• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penicillium sebagai perlakuan tunggal maupun konsorsium tidak mampu bertahan hidup. Pada dasarnya Penicillium adalah kapang yang lambat tumbuh, sedangkan Trichoderma tergolong kapang yang cepat tumbuh. Pada kompos SI2 dan SI3, kompos dikuasai oleh Trichoderma. Selain itu

Penicillium tidak memiliki enzim lignase. Kompos-kompos yang diberi

Penicillium sebagai inokulan tunggal atau konsorsium, didominasi oleh 25

Trichoderma. Trichoderma yang cepat tumbuh dapat segera menguasai substrat. Populasinya stabil pada perlakuan SI2 maupun SI3.

Sekitar 9 jenis kapang berhasil diisolasi selama pengomposan selain

Trichoderma, yaitu diantaranya Aspergillus dan Acremonium. Kapang-kapang kontaminan ini mempengaruhi keseluruhan hasil penelitian. Trichoderma

ditemukan juga mengkontaminasi perlakuan lainnya kecuali S-I-, sehingga

Trichoderma merupakan kapang yang dominan hampir di semua jenis kompos. Yunasfi (2008) melaporkan bahwa Trichoderma, Acremonium dan Aspergillus

ditemukan pada tumpukan kayu Eucalyptus urophylla. Kapang Trichoderma ditemukan hampir setiap bulan pada dekomposisi daun hutan selama sembilan bulan di Jepang (Osono & Takeda 2002), rontokan daun (Anastasi et al. 2005) dan serasah daun meranti (Osono et al. 2009). T. harzianum, T. hamatum dan

T. koningii yang ditambahkan pada proses pengomposan daun kacang selama 12 bulan, telah menunjukkan peningkatan ukuran populasi, viabilitas, sintasan dan biomasanya. Kemampuan lain adalah mereduksi penyakit oleh Fusarium oxysporum (Haggag dan Sedera 2005).

Proses pengomposan memiliki salah satu karakter utama yaitu rasio C/N. Pada awal pengomposan rasio C/N bahan kompos 21.60. Rasio C/N bahan kompos tersebut telah turun sebesar 70.6% dari rasio C/N serasah meranti. Terjadinya penurunan rasio C/N pada bahan kompos disebabkan oleh penambahan dedak sebanyak 15% sebagai sumber C dan urea (CON2H4) 2% sebagai sumber N dari luar. Pada penelitian ini, Penambahan dedak mengubah kandungan C dari 52.89% menjadi 52.13%, sedangkan penambahan urea 2% mengubah kandungan N dari 0.72% menjadi 2.42%. Menurut Sharif et al. (2009) dedak mengandung karbohidrat. Silvia et al. (2005) menyatakan bahwa penambahan sumber N dari luar bahan kompos dapat mengatasi kekurangan N dan mempercepat proses pengomposan. Selama proses pengomposan, rasio C/N pada bahan kompos dengan atau tanpa penambahan inokulan cenderung menurun.

Aktivitas kapang dalam mendegradasi senyawa organik berhubungan dengan rasio C/N, KA, suhu, organoleptik kompos (warna, tekstur dan bau), kehilangan bobot kompos dan laju dekomposisi. Rasio C/N yang cenderung

menurun selama pengomposan bukan hanya diakibatkan oleh penambahan urea 2% yang telah meningkatkan kandungan N sebesar 1.08%, tetapi juga oleh pemanfaatan sumber C oleh kapang. Yuwono (2006) menyatakan hal yang sama bahwa penambahan ± 2% urea dalam dekomposisi sampah organik tanpa aktivator kotoran kambing telah menurunkan rasio C/N menjadi 14.68 secara aerob dan 14.19 secara anaerob setelah pengomposan masing-masing selama 81 hari dan 74 hari. Selain itu, rasio C/N yang cukup rendah tersebut diduga akibat peningkatan penguraian protein pada bahan kompos. Hal yang sama dinyatakan oleh Haggag dan Sedera (2005) yang menyebutkan bahwa kandungan N meningkat dalam kompos daun kacang setelah penambahan

Trichoderma. Miyamoto & Hiura (2008) menyatakan peningkatan konsentrasi N disebabkan oleh pertumbuhan miselium dan degradasi protein serasah oleh kapang. Selain itu, meningkatnya konsentrasi N juga bisa disebabkan adanya aktifitas fungi berupa mobilisasi N pada hifa dan N di dalam enzim yang diekskresikan fungi ke substrat serasah (Miyamoto & Hiura 2008).

