• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Tangerang berada pada koordinat 106o20’-106o43’ Bujur Timur dan 6o00’- 6o20’ Lintang Selatan. Batas wilayah administrasi Kabupaten Tangerang sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Serang dan Lebak. Wilayah bagian utara merupakan wilayah pesisir sepanjang ± 51 km2 yang meliputi delapan kecamatan (Tabel 4).

Tabel 4 Lokasi-lokasi wilayah pesisir di Kabupaten Tangerang No. Kecamatan Desa/ Keluraha Pesisir

1 Kosambi Kosambi Barat Kosambi Timur Salembaran Jaya Salembaran Jati Dadap

2 Teluk Naga Tanjung Burung Tanjung Pasir Muara Lemo 3 Pakuhaji Surya Bahari

Kohod Sukawali Kramat 4 Sukadiri Karang Serang

5 Mauk Mauk Barat

Ketapang Tanjung Anom Marga Mulya 6 Kemiri Patra Manggala

Lontar Karanganyar 7 Kronjo Kronjo

Pagedangan Ilir Muncung 8 Mekar Baru Jenggot

Secara topografi, Kabupaten Tangerang terdiri dari dataran rendah dan dataran tinggi. Dataran rendah (0-25 m diatas permukaan laut) meliputi Kecamatan Teluk Naga, Mauk, Kemiri, Sukadiri, Kresek, Kronjo, Pakuhaji dan Sepatan. Dataran tinggi (> 25 m diatas permukaan laut) dari bagian tengah kearah selatan. Suhu rata-rata di Kabupaten Tangerang mencapai 27.8 oC, sedangkan curah hujan bulanan selama tahun 2013 bervariasi antara 35.5 – 682.4 mm (BPS Kabupaten Tangerang 2015). Curah hujan yang tinggi dengan frekuensi

yang tinggi akan memberikan limpahan air tawar yang lebih banyak kedalam badan sungai dan selanjutnya menuju muara.

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Wilayah Kabupaten Tangerang memiliki luas 959.60 km2 yang terbagi dalam 29 kecamatan, 246 desa dan 28 kelurahan. Jumlah penduduk Kabupaten Tangerang tahun 2014 mencapai 3 264 776 jiwa, terdiri dari 1 671 390 laki-laki dan 1 593 386 perempuan, sedangkan penduduk yang berada di wilayah pesisir berjumlah 691 709 jiwa. Wilayah pesisir yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Kosambi yaitu sebesar 5 107 jiwa/km2 (Tabel 5).

Tabel 5 Jumlah penduduk di pesisir Kabupaten Tangerang

No Kecamatan Luas Wilayah Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk (km2) (Jiwa) (Jiwa/km2) 1 Kosambi 29.76 151 972 5 107 2 Teluk Naga 40.58 155 317 3 827 3 Pakuhaji 51.87 110 928 2 139 4 Sukadiri 24.14 55 543 2 301 5 Mauk 51.42 81 517 1 585 6 Kemiri 32.70 42 294 1 293 7 Kronjo 44.23 57 350 1 297 8 Mekar Baru 23.82 36 788 1 544 Total 298.52 691 709 19 093 Sumber: BPS Kabupaten Tangerang (2015)

Tahun 2014, jumlah penduduk usia kerja di Kabupaten Tangerang sebanyak

2 340 273 jiwa, dimana 1 467 353 jiwa merupakan angkatan kerja dan 872 920 jiwa bukan angkatan kerja. Dari angkatan kerja yang ada, sebanyak 1 343 329 jiwa bekerja dan 124 024 jiwa merupakan pengangguran. Sebagian besar penduduk yang berusia 15 tahun keatas bekerja dibidang industri (46.92%); pertanian, perkebunan, perburuan dan perikanan (6.21%) serta dibidang jasa kemasyarakatan, sosial dan perjiwaan (14.03%) (BPS Kabupaten Tangerang 2015).

Sumberdaya Perikanan di Pesisir Kabupaten Tangerang

Perikanan adalah salah satu sektor yang dapat diandalkan untuk masa kini maupun masa mendatang. Sektor perikanan dan kelautan di Kabupaten Tangerang memiliki potensi yang cukup besar. Potensi perikanan dan kelautan yang ada di Kabupaten Tangerang terdiri dari perairan laut, perairan payau dan perairan tawar. Penangkapan ikan di laut menghasilkan produksi terbesar dalam sektor perikanan mencapai 20 070.26 ton dan produksi kedua terbesar dihasilkan dari budidaya tambak sebesar 11 024.60 ton, sedangkan produksi terendah dihasilkan dari penangkapan ikan di perairan umum sebesar 116.52 ton. Produksi perikanan tangkap di laut dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.

