• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN STRATEGI KEAMANAN PRODUK PERIKANAN UNTUK EKSPOR KE AMERIKA SERIKAT LELY RAHMAWATY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN STRATEGI KEAMANAN PRODUK PERIKANAN UNTUK EKSPOR KE AMERIKA SERIKAT LELY RAHMAWATY"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN STRATEGI KEAMANAN PRODUK

PERIKANAN UNTUK EKSPOR KE AMERIKA SERIKAT

LELY RAHMAWATY

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pengembangan Strategi Keamanan Produk Perikanan untuk Ekspor ke Amerika Serikat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

Lely Rahmawaty

(4)
(5)

RINGKASAN

LELY RAHMAWATY. Pengembangan Strategi Keamanan Produk Perikanan untuk Ekspor ke Amerika Serikat. Dibimbing oleh WINIATI P. RAHAYU dan HARSI D. KUSUMANINGRUM.

Pada era perdagangan bebas, produk perikanan Indonesia menghadapi berbagai tantangan untuk meningkatkan daya saing, baik dalam mutu produk maupun efisiensi dalam produksi. Tantangan terbesar bagi produk pangan termasuk produk perikanan di Indonesia yang paling utama adalah keamanan pangan. Walaupun pemerintah Indonesia telah mewajibkan rantai pasok perikanan menerapkan sistem mutu HACCP melalui Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan konsep HACCP pada tahun 1998, namun masih terdapat produk perikanan yang ditolak di Amerika Serikat. Sejak tahun 2010 hingga tahun 2012 tercatat 1203 kasus penolakan dari FDA (Food and Drug Administration). Padahal Amerika Serikat adalah negara tujuan utama ekspor hasil perikanan Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kasus-kasus penolakan produk perikanan yang didukung oleh studi kasus dan untuk merancang rekomendasi strategi kebijakan keamanan produk perikanan Indonesia. Digunakan metode pengambilan data dan gap analisis untuk merumuskan rekomendasi strategi kebijakan keamanan produk perikanan Indonesia.

Hasil pengumpulan data FDA menunjukkan bahwa penolakan produk Indonesia oleh FDA mengalami fluktuasi, pada tahun 2010 terdapat sebanyak 351 kasus, 2011 meningkat sebanyak 587 kasus, dan tahun 2012 sebanyak 541 kasus dengan 83, 84, dan 77% didominasi produk perikanan. Penyebab penolakan tertinggi pada tahun 2010 adalah filthy (41 % atau 118 kasus) dan Salmonella (37% atau 108 kasus), tahun 2011 filthy (30 % atau 146 kasus) dan Salmonella (64% atau 315 kasus), dan tahun 2012 filthy (42 % atau 176 kasus) dan

Salmonella (27% atau 111 kasus). Penyebab penolakan terkait dengan praktek GMP, sanitasi, serta dokumentasi dan penerapan HACCP.

Studi kasus penerapan HACCP di PT. AAA ditemuan 8 gap terhadap regulasi FDA (21 CFR 123, FDA Food Code 2009 dan the Fish and Fishery

Products Hazards and Controls Guidance) yang menunjukkan kegagalan dalam penerapan sistem HACCP karena perbedaan standar, regulasi dan audit sertifikasi HACCP. Analisis gap standar dan regulasi Indonesia dengan FDA menghasilkan 7 (tujuh) strategi tambahan untuk memperkokoh strategi pengembangan sistem sertifikasi HACCP yang ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dan BKIPM (Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan). Ke tujuh strategi tambahan tersebut adalah: 1) pelaksanaan National

Single Window yang efektif, 2) perumusan regulasi yang simpel dan komprehensif, 3) harmonisasi standar, 4) akreditasi lembaga sertifikasi HACCP sektor perikanan, 5) penyediaan infrastruktur lembaga sertifikasi produk, 6) pemutakhiran infrastruktur laboratorium, 7) perintisan kerjasama internasional. Kata kunci: akreditasi, HACCP, produk perikanan, standardisasi, strategi kebijakan keamanan produk perikanan.

(6)
(7)

SUMMARY

LELY RAHMAWATY. Food Safety Strategy Development of Fishery Products Export to the United States. Under direction of WINIATI P. RAHAYU and HARSI D. KUSUMANINGRUM.

In the era of free trade, Indonesian fishery products face challenges to improve competitiveness, in quality of product and production efficiency. The biggest challenge for Indonesian fishery products in the era of free trade is food safety. Although the Indonesian government has required the fisheries supply chain to implement the HACCP quality system through the Integrated Quality Management Program (IQMP) in 1998 based on HACCP concept, but Indonesia still face rejection fishery products in the United States. In 2010 – 2012 recorded 1203 cases of refusal fishery products from FDA (Food and Drug Administration). United States is the main export of Indonesian fishery products.

This study aims to analysis fishery products rejection case supported by case study and to design a recommendation on food safety strategy development of fishery products export to United State. Use data collection method and gap analysis to design the recommendation food safety strategy development of fishery products export to the United States.

The results of data collection indicate that Indonesian products rejection by FDA in 2010, 2011, and 2012 has fluctuated, 351 cases in 2010, 587 in 2011, and 541 cases in 2012. In percentage 83, 84, and 77% dominated by fishery products. The highest cause of rejection in 2010 are filthy (41 % or 118 cases) and

Salmonella (37% or 108 cases), in 2011 are filthy (30 % or 146 cases) and

Salmonella (64% or 315 cases), and 2012 are filthy (42 % or 176 cases) and

Salmonella (27% or 111 cases). Cause of rejection related to GMP, sanitation and HACCP documentation and implementation.

The case study on application of HACCP system in PT. AAA found 8 gaps of FDA regulation (21 CFR 123, FDA Food Code 2009 and the Fish and Fishery Products Hazards and Controls Guidance) which indicates the failure of implementation of HACCP systems due to differences in standards, regulations and auditing HACCP certification. Based on the gap analysis between the existing regulation for fishery products in Indonesia and FDA regulation, 7 (seven) recommendations are proposed. They are 1) effective implementation of National Single Window (NSW), 2) establish a simple and comprehensive regulatory, 3) harmonization of HACCP standards, 4) the accreditation of ISO 17021 for HACCP Certification Bodies, 5) the provision of infrastructure of product certification, 6) improve laboratory infrastructure and 7) build MoU cooperation development with United State of America.

Keywords: accreditation, fishery products, HACCP, standardization, strategy policy.

(8)
(9)

Hak Cipta milik IPB, tahun 2013-07-29

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(10)
(11)

PENGEMBANGAN STRATEGI KEAMANAN PRODUK

PERIKANAN UNTUK EKSPOR KE AMERIKA SERIKAT

LELY RAHMAWATY

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi

pada

Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(12)
(13)

Judul Tugas Akhir : Pengembangan Strategi Keamanan Produk Perikanan untuk Ekspor ke Amerika Serikat

Nama : Lely Rahmawaty

NIM : F2521001351PTP

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Winiati P. Rahayu, MS Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Magister Profesi Teknologi Pangan

I

Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi

Tanggal Ujian: 29 Juli 2013 Tanggal Lulus:

(14)

Judul Tugas Akhir : Pengembangan Strategi Keamanan Produk Perikanan untuk Ekspor ke Amerika Serikat

Nama : Lely Rahmawaty

NIM : F252100135/PTP

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Winiati P. Rahayu, MS Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Magister Profesi Teknologi Pangan

Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(15)
(16)

PRAKATA

Keheningan malam menghantarkan doa dan harapan yang tiada terhingga atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan keindahan yang telah menorehkan tinta-tinta pelajaran kehidupan menghantarkan pada akhir perjalanan pendidikan magister profesi teknologi pangan dengan terselesaikannya karya ilmiah ini. Karya ilmiah ini merupakan hasil penelitian yang telah dilaksanakan sejak bulan September 2012 dengan tema keamanan pangan, dengan judul Pengembangan Strategi Keamanan Produk Perikanan untuk Ekspor ke Amerika Serikat.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Winiati P. Rahayu dan Dr. Harsi D. Kusumaningrum selaku pembimbing, serta Dr. Feri Kusnandar dan Dr. Puspo Edi Giriwono yang telah banyak memberi saran. Ucapan terimakasih dan rasa syukur yang tak terhingga penulis ucapkan kepada suami tercinta, Bapak Kusman Haryono. Kepada ibunda tercinta Ibu Rohmah untuk doanya atas kesuksesan dan kemudahan dalam mengarungi setiap tantangan kehidupan. Kepada Bapak Hardi Harmen atas kepercayaannya dalam pendirian PT Narrada Sigma Indonesia dan mendukung proses pendidikan. Kepada teman-teman di Badan Standardisasi Nasional dan teman-teman SMAN I Leuwiliang serta manajemen dan kolega di PT TUV Rheinland Indonesia yang selalu memberikan dorongan semangat. Handai taulan dan keluarga besar Ali Rais atas kesabarannya dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013

