai dengan 35 ppt. Chlorella sp. masih dapat bertahan hidup pada suhu 40oC. Pengaruh intensitas cahaya seperti yang disebutkan oleh Choochote et al. (2012) bahwa intensitas cahaya mampu menghasilkan kepadatan yang tinggi, terbukti dalam penelitian ini. Terlihat bahwa perlakuan A dan D yang sama-sama dalam kondisi ekstrem (keduannya tidak berbeda nyata dalam pertumbuhan) namun perlakuan D menunjukan hasil mampu mencapai kepadatan populasi yang lebih tinggi dibanding perlakuan A.

Semakin tinggi intensitas, maka semakin tinggi suhu karena cahaya sebagai gelombang elektromagnetik memiliki energi yang dilepaskan yang menimbulkan panas. Intesitas cahaya merupakan jumlah flux per unit area. Menurut Ryer (1998), flux adalah ukuran rata-rata aliran energi (energi photon). Energi photon dipengaruhi oleh panjang gelombang. Dalam penelitian ini, panjang gelombang dianggap sama, namun karena intensitasnya berbeda menyebakan besarnya flux per unit area juga berbeda. Hal ini yang mengakibatkan adanya perbedaan suhu. Eppley and Sloan (1966) dalam Goldman and Carpenter (1974) menyatakan bahwa efek cahaya dan suhu pada

rata-rata pertumbuhan alga adalah saling berhubungan. Eppley and Stricland (1968) and Middlebooks and Porcella (1971) dalam Goldman and Carpenter (1974) telah mendiskusikan pentingnya interaksi antara intensitas cahaya, suhu dan konsentrasi nutrisi pada rata-rata pertumbuhan alga.

Suhu yang tinggi dapat mempengaruhi metabolisme sel. Ini berefek pada pertumbuhan, seperti pendapat Reynolds (1988), bahwa rata-rata pertumbuhan tergantung pada temperatur. Dalam metabolisme, enzim berfungsi sebagai biokatalisator dan sangat dibutuhkan keberadaannya. Enzim merupakan biokatalisator yang mampu mempercepat jalannya reaksi tanpa ikut bereaksi. Salah satu sifat enzim yaitu sangat peka terhadap faktor-faktor yang menyebabkan denaturasi protein misalnya suhu. Enzim bekerja maksimum pada suhu 40oC (Worthington Biochemical Corporation, 1972). Pengaruh suhu terhadap reaksi enzim terlihat pada Gambar 5.4.

Gambar 5.4. tersebut memperlihatkan bahwa reaksi enzim terus meningkat sejalan dengan peningkatan suhu hingga pada titik tertentu, setelah melalui batas toleransi, suhu yang terus naik akan menyebabkan reaksi enzim menurun dan bahkan mampu merusak enzim. Jika enzim rusak maka metabolisme terganggu, hal ini berpengaruh pada pertumbuhan dan juga menghambat pembentukan karotenoid seperti halnya pada perlakuan D (11700 lux).

Gambar 5.4. Pengaruh suhu terhadap reaksi enzim (Worthington Biochemical Corporation, 1972)

Kisaran kualitas air terutama suhu dan salinitas berada dalam kondisi fluktuatif bahkan ada yang memperlihatkan kondisi ekstrem. Percobaan pada laboratorium oleh Lund (1949) dalam Reynolds (1988) menunjukkan bahwa beberapa spesies menunjukkan respon yang berbeda terhadap suhu. Foy et al. (1976) dalam Reynolds (1988) menambahkan bahwa beberapa spesies memliki sensitivitas yang berbeda terhadap intensitas cahaya dan fotoperiode. Menurut Reynolds (1988), kajian ini untuk menekankan bahwa hasil rata-rata pertumbuhan tergantung pada beberapa proses pokok, yang mana masing-masing respon fluktuatif pada temperatur (suhu) luar. Transpor intraseluler, asimilasi fotosintesis dan nutrisi lain serta penyusunan material sel baru, tergantung pada temperatur, khususnya ketika proses perakitan organel. Pada proses ini fotosintesis sangat tergantung pada cahaya.

Faktor lingkungan yang mendukungan pertumbuhan Chlorella sp. adalah suhu air, suhu ruangan, salinitas dan pH (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Hasil

pengukuran suhu air selama penelitian berkisar antara 29-40oC. Tingginya suhu disebabkan oleh intensitas cahaya yang tinggi pada perlakuan C (7.400 lux) dan D (11.700 lux). Salinitas pada media pemeliharaan Chlorella sp. berkisar antara 22-60 ppt. Fast (1983) dalam Satyantini (2006) mengklasifikasikan air berdasarkan salinitasnya, yang mana salah satunya yaitu kelompok hypersaline. Hypersaline adalah air yang memiliki salinitas diatas 40 ppt.

Air payau mempunyai salinitas kurang dari 25 ppt sementara air hipersalinitas memiliki salinitas lebih dari 40 ppt. Salinitas bervariasi tergantung antara penguapan dan presipitasi, serta besarnya pencampuran antara air permukaan dan air kedalaman. Salinitas air dapat mencapai maksimum jika penguapan melampaui presipitasi. Salinitas cenderung tinggi apabila penguapan sangat tinggi sedangkan aliran air terbatas (Universitas Diponegoro, 2007). Oxtoby et al. (2001) menyatakan bahwa setiap larutan memiliki titik jenuh, begitu pula kadar garam. Titik tercapainya keadaan jenuh larutan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, seperti suhu, tekanan dan kontaminasi. Secara umum kelarutan suatu zat sebanding terhadap suhu.

Salinitas media pemeliharaan mengalami peningkatan disebabkan karena suhu semakin naik sebagai akibat dari intensitas cahaya yang tinggi. Secara sederhana ada dua hal penting yang berpengaruh terhadap salinitas yaitu evaporasi dan presipitasi (Pinnet, 1992 dalam Huboyo dan Zaman, 2007). Evaporasi akan meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur (Huboyo dan Zaman, 2007). Nilai pH pada media pemeliharaan Chlorella sp. selama penelitian adalah 7-9.

Menurut Nielsen (1955) dalam Prihantini et al. (2005) menyatakan bahwa pH yang sesuai dengan pertubuhan Chlorella sp. berkisar antara 4,5-9,3.

VI KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan

Kesimpulan penelitian ini adalah :

1. Intensitas cahaya memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kandungan karotenoid Chlorella sp.

2. Cahaya dengan intensitas 7.400 lux dapat menghasilkan karotenoid yang tertinggi sebesar 0,298080 µg/ml.

Dokumen terkait