• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Penolakan Produk Perikanan Indonesia Oleh Fda

Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki kurang lebih 13.427 pulau dengan luas wilayah laut 5,4 juta km2 dari total luas territorial Indonesia sebesar 7,1 juta km2. Panjang pantai Indonesia mencapai 95.181 km (KKP-RI 2011) yang memiliki potensi sumber daya kelautan perikanan yang cukup besar termasuk didalamnya kekayaan keanekaragaman hayati.

5

Pada tahun 2008, produksi perikanan Indonesia mencapai 9 juta ton (KKP-RI 2008) dan menjadi ketiga penghasil perikanan tangkap laut, ketujuh di perikanan tangkap darat dan keempat dalam perikanan budidaya di di dunia (FAO 2008). Kementerian Perdagangan Indonesia mencatat kenaikan nilai ekspor perikanan sebesar 10,8 persen pada Tahun 2010, dengan komoditas udang sebagai penyumbang terbesar ekspor produk perikanan yakni sebesar 40%. Sementara peringkat kedua diduduki oleh komoditi tuna, tongkol, cakalang sebesar 12 persen dari total keseluruhan kinerja ekspor (Kemendag-RI 2012). Sedangkan dalam catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Amerika Serikat (AS) memang mendominasi tujuan ekspor perikanan hingga 30% atau senilai US$ 1,13 miliar (Rp 10,7 triliun) (KKP-RI 2012).

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP-RI 2012), pada tahun 2006, Amerika Serikat masih duduk sebagai negara tujuan utama produk perikanan disusul kemudian Cina, Jepang, Uni Eropa serta negara negara lain (Tabel 1). Tahun 2011, realisasi ekspor hasil perikanan sebesar US$ 3,5 miliar (Rp 33.250 triliun), dengan negara utama tujuan ekspor produk perikanan yakni Amerika Serikat US$ 1,07 miliar atau Rp 10.165 triliun (30,4 %), Jepang US$ 806 juta atau Rp 7.657 triliun (22,9 %), dan Eropa US$ 459,8 juta atau Rp 4.368 triliun (13,1 %). Akan tetapi kasus penahanan dan penolakan produk perikanan Indonesia masih sering terjadi.

Tabel 1. Ekspor produk perikanan Indonesia tahun 2006 dan 2011 Negara Tujuan 2006 2011 Volume Ekspor (Ton) Nilai Ekspor (US$juta) % Total Ekspor Nilai Ekspor (US$juta) % Total Ekspor Amerika Serikat 83.347 475.14 12.54 1.070.0 30.4 Cina 78.686 409.66 11.84 - - Jepang 74.973 48.39 11.28 806.0 22.9 Eropa 51.976 193.56 7.82 459.8 13.1

Sumber: Renstra BKIPM 2011-2014

Kebijakan yang diterapkan oleh negara pengimpor Ikan tuna Indonesia makin hari memang semakin ketat dan meningkat permintaan mutunya, berkaitan dengan aspek-aspek keamanan pangan, jaminan mutu, dan kemamputelusuran agar mendapatkan kepuasan konsumen domestik negara pengimpor secara optimal.

Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia sebagai Competent Authority (CA) melakukan tindakan nyata yaitu reformasi sistem manajemen pada jaminan mutu dan keamanan produk perikanan untuk mencapai harmonisasi dengan standar mutu di negara-negara tujuan ekspor ikan tuna Indonesia, dan produk perikanan lainnya. Walaupun demikian, kasus penolakan produk perikanan Indonesia masih masih terjadi dan terkait dengan masalah keamanan pangan.

6

Data penolakan produk Indonesia di FDA dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN (Association South East Asia Nation) menunjukkan bahwa Indonesia mengalami penolakan yang hampir setara dengan Filipina, Thailand dan Vietnam, tapi lebih tinggi dari Malaysia (Tabel 2). Secara persentase, pada tahun 2011 Indonesia mengalami penurunan penolakan (0,7%), namun secara kuantitas Indonesia mengalami lonjakan dari 351 di tahun 2010, meningkat menjadi 587 di tahun 2011 dan 541 di tahun 2012. Jika dibandingkan dengan negara maju seperti Jepang, posisi Indonesia hampir menyamai, namun penolakannya masih di bawah Korea. China, India, Kanada dan AS juga mengalami penolakan produk yang tinggi, namun hal ini dikaitkan dengan produktivitas ekspor produk negara tersebut yang juga sangat tinggi.

