• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1. Pengaruh Pseudomonad fluoresen terhadap Perkembangan Penyakit 4.1.1. Masa Inkubasi

Masa inkubasi merupakan waktu awal munculnya gejala penyakit pada tanaman yang telah diinokulasikan patogen. Pada penelitian ini pengamatan masa inkubasi dilakukan setiap hari sampai munculnya gejala penyakit pada tanaman cabai. Gejala penyakit layu kompleks pada tanaman cabai yang muncul pertama kali yaitu daun tanaman berwarna kuning pucat (dapat dilihat pada Gambar 15. a) dan dilanjutkan dengan layu pada daun bagian atas (ditunjukkan pada Gambar 15. b). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Abdjad (2006) bahwa gejala awal penyakit layu berupa daun menguning kemudian sebagian tanaman menjadi layu, tanaman menjadi kerdil dan akhirnya tanaman layu total sesuai dengan tingkat serangan penyakit.

Gambar 15. a. Gejala daun menguning, b. Gejala daun layu

Tabel 2. Rata-rata masa inkubasi penyakit layu kompleks pada tanaman cabai

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata (pada taraf kesalahan α = 0,05)

Berdasarkan data analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa pengaruh pemberian Pseudomonad fluoresens terhadap masa inkubasi menunjukkan hasil berpengaruh sangat nyata (data ditunjukkan pada Lampiran 1. Tabel 5). Pada uji beda nyata jujur kesalahan 5 % rata-rata masa inkubasi memperlihatkan bahwa perlakuan menggunakan Pf 122 mampu menunda paling lama munculnya gejala penyakit layu kompleks pada tanaman cabai. Perlakuan kontrol paling cepat menunjukkan gejala penyakit layu kompleks pada tanaman cabai (dapat dilihat pada Tabel 2).

Perlakuan Rata-rata (hari) Notasi

Kontrol 4,33 a Pf B 7,00 ab Pf 36 8,67 abc Pf 142 9,67 bc Pf 160 11,67 bc Pf 81 12,67 c Pf 122 14,33 d BNJ 5 % 5,05

Gambar 16. Diagram masa inkubasi penyakit layu kompleks tanaman cabai 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Pf 122 Pf 142 Pf 36 Pf 81 Pf B Pf 160 Kontrol Mas a In k u b as i (h ar i) Perlakuan Masa Inkubasi (Hari)

37

Berdasarkan gambar 16 dapat dilihat bahwa rata-rata perlakuan kontrol menunjukkan awal munculnya gejala penyakit pada hari ke-4 setelah inokulasi. Perlakuan yang menunjukkan gejala penyakit muncul paling lambat adalah perlakuan dengan isolat Pseudomonad fluoresens 122. Rata-rata gejala muncul pada tiap tanaman perlakuan Pf 122 pada hari ke 14 hst dan diikuti oleh perlakuan Pf 81, Pf 160, Pf 142, Pf 36 dan Pf B. Dibandingkan dengan kontrol, Pf 122 mampu menunda masa inkubasi penyakit layu selama 10 hari. Berturut-turut perlakuan Pf 81, Pf 160, Pf 142, Pf 36 dan Pf B mampu menunda masa inkubasi selama 13, 12, 10, 9 dan 7 hst bakteri Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium sp.

Pemberian isolat Pf 122 pada tanaman cabai yang telah diinokulasi bakteri Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium sp. mampu memperlambat munculnya gejala penyakit layu kompleks pada tanaman cabai. Senyawa siderofor yang terkandung pada Pf 122 diduga dapat menghambat patogen-patogen tersebut sebelum masuk ke dalam jaringan tanaman. Begitu pula dengan perlakuan Pf 81, Pf 160, Pf 142, Pf 36 dan Pf B juga mampu memperlambat munculnya gejala. Hal ini membuktikan dengan pemberian Pseudomonad fluoresens pada daerah perakaran dapat menunda munculnya gejala penyakit layu kompleks yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium sp. pada tanaman cabai. Ditunjang hasil penelitian yang dilakukan Agrios (2005), bahwa agensia hayati seperti Pseudomonas fluoresens memiliki kemampuan untuk mengaktifkan berbagai enzim atau menghasilkan senyawa metabolit sekunder/siderofor pada tanaman yang berhubungan dengan pertahanan terhadap laju infeksi patogen. Menurut Samuel (2007) beberapa strain Pseudomonas hasil isolasi menunjukkan P. fluoresens mampu menekan beragam penyakit soilborne, sehingga P. fluoresens dianggap sebagai mikroorganisme agensia hayati yang baik dalam mengkoloni akar tanaman karena kemampuannya menghasilkan senyawa siderofor yang dapat menekan perkembangan penyakit. Peneliti sebelumnya menyatakan bahwa kemampuan Pseudomonas flouresens

menekan populasi patogen diasosiasikan dengan kemampuan untuk melindungi akar dari infeksi patogen tanah dengan cara mengkolonisasi permukaan akar, menghasilkan senyawa kimia seperti antijamur/antibakteri dan siderofor serta kompetisi dalam penyerapan kation Fe (Supriadi, 2006)