(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...xi

DAFTAR GAMBAR ...xi

DAFTAR LAMPIRAN ...xi

PENDAHULUAN ...1

Latar Belakang ...1

Tujuan Penelitian ...2

Manfaat Penelitian ...2

Ruang Lingkup Penelitian ...2

METODE . ... ...3

Tempat dan Waktu Penelitian ...3

Bahan... ...3

Metode Penelitian...3

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Penolakan Produk Perikanan Indonesia oleh FDA ...4

Gap Analisis dan Rekomendasi Strategi Kebijakan Keamanan Produk Perikanan Indonesia terhadap FDA ...17

SIMPULAN DAN SARAN ...26

DAFTAR PUSTAKA ...26

LAMPIRAN ... ...30

(18)

DAFTAR TABEL

1 Ekspor produk perikanan Indonesia tahun 2006 dan 2011 ... 5

2 Penolakan produk Indonesia, negara ASEAN dan negara maju ... 6

3 Penolakan ekspor hasil perikanan per negara mitra ... 11

4 Gap penerapan sistem HACCP PT. AAA terhadap regulasi FDA ... 14

5 Identifikasi rekomendasi strategi kebijakan keamanan produk perikanan .. 17

DAFTAR GAMBAR 1 Kasus penolakan produk perikanan oleh FDA periode 2010-2012 (FDA 2013a) ... 7

2 Penolakan produk Indonesia tahun 2010 berdasarkan jenis produk (FDA 2013a) ... 7

3 Penolakan produk Indonesia tahun 2011 berdasarkan jenis produk (FDA 2013a) ... 8

4 Penolakan produk Indonesia tahun 2012 berdasarkan jenis produk (FDA 2013a) ... 8

5 Alasan penolakan produk perikanan Indonesia periode 2010-2012 ... 9

6 Alasan penolakan produk perikanan Indonesia oleh Eropa tahun 2012... 11

7 Kategori penolakan produk perikanan Indonesia oleh Eropa tahun 2012 ... 12

8 Unit Pengolahan Ikan (UPI) dan jumlah sertifikat HACCP yang telah diterbitkan tahun 2006 – 2010 berdasarkan data BKIPM ... 22

9 Perkembangan SDM inspektur mutu tahun 2016 – 2010 ... 23

10 Jumlah UPI terdaftar di negara mitra ... 25

DAFTAR LAMPIRAN 1 Rencana HACCP PT. AAA sebelum di audit ... 31

2 Rekomendasi analisis bahaya ... 32

(19)

DAFTAR ISTILAH

1. Chloramphenicol : Antibiotik spektrum luas efektif terhadap rickettsia, bakteri Gram positif dan Gram negatif, dan spirochetes tertentu, biasanya digunakan dalam budidaya perikanan. 2. Filthy : Setiap jenis benda atau material yang tidak termasuk

dalam produk pangan atau disebut sebagai pengotor produk pangan.

3. Foreign object : Partikel pengotor, berbau atau terurai atau tidak sesuai untuk pangan..

4. Histamine : Suatu senyawa nitrogen organik yang dalam jumlah tertentu dapat membahayakan kesehatan yang dihasilkan dari dekomposisi histidin oleh enzim histidin dekarboksilase dari bakteri enterik termasuk Morganella

morganii.

5. Insanitary : Kondisi yang tidak bersih yang mungkin telah terkontaminasi oleh kotoran, yang dapat membahayakan kesehatan.

6. Listeria : Bakteri basil Gram positif yang dapat menyebabkan infeksi fatal pada orang tua, bayi baru lahir, wanita hamil, dan orang dengan sistem kekebalan yang lemah.

7. Mercury : Logam berat (cair pada suhu normal) yang merupakan racun sistemik dan biasanya terdapat pada pangan karena kontaminasi peralatan dan lingkungan.

8. Misbranding : Label pada produk tidak sesuai dengan data pada dokumen pengiriman.

9. MFRHACCP : Sistem analisis bahaya dan penetapan titik kendali kritis pada produksi pangan, penyimpanan, dan sistem pemantauan distribusi untuk identifikasi dan kontrol bahaya kesehatan yang terkait.

10. Poisonous : Zat beracun atau merusak yang dapat membahayakan kesehatan.

11. Poor temperature

control : Produk pangan di proses dengan pengendalian suhu yang tidak memadai sehingga mungkin berbahaya bagi kesehatan.

12. Salmonella : Bakteri basil Gram negatif yang dapat menyebabkan infeksi fatal pada orang tua, bayi baru lahir, wanita hamil, dan orang dengan sistem kekebalan yang lemah.

13. Unauthorized : Produk mengandung seluruh atau sebagian partikel

substances pengotor, berbau atau terurai atau tidak sesuai untuk pangan.

14. Under process : Proses yang tidak memadai dalam melakukan penyiapan, pengolahan, pengemasan atau dilakukan dalam kondisi tidak sehat yang mungkin berbahaya bagi kesehatan. 15. Unsafe additive : Bahan tambahan pangan yang tidak aman.

(20)

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada era perdagangan bebas, produk perikanan Indonesia menghadapi berbagai tantangan untuk meningkatkan daya saing, baik dalam mutu produk maupun efisiensi dalam produksi. Tantangan terbesar bagi produk pangan termasuk produk perikanan di Indonesia yang paling utama adalah keamanan pangan. Persyaratan keamanan pangan menjadi hambatan non-tarif untuk memasuki pasar ekspor, utamanya pada kualitas produk yang tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan negara pengimpor.

Standar untuk keamanan pangan (food safety) yang dirumuskan oleh Codex Alimentarius Commission dan secara internasional telah diakui adalah sistem mutu Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP). Sistem mutu HACCP merupakan sistem yang dikembangkan dengan prinsip dimana pengawasan mutu dilakukan secara sistematis, terpadu sejak dari awal sampai produk siap dikonsumsi. Sistem mutu HACCP merupakan syarat dasar yang harus dipenuhi oleh semua perusahaan perikanan yang akan melakukan ekspor produknya ke Amerika Serikat dan Uni Eropa yang diberlakukan sejak tahun 1995 berdasarkan ketentuan Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF) .

Di Indonesia, sistem mutu untuk produk perikanan telah diatur dalam Undang-Undang (UU) No.9 tahun 1985 tentang Perikanan, yang diperbaharui dengan UU No.31 tahun 2004 dan UU No.45 tahun 2009. Penerapan sistem mutu telah diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian No.41/Kpts/IK.210/1998, selanjutnya melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan.

Persyaratan mengenai jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan diatur melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor KEP. 01/MEN/2007. Pada Keputusan Menteri tersebut telah tersirat dengan jelas persyaratan jaminan mutu dan keamanan pangan produk-produk perikanan, mulai dari proses produksi, pengolahan dan distribusi.

Walaupun pemerintah Indonesia telah mewajibkan rantai pasok perikanan menerapkan sistem mutu HACCP melalui Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan konsep HACCP pada tahun 1998 berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 41/Kpts/IK.210/2/1998, namun masih terdapat produk perikanan yang ditolak di Amerika dan Uni Eropa. Berdasarkan hasil penelitian Rinto (2010), pada tahun 2010 tercatat 146 kasus penolakan dari FDA (Food and

Drug Administration). Sebanyak 64% kasus penolakan disebabkan adanya bakteri

patogen maupun toksin yang dihasilkan seperti histamin, 26% disebabkan filthy, 6% disebabkan adanya residu kimia, dan 4% disebabkan misbranding. Penolakan produk perikanan terbesar di Amerika Serikat disebabkan adanya kontaminasi bakteri patogen (termasuk Salmonella) dan filthy.

Sejak tahun 2004, Indonesia menjadi negara penghasil tuna nomor satu di dunia. Rencana Strategis 2010-2014 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan kenaikan produksi dari 5.38 juta ton di tahun 2010 menjadi 5,5 juta ton pada tahun 2014 [KKP-RI 2012]. Negara tujuan ekspor utama produk perikanan Indonesia adalah Amerika Serikat disusul kemudian Cina, Jepang, Uni

(21)

2

Eropa serta negara-negara lain. Tahun 2011, realisasi ekspor hasil perikanan sebesar 3,5 miliar dollar AS (Rp 33.250 triliun), negara utama tujuan ekspor produk perikanan yakni Amerika Serikat 1,07 miliar dollar AS atau Rp 10.165 triliun (30,4 %), Jepang 806 juta dollar AS atau Rp 7.657 triliun (22,9 %), dan Eropa 459,8 juta dollar AS atau Rp 4.368 triliun (13,1 %). Akan tetapi kasus penahanan dan penolakan produk perikanan Indonesia masih sering terjadi.