Tabel 2. Penolakan produk Indonesia, negara ASEAN dan negara maju

Negara Penolakan pada Tahun

2010 2010 (%) 2011 2011 (%) 2012 2012 (%) Indonesia 351 1.9 587 0.7 541 2.3 Malaysia 174 1.0 153 0.2 142 0.6 Filipina 355 1.9 384 0.5 396 1.7 Thailand 416 2.3 396 0.5 564 2.4 Vietnam 374 2.1 409 0.5 348 1.5 China 2015 11.1 2805 3.3 2502 10.7 India 2036 11.2 2414 2.9 2373 10.1 Jepang 429 2.4 571 0.7 384 1.6 Korea 469 2.6 785 0.9 827 3.5 Kanada 1119 6.1 1282 1.5 1000 4.3 AS 610 3.3 833 1.0 698 3.0 Total 18229 84093 23385

Sumber: FDA 2013a

Berdasarkan hasil penelusuran (Gambar 1) menunjukkan bahwa penolakan produk Indonesia sejak 2010 sampai 2012 mencapai 1479 kasus penolakan dan mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Pada tahun 2010 sebanyak 351 kasus, 2011 meningkat sebanyak 587 kasus, dan tahun 2012 sebanyak 541 kasus. Terdapat 1203 kasus penolakan produk perikanan Indonesia dari keseluruhan kasus selama 2010-2012, dan 53 kasus penolakan merupakan produk ikan kaleng (canned fish). Jika dilakukan perbandingan jumlah produk perikanan Indonesia yang ditolak terhadap keseluruhan produk Indonesia yang ditolak FDA dari 351 kasus penolakan di tahun 2010, terdapat 290 kasus penolakan produk perikanan Indonesia. Tahun 2011 kasus penolakan produk Indonesia mengalami peningkatan tertinggi, dari 587 kasus terdapat 494 kasus produk perikanan. Tahun 2012 mengalami sedikit penurunan, dari 541 kasus penolakan terdapat 419 kasus produk perikanan. Jadi jika dilakukan persentase perbandingan produk perikanan Indonesia yang ditolak FDA terhadap keseluruhan kasus penolakan produk Indonesia di tahun 2010 mencapai 82,6%, setara di tahun 2011 sebesar 84,2%, dan menurun di tahun 2012 menjadi 77,4%.

7

Gambar 1. Kasus penolakan produk perikanan oleh FDA periode 2010-2012 (FDA 2013a)

Jika dilakukan pengelompokan data, tidak hanya membandingkan produk perikanan, namun juga membandingkan dengan produk lain maka hasilnya dapat dilihat pada Gambar 2, 3 dan 4. Hasil pengelompokan data berdasarkan jenis produk pada tahun 2010 menunjukkan bahwa posisi penolakan tertinggi tetap dimiliki oleh produk perikanan yaitu 83% atau 290 kasus jika dibandingkan dengan produk lain yaitu sebesar 4% atau 16 kasus produk kosmetik, 3% atau 12 kasus produk kue dan makanan ringan, dan 3% atau 12 kasus produk jamu dan obat-obatan, sisanya 7% tersebar di produk pangan dan non pangan. Tahun 2011 tidak jauh berbeda dengan tahun 2010, produk perikanan mendominasi dengan angka 84% atau 494 kasus, sebesar 6% atau 33 kasus produk rempah-rempah dan bumbu, sisanya 8% adalah produk pangan dan non pangan. Tahun 2012 mengalami penurunan produk perikanan yang ditolak FDA sebesar 77% atau 491 kasus, sebesar 9% atau 48 kasus jamu dan obat-obatan, 6% atau 33 kasus kosmetik, 4% atau 31 kasus rempah-rempah dan bumbu, sisanya 4% adalah produk pangan dan non pangan. Penolakan kakao dan produk kakao dari tahun 2010 sampai 2012 tetap konsisten pada kisaran 4 atau 5 kasus penolakan.