Rasio C/N pada kompos dengan penambahan inokulan relatif sama dengan kompos tanpa inokulan ataupun tanpa disteam. Hal ini mungkin disebabkan oleh perlakuan pemanasan 104oC tanpa tekanan yang tidak mampu menjangkau seluruh bagian bahan kompos. Kondisi ini mengakibatkan tumbuhnya kapang kontaminan. Adanya kapang-kapang kontaminan berpeluang mempengaruhi efektifitas pemberian inokulan. Aktivitas degradasi senyawa organik oleh kapang berhubungan dengan menurunnya KA dan meningkatnya suhu. Aktivitas kapang tersebut juga ditunjukkan dengan warna, tekstur dan bau kompos.

KA kompos selama empat bulan pengomposan umumnya kurang dari KA awal pengomposan. Berkurangnya KA kompos diduga diakibatkan oleh pemanfaatan air oleh kapang dalam aktivitas pendegradasian senyawa organik bahan kompos yang ditandai dengan adanya panas. Hal ini ditunjukan dengan peningkatan suhu. Silvia et al. (2005) menyebutkan proses pengomposan melibatkan bahan organik yang tidak stabil, udara dan air. Pada akhir pengomposan, bahan organik akan stabil (seperti humus), menghasilkan panas dan terbentuk gas-gas seperti CO2 dan NH3 serta biomasa dari mikroba. Silvia et al. 27

(2005) menyebutkan kelembaban optimum secara umum pengomposan adalah 40% dan 60%.

Suhu kompos hanya meningkat sekitar 4.33oC selama empat bulan pengomposan. Rendahnya peningkatan suhu diduga akibat penggunaan baglog

yang hanya bisa menampung 100 g bahan kompos. Kondisi ini tidak mampu menaikkan suhu kompos secara signifikan. Umumnya proses pengomposan dilakukan dalam skala besar misalnya sebanyak 300 kg (Ahmad et al. 2008). Proses pengomposan terdiri dari tiga tahapan yang disertai dengan perubahan distribusi populasi mikroba, yaitu tahap mesofilik (20-40oC), tahap termofilik (40-80oC) dan tahap stabilisasi atau pendinginan (Silvia et al. 2005). Suhu tidak berkorelasi dengan rasio C/N di akhir pengomposan (R2 = 0.18).

Warna, tekstur dan bau kompos setelah empat bulan pengomposan menunjukkan bahwa kompos ini belum matang. Warna, tekstur dan bau kompos belum mencapai kriteria SNI no 19-7030-2004. Kompos yang belum matang diduga akibat penambahan inokulan belum dapat mendegradasi bahan organik serasah secara optimal. Walaupun pada penelitian ini rasio C/N telah menurun. Osono et al. (2009) bahwa peningkatan 30% kolonisasi kapang pada serasah daun meranti terjadi setelah sembilan bulan dekomposisi. Ketidak optimalan kapang dalam mendegradasi senyawa organik mengakibatkan kehilangan bobot kompos yang rendah.

Pengurangan bobot kompos sebesar 2.33-10.67%, relatif lebih rendah dibandingkan pengurangan bobot serasah daun di hutan Jepang yang mencapai 15.1% hingga 57.67% (Osono & Takeda 2002). Menurut Osono (2009), kehilangan berat serasah menandakan adanya pelepasan komponen organik serasah meranti. Rendahnya pengurangan bobot kompos juga disebabkan oleh ukuran bahan kompos. Ukuran bahan kompos yang terlalu besar diduga telah menyulitkan kapang dalam mendegradasi senyawa organik. Silvia et al. (2005) menyatakan bahwa ukuran bahan kompos sangat penting karena berpengaruh terhadap pergerakan oksigen, mikroba dan aliran enzim ke substrat. Ukuran substrat yang besar mengakibatkan luas permukaan substrat bagi mikroba dan enzimnya semakin kecil. Rendahnya pengurangan bobot kompos telah mengakibatkan rendahnya laju dekomposisi.

Rasio C/N tidak berkolerasi dengan kehilangan bobot (R2 = 0.49) dan laju dekomposisi (R2 = 0.08). Laju dekomposisi berkorelasi dengan kehilangan bobot (R2 = 0.99). Laju dekomposisi juga berhubungan dengan kemampuan kapang dalam mendegradasi senyawa organik. Penicillium tidak memiliki enzim pendegradasi lignin dan Trichoderma hanya memiliki tirosinase. Menurut Imaningsih (2010) Trichoderma dan Penicillium memiliki kemampuan mendegradasi selulosa. Tidak lengkapnya enzim pengurai lignin menyulitkan Trichoderma dan Penicillium dalam mendegradasi lignin pada serasah meranti. Osono et al. (2009) menyebutkan bahwa kandungan lignin, holoselulosa dan karbohidrat terlarut pada serasah daun meranti berturut-turut adalah 35.9%, 33.8% dan 7.7% (Osono et al. 2009).