Amerika Serikat menjadi negara tujuan utama ekspor produk perikanan, oleh karena itu diperlukan sebuah penelitian untuk menggali permasalahan-permasalahan yang dihadapi perusahaan yang mengalami penolakan dari FDA dengan melakukan studi kasus terhadap perusahaan yang mendapat surat peringatan dari FDA. Dalam hal ini digunakan PT. AAA yang merupakan produsen sashimi ikan tuna beku yang mendapatkan surat peringatan (Case I.D 167873) dari FDA, sebagai prototipe perusahaan yang memberikan gambaran penerapan sistem HACCP di industri perikanan sehingga dapat diperoleh strategi perbaikan sistem HACCP sesuai persyaratan FDA. Di samping itu, diperlukan studi mengenai gap antara standar Indonesia terhadap standar yang diberlakukan FDA, sehingga diperoleh strategi perumusan kebijakan yang tepat untuk regulasi HACCP di sektor perikanan Indonesia.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis perkembangan penolakan produk perikanan oleh FDA yang diperkuat dengan studi kasus penerapan sistem HACCP di perusahaan pengolahan tuna, 2) melakukan “gap analysis” persyaratan standar dan regulasi Indonesia terhadap FDA, dan 3) mengembangkan strategi peningkatan keamanan produk perikanan yang tepat untuk ekspor ke Amerika Serikat.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah membuat suatu prototipe penerapan sistem HACCP di sektor perikanan agar dapat menembus pasar Amerika. Disamping itu, penelitian ini dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan regulasi wajib penerapan sistem HACCP di Indonesia dan memberikan masukan atas pengembangan regulasi keamanan pangan untuk pengembangan industri perikanan Indonesia.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup penolakan ekspor seluruh produk perikanan baik darat maupun laut, serta berbagai pengolahannya tahun 2010 – 2012. Selain itu, dilakukan pengambilan data penolakan ekspor oleh Eropa khusus tahun 2012 yang digunakan sebagai pelengkap data. Studi kasus dilakukan pada PT. AAA yang menghasilkan produk tuna beku untuk sashimi yang di kemas vakum. Regulasi dan standar yang digunakan sebagai dasar “gap analysis” hanya regulasi dan standar produk perikanan Indonesia dan Amerika Serikat.

(22)

3

2. METODE

Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan mengakses website FDA (FDA 2013a) dan Eropa (Europa 2013) serta menganalisis peraturan perundangan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang dilakukan di Bogor. Disamping itu, dilakukan studi kasus di PT AAA yang merupakan perusahaan pengolahan ikan tuna untuk kebutuhan ekspor dan lokal. PT AAA berlokasi di Jakarta Utara, Indonesia. Penelitian berlangsung selama 11 (sebelas) bulan dan dilaksanakan pada bulan September 2012 dan diselesaikan pada bulan Juli 2013.

Bahan

Penelitian ini memerlukan bahan berupa data sekunder dari akses website FDA dan RASFF (Rapid Alert System for Food and Feed), hasil penelitian, jurnal-jurnal ilmiah, buku-buku mengenai sistem HACCP dan penerapannya di sektor perikanan, data perkembangan isu ekspor produk perikanan Indonesia dan peraturan perundangan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan yang diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, standar keamanan hasil perikanan dari Badan Standardisasi Nasional, regulasi dan standar keamanan pangan sektor perikanan FDA. Di samping itu, diperlukan data primer studi kasus dari dokumen-dokumen sistem HACCP PT AAA dan rekaman hasil pemantauan di lapangan berupa data hasil wawancara, hasil audit, foto-foto dan bukti pelaksanaan observasi lapangan, bukti hasil audit atau surat peringatan FDA.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu 1) pengumpulan data, 2) analisis data, dan 3) rekomendasi.

a. Pengumpulan Data

Data perkembangan penolakan produk perikanan Indonesia di Amerika Serikat, dalam hal ini tidak dibedakan antara perikanan darat dan laut, merupakan data sekunder yang diperoleh dengan cara mengakses data melalui internet yang dipublikasikan oleh FDA (FDA 2013a). Sebagai data tambahan dilakukan pengumpulan data penolakan produk perikanan Indonesia oleh Eropa yang diperoleh dengan cara mengakses website yang dipublikasikan oleh RASFF Uni Eropa (Europa 2013). Data yang diambil adalah data tiga tahun terakhir yaitu 2010, 2011 dan 2012.

Pengumpulan data primer dilakukan melalui studi kasus ke PT. AAA dengan cara observasi dokumen sistem HACCP perusahaan, wawancara, dan audit. Audit adalah proses terdokumentasi yang sistematik dan independen untuk mengumpulkan bukti audit dan mengevaluasinya secara objektif untuk menentukan sejauh mana kriteria audit terpenuhi. Teknik audit dilaksanakan sesuai standar ISO 19011:2010, sedangkan pertanyaan audit mengacu pada standar CAC/RCP 1-1969, Rev. 3 (1997), Amd. (1999), SNI 01-4852-199, 21 CFR 123, FDA Food Code 2009, dan Fish and Fishery Products Hazards and

(23)

4

Controls Guidance, Fourth Edition – April 2011. Wawancara dilakukan untuk

mengetahui visi, misi, komitmen manajemen terhadap penerapan sistem HACCP. Di samping itu, untuk mengetahui alasan penolakan dan respon tindakan perbaikan yang telah dilakukan perusahaan. Studi kasus ini untuk memperkuat data penolakan produk perikanan bagi perusahaan yang telah mendapat sertifikat penerapan HACCP dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Pengumpulan data perkembangan regulasi dan standar keamanan produk perikanan Indonesia dan FDA diperoleh dengan mengakses website Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta website FDA. Data yang diambil adalah seluruh peraturan perundangan dan standar yang terkait dengan keamanan produk perikanan Indonesia dan Amerika Serikat dengan revisi atau edisi terbaru (peraturan perundangan belum dicabut).

b. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan metode “gap analysis” (Poole et al. 2000) dengan membandingkan regulasi dan standar keamanan produk perikanan Indonesia dengan regulasi dan standar keamanan produk perikanan FDA. Dalam melakukan “gap analysis” ditetapkan 7 (tujuh) komponen pembanding yang didasarkan pada konsep globalisasi yang menyatakan globalisasi dipengaruhi oleh pemerintah, peraturan, standar, sertifikasi sistem dan sertifikasi produk, akreditasi dan kerjasama internasional (Zou 1997). Sebagai bukti bahwa regulasi dan standar keamanan produk perikanan Indonesia belum harmonis dengan regulasi dan standar keamanan produk perikanan FDA, maka dilakukan studi kasus “gap

analysis” dokumentasi sistem HACCP PT. AAA yang telah mendapat sertifikat

penerapan HACCP dari Kementerian Kelautan dan Perikanan atau telah memenuhi standar dan regulasi keamanan produk perikanan Indonesia, dengan sistem HACCP FDA.

c. Rekomendasi

Berdasarkan hasil analisis kasus penolakan produk oleh FDA dan “gap

analysis” terhadap gap regulasi, standar dan implementasi keamanan produk

perikanan Indonesia dan FDA, diperoleh strategi peningkatan keamanan produk perikanan sebagai faktor kunci keberhasilan pemenuhan atau harmonisasi regulasi dan standar Amerika Serikat yang dapat diterapkan di Indonesia.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Penolakan Produk Perikanan Indonesia Oleh Fda

Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki kurang lebih 13.427 pulau dengan luas wilayah laut 5,4 juta km2 dari total luas territorial Indonesia sebesar 7,1 juta km2. Panjang pantai Indonesia mencapai 95.181 km (KKP-RI 2011) yang memiliki potensi sumber daya kelautan perikanan yang cukup besar termasuk didalamnya kekayaan keanekaragaman hayati.

(24)

5

Pada tahun 2008, produksi perikanan Indonesia mencapai 9 juta ton (KKP-RI 2008) dan menjadi ketiga penghasil perikanan tangkap laut, ketujuh di perikanan tangkap darat dan keempat dalam perikanan budidaya di di dunia (FAO 2008). Kementerian Perdagangan Indonesia mencatat kenaikan nilai ekspor perikanan sebesar 10,8 persen pada Tahun 2010, dengan komoditas udang sebagai penyumbang terbesar ekspor produk perikanan yakni sebesar 40%. Sementara peringkat kedua diduduki oleh komoditi tuna, tongkol, cakalang sebesar 12 persen dari total keseluruhan kinerja ekspor (Kemendag-RI 2012). Sedangkan dalam catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Amerika Serikat (AS) memang mendominasi tujuan ekspor perikanan hingga 30% atau senilai US$ 1,13 miliar (Rp 10,7 triliun) (KKP-RI 2012).

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP-RI 2012), pada tahun 2006, Amerika Serikat masih duduk sebagai negara tujuan utama produk perikanan disusul kemudian Cina, Jepang, Uni Eropa serta negara negara lain (Tabel 1). Tahun 2011, realisasi ekspor hasil perikanan sebesar US$ 3,5 miliar (Rp 33.250 triliun), dengan negara utama tujuan ekspor produk perikanan yakni Amerika Serikat US$ 1,07 miliar atau Rp 10.165 triliun (30,4 %), Jepang US$ 806 juta atau Rp 7.657 triliun (22,9 %), dan Eropa US$ 459,8 juta atau Rp 4.368 triliun (13,1 %). Akan tetapi kasus penahanan dan penolakan produk perikanan Indonesia masih sering terjadi.

