• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehamilan merupakan suatu kondisi kompleks fisiologis yang disertai perubahan psikologis, anatomi dan hormonal. Perubahan tersebut mempengaruhi penatalaksanaan dental pada masa kehamilan. Sangat penting bagi dokter gigi untuk mengetahui perubahan-perubahan normal yang terjadi pada masa kehamilan. Dengan demikian, kualitas pelayanan perawatan dental pada pasien wanita hamil dapat ditingkatkan.15,16 Selain itu, dalam melakukan perawatan dental pada wanita hamil, dokter gigi harus mempertimbangkan keadaan janin yang sedang berkembang dan keadaan ibu hamil tersebut. Dokter gigi harus dapat mengurangi ketidaknyamanan fisik dan psikologis pasien sehingga dapat mencegah timbulnya potensi stress bagi janin dan ibu hamil tersebut. Hal inilah yang menyebabkan perawatan dental pada pasien wanita hamil merupakan suatu tantangan bagi sebagian besar dokter gigi.6

Tingkat pengetahuan yang dimiliki dokter gigi sangatlah penting dalam memberi perawatan pada pasien hamil, sebab kurangnya pengetahuan terhadap perawatan dental pada pasien wanita hamil bisa saja menyebabkan tertundanya perawatan yang semestinya dapat dilakukan dan begitu juga sebaliknya.6 Dalam penelitian ini, yang pertama dievaluasi adalah pengetahuan dokter gigi terhadap penting tidaknya perawatan dental dilakukan pada pasien wanita hamil. Terlihat bahwa seluruh dokter gigi dalam penelitian ini menganggap bahwa perawatan dental pada wanita hamil adalah penting untuk dilakukan.

Sebagian besar dokter gigi di Medan melakukan tindakan dental pada pasien hamil trimester kedua kehamilan (85%). Persentase ini lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian Pistorius dkk, dimana di Jerman hanya 8,5% dokter gigi yang tidak melakukan tindakan dental pada pasien hamil trimester kedua.6 Tindakan dental pada pasien hamil dibedakan berdasarkan trimester kehamilan sebab maturitas dan risiko terhadap fetus pada tiap trimester berbeda. Pada trimester kedua, ibu hamil umumnya sudah tidak merasa mual dan muntah, organogenesis janin telah sempurna dan risiko terhadap fetus rendah. Oleh karena itu, trimester kedua merupakan saat yang paling aman untuk memberi perawatan dental.13,22,23 Dalam penelitian ini hanya 55% dokter gigi yang mengetahui hal tersebut. Terlihat pengetahuan dokter gigi mengenai saat yang paling aman untuk melakukan tindakan dental pada pasien hamil masih sangat kurang.

Posisi duduk pasien wanita hamil di dental unit perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya sindrom supin hipotensi, khususnya bagi pasien hamil trimester ketiga. Sindrom supin hipotensi dapat terjadi bila pasien hamil berada dalam posisi terlentang, uterus menekan vena cava inferior sehingga tekanan darah menurun, jumlah oksigen yang sampai ke otak berkurang. Pasien akan merasa pusing dan mual. Karena itu, pasien harus diposisikan dalam posisi semisupinasi. Dokter gigi dapat menginstruksikan pasien berbaring ke sebelah kirinya atau dengan menempatkan bantal kecil di panggul kanan pasien serta posisi kepala lebih tinggi daripada kaki.13-15 Dalam penelitian ini terlihat 69% responden menganjurkan pasien hamil duduk dalam posisi semisupinasi. Persentase ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian di Jerman oleh Pistorius dkk yang menemukan 77% dokter gigi mengindikasikan posisi

tersebut.6 Namun, terdapat 15% - 19% dokter gigi memilih posisi supinasi dan duduk tegak. Terlihat kurangnya pengetahuan dokter gigi di Medan tentang posisi duduk yang tepat bagi pasien hamil di dental unit.

Di sisi lain, pengetahuan dokter gigi di Medan mengenai penggunaan anestetikum lokal pada pasien wanita hamil lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian terdahulu. Tujuh puluh tujuh persen dokter gigi dalam penelitian ini menyatakan anestetikum lokal boleh digunakan pada pasien hamil dan 20% lainnya menyatakan tidak. Persentase ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Pertl dkk yang menemukan 58% responden yang akan menggunakan anestetikum lokal, sedangkan penelitian Pistorius dkk menemukan 11,8% dokter gigi tidak menggunakan anestetikum lokal pada pasien hamil, dan penelitian di Arab Saudi menemukan 25% dokter gigi menghindari penggunaan anestesi lokal, serta studi lainnya menemukan 14% dan 42% dokter gigi juga menghindari penggunaan anestesi lokal.6,7,35 Tampak secara keseluruhan, lebih dari 50% responden dalam setiap penelitian menggunakan anestesi lokal pada pasien hamil. Pada umumnya anestetikum lokal tidak bersifat teratogenik dan relatif aman untuk digunakan selama kehamilan.