14

Gambar 4 Produksi penangkapan ikan di laut Sumber: DKP Kabupaten Tangerang (2015)

Tambak

Tambak merupakan salah satu kegiatan usaha budidaya perikanan yang banyak dilakukan di daerah-daerah pesisir dan lahan basah. Pemanfaatan lahan potensi perikanan budidaya di Kabupaten Tangerang disajikan pada Gambar 5. Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa pemanfaatan lahan sebagai tambak bandeng memiliki persentase tertinggi yaitu 78% sedangkan pemanfaatan terendah adalah rawa yang hanya sebesar 1%.

Gambar 5 Pemanfaatan lahan potensi perikanan Sumber: DKP Kabupaten Tangerang (2013)

Area pertambakan di Kabupaten Tangerang tersebar di beberapa kecamatan seperti yang tersaji pada Tabel 6. Berdasarkan data yang ada, luas tambak pada tahun 2013 meningkat menjadi 4 115.93 ha. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penambahan luas sebesar 1 581.93 ha dibandingkan tahun sebelumnya. Penambahan yang sangat signifikan terjadi di Kecamatan Teluk Naga sebesar 851.2 ha. Masyarakat Kampung Garapan yang terletak di Desa Tanjung Pasir,

0,00 5000,00 10000,00 15000,00 20000,00 25000,00 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Produksi (T on) Tahun 78% 8% 1% 2% 3% 8% Tambak bandeng Tambak udang Rawa Situ Kolam

Kecamatan Teluk Naga telah merasakan dampak akibat konversi lahan yang terjadi yaitu, abrasi pantai sepanjang satu kilometer dan ombak besar yang menelan 20 – 100 meter pantai sehingga banyak rumah penduduk yang harus dipindahkan.

Tabel 6 Persebaran luas area pertambakan di Pesisir Kabupaten Tangerang

No. Kecamatan 2012 Luas Tambak (ha) 2013 - 2015

1 Kosambi 427 450.89 2 Teluk Naga 24 875.20 3 Pakuhaji 496 504.40 4 Sukadiri - - 5 Mauk 507 596.00 6 Kemiri 143 426.84 7 Kronjo 867 1 071.60 8 Mekar Baru 70 191.00 Total 2 534 4 115.93

Sumber: BPS Kabupaten Tangerang (2015)

Budidaya tambak yang ada di sekitar kawasan mangrove umumnya adalah tambak ikan bandeng dan udang. Produksi tambak ikan bandeng dan udang di Kabupaten Tangerang selama 5 tahun terakhir mengalami fluktuasi (Gambar 6). Hasil produksi tambak ikan bandeng lebih tinggi dibandingkan tambak udang.

Ikan bandeng merupakan komoditas dengan hasil produksi tertinggi mencapai 6 402.90 ton pada tahun 2014. Produksi tambak ikan bandeng cenderung

mengalami peningkatan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan produksi udang yang juga mengalami peningkatan selama 2 tahun terakhir.

Gambar 6 Produksi tambak ikan bandeng dan udang di Kabupaten Tangerang 2010-2014 Sumber : BPS Kabupaten Tangerang (2015)

5230,10 5927,50 5659,00 6234,90 6402,90 981,7 983,98 751,6 893,9 990,7 0,00 1000,00 2000,00 3000,00 4000,00 5000,00 6000,00 7000,00 2010 2011 2012 2013 2014 Pr od uks i (T on) Tahun bandeng udang

16

Kondisi Mangrove di Pesisir Kabupaten Tangerang

Mangrove yang ada di pesisir Kabupaten Tangerang terdiri dari Avicennia marina, Avicennia alba, Rhizophora mucronata, Sonneratia caseolaris (Aida et al. 2014); Avicennia dan Rhizophora (Muzani 2014). Faktor lingkungan

dapat mempengaruhi dan menunjang ekosistem mangrove baik secara langsung maupun tidak langsung (Lewis 2005). Kualitas lingkungan perairan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Tangerang secara umum masih berada pada batas

normal. Kondisi perairan di daerah Tanjung Pasir memiliki kisaran suhu 24.7 oC – 32.7 oC dengan pH 6.2 – 7.5 (Muzani 2014) dan kondisi perairan di

daerah pesisir Kronjo berkisar antara 29 oC – 37 oC dengan pH 6.0 – 8.0 (Aida et al. 2014).