Tabel 1. Ekspor produk perikanan Indonesia tahun 2006 dan 2011 Negara Tujuan 2006 2011 Volume Ekspor (Ton) Nilai Ekspor (US$juta) % Total Ekspor Nilai Ekspor (US$juta) % Total Ekspor Amerika Serikat 83.347 475.14 12.54 1.070.0 30.4 Cina 78.686 409.66 11.84 - - Jepang 74.973 48.39 11.28 806.0 22.9 Eropa 51.976 193.56 7.82 459.8 13.1

Sumber: Renstra BKIPM 2011-2014

Kebijakan yang diterapkan oleh negara pengimpor Ikan tuna Indonesia makin hari memang semakin ketat dan meningkat permintaan mutunya, berkaitan dengan aspek-aspek keamanan pangan, jaminan mutu, dan kemamputelusuran agar mendapatkan kepuasan konsumen domestik negara pengimpor secara optimal.

Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia sebagai Competent Authority (CA) melakukan tindakan nyata yaitu reformasi sistem manajemen pada jaminan mutu dan keamanan produk perikanan untuk mencapai harmonisasi dengan standar mutu di negara-negara tujuan ekspor ikan tuna Indonesia, dan produk perikanan lainnya. Walaupun demikian, kasus penolakan produk perikanan Indonesia masih masih terjadi dan terkait dengan masalah keamanan pangan.

(25)

6

Data penolakan produk Indonesia di FDA dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN (Association South East Asia Nation) menunjukkan bahwa Indonesia mengalami penolakan yang hampir setara dengan Filipina, Thailand dan Vietnam, tapi lebih tinggi dari Malaysia (Tabel 2). Secara persentase, pada tahun 2011 Indonesia mengalami penurunan penolakan (0,7%), namun secara kuantitas Indonesia mengalami lonjakan dari 351 di tahun 2010, meningkat menjadi 587 di tahun 2011 dan 541 di tahun 2012. Jika dibandingkan dengan negara maju seperti Jepang, posisi Indonesia hampir menyamai, namun penolakannya masih di bawah Korea. China, India, Kanada dan AS juga mengalami penolakan produk yang tinggi, namun hal ini dikaitkan dengan produktivitas ekspor produk negara tersebut yang juga sangat tinggi.

Tabel 2. Penolakan produk Indonesia, negara ASEAN dan negara maju

Negara Penolakan pada Tahun

2010 2010 (%) 2011 2011 (%) 2012 2012 (%) Indonesia 351 1.9 587 0.7 541 2.3 Malaysia 174 1.0 153 0.2 142 0.6 Filipina 355 1.9 384 0.5 396 1.7 Thailand 416 2.3 396 0.5 564 2.4 Vietnam 374 2.1 409 0.5 348 1.5 China 2015 11.1 2805 3.3 2502 10.7 India 2036 11.2 2414 2.9 2373 10.1 Jepang 429 2.4 571 0.7 384 1.6 Korea 469 2.6 785 0.9 827 3.5 Kanada 1119 6.1 1282 1.5 1000 4.3 AS 610 3.3 833 1.0 698 3.0 Total 18229 84093 23385

Sumber: FDA 2013a

Berdasarkan hasil penelusuran (Gambar 1) menunjukkan bahwa penolakan produk Indonesia sejak 2010 sampai 2012 mencapai 1479 kasus penolakan dan mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Pada tahun 2010 sebanyak 351 kasus, 2011 meningkat sebanyak 587 kasus, dan tahun 2012 sebanyak 541 kasus. Terdapat 1203 kasus penolakan produk perikanan Indonesia dari keseluruhan kasus selama 2010-2012, dan 53 kasus penolakan merupakan produk ikan kaleng (canned fish). Jika dilakukan perbandingan jumlah produk perikanan Indonesia yang ditolak terhadap keseluruhan produk Indonesia yang ditolak FDA dari 351 kasus penolakan di tahun 2010, terdapat 290 kasus penolakan produk perikanan Indonesia. Tahun 2011 kasus penolakan produk Indonesia mengalami peningkatan tertinggi, dari 587 kasus terdapat 494 kasus produk perikanan. Tahun 2012 mengalami sedikit penurunan, dari 541 kasus penolakan terdapat 419 kasus produk perikanan. Jadi jika dilakukan persentase perbandingan produk perikanan Indonesia yang ditolak FDA terhadap keseluruhan kasus penolakan produk Indonesia di tahun 2010 mencapai 82,6%, setara di tahun 2011 sebesar 84,2%, dan menurun di tahun 2012 menjadi 77,4%.

(26)

7

Gambar 1. Kasus penolakan produk perikanan oleh FDA periode 2010-2012 (FDA 2013a)

Jika dilakukan pengelompokan data, tidak hanya membandingkan produk perikanan, namun juga membandingkan dengan produk lain maka hasilnya dapat dilihat pada Gambar 2, 3 dan 4. Hasil pengelompokan data berdasarkan jenis produk pada tahun 2010 menunjukkan bahwa posisi penolakan tertinggi tetap dimiliki oleh produk perikanan yaitu 83% atau 290 kasus jika dibandingkan dengan produk lain yaitu sebesar 4% atau 16 kasus produk kosmetik, 3% atau 12 kasus produk kue dan makanan ringan, dan 3% atau 12 kasus produk jamu dan obat-obatan, sisanya 7% tersebar di produk pangan dan non pangan. Tahun 2011 tidak jauh berbeda dengan tahun 2010, produk perikanan mendominasi dengan angka 84% atau 494 kasus, sebesar 6% atau 33 kasus produk rempah-rempah dan bumbu, sisanya 8% adalah produk pangan dan non pangan. Tahun 2012 mengalami penurunan produk perikanan yang ditolak FDA sebesar 77% atau 491 kasus, sebesar 9% atau 48 kasus jamu dan obat-obatan, 6% atau 33 kasus kosmetik, 4% atau 31 kasus rempah-rempah dan bumbu, sisanya 4% adalah produk pangan dan non pangan. Penolakan kakao dan produk kakao dari tahun 2010 sampai 2012 tetap konsisten pada kisaran 4 atau 5 kasus penolakan.

Gambar 2. Penolakan produk Indonesia tahun 2010 berdasarkan jenis produk (FDA 2013a)

(27)

8

Gambar 3. Penolakan produk Indonesia tahun 2011 berdasarkan jenis produk (FDA 2013a)

Gambar 4. Penolakan produk Indonesia tahun 2012 berdasarkan jenis produk (FDA 2013a)

FDA menetapkan 214 kode penolakan produk berdasarkan referensi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Amerika serikat yang memuat alasan penolakan produk. Dari 214 kode penolakan, yang sering terjadi di kasus penolakan produk perikanan Indonesia berada pada kisaran 12-14 kode penolakan. Kode penolakan yang sering terjadi diantaranya filthy, Salmonella,

Listeria, Poisonous, Vetdrugres, Chlorampenicol, Histamine, Insanitary, Under Process, Unsave Additive, Foreign object, Manufacturing HACCP (MFRHACCP), misbranding.

Berdasarkan pengelompokan, alasan penolakan tahun 2010-2012 (Gambar 5) memberikan hasil tahun 2010 alasan penolakan tertinggi adalah karena filthy 41 % atau 118 kasus dan Salmonella 37% atau 108 kasus. Tahun 2011 kasus

Salmonella mengalami peningkatan secara signifikan, yaitu 64% atau 315 kasus,

sedangkan alasan filthy secara persentase menurun menjadi 30%, namun secara jumlah meningkat menjadi 146 kasus. Tahun 2012 secara persentase memiliki pola yang hampir sama dengan tahun 2010, alasan penolakan tertinggi adalah

(28)

9

filthy 42%, namun dengan jumlah yang meningkat 176 kasus. Sedangkan karena

alasan Salmonella dengan persentase 27%, dengan jumlah yang hampir sama dengan tahun 2010 yaitu 111 kasus. Sisanya 11% atau 46 kasus karena, 6% atau 26 kasus karena, 6% atau 24 kasus karena, dan 5% atau 22 kasus karena MFRHACCP. Data tersebut menunjukkan bahwa alasan penolakan tertinggi adalah karena Salmonella dan filthy. Alasan penolakan lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah adanya kasus penolakan karena chloramphenicol,

vetdrugres, poisonous, histamin, Listeria, dan MFRHACCP.

Gambar 5. Alasan penolakan produk perikanan oleh FDA periode 2010-2012

Berdasarkan hasil penelitian Saputra (2011), selama tahun 2002-2010 Indonesia mengalami kasus penolakan terbanyak di Amerika Serikat yaitu pada tahun 2004 sebanyak 367 kasus dan terendah pada tahun 2002 sebanyak 203 kasus dengan rata-rata jumlah kasus pertahunnya sebesar 289 kasus. Jika dibandingkan dengan data yang diperoleh tahun 2010-2012 maka kasus penolakan tertinggi adalah 587 kasus penolakan pada tahun 2012 dengan 84% diantaranya adalah produk perikanan. Hal ini menunjukkan kebijakan dan program-program yang diterapkan KKP belum cukup efektif untuk menurunkan kasus penolakan produk perikanan Indonesia oleh AS.