Dua per tiga dokter gigi dalam penelitian ini menggunakan lidokain pada pasien hamil. Lidokain termasuk FDA kategori B dan merupakan anestetikum lokal yang paling aman untuk digunakan. Lidokain dengan epinefrin dapat memperpanjang waktu kerja karena obat diabsorbsi dengan lambat, tidak bersifat teratogenik, namun harus diperhatikan tekanan darah yang meningkat pada masa kehamilan. Oleh karena

dianjurkan untuk digunakan pada pasien hamil. Selain lidokain, anestesi lokal prilokain dan etidokain juga digunakan di kedokteran gigi.13-15

Selain lidokain, terlihat 9% dokter gigi menggunakan mepivikain dan septokain. Persentase ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Pistorius dkk yang menemukan 58,1% dokter gigi menggunakan septokain dan 12,1% mepivikain.6 Septokain dan mepivikain termasuk dalam kategori C FDA. Obat- obatan ini tidak dianjurkan pemakaiannya karena dapat menimbulkan efek teratogenik pada janin berupa fetal bradikardi.5,13-15

Survei ini menemukan 88% dokter gigi menyatakan obat analgesik dapat diresepkan pada pasien hamil dan 63% meresepkan parasetamol pada pasien hamil. Persentase ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan dokter gigi di Arab yang meresepkan parasetamol sebesar 96,7%. Parasetamol merupakan obat analgesik yang paling dianjurkan untuk diresepkan pada pasien wanita hamil. Ibuprofen dan NSAID digunakan oleh sekitar 4% - 13% dokter gigi, persentase ini sebanding dengan penelitian di Arab.7 Tetapi berbeda jauh dengan penelitian Huebner dimana 51% dokter gigi tidak meresepkan NSAID dan ibuprofen.36 Ibuprofen dan NSAID dapat menunda kelahiran akibat menghambat sintesis prostaglandin yang dapat menyebabkan konstriksi duktus arteriosus pada janin. Oleh karena itu, ibuprofen dan NSAID dikontraindikasikan khususnya pada trimester ketiga kehamilan.5,26

Dalam penelitian pengetahuan dokter gigi dalam meresepkan antibiotik, amoksisilin merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan (71%). Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian di Arab yang menunjukkan 96% dokter gigi meresepkan amoksisilin.7 Dua persen dokter gigi di Medan meresepkan

metronidazol dan sefalosporin, persentase ini lebih rendah bila dibandingkan dengan dokter gigi di Arab yang meresepkan metronidazol dan sefalosporin sebesar 15% – 18,5%. Di sisi lain, dua persen dokter gigi dalam penelitian ini akan meresepkan tetrasiklin dan hasil ini sebanding dengan 1,5% dokter gigi di Arab.7 Tampak pengetahuan dokter gigi tentang antibiotik yang aman diresepkan kepada pasien hamil masih sangat rendah. Amoksisilin dan sefalosporin tidak memiliki efek teratogenik, termasuk dalam kategori B FDA. Selain itu, golongan makrolida seperti eritromisin dan klindamisin aman diresepkan pada pasien yang alergi terhadap golongan penisilin. Peresepan metronidazol masih bersifat kontroversial sebab sisa reduksi obat tersebut dapat bersifat teratogenik. Namun, belum pernah dilaporkan adanya efek teratogenik pada studi binatang. Metronidazol hanya aman dan diindikasikan pada pasien hamil trimester kedua dan ketiga.16,17 Tetrasiklin (kategori D) dikontraindikasikan bagi pasien wanita hamil, sebab dapat menyebabkan diskolorisasi gigi dan penghambatan perkembangan tulang dalam janin.5,13-15

Prosedur perawatan dental rutin dapat diberikan pada masa kehamilan. Khususnya perawatan dental untuk wanita hamil yang mengalami rasa nyeri pada mulut, penyakit atau infeksi parah tidak boleh ditunda.5,14 Beberapa penulis menyatakan bahwa komplikasi yang muncul selama masa kehamilan seperti abses, gangren dapat membahayakan ibu dan janin bila tidak dilakukan perawatan.6 Dalam penelitian ini, 87% responden setuju bahwa penanganan rasa sakit dan darurat harus dilakukan sesegera mungkin. Persentase ini hampir sama dengan persentase penelitian yang dilakukan oleh Zanata dkk yakni sebesar 81% dan lebih tinggi

Perawatan dental elektif paling baik ditunda hingga postpartum, 78% dokter gigi setuju dengan pendapat di atas. Hasil ini menunjukkan sikap dokter gigi di Medan jauh lebih baik dibandingkan dengan penelitian di Arab dan Eropa yang hanya menemukan 66% dan 35% dokter gigi yang menunda perawatan elektif hingga post partum. Di sisi lain, 10% responden tidak memberi pendapat terhadap pernyataan peresepan obat-obatan pada pasien, hasil ini sama dengan penelitian di Arab dimana 9% dokter gigi tidak tahu pasti tentang peresepan obat-obatan pada pasien hamil.7 Hal ini mugkin disebabkan kurangnya pengetahuan dokter gigi tentang peresepan obat- obatan yang aman berdasarkan kategori FDA.