Gambar 7 Penyusutan luas mangrove di pesisir Kabupaten Tangerang Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten; Dinas Lingkungan

Hidup Kabupaten Tangerang (2012) in Muzani (2014)

Ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Tangerang telah banyak mengalami kerusakan yang mengakibatkan penurunan luasan mangrove. Luas ekosistem mangrove pada tahun 1996 adalah 487.5 ha sedangkan pada tahun 2012 luasnya hanya sekitar 222.9 ha. Pengurangan luas ekosistem mangrove mencapai 264.6 ha selama 16 tahun. Penurunan tertinggi terjadi pada tahun 2003 sebesar 133.62 ha.

Menurut Suwargana (2010) in Muzani (2014), berdasarkan hasil tumpang tindih tahun 2007 ke tahun 1990 diketahui bahwa perubahan luas ekosistem mangrove disebabkan adanya konversi mangrove menjadi tambak, lahan kering, lahan terbuka, permukiman, sawah dan laut. Meningkatnya kegiatan budidaya tambak akan membutuhkan banyak lahan untuk dikonversi menjadi areal pertambakan. Besarnya eksploitasi dan pemanfaatan mangrove yang tidak diimbangi dengan kegiatan rehabilitasi mengakibatkan luas mangrove semakin berkurang.

Status Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Penentuan status keberlanjutan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Tangerang dilakukan menggunakan metode RAPFISH. Analisis dilakukan dengan memberikan penilaian (skor) terhadap setiap atribut dari masing-masing dimensi yaitu, dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan. Hasil penilaian (skor) dari setiap atribut disajikan pada Lampiran 1. Status keberlanjutan diwakilkan oleh besar kecilnya kisaran nilai yang dihasilkan dalam ordinasi RAPFISH pada setiap dimensi.

Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi

Dimensi ekologi merupakan cerminan dari baik buruknya lingkungan sumberdaya mangrove (Hartono et al. 2005). Berdasarkan hasil analisis RAPFISH terhadap empat atribut dalam dimensi ekologi menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi sebesar 27.59 dan termasuk kategori tidak berkelanjutan (Gambar 8).

Gambar 8 Hasil analisis Rapfish untuk dimensi ekologi pengelolaan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Tangerang

Analisis leverage dilakukan untuk mengetahui atribut yang sensitif mempengaruhi indeks keberlanjutan pada dimensi ekologi. Berdasarkan hasil analisis leverage, diketahui bahwa dari empat atribut pada dimensi ekologi terdapat tiga atribut yang lebih sensitif dibandingkan atribut lainnya, yaitu rehabilitasi mangrove, produksi perikanan tangkap, dan abrasi pantai (Gambar 9). Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya kegiatan pembangunan di wilayah pesisir serta kebutuhan lahan yang semakin meningkat menyebabkan tekanan ekologis terhadap wilayah pesisir. Kabupaten Tangerang akan terus mengalami perkembangan pembangunan dan tekanan terhadap wilayah pesisir

GOOD BAD UP DOWN -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 Posisi Keberlanjutan Titik Referensi Utama TitikReferensi Tambahan 27.59

18

akan terus terjadi (Bappeda Kabupaten Tangerang 2012), salah satunya tekanan terhadap ekosistem mangrove. Pemanfaatan mangrove tidak saja dilakukan dalam bentuk pengambilan hasil hutan, tetapi berkembang ke bentuk pemanfaatan lahan mangrove. Adanya perubahan tata guna lahan mangrove menjadi tambak, pemukiman, pertanian dan industri serta pemanfaatan lain secara berlebihan dapat merusak ekosistem mangrove.