Hasil penelitian Saputra (2011) menyatakan alasan penolakan terbesar produk perikanan Indonesia di AS adalah filthy. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alasan terbesar kasus penolakan produk perikanan Indonesia adalah filthy dan Salmonella. Karena penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang disebabkan karena peningkatan kasus penolakan tertinggi Salmonella terjadi di tahun 2011.

Peningkatan kasus penolakan pada tahun 2011 dan 2012 jika dilihat dari perkembangan regulasi FDA disebabkan karena FDA melakukan revisi terhadap

Fish and Fishery Products Hazards and Controls Guidance yang diterbitkan pada

bulan April 2011. Pedoman tersebut tidak hanya memuat mengenai 7 (tujuh) prinsip HACCP, akan tetapi standar bahaya kimia, fisik dan mikrobiologi yang

(29)

10

dirinci untuk masing-masing jenis dan spesies ikan, dan untuk masing-masing proses pengolahan. Di samping itu, diberikan contoh rencana HACCP dan penetapan batas kritis dan CCP serta tindakan perbaikan dan verifikasinya beserta format formulirnya.

Perubahan atas regulasi FDA 21 CFR 123 dan pedoman produk perikanan (FDA 2013b) didasarkan atas hasil penelitian General Accounting Office (GAO 2001) mengenai regulasi FDA terhadap produk perikanan terdahulu yang tidak cukup melindungi konsumen. GAO (2001) melakukan evaluasi penerapan HACCP di tiga distrik penghasil produk perikanan negara Amerika Serikat, yaitu Seattle, New England dan Florida, serta di negara pengimpor terbesar produk perikanan, yaitu Chili dan Kanada. Hasil evaluasi menunjukkan adanya kelemahan dalam penerapan program keamanan produk perikanan baik domestik maupun impor. Yang pertama adalah meskipun telah ada regulasi HACCP FDA, karena berbagai alasan, masih terdapat industri perikanan dalam jumlah yang cukup signifikan yang belum menerapkan sistem HACCP. Kedua, walaupun industri perikanan telah memiliki sistem HACCP, namun masih banyak kelemahannya, seperti kegagalan dalam mengidentifikasi tingkat keseringan bahaya terjadi. Ketiga, pada saat inspektur menemukan pelanggaran yang signifikan, surat peringatan tidak diterbitkan. Pada tahun 2000, 94% surat peringatan diterbitkan lebih dari 15 hari dan rata-rata membutuhkan 73 hari untuk penerbitannya. Keempat, FDA belum menetapkan alokasi dana untuk menilai keefektivan penerapan HACCP produk perikanan.

Sistem FDA dalam memastikan keamanan impor produk perikanan menggunakan empat strategi dasar, yaitu 1) perjanjian kesepakatan atau MoU (Memorandum of Understanding), 2) meninjau rekaman importir, 3) melakukan inspeksi terhadap produsen produk perikanan asing, dan 4) pengujian produk di pelabuhan. Dengan empat strategi ini bukan berarti FDA tidak mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya, karena membutuhkan sumber daya manusia dan sumber daya keuangan yang tinggi. Oleh karena itu, FDA memperketat peraturannya untuk melindungi konsumen AS dan melakukan upaya kerjasama dengan berbagai negara untuk melakukan efisiensi sumber daya, namun dengan ketentuan harmonisasi standar dan peraturan yang berlaku di negara mitra. Dengan demikian, apabila Indonesia telah melakukan harmonisasi standar dan peraturannya dengan FDA maka peluang Indonesia untuk melakukan kerjasama dan menurunkan kasus penolakan yang berdampak pada efisiensi biaya juga tinggi.

Jumlah kasus penolakan produk perikanan dari Eropa selama tahun 2006 hingga 2010 menunjukkan adanya terdapat penurunan kasus penolakan, dari tahun 2006 yang mencapai 34 kasus, tahun 2007 menurun menjadi 17 kasus, tahun 2008 dan 2009 hanya terdapat 6 dan 9 kasus, tahun 2010 meningkat lagi menjadi 11 kasus (Tabel 3) (KKP-RI 2012). Selanjutnya tahun 2011 terjadi penurunan kasus menjadi 7 kasus, sedangkan pada tahun 2012, terjadi peningkatan yang cukup signifikan atas penolakan produk perikanan Indonesia oleh Eropa, yaitu dari 35 kasus penolakan 25 kasus diantaranya adalah produk perikanan (Europa 2013). Pada Gambar 6 dapat dilihat, 60% atau 15 kasus ditolak dengan alasan

Salmonella, 20% atau 5 kasus karena suhu tidak terkendali pada rantai proses, 8%

atau 2 kasus merkuri, masing-masing 4% atau 1 kasus karena adanya Listeria, histamin dan substansi yang tidak diizinkan. Data ini berbeda dengan hasil

(30)

11

penelitian Saputra (2011) yang menyatakan kasus penolakan di Eropa tertinggi adalah karena tercemar mercury. Karena penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang disebabkan karena peningkatan kasus penolakan tertinggi

Salmonella terjadi di tahun 2012.

Tabel 3. Penolakan ekspor hasil perikanan Indonesia per negara mitra

No Negara Tahun Penolakan

2006 2007 2008 2009 2010 1 Uni Eropa 34 17 6 9 11 2 Korea 0 0 6 4 3 3 China 10 21 2 12 0 4 Rusia 0 0 1 1 7 5 Kanada 0 0 0 6 1

Sumber: Renstra BKIPM 2011-2014

Gambar 6. Alasan penolakan produk perikanan Indonesia oleh Eropa tahun 2012 Berdasarkan kategori penolakan (Gambar 7), 60% atau 20 kasus termasuk

border rejection, 12% atau 3 kasus termasuk information for attention, dan 8%

atau 2 kasus masuk ke dalam sistem alert. Terdapat empat tipe pemberitahuan yang diinformasikan melalui RASFF, yaitu alert notifications, information

notifications, border rejection notifications dan news notifications. Alert notifications adalah sebuah ‘pemberitahuan peringatan’ atau peringatan ke negara

anggota apabila pangan atau pakan memiliki risiko serius di pasar atau ketika tindakan cepat diperlukan seperti penarikan karena produk telah mencapai pasar.

Information notifications adalah sebuah ‘pemberitahuan informasi’ menyangkut

suatu pangan atau pakan ke negara anggota jika risiko telah teridentifikasi, tapi tidak memerlukan tindakan cepat, karena pangan atau pakan belum mencapai pasar atau tidak ada di pasar. Border rejection notifications adalah suatu ‘pemberitahuan batas penolakan’ suatu pangan atau pakan yang ditolak masuk karena alasan risiko terhadap kesehatan manusia dan hewan. News notifications adalah suatu ‘pemberitahuan berita’ menyangkut jenis informasi yang berhubungan dengan keamanan pangan atau pakan yang belum disampaikan sebagai peringatan, informasi atau batas penolakan, oleh pihak yang berwenang di

(31)

12

negara-negara anggota berdasarkan informasi yang diambil dari media atau disampaikan oleh pihak berwenang negara ketiga atau organisasi internasional setelah diverifikasi oleh negara-negara anggota yang bersangkutan.

Gambar 7. Kategori penolakan produk perikanan Indonesia oleh Eropa tahun 2012

Berdasarkan hasil analisis dua kasus penolakan AS dan Eropa ini dapat disimpulkan penyebab tertinggi adalah filthy dan Salmonella. Menurut Jay et al. (2005), Salmonella sp. merupakan bakteri Gram negatif yang bersifat anaerob fakultatif dan tidak dapat membentuk spora. Bakteri ini tergolong patogen, yakni dapat menyebabkan penyakit bagi yang mengonsumsinya. Penyakit yang dapat ditimbulkan oleh Salmonella sp. antara lain tifus (Salmonella Typhi), paratifus (Salmonella Paratyphi), dan infeksi yang disebut Salmonellosis. Salmonella sp. sensitif terhadap panas. Keberadaan Salmonella menunjukan adanya kontaminasi selama proses produksi dan kurang baiknya sistem sanitasi pada proses produksi komoditi perikanan. Salmonella sp. dapat dimusnahkan dengan pemanasan pada suhu 60oC selama 30 menit atau 65oC selama 15 menit (Jay et al. 2005).