Degradasi senyawa organik pada serasah meranti dimulai dengan degradasi karbohidrat dan baru dilanjutkan dengan lignin. Degradasi senyawa karbohidrat ditandai dengan ditemukannya Aspergillus, Acremonium dan

Trichoderma yang dikenal sebagai pendegradasi selulosa. Yunasfi (2008) menyatakan keberadaan Trichoderma, Acremonium, dan Aspergillus di tumpukan kayu akan memungkinkan terjadi degradasi terhadap kayu. Osona et al. (2009) mengungkapkan selama sembilan bulan dekomposisi serasah daun meranti dimulai dengan mendegradasi karbohidrat terlarut dan polifenol di bulan pertama pengomposan lalu dilanjutkan dengan degradasi lignin.

Peningkatan kadar P, K dan Ca pada bahan kompos terjadi di awal pengomposan, sedangkan kadar Mg menurun. Peningkatan unsur–unsur tersebut diduga akibat pemberian dedak sebanyak 15% di awal pengomposan. Sharif et al. (2009) menyebutkan bahwa dedak memiliki kandungan mineral K, Ca dan Mg.

Mineralisasi P, K, Ca dan Mg sangat dipengaruhi oleh aktivitas kapang dalam kompos. Kapang diketahui memiliki peranan penting dalam proses mineralisasi di alam. Simanungkalit et al. (2006) menyebutkan kapang

Penicillium diketahui memiliki kemampuan sebagai kapang pelarut P. Selain kapang mengasimilasi P yang dibebaskannya, kapang tersebut menghasilkan sejumlah P terlarut sebagai kelebihan nutrisinya ke dalam larutan tanah. Mikroba yang berkemampuan tinggi melarutkan P, umumnya juga 29

berkemampuan tinggi dalam melarutkan K (Simanungkalit et al. 2006). Peningkatan mineralisasi P, K dan Mg juga diduga berhubungan dengan aktivitas kapang dalam produksi AIA pada kompos. Penambahan BAS (Biologically Active Substances) seperti AIA, giberelin dan kinetin telah meningkatkan kandungan hara makro dan mikro kompos (Zahir et al. 2007).

Produksi AIA selama proses pengomposan

Selama pengomposan bahan kompos yang tidak disteam dan disteam

saja juga memproduksi AIA. Produksi AIA tersebut diduga disebabkan oleh adanya aktivitas dari kapang pada kompos-kompos tersebut. Proses pemanas uap pada suhu 104oC tanpa tekanan tidak dapat membunuh kapang-kapang alami yang ada di dalam bahan kompos. Uap panas mungkin belum dapat menjangkau seluruh bagian bahan kompos dalam baglog atau mikroba tahan terhadap suhu 104oC tersebut selama 30 menit. Secara umum standar sterilisasi menggunakan panas uap adalah pada suhu 121oC tekanan 1 atm selama 15 menit. Bahan kompos yang digunakan juga sulit disterilisasi. Hal ini dibuktikan dengan pensterilan bahan kompos dengan panas uap suhu 121oC tekanan 1 atm selama 45 menit tidak mampu membunuh seluruh mikroba dalam bahan kompos. Pada bahan kompos tetap terjadi kontaminasi yang terdeteksi mulai hari ke tujuh setelah inkubasi.

Produksi AIA tertinggi diperoleh pada bulan ketiga pengomposan akibat perlakuan SI1 yang telah terkontaminasi kapang Trichoderma dan cenderung menurun pada semua kompos di akhir pengomposan. Hal ini sama dengan pernyataan Miezah et al. (2008) yang menyebutkan bahwa auksin yang dihasilkan kompos sampah rumah tangga setengah matang (4.5 bulan pengomposan) lebih tinggi (68.3 hingga 345.1 mg/kg) jika dibandingkan setelah sembilan bulan pengomposan (42 hingga 248.8 mg/kg). Tingginya AIA pada bulan ketiga tersebut telah mengakibatkan hanya satu jenis kapang yang ditemukan pada kompos tersebut. Hal ini diduga akibat peranan AIA sebagai antifungi. Slininger et al. (2004) membuktikan AIA mereduksi penyakit busuk akar dan pertunasan pada kentang.