Gambar 9 Hasil analisis leverage untuk dimensi ekologi

Kerusakan ekosistem pesisir selalu diikuti dengan permasalahan-permasalahan lingkungan seperti abrasi, sedimentasi, menurunnya produksi perikanan dan lain sebagainya. Proses abrasi dan sedimentasi pada dasarnya merupakan proses yang terjadi secara alami, namun demikian khusus di kawasan Tanjung Anom dan Tanjung Burung serta Pulau Cangkir, kecepatan dan akibat yang ditimbulkannya juga sangat dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang telah merusak mangrove dan pembangunan di daerah yang secara geologi masih labil (Bappeda Kabupaten Tangerang 2012). Menurut Vatria (2010), pada tahun 2005 sedikitnya telah terjadi 7 kasus abrasi pantai di wilayah Indonesia, salah satunya di Pantura Tangerang. Panjang pantai yang telah terabrasi di pesisir Kabupaten Tangerang sepanjang 48.1 km (Lampiran 2).

Rehabilitasi merupakan kegiatan/upaya, termasuk didalamnya pemulihan dan penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi yang lebih stabil (Rusdianti dan Sunito 2012). Beberapa dinas terkait seperti Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tangerang dan UPT Kementerian Kehutanan (Perhutani) telah melakukan program penanaman mangrove untuk memperbaiki kondisi ekosistem mangrove. Kegiatan penanaman mangrove dilakukan di beberapa Desa seperti Desa Muara, Tanjung Pasir dan Tanjung Burung. Kegiatan penanaman yang dilakukan tidak semuanya berhasil dengan baik, hal ini karena kurangnya perawatan dan adanya gangguan ternak (kambing). Kambing ini biasanya memakan tanaman yang telah berdaun sampai kepangkal daun, akibatnya tanaman tidak dapat menghasilkan daun kembali dan mati. Cara untuk mengatasi gangguan kambing ini dapat dilakukan dengan membuat kesepakatan diantara masyarakat apakah kambing dikandangkan atau menentukan daerah penggembalaan dan kambing harus digembala atau diikat di areal tersebut. Cara lain yang dilakukan yaitu dengan

0 2 4 6 8 10 12 14

Tekanan lahan mangrove Abrasi pantai Rehabilitasi mangrove Kerapatan mangrove Produksi perikanan tangkap

Root Mean Square

Attribu te 8.03 7.45 12.44 7.80 5.67

menanam bibit/ benih di daerah diluar jangkauan kambing, yaitu tempat yang selalu tergenang air atau berlumpur (Khazali 1999).

Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi

Dimensi ekonomi merupakan dimensi yang juga berpengaruh terhadap keberlanjutan ekosistem mangrove. Kehidupan masyarakat pesisir sangat bergantung pada keberadaan ekosistem mangrove. Berdasarkan hasil analisis RAPFISH (Gambar 10), nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar 58.03 dan termasuk kategori cukup berkelanjutan.

Gambar 10 Hasil analisis Rapfish untuk dimensi ekonomi pengelolaan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Tangerang

Pada dimensi ekonomi terdapat tiga atribut yang memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan atribut lainnya, yaitu jumlah penduduk miskin Kabupaten Tangerang, rencana pengelolaan ekosistem mangrove dan rerata penghasilan masyarakat terhadap UMR (Gambar 11).

Gambar 11 Hasil analisis leverage untuk dimensi ekonomi 58.03 GOOD BAD UP DOWN -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 Posisi Keberlanjutan Titik Referensi Utama Titik Referensi Tambahan

5.31 4.13

12.92 6.44

0 2 4 6 8 10 12 14

Rerata penghasilan masyarakat terhadap UMR

Aksesibilitas kawasan mangrove Jumlah penduduk miskin Kab.

Tangerang

Rencana pengelolaan ekosistem mangrove

Root Mean Square

At

tribu

20

Penduduk miskin di Kabupaten Tangerang pada tahun 2013 berjumlah 183 900 jiwa sedangkan jumlah penduduk miskin di Provinsi Banten 677 500 jiwa (BPS Provinsi Banten 2014). Berdasarkan data BPS Provinsi Banten (2014), persentase penduduk miskin di Kabupaten Tangerang sebesar 5.82%. Dari seluruh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Banten, Kota Tangerang Selatan mempunyai persentase penduduk miskin terkecil (1.75%), sedangkan Kabupaten Pandeglang mempunyai persentase penduduk miskin terbesar (10.25%).