Gambar 2. Penolakan produk Indonesia tahun 2010 berdasarkan jenis produk (FDA 2013a)

8

Gambar 3. Penolakan produk Indonesia tahun 2011 berdasarkan jenis produk (FDA 2013a)

Gambar 4. Penolakan produk Indonesia tahun 2012 berdasarkan jenis produk (FDA 2013a)

FDA menetapkan 214 kode penolakan produk berdasarkan referensi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Amerika serikat yang memuat alasan penolakan produk. Dari 214 kode penolakan, yang sering terjadi di kasus penolakan produk perikanan Indonesia berada pada kisaran 12-14 kode penolakan. Kode penolakan yang sering terjadi diantaranya filthy, Salmonella,

Listeria, Poisonous, Vetdrugres, Chlorampenicol, Histamine, Insanitary, Under Process, Unsave Additive, Foreign object, Manufacturing HACCP (MFRHACCP), misbranding.

Berdasarkan pengelompokan, alasan penolakan tahun 2010-2012 (Gambar 5) memberikan hasil tahun 2010 alasan penolakan tertinggi adalah karena filthy 41 % atau 118 kasus dan Salmonella 37% atau 108 kasus. Tahun 2011 kasus

Salmonella mengalami peningkatan secara signifikan, yaitu 64% atau 315 kasus,

sedangkan alasan filthy secara persentase menurun menjadi 30%, namun secara jumlah meningkat menjadi 146 kasus. Tahun 2012 secara persentase memiliki pola yang hampir sama dengan tahun 2010, alasan penolakan tertinggi adalah

9

filthy 42%, namun dengan jumlah yang meningkat 176 kasus. Sedangkan karena

alasan Salmonella dengan persentase 27%, dengan jumlah yang hampir sama dengan tahun 2010 yaitu 111 kasus. Sisanya 11% atau 46 kasus karena, 6% atau 26 kasus karena, 6% atau 24 kasus karena, dan 5% atau 22 kasus karena MFRHACCP. Data tersebut menunjukkan bahwa alasan penolakan tertinggi adalah karena Salmonella dan filthy. Alasan penolakan lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah adanya kasus penolakan karena chloramphenicol,

vetdrugres, poisonous, histamin, Listeria, dan MFRHACCP.

Gambar 5. Alasan penolakan produk perikanan oleh FDA periode 2010-2012

Berdasarkan hasil penelitian Saputra (2011), selama tahun 2002-2010 Indonesia mengalami kasus penolakan terbanyak di Amerika Serikat yaitu pada tahun 2004 sebanyak 367 kasus dan terendah pada tahun 2002 sebanyak 203 kasus dengan rata-rata jumlah kasus pertahunnya sebesar 289 kasus. Jika dibandingkan dengan data yang diperoleh tahun 2010-2012 maka kasus penolakan tertinggi adalah 587 kasus penolakan pada tahun 2012 dengan 84% diantaranya adalah produk perikanan. Hal ini menunjukkan kebijakan dan program-program yang diterapkan KKP belum cukup efektif untuk menurunkan kasus penolakan produk perikanan Indonesia oleh AS.

Hasil penelitian Saputra (2011) menyatakan alasan penolakan terbesar produk perikanan Indonesia di AS adalah filthy. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alasan terbesar kasus penolakan produk perikanan Indonesia adalah filthy dan Salmonella. Karena penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang disebabkan karena peningkatan kasus penolakan tertinggi Salmonella terjadi di tahun 2011.

Peningkatan kasus penolakan pada tahun 2011 dan 2012 jika dilihat dari perkembangan regulasi FDA disebabkan karena FDA melakukan revisi terhadap

Fish and Fishery Products Hazards and Controls Guidance yang diterbitkan pada

bulan April 2011. Pedoman tersebut tidak hanya memuat mengenai 7 (tujuh) prinsip HACCP, akan tetapi standar bahaya kimia, fisik dan mikrobiologi yang

10

dirinci untuk masing-masing jenis dan spesies ikan, dan untuk masing-masing proses pengolahan. Di samping itu, diberikan contoh rencana HACCP dan penetapan batas kritis dan CCP serta tindakan perbaikan dan verifikasinya beserta format formulirnya.