4.1.2. Indeks Penyakit

Berdasarkan data analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa pemberian Pseudomonad fluoresens terhadap indeks penyakit tanaman cabai menunjukkan berpengaruh sangat nyata (data dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2 Tabel 6, 7,8, 9 dan 10.).

Mencermati data pada tabel 3 tentang rata-rata indeks penyakit, indeks penyakit paling rendah pada pengamatan ke 10 hst adalah tanaman cabai yang diperlakukan dengan Pf B yaitu 3,63 %. Kemudian diikuti berturut-turut indeks penyakit sebesar 4,34 %, 6,17 %, 11,68 %, 15,60 % dan 16,83 % pada perlakuan Pf 122, Pf 160, Pf 36, Pf 81 dan kontrol. Indeks penyakit tertinggi pada pengamatan hari ke 10 adalah perlakuan Pf 142 yaitu sebesar 19,62 %.

Tabel 3. Rata-rata indeks penyakit layu kompleks Ralstonia solanacearum dan Fusarium sp. pada tanaman cabai

Perlakuan Indeks Penyakit (%) Pengamatan hari ke-

10 15 20 25 30 Pf122 4,34 a 11,44 a 24,75 a 29,48 a 33,78 a Pf 160 6,17 ab 17,25 bc 24,96 a 32,58 a 40,58 b Pf B 3,63 a 23,78 c 31,06 b 38,23 b 46,69 c Pf 36 11,68 bc 27,26 cd 37,81 c 46,91 c 52,16 d Pf 142 19,62 d 28,63 de 33,21 b 54,55 e 61,22 e Pf 81 15,60 cd 32,36 ef 37,22 c 48,07 d 51,55 d Kontrol 16,83 cd 35,80 f 44,43 d 56,83 e 71,25 f BNJ 5 % 6,06 4,17 3,59 3,34 3,78

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata (pada taraf kesalahan α = 0,05)

39

Perlakuan Pf 122 pada pengamatan ke 15 hst menunjukkan indeks penyakit terendah sebesar 11,44 % diikuti berturut-turut indeks penyakit sebesar 17,25 %, 23,78 %, 27,26 %, 28,63 % dan 32,36 % pada isolat Pf 160, Pf B, Pf 36, Pf 142 dan Pf 81. Indeks penyakit tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan kontrol dibandingkan perlakuan lainnya yaitu sebesar 35,8 %.

Perlakuan Pf 122 pada pengamatan ke 20 hst menunjukkan indeks penyakit terendah sebesar 24,75 % diikuti berturut-turut indeks penyakit sebesar 24,96 %, 31,06 %, 33,21 %,37,22 % dan 37,81 % pada isolat Pf 160, Pf B, Pf 142, Pf 81 dan Pf 36. Perlakuan kontrol menunjukkan indeks penyakit tertinggi sebesar 44,43 %.

Perlakuan Pf 122 pada pengamatan ke 25 hst menunjukkan indeks penyakit terendah sebesar 29,48 % diikuti berturut-turut indeks penyakit sebesar 32,58 %, 38,23 %, 46,91 %, 48,07 % dan 54,55 % pada isolat Pf 160, Pf B, Pf 36, Pf 81 dan Pf 142. Perlakuan kontrol menunjukkan indeks penyakit tertinggi sebesar 56,83 %.

Selanjutnya Pf 122 pada pengamatan ke 30 hst menunjukkan indeks penyakit terendah sebesar 33,78 % diikuti berturut-turut indeks penyakit sebesar 40,58 %, 46,69 %, 51,55 %, 52, 16 % dan 61,22 % pada isolat Pf 160, Pf B, Pf 81, Pf 36 dan Pf 142. Perlakuan kontrol menunjukkan indeks penyakit tertinggi sebesar 71,25 %. Perlakuan Pf 122 dapat menekan perkembangan penyakit layu kompleks yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium sp. sebesar 37,47 % diikuti berturut-turut penekanan perkembangan penyakit layu kompleks sebesar 30,67 %, 24,56 %, 19,70 %, 19,09 % dan 10,03 % pada perlakuan Pf 160, Pf B, Pf 81, Pf 36 dan Pf 142.