Sebagian besar masyarakat di pesisir Kabupaten Tangerang berprofesi sebagai nelayan. Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh data bahwa rata-rata penghasilan responden sebesar Rp 2 108 750/bulan. Hasil ini lebih rendah jika dibandingkan dengan Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Tangerang. Berdasarkan Keputusan Gubernur Banten Nomor 561/Kep.506-Huk/2014 tentang Penetapan Upah Minimum Kabupaten/ Kota di Provinsi Banten Tahun 2015, ditetapkan bahwa UMR Kabupaten Tangerang tahun 2015 sebesar Rp 2 710 000. Keberadaan ekosistem mangrove memberikan banyak manfaat bagi masyarakat sekitarnya, salah satunya dapat menjadi sumber mata pencaharian. Ekosistem mangrove menyediakan daerah asuhan untuk ikan, udang dan kepiting serta

mendukung produksi perikanan di wilayah pesisir (Romadhon 2008; Manson et al. 2005). Kondisi ekosistem mangrove yang baik akan dapat

meningkatkan hasil produksi sehingga pendapatan nelayan dan petambak juga dapat meningkat. Untuk memperbaiki keberlanjutan dimensi ekonomi maka kesejahteraan masyarakat perlu diperhatikan terutama kesejahteraan nelayan.

Pengelolaan ekosistem mangrove bertujuan untuk menciptakan ekosistem yang produktif dan berkelanjutan. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian. Menurut Khomsin (2005), salah satu indikator tercapainya pengembangan program pengelolaan wilayah pesisir di suatu wilayah adalah keberadaan mangrove yang sesuai dengan kaidah fungsinya.

Status Keberlanjutan Dimensi Sosial

Dimensi sosial berkaitan dengan kehidupan masyarakat setempat serta pengaruhnya terhadap ekosistem mangrove. Atribut dalam dimensi sosial dapat menggambarkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya perairan terutama ekosistem mangrove berpengaruh terhadap masyarakat sekitar (Ramadhani 2015). Berdasarkan hasil analisis RAPFISH (Gambar 12), nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial sebesar 57.06 dan termasuk kategori cukup berkelanjutan.

Berdasarkan hasil analisis leverage terhadap 5 atribut dimensi sosial diperoleh empat atribut sensitif yang mempengaruhi indeks nilai keberlanjutan yaitu partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove, tingkat konflik antar nelayan dan tingkat pendidikan masyarakat Kabupaten Tangerang (Gambar 13).

Persepsi dan partisipasi merupakan unsur perilaku manusia yang akan mempengaruhi bagaimana cara seorang manusia bertindak (Gumilar 2012). Berdasarkan hasil kuesioner diketahui bahwa partisipasi masyarakat di pesisir Kabupaten Tangerang masih rendah. Persentase masyarakat yang pernah ikut berpartisipasi dalam menanam mangrove dan menghadiri penyuluhan hanya sebesar 26.25%. Peran serta atau keterlibatan masyarakat dalam upaya pengelolaan ekosistem mangrove sangat penting dan perlu dilakukan. Bentuk

partisipasi masyarakat dapat berupa kontribusi tenaga, pikiran, waktu dan dana yang dicurahkan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kegitan pengelolaan/ pelestarian lingkungan (Gumilar 2012). Menurut Harja (2001), seseorang akan ikut berpartisipasi jika merasa bahwa keikutsertaannya akan memberikan keuntungan dan manfaat bagi dirinya. Dalam proses pemberdayaan masyarakat yang diperlukan bukan hanya kesiapan dari aparatur dan instansi pemerintah lainnya sebagai institusi formal, akan tetapi juga diperlukan kesiapan dari seluruh komponen lokal masyarakat pesisir (Marlon et al. 2005).

Gambar 12 Hasil analisis Rapfish untuk dimensi sosial pengelolaan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Tangerang

Gambar 13 Hasil analisis leverage untuk dimensi sosial 57.06 GOOD BAD UP DOWN -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 Posisi Keberlanjutan Titik Referensi Utama Titik Referensi Tambahan