Produksi AIA cenderung menurun di akhir pengomposan. Rendahnya produksi AIA di akhir pengomposan diduga disebabkan oleh komposisi substrat. Penicillium dan Trichoderma mampu memproduksi AIA pada media sintetik sebesar 32.23 ppm dan 76.81 ppm (Imaningsih 2010). Hal yang sama terjadi pada produksi AIA oleh Rhizobium sp. dalam medium sintetik sebesar 51.08 µ g/mL, sedangkan produksi AIA dalam medium serum lateks yang disuplementasi triptopan dari kotoran ayam produksi AIAnya hanya sebesar 11.91 µ g/mL (Suharyanto et al. 2009). Sebaliknya Haggag dan Sedera (2005) mengemukakan bahwa Trichoderma dalam kompos dapat menghasilkan antibiotik, enzim–enzim (kitinase, protease, selulase, β galaktosidase dan β -1,3-glukanase) dan senyawa-senyawa ini meningkat setelah 12 bulan pengomposan. Pada penelitian Haggag dan Sedera ini, aktivitas Trichoderma

tidak dianalisis setiap bulan pengomposan.

Hasil uji produksi AIA pada kompos terpilih dengan menggunakan HPLC sedikit lebih rendah daripada menggunakan pereaksi Salkowski yaitu 6.70 ppm dan 5.07 ppm. Rendahnya produksi AIA menggunakan HPLC diduga akibat pereaksi Salkowski sensitif bukan hanya terhadap AIA. Glickmann dan Dessaux (1995) menyatakan bahwa pereaksi Salkowski sensitif mendeteksi senyawa indol seperti AIA, indolepyruvic acid (IPA) dan indoleacetamide.

Pengaruh Kompos Meranti terhadap Inisiasi Akar Stek Pucuk Meranti Tembaga (S. leprosula)

Kompos meranti cenderung belum mampu merangsang pembentukan akar stek. Hal ini ditandai dengan pembentukan akar serta jumlah, panjang dan berat kering akar stek yang sangat rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh belum matangnya kompos. Kompos yang belum matang dapat mengandung fitotoksin. Silvia et al. (2005) mengungkapkan kematangan kompos dapat diuji secara biologi dengan keberadaan fitotoksin atau penghambatan terhadap pertumbuhan bibit tanaman.

Perlakuan SA dan SI3 telah merangsang pembentukan akar stek walaupun masih sangat rendah. Selama pengamatan, umumnya stek mulai mati pada empat minggu setelah tanam (MST) dan terus bertambah hingga akhir 31

pengamatan. Pada stek yang mati (8 MST) ditemukan koloni putih seperti fungi pada batang stek. Kematian stek biasanya didahului dengan rontoknya daun, lalu terjadi busuk pada bagian pucuk dan atau pada bagian pangkal stek yaitu stek menjadi coklat kehitaman. Hal tersebut menunjukkan ketidakcocokan media tanam terhadap pertumbuhan akar stek.

Kematian stek juga dapat disebabkan oleh terlalu tingginya konsentrasi AIA pada media tanam. Padahal media tanam mengandung sekitar 0.17-10.91 ppm AIA. Pada penelitian ini, umumnya stek dapat dirangsang perakarannya pada konsentrasi AIA sebesar 1.89 ppm dan 2.63 ppm.

Siran (2007) melaporkan bahwa stek S. leprosula dengan rootone F (zat pengatur tumbuh komersial) di media air dan vermikulit pada 11–26 MST dihasilkan stek berakar sebanyak 51-75%, sedangkan media vermikulit saja tanpa rootone F pada 14 MST menghasilkan stek berakar sebesar 63%. Penggunaan rootone F atau zat pengatur tumbuh lainnya tidak selalu diperlukan, tergantung tingkat juvenilitas bahan stek. Danu (2009) menyebutkan bahwa kandungan endogen AIA stek S. leprosula umur lebih kurang 2 tahun, 10 tahun dan 25 tahun pada daun dan batang berturut -turut sekitar 141.07 ppm dan 82.24 ppm, 109.13 ppm dan 73.75 ppm serta 116.17 ppm dan 69.78 ppm. Stek meranti tumbuh dengan baik pada media tanah steril tanpa kompos meranti dengan dua perlakuan yaitu tanpa dan dengan rootone F. Tanpa penambahan rootone F pada stek menghasilkan panjang akar yang lebih panjang dibandingkan dengan penambahan rootone F (data tidak ditampilkan). Pengaruh kompos yang mengandung AIA terhadap pertumbuhan tanaman telah banyak dikaji. Diantaranya Zahir et al. (2007) mengemukakan bahwa penambahan AIA, giberelin dan kinetin telah meningkatkan pertumbuhan dan hasil produksi gandum. Hal yang sama terjadi terhadap pertumbuhan dan hasil produksi jagung (Ahmad et al. 2008). Perkecambahan biji jagung juga mengalami peningkatan dalam hal pemanjangan radikula dan koleoptil serta berat kotiledon setelah ditambahkan larutan yang mengandung AIA asal kompos maupun kompos setengah matang (Miezah et al. 2008).

Dokumen terkait