Perubahan atas regulasi FDA 21 CFR 123 dan pedoman produk perikanan (FDA 2013b) didasarkan atas hasil penelitian General Accounting Office (GAO 2001) mengenai regulasi FDA terhadap produk perikanan terdahulu yang tidak cukup melindungi konsumen. GAO (2001) melakukan evaluasi penerapan HACCP di tiga distrik penghasil produk perikanan negara Amerika Serikat, yaitu Seattle, New England dan Florida, serta di negara pengimpor terbesar produk perikanan, yaitu Chili dan Kanada. Hasil evaluasi menunjukkan adanya kelemahan dalam penerapan program keamanan produk perikanan baik domestik maupun impor. Yang pertama adalah meskipun telah ada regulasi HACCP FDA, karena berbagai alasan, masih terdapat industri perikanan dalam jumlah yang cukup signifikan yang belum menerapkan sistem HACCP. Kedua, walaupun industri perikanan telah memiliki sistem HACCP, namun masih banyak kelemahannya, seperti kegagalan dalam mengidentifikasi tingkat keseringan bahaya terjadi. Ketiga, pada saat inspektur menemukan pelanggaran yang signifikan, surat peringatan tidak diterbitkan. Pada tahun 2000, 94% surat peringatan diterbitkan lebih dari 15 hari dan rata-rata membutuhkan 73 hari untuk penerbitannya. Keempat, FDA belum menetapkan alokasi dana untuk menilai keefektivan penerapan HACCP produk perikanan.

Sistem FDA dalam memastikan keamanan impor produk perikanan menggunakan empat strategi dasar, yaitu 1) perjanjian kesepakatan atau MoU (Memorandum of Understanding), 2) meninjau rekaman importir, 3) melakukan inspeksi terhadap produsen produk perikanan asing, dan 4) pengujian produk di pelabuhan. Dengan empat strategi ini bukan berarti FDA tidak mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya, karena membutuhkan sumber daya manusia dan sumber daya keuangan yang tinggi. Oleh karena itu, FDA memperketat peraturannya untuk melindungi konsumen AS dan melakukan upaya kerjasama dengan berbagai negara untuk melakukan efisiensi sumber daya, namun dengan ketentuan harmonisasi standar dan peraturan yang berlaku di negara mitra. Dengan demikian, apabila Indonesia telah melakukan harmonisasi standar dan peraturannya dengan FDA maka peluang Indonesia untuk melakukan kerjasama dan menurunkan kasus penolakan yang berdampak pada efisiensi biaya juga tinggi.

Jumlah kasus penolakan produk perikanan dari Eropa selama tahun 2006 hingga 2010 menunjukkan adanya terdapat penurunan kasus penolakan, dari tahun 2006 yang mencapai 34 kasus, tahun 2007 menurun menjadi 17 kasus, tahun 2008 dan 2009 hanya terdapat 6 dan 9 kasus, tahun 2010 meningkat lagi menjadi 11 kasus (Tabel 3) (KKP-RI 2012). Selanjutnya tahun 2011 terjadi penurunan kasus menjadi 7 kasus, sedangkan pada tahun 2012, terjadi peningkatan yang cukup signifikan atas penolakan produk perikanan Indonesia oleh Eropa, yaitu dari 35 kasus penolakan 25 kasus diantaranya adalah produk perikanan (Europa 2013). Pada Gambar 6 dapat dilihat, 60% atau 15 kasus ditolak dengan alasan

Salmonella, 20% atau 5 kasus karena suhu tidak terkendali pada rantai proses, 8%

atau 2 kasus merkuri, masing-masing 4% atau 1 kasus karena adanya Listeria, histamin dan substansi yang tidak diizinkan. Data ini berbeda dengan hasil

11

penelitian Saputra (2011) yang menyatakan kasus penolakan di Eropa tertinggi adalah karena tercemar mercury. Karena penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang disebabkan karena peningkatan kasus penolakan tertinggi

Salmonella terjadi di tahun 2012.

Tabel 3. Penolakan ekspor hasil perikanan Indonesia per negara mitra

No Negara Tahun Penolakan

2006 2007 2008 2009 2010 1 Uni Eropa 34 17 6 9 11 2 Korea 0 0 6 4 3 3 China 10 21 2 12 0 4 Rusia 0 0 1 1 7 5 Kanada 0 0 0 6 1

Sumber: Renstra BKIPM 2011-2014

Gambar 6. Alasan penolakan produk perikanan Indonesia oleh Eropa tahun 2012 Berdasarkan kategori penolakan (Gambar 7), 60% atau 20 kasus termasuk

border rejection, 12% atau 3 kasus termasuk information for attention, dan 8%

atau 2 kasus masuk ke dalam sistem alert. Terdapat empat tipe pemberitahuan yang diinformasikan melalui RASFF, yaitu alert notifications, information

notifications, border rejection notifications dan news notifications. Alert notifications adalah sebuah ‘pemberitahuan peringatan’ atau peringatan ke negara

anggota apabila pangan atau pakan memiliki risiko serius di pasar atau ketika tindakan cepat diperlukan seperti penarikan karena produk telah mencapai pasar.