Setelah melihat data indeks penyakit dari hari ke 10 sampai dengan 30 hst perlakuan yang menunjukkan indeks penyakit terendah pada tanaman cabai adalah Pf 122. Hal ini diduga karena senyawa siderofor yang dikeluarkan oleh bakteri agensia hayati Pf isolat 122 lebih banyak dibandingkan dengan bakteri Pseudomonad fluoresens isolat yang lain. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wuryandari et al. (2005) membuktikan bahwa dari 10 isolat

Pseudomonad yang diuji daya hambatnya terhadap perkembangan penyakit layu R. solanacearum di rumah kaca, menunjukkan hasil yang bervariasi. Beberapa isolat Pseudomonad fluoresens yang mampu menghambat perkembangan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh bakteri R. solanacearum yaitu Pf 122 dengan indeks penyakitnya hanya 49,9%, sehingga dapat menekan pertumbuhan R. solanacearum sampai 51,1%. Sedangkan untuk Pf 81, Pf 142, Pf 36 dan Pf 160 indeks penyakitnya secara berturut-turut sebesar 63,33%, 66,67%, 67,78% dan 71,11%. Isolat Pf-122 menunjukkan kemampuan yang paling tinggi dalam menekan perkembangan penyakit layu R. solanacearum terbukti dengan rendahnya laju infeksi atau rendahnya kecepatan perkembangan penyakit layu bakteri. Isolat yang kedua adalah Isolat Pf-142 yang dapat menekan mengendalikan pertumbuhan R. solanacearum secara bakteriosida. Isolat Pseudomonad fluoresen yang digunakan mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R. solanacearum. Adanya perbedaan kemampuan isolat-isolat Pseudomonad fluoresen dalam menghambat perkembangan penyakit layu mungkin disebabkan karena Pseudomonad fluoresen mempunyai kemampuan mengeluarkan senyawa penghambat yang berbeda, selain itu juga memiliki kemampuan kompetisi nutrisi dengan R. solanacearum dan mikroorganisme lain dalam tanah lebih baik. Sementara itu Krisnawan (2011) melaporkan bahwa dari hasil akhir pengamatan rata-rata indeks penyakit pemberian isolat Pf 36 merupakan isolat yang baik untuk menghambat Fusarium sp pada tanaman cabai, kemudian diikuti oleh isolat Pf 160 dan Pf 122 yang indeks penyakitnya kurang dari 20%.

Menurut Ilan (1993) kontribusi strain pseudomonas ke rhizosfer sangat penting. Beberapa isolat P. fluoresens mengeluarkan siderofor yang khelat ion besi, dengan demikian senyawa antibiotik dapat meningkatkan penyerapan zat besi oleh akar tanaman.

41

Pada grafik rata-rata indeks penyakit gambar 17 memperlihatkan kemampuan Pseudomonad fluoresens menekan perkembangan laju infeksi penyakit layu kompleks yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium sp. pada tanaman cabai lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Hal ini dikarenakan Pseudomonad fluoresens dapat memproduksi senyawa siderofor yang mampu mengkelat besi dalam kondisi lingkungan kekurangan Fe mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan patogen karena Fe menjadi tidak tersedia bagi patogen (Dwivedi dan Jori, 2003). Disisi lain Munif (2001) mengatakan agensia hayati Pseudomonad fluoresens juga mampu memparasit patogen secara langsung dengan cara mengeksresikan enzim ekstraseluler (kitinase, protease, dan selulose), enzim tersebut dapat membuat atau mendegradasi dinding sel patogen sehingga perkembangan patogen menjadi terhambat. Selain itu, Pseudomonad fluoresens mampu menghasilkan HCN yang bersifat toksik terhadap sejumlah patogen tanaman. Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa Pseudomonas flourescens dapat

0 10 20 30 40 50 60 70 80 10 15 20 25 30 Rat a -r at a Se ra n g an Pe n y ak it Hari Pengamatan Indeks Penyakit (%) Pf 122 Pf 81 Pf 36 Pf 160 Pf 142 Pf B Kontrol

mengendalikan : penyakit layu fusarium pada tanaman pisang (Djatnika, 2003); penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tanaman kacang tanah (Suryadi, Y, 2009); penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) tanaman cabai (Baharuddin, dkk., 2005).