Adanya pengotor atau benda asing yang disebut dengan istilah filthy. Analisis benda asing adalah elemen analisis yang sangat penting baik dalam memilih bahan baku maupun untuk memonitoring mutu produk. Adanya benda asing pada produk sangat tidak diharapkan dan dapat menyebabkan bahaya bagi kesehatan konsumen. Hal ini juga menunjukkan bahwa produk tidak diolah dengan baik dan kondisi sanitasi produksi, penyimpanan atau distribusi yang kurang baik. Keberadaan benda asing dalam produk dapat menyebabkan produk tercemar dan tidak sesuai untuk konsumsi manusia. Dogan et al. (2010) mengkategorikan menjadi filth, heavy filth, light filth, dan sieved filth. Filth adalah benda asing yang berasal dari kontaminasi hewan seperti tikus, serangga, atau burung ataupun benda asing lain karena kondisi sanitasi yang kurang baik. Heavy

filth adalah benda asing yang dapat dipisahkan dari produk dengan cara

sedimentasi berdasarkan berat jenis benda asing, partikel pangan, dan imersi cair, seperti pasir, tanah, serangga dan kotoran tikus. Light filth adalah partikel larut minyak dan dapat dipisahkan dari produk dengan melarutkan dalam emulsi air dan minyak, seperti potongan serangga, serangga utuh, rambut dan potongan tikus. Sieved filth adalah partikel benda asing yang memiliki kisaran ukuran tertentu yang dapat dipisahkan secara kuantitatif dengan menggunakan saringan mesh terpilih.

(32)

13

Berbagai penelitian mengenai kontaminasi Salmonella dan filthy yang dihubungkan dengan penerapan HACCP telah dilaporkan. Cato (1998) menjelaskan kejadian keracunan ikan dan produk perikanan di Amerika, Eropa, Kanada dan Jepang dengan penyebab tertinggi adalah Salmonella, Staphylococcus

aureaus, Clostridium botulinum, dan histamin. Penerapan sistem HACCP efektif

untuk mengurangi kejadian penyakit atau keracunan karena makanan laut (Cato 1998). Hal ini juga telah dibuktikan sebelumnya oleh Ahmed (1991). Pembuktian penurunan jumlah Salmonella pada daging dan produk daging yang dikelola dengan sistem HACCP dilakukan di Tehran (Majd dan Mehrabian 2013). HACCP juga digunakan pada peternakan ayam dan produsen pakan untuk menurunkan

Salmonella (Ziggers 2012) dan ayam siap saji (Ndife et al. 2010). HACCP juga

telah diterapkan melalui studi kasus pada produk tuna segar (Maulana et al. 2012). Sistem HACCP juga digunakan untuk mereduksi Salmonella Typhi di sistem distribusi (Martel et al. 2006).

Tahun 2011, realisasi ekspor hasil perikanan sebesar 3,5 miliar dollar AS (Rp 33.250 triliun), dengan negara utama tujuan ekspor produk perikanan yakni Amerika Serikat 1,07 miliar dollar AS atau Rp 10.165 triliun (30,4%), Jepang 806 juta dollar AS atau Rp 7.657 triliun (22,9%), dan Eropa 459,8 juta dollar AS atau Rp 4.368 triliun (13,1%) (KKP-RI 2012). Oleh karena itu, perbaikan sistem keamanan pangan produk perikanan Indonesia harus terus ditingkatkan guna mendukung peningkatan nilai ekspor tahun 2013 sebesar 28,2% dan peningkatan volume ekspor sebesar 13,5% seperti yang telah dicanangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia.

Sistem dokumentasi yang terstruktur dengan baik adalah salah satu kunci keberhasilan bisnis dan dapat membuka jalan kerjasama ke berbagai belahan dunia. Dokumen yang memenuhi persyaratan sistem manajemen mutu (ISO 9001) atau sistem manajemen keamanan pangan (ISO 22000 dan HACCP), mencerminkan perusahaan yang memiliki komitmen untuk menjaga mutu dan keamanan produk, memiliki ketelusuran data, memiliki akses untuk penanganan keluhan pelanggan dan menjamin keberlanjutan bisnis. Dalam dunia bisnis dan kerjasama nasional dan internasional, kepercayaan menjadi hal yang sangat penting. Konsumen mungkin tidak dapat mengetahui secara rinci perihal perusahaan, namun dengan dokumentasi yang baik, dapat menjadi gambaran kondisi perusahaan dan memberikan kepercayaan kepada konsumen.

PT. AAA adalah perusahan pengolahan produk ikan tuna di wilayah Jakarta yang mendapatkan surat peringatan penolakan produk (Case I.D 167873) karena

Salmonella dan MFRHACCP. Hasil studi kasus yang dilakukan dengan

melakukan identifikasi penyebab kasus penolakan berdasarkan regulasi Indonesia dan regulasi FDA No. 21 CFR 123, FDA Food Code 2009 dan pedoman FDA (FDA 2013b), diperoleh 8 gap (Tabel 4).

Permasalahan terjadi pada prinsip HACCP 1, 2, dan 3, yaitu identifikasi bahaya dan penetapan titik kritis yang belum memasukan potensi bahaya

Salmonella, pertumbuhan dan pembentukan toksin Clostridium botulinum dan

kontrol waktu untuk pembentukan histamin. PT. AAA memproduksi sashimi tuna beku yang diproses dengan karbondioksida dan dikemas vakum. Oleh karena itu,

Clostridium botulinum menjadi salah satu risiko bahaya yang harus diidentifikasi. Clostridium botulinum merupakan bakteri gram positif, bakteri berbentuk batang

(33)

14

neurotoksin yang, dibagi dalam jenis AG, yang menyebabkan kelumpuhan otot.

Clostridium botulinum tidak menyukai oksigen atau disebut anaerobik dan

menghasilkan spora yang umumnya ditemukan di dalam tanah. Oleh karena bersifat anaerobik dan menghasilkan spora yang tahan pada suhu tinggi maka

Clostridium botulinum adalah bakteri yang harus diwaspadai pada produk kaleng

atau kemasan tanpa oksigen (Jay et al. 2005).

Tabel 4. Gap penerapan sistem HACCP PT. AAA terhadap regulasi FDA

No Kasus Pelanggaran

Sistem HACCP

Regulasi Indonesia Regulasi FDA 1 Tidak dilakukan analisis

bahaya terhadap toksin

Clostridium botulinum, Salmonella dan histamin.

Prinsip 1 Tidak menetapkan jenis bahaya, hanya standar produk akhir (BSN 2006a).

Menetapkan jenis bahaya (FDA 2013b).

2 Kesalahan dalam menetapkan titik kendali kritis terhadap suhu dan waktu

Prinsip 2 Tidak menetapkan titik kendali kritis (BSN 2006a).

Menetapkan titik kendali kritis (FDA 2013b).

3 Kegagalan dalam mengidentifikasi batas kritis dekomposisi dan histamin.

Prinsip 3 Tidak menetapkan batas kritis lulus uji (BSN 2006b).

Menetapkan batas kritis lulus uji bahan baku (FDA 2013b). 4 Tidak melakukan

pemantauan suhu dan waktu menggunakan alat terkalibrasi.

Prinsip 4 Hanya menetapkan suhu (BSN 2006c).

Menetapkan

pemantauan suhu dan waktu (FDA 2013b). 5 Tindakan korektif yang

tidak tepat terhadap bahaya dekomposisi dan histamin.

Prinsip 5 Tidak menetapkan tindakan korektif (BSN 2006c).

Menetapkan tindakan korektif (FDA 2013b). 6 Tindakan korektif tidak

diterapkan dan tidak didokumentasikan. Prinsip 6 dan 7 Tidak menetapkan dokumentasi tindakan korektif (BSN 2006c). Menetapkan dokumentasi tindakan korektif (FDA 2013b). 7 Ketidaksesuaian dalam penetapan pengambilan sampel Metode pengambilan sampel Tidak menetapkan jumlah sampel (BSN 2006c). Menetapkan jumlah sampel (FDA 2013b). 8 Terdapat drainase terbuka

untuk fasilitas pengolahan limbah cair. Fasilitas pengolahan limbah Tidak menetapkan ketentuan pengolahan limbah (KKP-RI 2002) Regulasi FDA 21 CFR 123 Bab 5 menetapkan ketentuan pengolahan limbah

Disamping itu, ikan tuna merupakan ikan laut yang termasuk dalam spesies

Scombridae, bermarga Thunnus, berdaging merah muda sampai merah tua karena

otot ikan tuna mengandung lebih banyak mioglobin dari pada ikan lainnya. Spesies Scombridae menyebabkan sindrom scromboid yang dihasilkan dari penanganan yang tidak sesuai selama pengolahan atau penyimpanan. Salah satu komponen beracun penyebab keracunan Scombroid adalah histidin, yang dipecah menjadi histamin. Ikan tuna secara alami mengandung histidin. Pada suhu di atas 16 °C (60 °F) dan jika terjadi kontak udara maka histidin dikonversi ke histamin oleh enzim histidin dekarboksilase yang diproduksi oleh bakteri enterik termasuk

Morganella morganii (ini adalah salah satu alasan mengapa ikan harus disimpan

(34)

15

adalah mediator reaksi alergi, sehingga dapat menghasilkan gejala respon alergi yang parah (Kim et al. 1999). Pencegahan dekomposisi histidin menjadi histamin dapat dilakukan dengan pengaturan suhu dan waktu, yaitu pada suhu < 4.4oC dalam waktu 8 jam, apabila suhu pengolahan berfluktuasi maka waktu pengolahan harus diperketat kurang dari 4 jam (Kerr et al. 2002).