Penelitian ini menunjukkan bahwa 63% dokter gigi setuju melakukan radiografi pada pasien hamil untuk membantu menegakkan diagnosis yang tepat. Hasil ini lebih tinggi dibanding dengan dokter gigi di Arab (56,6%).7 Pertl dan Pistorius dkk menemukan hanya sepertiga (29,2%) dokter gigi yang menghindari penggunaan radiografi.6,35 Hal ini berbanding terbalik dengan hasil yang ditemukan pada penelitian ini dimana hanya 27% dokter gigi yang akan menggunakan radiografi pada pasien hamil. Hasil ini hampir sebanding dengan studi di Eropa yang menunjukkan 33% dokter gigi yang melakukan tindakan radiografi. Terlihat sebagian besar dokter gigi menghindari radiografi pada pasien hamil sebab takut menimbulkan risiko pada janin dan khawatir akan terjadinya komplikasi pasca kelahiran. Secara teoritis, radiografi membantu penentuan diagnosis secara akurat. Diagnosis yang tidak sempurna atau tidak akurat dapat mengakibatkan penanganan yang tidak sesuai dan tertundanya terapi yang tepat. Rata-rata dosis radiasi yang diabsorbsi oleh janin dalam radiograf panoramik adalah 15 x 10-5 Gy dan radiograf seluruh gigi adalah 1 x

10-5 Gy. Dosis radiasi aman adalah hingga 0,05 Gy. Radiografi yang diaplikasikan dalam kedokteran gigi seperti panoramik dan rangkaian intraoral seluruh gigi umumnya aman selama kehamilan. 20,25,34

Dalam penelitian ini, 44% dokter gigi melakukan tindakan ekstraksi pada pasien hamil trimester kedua dengan kasus ekstraksi, hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan 55% dokter gigi di Arab dan dalam penelitian Huebner dkk ditemukan 85,2% dokter gigi melakukan ekstraksi pada trimester kedua.7,36 Pada kasus nyeri akibat pulpitis, dijumpai 66% dokter gigi yang melakukan ekstirpasi pulpa dan 27% meresepkan obat-obatan. Penelitian di Arab menemukan 43% dokter gigi melakukan peresepan obat-obatan dan ekstirpasi pulpa untuk meredakan rasa nyeri dan penelitian oleh Huebner, terdapat 81,2% dokter gigi melakukan ekstirpasi pulpa.7,36 Hanya sebagian kecil dokter gigi di Medan yang melakukan tindakan ekstraksi pada pasien wanita hamil. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan terhadap jenis tindakan perawatan yang dapat dilakukan pada pasien hamil berdasarkan usia kehamilan. Trimester kedua merupakan saat yang paling aman untuk dilakukan perawatan dental rutin termasuk tindakan ekstraksi sekalipun.

Keseluruhan dokter gigi di Medan akan memberikan instruksi oral higiene dan kontrol plak pada pasien hamil. Sedangkan penelitian di Arab hanya menunjukkan 86% yang memberi instruksi oral higiene. Sebanyak 82% dokter gigi dalam penelitian ini melakukan skeling pada pasien hamil sedangkan di Arab hanya 12% dokter gigi yang menolak konsep skeling pada pasien hamil.7 Tindakan ekstraksi dilakukan oleh 14% dokter gigi di Medan sebanding dengan hasil dalam penelitian

dokter gigi di Jerman melakukan tindakan konservatif sedangkan survei menunjukkan 87% dokter gigi di Medan melakukan restorasi dan 47% melakukan perawatan saluran akar. Empat puluh enam persen dokter gigi melakukan tindakan prostetik, persentase ini lebih rendah dibanding hasil penelitian oleh Pistorius dkk sebesar 68,8%.6 Sebagian besar dokter gigi tetap menganjurkan perawatan dental yang dapat ditunda hingga postpartum sebaiknya ditunda, sebab perawatan dental pada pasien hamil mungkin dapat menimbulkan risiko terhadap ibu hamil maupun janinnya. Perawatan dental rutin seperti kontrol karies, kontrol infeksi, restorasi kavitas, perawatan endodonti dan periodontal aman untuk dilakukan, tindakan bedah sebaiknya ditunda hingga postpartum. Perawatan elektif seperti bleaching, dental veneer, pembongkaran amalgam untuk direstorasi sewarna gigi, pembuatan gigi tiruan dan prosedur kosmetik lainnya aman dilakukan, namun sebaiknya ditunda hingga postpartum.29

Dokumen terkait