4.40 8.92 4.89 7.92 3.36 0 2 4 6 8 10

Pengetahuan masyarakat tentang ekosistem mangrove

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove

Tingkat pendidikan masyarakat Kab. Tangerang

Tingkat konflik antar nelayan Dampak keberadaan mangrove terhadap

masyarakat

Root Mean Square

Attribu

22

Pengetahuan masyarakat berkaitan dengan pemahaman masyarakat tentang kondisi ekosistem mangrove serta fungsi dan manfaat ekosistem mangrove. Hasil penelitian Ratnawati et al. (2014), menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan berpengaruh signifikan terhadap tingkat kepedulian, artinya semakin tinggi pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan manfaat hutan mangrove dan hutan payau maka akan semakin tinggi tingkat kepedulian masyarakat terhadapa hutan mangrove. Hasil penelitian yang diperoleh berdasarkan kuisioner menunjukkan bahwa 66.25% masyarakat memahami tentang ekosistem mangrove sedangkan 33.75% masyarakat kurang memahami. Meskipun pengetahuan masyarakat sudah dirasa cukup baik, namun dapat lebih ditingkatkan dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan tentang fungsi dan arti penting ekosistem mangrove bagi kehidupan.

Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pola berfikir dan bertindak masyarakat dalam mempertimbangkan sesuatu keputusan terbatas, terutama dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada di sekitarnya. Tingkat pendidikan masyarakat Kabupaten Tangerang sebagian besar tamatan SMA (29%), sedangkan hasil survey terhadap responden menunjukkan bahwa pendidikan formal responden sebagian besar tamatan SD (51.25%). Kondisi tingkat pendidikan yang rendah dapat menjadi kendala dalam upaya partisipasi pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari dan berkelanjutan (Erwianto 2006).

Saat ini aktivitas dan jumlah orang yang ingin memanfaatkan sumberdaya semakin hari semakin meningkat sehingga berpotensi menimbulkan konflik pemanfaatan sumberdaya. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Mitchell et al. (2000) bahwa konflik dapat terjadi karena terbatasnya sumberdaya dan kebutuhan yang selalu meningkat akan keberadaan, fungsi dan manfaat sumberdaya sedangkan sumberdaya yang ada tetap atau cenderung berkurang. Berdasarkan hasil wawancara kepada nelayan setempat, diketahui bahwa tidak ada konflik yang terjadi antar nelayan. Kondisi tidak adanya konflik antar nelayan harus dapat dipertahankan, meskipun tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik.

Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan

Institusi atau lembaga merupakan sekumpulan peraturan yang mengatur masyarakat. Koordinasi yang baik antar lembaga dan masyarakat akan berpengaruh positif terhadap pengelolaan mangrove. Berdasarkan hasil analisis Rapfish (Gambar 14), nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar 49.32 dan termasuk kategori kurang berkelanjutan.

Berdasarkan hasil analisis leverage terhadap 5 atribut dimensi kelembagaan diperoleh empat atribut yang lebih sensitif dibandingkan atribut lainnya yaitu kearifan lokal, komitmen Pemda untuk konservasi, koordinasi antar stakeholders dan keterlibatan lembaga masyarakat (Gambar 15).

Pemahaman manusia terhadap alam serta bentuk perilaku manusia akibat kedekatannya dengan elemen ekologisnya membentuk kearifan lokal masyarakatnya (Utina 2012). Kearifan lokal merupakan salah satu produk kebudayaan, yang lahir karena kebutuhan akan nilai, norma dan aturan yang menjadi model untuk melakukan suatu tindakan (Mufid 2010). Tidak adanya kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat pesisir Kabupaten Tangerang

menyebabkan kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga ekosistem sekitarnya. Adanya kearifan lokal dinilai efektif dalam mengelola sumberdaya alam serta pelestarian ekosistemnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Affandy dan Wulandari (2012) bahwa fungsi kearifan lokal adalah membuat keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya, budaya dan alam.

Pemerintah Daerah (Pemda) telah melakukan penyuluhan, penanaman serta pengawasan untuk dapat menjaga kelestarian ekosistem mangrove. Adanya komitmen instansi terkait seperti Bappeda, Dinas Tata Ruang, Dinas Bina Marga dan Pengairan, Badan Lingkungan Hidup Daerah, Dinas Pertanian dan Peternakan, Dinas Cipta Karya, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Perindustrian/ Perdagangan dan Perguruan Tinggi dikoordinasikan oleh Bappeda merupakan kekuatan yang dapat diandalkan baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota (Bappeda Kabupaten Tangerang 2012). Pemerintah Daerah juga memberikan dana dalam pelaksanaan kegiatan yang dilakukan, namun tidak semua kegiatan yang dilakukan berhasil dengan baik. Oleh karena itu, perlu dilakukan kegiatan yang berkesinambungan serta komitmen dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar dapat tercapai hasil yang diinginkan.