Information notifications adalah sebuah ‘pemberitahuan informasi’ menyangkut

suatu pangan atau pakan ke negara anggota jika risiko telah teridentifikasi, tapi tidak memerlukan tindakan cepat, karena pangan atau pakan belum mencapai pasar atau tidak ada di pasar. Border rejection notifications adalah suatu ‘pemberitahuan batas penolakan’ suatu pangan atau pakan yang ditolak masuk karena alasan risiko terhadap kesehatan manusia dan hewan. News notifications adalah suatu ‘pemberitahuan berita’ menyangkut jenis informasi yang berhubungan dengan keamanan pangan atau pakan yang belum disampaikan sebagai peringatan, informasi atau batas penolakan, oleh pihak yang berwenang di

12

negara-negara anggota berdasarkan informasi yang diambil dari media atau disampaikan oleh pihak berwenang negara ketiga atau organisasi internasional setelah diverifikasi oleh negara-negara anggota yang bersangkutan.

Gambar 7. Kategori penolakan produk perikanan Indonesia oleh Eropa tahun 2012

Berdasarkan hasil analisis dua kasus penolakan AS dan Eropa ini dapat disimpulkan penyebab tertinggi adalah filthy dan Salmonella. Menurut Jay et al. (2005), Salmonella sp. merupakan bakteri Gram negatif yang bersifat anaerob fakultatif dan tidak dapat membentuk spora. Bakteri ini tergolong patogen, yakni dapat menyebabkan penyakit bagi yang mengonsumsinya. Penyakit yang dapat ditimbulkan oleh Salmonella sp. antara lain tifus (Salmonella Typhi), paratifus (Salmonella Paratyphi), dan infeksi yang disebut Salmonellosis. Salmonella sp. sensitif terhadap panas. Keberadaan Salmonella menunjukan adanya kontaminasi selama proses produksi dan kurang baiknya sistem sanitasi pada proses produksi komoditi perikanan. Salmonella sp. dapat dimusnahkan dengan pemanasan pada suhu 60oC selama 30 menit atau 65oC selama 15 menit (Jay et al. 2005).

Adanya pengotor atau benda asing yang disebut dengan istilah filthy. Analisis benda asing adalah elemen analisis yang sangat penting baik dalam memilih bahan baku maupun untuk memonitoring mutu produk. Adanya benda asing pada produk sangat tidak diharapkan dan dapat menyebabkan bahaya bagi kesehatan konsumen. Hal ini juga menunjukkan bahwa produk tidak diolah dengan baik dan kondisi sanitasi produksi, penyimpanan atau distribusi yang kurang baik. Keberadaan benda asing dalam produk dapat menyebabkan produk tercemar dan tidak sesuai untuk konsumsi manusia. Dogan et al. (2010) mengkategorikan menjadi filth, heavy filth, light filth, dan sieved filth. Filth adalah benda asing yang berasal dari kontaminasi hewan seperti tikus, serangga, atau burung ataupun benda asing lain karena kondisi sanitasi yang kurang baik. Heavy

filth adalah benda asing yang dapat dipisahkan dari produk dengan cara

sedimentasi berdasarkan berat jenis benda asing, partikel pangan, dan imersi cair, seperti pasir, tanah, serangga dan kotoran tikus. Light filth adalah partikel larut minyak dan dapat dipisahkan dari produk dengan melarutkan dalam emulsi air dan minyak, seperti potongan serangga, serangga utuh, rambut dan potongan tikus. Sieved filth adalah partikel benda asing yang memiliki kisaran ukuran tertentu yang dapat dipisahkan secara kuantitatif dengan menggunakan saringan mesh terpilih.