Rencana HACCP PT. AAA menetapkan 3 (tiga) CCP yaitu pada dekomposisi dan histamin pada penerimaan material serta fragmen logam pada produk akhir (Lampiran 1). Sedangkan, Rencana HACCP yang telah mengacu pada standar FDA (Lampiran 2) mengidentifikasi 9 (sembilan) CCP, meliputi: 1) suhu, dekomposisi, mikrobiologi, histamin, dan logam berat pada penerimaan bahan baku; 2) bakteri patogen, logam berat dan COD pada penerimaan air dan es, 3) fragmen logam pada deteksi logam dan UV; 4) parasit pada tahap pembentukan ukuran (sizing); 5) Clostridium botulinum pada tahap pengemasan vakum (vacuum sealing); 6) parasit pada tahap pembekuan dan penyimpanan dingin (freezing and cold storage); 7) Clostridium botulinum pada tahap pengemasan sekunder dan pelabelan; 8) bakteri patogen pada produk akhir; dan 9) pengontrolan waktu dan suhu selama proses untuk mencegah pembentukan histamin. Hal ini menunjukkan dalam melakukan analisis bahaya, penetapan CCP dan batas kritis PT. AAA belum sesuai standar FDA.

Tidak terpenuhinya 3 (tiga) prinsip HACCP berdampak pada prinsip 4, 5, 6 dan 7. Hal ini terbukti pada temuan pemantauan suhu dan waktu tidak dikontrol, sanitasi ruang, peralatan, dan personel yang tidak terkontrol, tindakan korektif dan dokumentasi. Dengan demikian, hasil gap analisis menunjukkan tidak terpenuhinya 7 (tujuh) prinsip HACCP.

Kasus penolakan PT. AAA juga terkait dengan ditemukannya Salmonella pada produk yang diekspor ke Amerika Serikat. Seperti yang dinyatakan Jay et al. (2005), keberadaan Salmonella menunjukkan adanya kontaminasi selama proses produksi dan kurang baiknya sistem sanitasi pada proses produksi komoditi perikanan. PT. AAA telah menetapkan sistem sanitasi peralatan dan personel, namun terdapat temuan mengenai sistem monitoring atau prinsip 4 HACCP yang tidak terkontrol, yaitu monitoring sanitasi peralatan, bangunan dan sanitasi personel. Berdasarkan hasil uji mikroba (termasuk Salmonella) yang dilakukan selama proses dan sebelum pengapalan melalui uji ke laboratorium KKP yang telah terakreditasi tidak menunjukkan temuan mikroba, namun hasil dari FDA menunjukkan adanya Salmonella. Hal ini menunjukkan bahwa metode pengambilan sampel yang berbeda juga menyebabkan perbedaan dalam hasil uji mikroba laboratorium antara Indonesia dan FDA. FDA merekomendasikan pemantauan suhu dan dekomposisi minimal 12 (dua belas) ikan per lot kedatangan dan menetapkan batas kritis bahan baku >2.5% ikan membusuk maka dipertimbangkan menolak seluruh lot karena berpotensi tidak aman. Pada produk jadi FDA menetapkan metode AQL (Acceptance Quality Limit) yaitu metode yang banyak digunakan untuk mengukur sampel order produksi untuk menemukan apakah urutan seluruh produk telah memenuhi spesifikasi klien (Hughes 2005). Tabel standar Amerika Serikat ini setara dengan semua standar organisasi standardisasi internasional (ANSI atau ASQC Z1.4, NF06-022, BS 6001, DIN 40080). SNI 2326: 2010 mengenai metode contoh produk perikanan tidak menetapkan jumlah sampel bahan baku, hanya sampel produk jadi, serta

(35)

16

terdapat tabel A1-A11 yang menjadi acuan penetapan jumlah sampel tidak terdapat dalam dokumen standar.

Permasalahan kompetensi juga menjadi hal yang harus diperhatikan, karena penerapan sistem HACCP harus didukung dengan pemenuhan kompetensi dan sosialisasi sistem, karena pelaksanaan HACCP melibatkan seluruh personil terkait.

PT. AAA telah berdiri sejak tahun 1999, dan telah menerapkan sistem HACCP sejak dari perencanaan pembangunan, karena produk yang dihasilkan untuk di ekspor. Hal ini dibuktikan dengan pemenuhan persyaratan GMP sesuai ketentuan FDA Food Code 2009 yaitu:

1). Pemenuhan standar identifikasi, penampakan dan pelabelan telah dibuat sesuai standar FDA;

2). Berlokasi di kawasan pelabuhan perikanan dengan lay out bangunan kantor dan ruang produksi yang terpisah, lalu lintas produk dirancang efektif, desain (dinding dan lantai) terbuat dari marmer sesuai persyaratan terbuat dari bahan yang licin dan mudah dibersihkan, pencahayaan cukup dan lampu berpenutup;

3). Peralatan dan perlengkapan produksi terbuat dari bahan stainlessteel dan plastik, dengan permukaan licin dan mudah dibersihkan;

4). Memiliki instalasi pengolahan limbah cair dan padat, pengolahan air proses (sesuai standar air minum) dengan lalu lintas limbah cair, limbah padat dan air produksi yang dirancang mencegah kontaminasi silang;

5). Fasilitas kebersihan karyawan (wastafel, kamar mandi, loker, sabun, sikat kuku, dll) sesuai standar dilengkapi air shower dan hair roller, seragam produksi dan tamu (baju, celana, sarung tangan, masker, hairnet, sepatu, dll) disediakan beserta laundri, loker terpisah, dan desinfektan sepatu;

Sistem HACCP telah disertifikasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sesuai Keputusan Menteri Pertanian No. 41/Kpts/IK.210/2/1998 yang mewajibkan penerapan sistem HACCP. Ditinjau dari hasil audit yang dilaksanakan oleh KKP, terlihat bahwa fokus dari audit hanya pada permasalahan GMP seperti ditemukan sarang laba-laba. Hal-hal mendasar kurang diperhatikan pada saat pelaksanaan audit. Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi auditor KKP harus ditingkatkan dengan pemenuhan standar internasional sesuai ISO 17021, ISO 19011 dan ISO 22003 untuk kompetensi auditor sistem manajemen keamanan pangan. Tidak hanya pemenuhan kompetensi auditor, namun pemeliharaan dan peningkatan kompetensi harus dilakukan, karena sistem manajemen keamanan pangan terus mengalami perkembangan.

Permasalahan ini juga tidak terlepas dari standar acuan yang digunakan, standar sistem HACCP Indonesia yaitu SNI 01-4852-1998 masih mengacu pada standar CAC/RCP 1-1969, Rev. 3 (1997), sedangkan standar tersebut telah berkembang dengan revisi terakhir revisi 4 tahun 2003 (CAC 2003), yang kemungkinan belum diadopsi Indonesia. Perlu dikembangkan juga standar sistem HACCP khusus produk perikanan yang mengacu pada CAC/RCP 52-2003. Sedangkan, FDA telah meningkatkan sistem HACCP di atas level Codex, dengan terus melakukan perbaikan standar dengan diterbitkannya FDA Food Code 2009 dan Fish and Fishery Products Hazards and Controls Guidance, Fourth Edition – April 2011.

(36)

17

Berdasarkan data analisis penolakan produk perikanan Indonesia, penyebab utama penolakan adalah karena Salmonella dan filthy. Kedua penyebab ini berkaitan dengan lemahnya penerapan standar sistem HACCP. Data tersebut diperkuat dengan studi kasus PT. AAA, yang menunjukkan terdapat perbedaan standar dan regulasi sistem HACCP yang ditetapkan FDA dan perbedaan dalam hasil audit sertifikasi HACCP FDA dan KKP.

Gap Analisis Dan Rekomendasi Strategi Peningkatan Keamanan Produk Perikanan Indonesia Terhadap FDA

Analisis gap dilakukan dengan menetapkan 7 (tujuh) komponen pembanding untuk melakukan gap analisis regulasi dan standar (Tabel 5). Dari komponen pembanding tersebut dirumuskanlah strategi peningkatan keamanan produk perikanan yang dijelaskan lebih rinci sebagai berikut:

Tabel 5. Identifikasi rekomendasi strategi kebijakan keamanan produk perikanan No Komponen Regulasi Indonesia Regulasi AS Rekomendasi

Strategi 1 Kewenangan NSW: BKIPM (sejak

2011) NSW: FDA (sejak 1938) Pelaksanaan NSW yang efektif 2 Peraturan karantina, jaminan mutu dan keamanan produk perikanan

40 regulasi baku pada karantina, 8 regulasi jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan

21 CFR 123, FDA Food Code 2009 dan Pedoman FDA (FDA 2013b).

Perumusan regulasi yang simpel dan komprehensif.