Pengelolaan ekosistem mangrove merupakan usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan karena kegiatan tersebut membutuhkan sifat akomodatif dari berbagai pihak. Keterkaitan/hubungan antar stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya mangrove juga beragam tergantung pada motif masing-masing pihak. Oleh karena itu, perlu adanya mekanisme kerjasama yang sinergis antar pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Interaksi yang harmonis antara stakeholder menjadi prioritas agar setiap kegiatan dapat berjalan dengan optimal.

Gambar 14 Hasil analisis Rapfish untuk dimensi kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Tangerang

49.32 GOOD BAD UP DOWN -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 Posisi Keberlanjutan Titik Referensi Utama Titik Referensi Tambahan

24

Gambar 15 Hasil analisis leverage untuk dimensi kelembagaan Status Keberlanjutan Multidimensi Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Analisis multidimensi dilakukan dengan cara menggabungkan seluruh dimensi baik ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan. Analisis multidimensi dilakukan untuk mengetahui dimensi mana yang perlu diperbaiki guna mencapai pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa indeks keberlanjutan multidimensi sebesar 47.27 dan termasuk dalam kategori kurang berkelanjutan (Gambar 16). Nilai indeks keberlanjutan tertinggi terdapat pada dimensi ekonomi (58.03), sedangkan nilai indeks keberlanjutan terendah terdapat pada dimensi ekologi (16.62). Hal ini berarti bahwa dimensi yang belum berkelanjutan perlu diperbaiki dan dimensi yang sudah berkelanjutan harus dapat dipertahankan.

Gambar 16 Hasil analisis Rapfish multidimensi pengelolaan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Tangerang

2.69 0.13 1.15 1.21 2.62 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 Kearifan lokal Ketersediaan peraturan formal dalam pengelolaan ekosistem mangrove

Keterlibatan lembaga masyarakat Koordinasi antar stakeholders Komitmen Pemda untuk konservasi

Root Mean Square

Attribu te GOOD BAD UP DOWN -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 Posisi Keberlanjutan Titik Referensi Utama Titik Referensi Tambahan

Berdasarkan Gambar 17 dapat dilihat bahwa dari keempat dimensi yang ada, dua diantaranya termasuk kategori cukup berkelanjutan yaitu dimensi ekonomi dan dimensi sosial serta dua dimensi lainnya termasuk kategori kurang berkelanjutan dan tidak berkelanjutan yaitu dimensi kelembagaan dan dimensi ekologi. Dimensi ekonomi memiliki nilai indeks yang paling baik sedangkan dimensi ekologi memiliki nilai indeks terburuk.

Gambar 17 Diagram layang indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove antar dimensi

Hasil ordinasi RAPFISH untuk setiap dimensi menunjukkan nilai stress yang cukup baik karena nililainya < 0.25 (Tabel 8). Nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh menjelaskan bahwa model dengan peubah-peubah yang digunakan sudah dapat menjelaskan 93% dari model yang ada. Kavanagh (2001) menyatakan nilai koefisien determinasi (R2) tergolong baik apabila berada pada rentang 80% sampai 100%.

Tabel 7 Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Tangerang

No. Dimensi Nilai MDS Kategori

1 Ekologi 27.59 Kurang berkelanjutan 2 Ekonomi 58.03 Cukup berkelanjutan 3 Sosial 57.06 Cukup berkelanjutan 4 Kelembagaan 49.32 Kurang berkelanjutan 5 Multidimensi 47.59 Kurang berkelanjutan

Kestabilan nilai indeks keberlanjutan dari masing-masing dimensi dapat diketahui melalui analisis Monte Carlo. Analisis Monte Carlo merupakan metode simulasi untuk mengevaluasi dampak kesalahan acak terhadap seluruh dimensi (Fauzi dan Anna 2005). Hasil scatter plot analisis Monte Carlo untuk

masing-27.59 58.03 57.06 49.32 0 10 20 30 40 50 60Ekologi Ekonomi Sosial Kelembagaan

26

masing dimensi disajikan pada Lampiran 3 hingga Lampiran 7. Berdasarkan hasil

Dokumen terkait