13

Berbagai penelitian mengenai kontaminasi Salmonella dan filthy yang dihubungkan dengan penerapan HACCP telah dilaporkan. Cato (1998) menjelaskan kejadian keracunan ikan dan produk perikanan di Amerika, Eropa, Kanada dan Jepang dengan penyebab tertinggi adalah Salmonella, Staphylococcus

aureaus, Clostridium botulinum, dan histamin. Penerapan sistem HACCP efektif

untuk mengurangi kejadian penyakit atau keracunan karena makanan laut (Cato 1998). Hal ini juga telah dibuktikan sebelumnya oleh Ahmed (1991). Pembuktian penurunan jumlah Salmonella pada daging dan produk daging yang dikelola dengan sistem HACCP dilakukan di Tehran (Majd dan Mehrabian 2013). HACCP juga digunakan pada peternakan ayam dan produsen pakan untuk menurunkan

Salmonella (Ziggers 2012) dan ayam siap saji (Ndife et al. 2010). HACCP juga

telah diterapkan melalui studi kasus pada produk tuna segar (Maulana et al. 2012). Sistem HACCP juga digunakan untuk mereduksi Salmonella Typhi di sistem distribusi (Martel et al. 2006).

Tahun 2011, realisasi ekspor hasil perikanan sebesar 3,5 miliar dollar AS (Rp 33.250 triliun), dengan negara utama tujuan ekspor produk perikanan yakni Amerika Serikat 1,07 miliar dollar AS atau Rp 10.165 triliun (30,4%), Jepang 806 juta dollar AS atau Rp 7.657 triliun (22,9%), dan Eropa 459,8 juta dollar AS atau Rp 4.368 triliun (13,1%) (KKP-RI 2012). Oleh karena itu, perbaikan sistem keamanan pangan produk perikanan Indonesia harus terus ditingkatkan guna mendukung peningkatan nilai ekspor tahun 2013 sebesar 28,2% dan peningkatan volume ekspor sebesar 13,5% seperti yang telah dicanangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia.

Sistem dokumentasi yang terstruktur dengan baik adalah salah satu kunci keberhasilan bisnis dan dapat membuka jalan kerjasama ke berbagai belahan dunia. Dokumen yang memenuhi persyaratan sistem manajemen mutu (ISO 9001) atau sistem manajemen keamanan pangan (ISO 22000 dan HACCP), mencerminkan perusahaan yang memiliki komitmen untuk menjaga mutu dan keamanan produk, memiliki ketelusuran data, memiliki akses untuk penanganan keluhan pelanggan dan menjamin keberlanjutan bisnis. Dalam dunia bisnis dan kerjasama nasional dan internasional, kepercayaan menjadi hal yang sangat penting. Konsumen mungkin tidak dapat mengetahui secara rinci perihal perusahaan, namun dengan dokumentasi yang baik, dapat menjadi gambaran kondisi perusahaan dan memberikan kepercayaan kepada konsumen.

PT. AAA adalah perusahan pengolahan produk ikan tuna di wilayah Jakarta yang mendapatkan surat peringatan penolakan produk (Case I.D 167873) karena

Salmonella dan MFRHACCP. Hasil studi kasus yang dilakukan dengan

melakukan identifikasi penyebab kasus penolakan berdasarkan regulasi Indonesia dan regulasi FDA No. 21 CFR 123, FDA Food Code 2009 dan pedoman FDA (FDA 2013b), diperoleh 8 gap (Tabel 4).

Permasalahan terjadi pada prinsip HACCP 1, 2, dan 3, yaitu identifikasi bahaya dan penetapan titik kritis yang belum memasukan potensi bahaya

Salmonella, pertumbuhan dan pembentukan toksin Clostridium botulinum dan

kontrol waktu untuk pembentukan histamin. PT. AAA memproduksi sashimi tuna beku yang diproses dengan karbondioksida dan dikemas vakum. Oleh karena itu,

Clostridium botulinum menjadi salah satu risiko bahaya yang harus diidentifikasi. Clostridium botulinum merupakan bakteri gram positif, bakteri berbentuk batang

14

neurotoksin yang, dibagi dalam jenis AG, yang menyebabkan kelumpuhan otot.

Clostridium botulinum tidak menyukai oksigen atau disebut anaerobik dan

menghasilkan spora yang umumnya ditemukan di dalam tanah. Oleh karena bersifat anaerobik dan menghasilkan spora yang tahan pada suhu tinggi maka

Clostridium botulinum adalah bakteri yang harus diwaspadai pada produk kaleng

atau kemasan tanpa oksigen (Jay et al. 2005).

Tabel 4. Gap penerapan sistem HACCP PT. AAA terhadap regulasi FDA

No Kasus Pelanggaran Sistem HACCP

Regulasi Indonesia Regulasi FDA 1 Tidak dilakukan analisis

bahaya terhadap toksin

Clostridium botulinum, Salmonella dan histamin.