3 Standar keamanan produk perikanan

SNI HACCP (BSN 1998) dan SNI produk perikanan

21 CFR 123, FDA Food Code 2009 dan Pedoman FDA (FDA 2013).

Harmonisasi standar

4 Sertifikasi HACCP

Atas penunjukkan dan belum terakreditasi Dilakukan Lembaga Sertifikasi diakreditasi ANAB Akreditasi lembaga sertifikasi HACCP 5 Sertifikasi produk Menetapkan wajib SNI

43 produk perikanan Tidak mensyaratkan Penyediaan infrastruktur 6 Laboratorium

acuan dan penguji

Laboratorium KKP dan swasta yang ditunjuk

Laboratorium swasta, FDA sebagai pengawas. Pemutakhiran infrastruktur (metode, alat, SDM) 7 Kerjasama internasional

Sudah dilakukan, namun belum dengan AS

Sudah dilakukan Perintisan MoU dengan AS

1. Pelaksanaan National Single Window (NSW) yang Efektif

Komponen pembanding pertama adalah mengenai kewenangan karantina, jaminan mutu dan keamanan produk perikanan. Di Amerika Serikat kewenangan karantina, jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan dilakukan oleh FDA semenjak 24 Juni 1938 dengan mewujudkan NSW (Nasional Single Window). Jaminan mutu dan keamanan ini berlaku untuk semua jenis pangan, kosmetik dan obat-obatan. Di Indonesia wewenang jaminan mutu dan keamanan untuk produk pangan dan obat-obatan dipegang oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, sedangkan pangan hidup, segar dan mentah (bahan baku) merupakan wewenang Kementerian terkait. Khusus sektor perikanan NSW diwujudkan dengan

(37)

18

penunjukkan BKIPM sebagai penanggung jawab karantina ikan, jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan berdasarkan Peraturan Menteri KKP tahun 2011 (KKP-RI 2011).

Sebelumnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 01 Tahun 2007 tentang pengendalian sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan menetapkan penanggung jawab utama pelaksanaan sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan dibebankan kepada Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan selaku Otoritas Kompeten. Sedangkan tanggung jawab pengendalian dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, dan Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. Otoritas Kompeten dapat mendelegasikan tugas tertentu tentang pengendalian mutu kepada Dinas atau pihak ketiga yang berkompeten.

Sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. PER.15/MEN/2010 tanggal 6 Agustus 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden No. 24 tahun 2010, menetapkan BKIPM sebagai penanggung jawab karantina ikan, jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan. BKIPM merupakan salah satu unit eselon I Kementerian Kelautan dan Perikanan yang merupakan penggabungan dari Pusat Karantina Ikan, Sekretariat Jenderal dengan Direktorat Standarisasi dan Akreditasi, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP).

Dasar pemikiran terbentuknya BKIPM (KKP-RI 2011) antara lain: a) efisiensi dan efektifitas pelayanan sertifikasi secara terpadu dalam penjaminan kualitas (quality assurance) hasil perikanan; b) ratifikasi perjanjian GATT (tahun 1986-1993) tentang penerapan SPS agreement terhadap perlindungan kesehatan ikan dan kesehatan manusia; c) peningkatan lalu lintas komoditas perikanan antar Negara dan antar area di wilayah Republik Indonesia yang berdampak terhadap peningkatan resiko masuk dan tersebarnya hama penyakit ikan; d) meningkatnya kecenderungan pola konsumsi protein hewani dari daging merah ke daging putih disertai tuntutan adanya pengendalian mutu terhadap keamanan dan kesehatan hasil perikanan; e) pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan serta pencegahan hama dan penyakit ikan harus dilakukan secara holistic dan konsisten dalam suatu sistem management mutu; f) karantina ikan dan pengendalian mutu hasil perikanan sebagai salah satu unit pelayanan yang merupakan bagian dari

TradeFacilitation dalam kegiatan ekspor dan impor.

Dengan ditetapkannya BKIPM sebagai penanggung jawab jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan, maka tumpang tindih kewenangan dapat dihindari. Petunjuk teknis mengenai pelaksanaan NSW baru diterbitkan pada tahun 2013 (BKIPM-RI 2013). Peraturan ini masih memerlukan sosialisasi dan koordinasi ke Kementerian atau Direktorat terkait sehingga dapat berjalan efektif dan sinergis. Diperlukan strategi untuk menjamin keefektivan pelaksanaan NSW.

2. Perumusan Regulasi yang Simpel dan Komprehensif

Komponen pembanding yang kedua adalah peraturan karantina, jaminan mutu dan keamanan produk perikanan. Regulasi Indonesia terkait jaminan mutu

(38)

19

dan keamanan hasil perikanan (Lampiran 3) ada 63 peraturan, terdiri dari: 4 (empat) undang-undang, 1 (satu) peraturan pemerintah, 1 (satu) peraturan presiden, 27 (dua puluh delapan) peraturan menteri, 13 (tiga belas) keputusan menteri, 13 (tiga belas) keputusan Kepala BKIPM (Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan) dan 4 (empat perjanjian kerjasama). Dari data tersebut yang benar-benar terkait karantina ikan terdapat 40 (empat puluh) peraturan perundangan, dan 8 (delapan) peraturan terkait pengendalian sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan.

undang adalah legalitas tertinggi dari suatu regulasi. Undang-undang juga memuat sanksi apabila terjadi pelanggaran atau tindak pidana. Undang-undang tertinggi karantina hewan, ikan dan tumbuhan, UU No. 16 Tahun 1992, menyatakan kewajiban untuk melengkapi sertifikat kesehatan.

Pada Undang-undang perikanan UU No. 45 Tahun 2009 merupakan perubahan dari undang-undang sebelumnya yakni UU No. 31 Tahun 2004, terdapat tujuan untuk meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing, yang menjadi payung program dan kegiatan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan.

Pada Pasal 20 UU No. 45 Tahun 2009, dinyatakan proses pengolahan ikan dan produk perikanan wajib memenuhi persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan. Sertifikat yang dimaksud berupa Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) dan Sertifikat Penerapan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT). Pasal 21 mempersyaratkan Sertifikat Kesehatan (Health Certificate = HC) untuk pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia.

Pasal 23 UU No. 31 Tahun 2004 yang diubah oleh UU No. 45 Tahun 2009 menyatakan setiap orang dilarang menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan. Pemerintah menetapkan dan melakukan sosialisasi bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan. Pasal 25 terdapat penambahan ketentuan pemenuhan standar mutu hasil perikanan budidaya.

Pada Pasal 89 UU No. 31 Tahun 2004, dinyatakan setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Undang-undang pangan terbaru, UU No 18 Tahun 2012, menyatakan lingkup keamanan pangan, yang dijelaskan di Bab VII Pasal 67-72. Pasal 68 ayat (3) spesifik untuk perikanan menyatakan “Petani, nelayan, pembudi daya ikan dan pelaku usaha pangan wajib menerapkan norma, standar dan prosedur kriteria Keamanan Pangan. Pelanggaran pada pasal-pasal tersebut diberikan sanksi administratif. Sedangkan untuk bahan tambahan pangan diatur di pasal 73-76.

Berdasarkan informasi tersebut, secara perundang-undangan penerapan sertifikasi mutu dan keamanan hasil perikanan telah didukung, diatur, dan ditetapkan dalam Undang-undang. Implementasi atas perundang-undangan dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan

Gambar

Tabel 1. Ekspor produk perikanan Indonesia tahun 2006 dan 2011  Negara  Tujuan  2006  2011  Volume  Ekspor (Ton)  Nilai Ekspor (US$juta)  % Total Ekspor  Nilai Ekspor (US$juta)  % Total Ekspor  Amerika  Serikat  83.347  475.14  12.54  1.070.0  30.4  Cina
Tabel 2. Penolakan produk Indonesia, negara ASEAN dan negara maju
Gambar 1. Kasus penolakan produk perikanan oleh FDA periode 2010-2012  (FDA 2013a)
Gambar 3. Penolakan produk Indonesia tahun 2011 berdasarkan jenis produk  (FDA 2013a)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengujian secara parsial, variabel likuiditas dan financial leverage berpengaruh signifikan terhadap fraudulent financial statement , sedangkan variabel

Nilai oksigen terlarut (DO) yang diperoleh dari keempat stasiun penelitian berkisar antara 6,6-7,2 mg/l, dengan nilai tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 7,2mg/l hal

Hasil analisis of varians (Anova) menujukkan bahwa prevalensi jamur pada telur ikan komet dengan pemberian larutan biji pepaya dosis berbeda, menunjukkan berbeda nyata

tetap). Namun saat ini IMF menambahkannya menjadi delapan, yaitu pengaturan pertukaran tanpa kehadiran mata uang resmi seperti yang terjadi antara Negara Elsavador

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan berkat, rahmat, dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

Penelitian ini mendapatkan persentase anak yang memiliki perkembangan yang normal lebih tinggi pada anak dengan status gizi normal (82,2%) daripada anak

Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap subjek penelitian memperoleh data dan informasi yang akan diuraikan pada hasil penelitian

Tehate PutraTunggal sudah berjalan dengan baik, hanya saja terdapat beberapa faktor seperti kurangnya pencahayaan dan penerangan yang menghambat proses produksi juga di