Prinsip 1 Tidak menetapkan jenis bahaya, hanya standar produk akhir (BSN 2006a).

Menetapkan jenis bahaya (FDA 2013b).

2 Kesalahan dalam menetapkan titik kendali kritis terhadap suhu dan waktu

Prinsip 2 Tidak menetapkan titik kendali kritis (BSN 2006a).

Menetapkan titik kendali kritis (FDA 2013b).

3 Kegagalan dalam mengidentifikasi batas kritis dekomposisi dan histamin.

Prinsip 3 Tidak menetapkan batas kritis lulus uji (BSN 2006b).

Menetapkan batas kritis lulus uji bahan baku (FDA 2013b). 4 Tidak melakukan

pemantauan suhu dan waktu menggunakan alat terkalibrasi.

Prinsip 4 Hanya menetapkan suhu (BSN 2006c).

Menetapkan

pemantauan suhu dan waktu (FDA 2013b). 5 Tindakan korektif yang

tidak tepat terhadap bahaya dekomposisi dan histamin.

Prinsip 5 Tidak menetapkan tindakan korektif (BSN 2006c).

Menetapkan tindakan korektif (FDA 2013b). 6 Tindakan korektif tidak

diterapkan dan tidak didokumentasikan. Prinsip 6 dan 7 Tidak menetapkan dokumentasi tindakan korektif (BSN 2006c). Menetapkan dokumentasi tindakan korektif (FDA 2013b). 7 Ketidaksesuaian dalam penetapan pengambilan sampel Metode pengambilan sampel Tidak menetapkan jumlah sampel (BSN 2006c). Menetapkan jumlah sampel (FDA 2013b). 8 Terdapat drainase terbuka

untuk fasilitas pengolahan limbah cair. Fasilitas pengolahan limbah Tidak menetapkan ketentuan pengolahan limbah (KKP-RI 2002) Regulasi FDA 21 CFR 123 Bab 5 menetapkan ketentuan pengolahan limbah

Disamping itu, ikan tuna merupakan ikan laut yang termasuk dalam spesies

Scombridae, bermarga Thunnus, berdaging merah muda sampai merah tua karena

otot ikan tuna mengandung lebih banyak mioglobin dari pada ikan lainnya. Spesies Scombridae menyebabkan sindrom scromboid yang dihasilkan dari penanganan yang tidak sesuai selama pengolahan atau penyimpanan. Salah satu komponen beracun penyebab keracunan Scombroid adalah histidin, yang dipecah menjadi histamin. Ikan tuna secara alami mengandung histidin. Pada suhu di atas 16 °C (60 °F) dan jika terjadi kontak udara maka histidin dikonversi ke histamin oleh enzim histidin dekarboksilase yang diproduksi oleh bakteri enterik termasuk

Morganella morganii (ini adalah salah satu alasan mengapa ikan harus disimpan

15

adalah mediator reaksi alergi, sehingga dapat menghasilkan gejala respon alergi yang parah (Kim et al. 1999). Pencegahan dekomposisi histidin menjadi histamin dapat dilakukan dengan pengaturan suhu dan waktu, yaitu pada suhu < 4.4oC dalam waktu 8 jam, apabila suhu pengolahan berfluktuasi maka waktu pengolahan harus diperketat kurang dari 4 jam (Kerr et al. 2002).

Rencana HACCP PT. AAA menetapkan 3 (tiga) CCP yaitu pada dekomposisi dan histamin pada penerimaan material serta fragmen logam pada produk akhir (Lampiran 1). Sedangkan, Rencana HACCP yang telah mengacu pada standar FDA (Lampiran 2) mengidentifikasi 9 (sembilan) CCP, meliputi: 1) suhu, dekomposisi, mikrobiologi, histamin, dan logam berat pada penerimaan bahan baku; 2) bakteri patogen, logam berat dan COD pada penerimaan air dan es, 3) fragmen logam pada deteksi logam dan UV; 4) parasit pada tahap pembentukan ukuran (sizing); 5) Clostridium botulinum pada tahap pengemasan vakum (vacuum sealing); 6) parasit pada tahap pembekuan dan penyimpanan dingin (freezing and cold storage); 7) Clostridium botulinum pada tahap pengemasan sekunder dan pelabelan; 8) bakteri patogen pada produk akhir; dan 9)

Dokumen terkait