4.2. Pengaruh Pseudomonad fluoresen terhadap Pertumbuhan Tanaman Cabai

Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan pemberian Pseudomonad fluoresens terhadap pertumbuhan tanaman cabai ; berpengaruh sangat nyata pada tinggi tanaman, berpengaruh sangat nyata pada jumlah daun dan bepengaruh nyata pada berat kering daun tanaman cabai (dapat dilihat pada Lampiran 2 Tabel 11, 12 dan 13).

Tabel 4. Pengaruh perlakuan terhadap rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun dan berat kering daun tanaman cabai

Perlakuan Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Daun (helai) Berat Kering Daun (g) Kontrol 22,25 a 11,05 a 0,18 a Pf 142 25,64 ab 18,28 ab 0,46 ab Pf 36 27,11 ab 22,22 b 0,68 ab Pf 81 27,42 ab 22,61 b 0,51 ab Pf 160 29,72 b 23,11 b 0,73 ab Pf B 29,84 b 23,17 b 0,76 b Pf122 30,44 b 23,78 b 0,78 b BNJ 5 % 6,52 8,46 0,55

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata (pada taraf kesalahan α = 0,05)

4.2.1. Tinggi Tanaman Cabai

Pada tabel 4 perbandingan uji beda nyata jujur kesalahan 5 % perlakuan Pf 122, Pf B dan Pf 160 memperlihatkan tinggi tanaman yang baik dibandingkan perlakuan kontrol. Rata-rata tinggi tanaman pada perlakuan Pf 122 mencapai 30,44 cm, Pf B memperlihatkan rata-rata tinggi tanaman 29,84 cm dan Pf 160 memperlihatkan rata-rata tinggi tanaman 29,72 cm. Gambar 18 menunjukkan rata-rata tinggi tanaman pada perlakuan kontrol hanya mencapai 22,25 cm. Data ini memperlihatkan bahwa perlakuan dengan pemberian bakteri

43

Pseudomonad fluoresens dapat memacu pertumbuhan tinggi tanaman cabai lebih baik dibandingkan perlakuan kontrol atau tanpa pemberian Pseudomonad fluoresens.

Yanti et al., (2008), melaporkan aplikasi P. fluorescens pada tanaman cabai menunjukkan pertumbuhan yang baik. Kenyataan ini dapat dilihat dari tinggi tanaman, jumlah daun dan berat kering daun. Aktivitas rizobakteria ini memberi keuntungan langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) ini didasarkan atas kemampuannya menyediakan dan memobilisasi atau memfasilitasi penyerapan berbagai unsur hara dalam tanah serta mensintesis dan mengubah konsentrasi berbagai fitohormon pemacu tumbuh (Husen, 2003).

0 5 10 15 20 25 30 35 Kont rol Pf 142 Pf 36 Pf 81 Pf 160 Pf B Pf122 Rata-rata Tinggi Tanaman (cm) Rat a-Rat a

Dipihak lain hasil penelitian Maqqon et al. (2006), Santoso et al. (2007), Soesanto et al. (2008) membuktikan bahwa bakteri antagonis P. fluorescens memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman uji, yaitu menyebabkan adanya pertambahan tinggi tanaman. Pembuktian ini ditunjukkan pada gambar 19 perbandingan tinggi tanaman cabai pada perlakuan Pf 122 dengan kontrol secara deskriptif.

4.2.2. Jumlah Daun Tanaman Cabai

Pada perbandingan uji beda nyata jujur kesalahan 5 % perlakuan Pf 122, Pf B, Pf 160, Pf 81, Pf 36 dan Pf 142 tidak berbeda nyata. Pada tabel 4 perlakuan kontrol memperlihatkan perbedaan nyata dengan Pf 122, Pf B, Pf 160, Pf 81 dan Pf 36.

a b

Gambar 19. Perbandingan tinggi tanaman cabai

a. Tinggi tanaman cabai pada perlakuan Pf 122 b. Tinggi tanaman cabai pada perlakuan kontrol

45

Berdasarkan data rata-rata jumlah daun tanaman cabai pada gambar 20 menunjukkan bahwa perlakuan dengan Pf 122 mempunyai jumlah daun lebih banyak dibandingkan perlakuan yang lain. Perlakuan kontrol menunjukkan jumlah daun paling sedikit dibandingkan jumlah daun tanaman cabai yang diberikan Pseudomonad fluoresens.

Adanya Pseudomonad fluoresens di daerah perakaran mungkin selain menghambat patogen berkembang di perakaran juga mampu meningkatkan jumlah daun dibandingkan tanaman tanpa pemberian Pseudomonad fluoresens. Peran bakteri P. fluoresens selain menghasilkan siderofor, juga mampu sebagai bakteri pemacu pertumbuhan tanaman atau PGPR. Mekanisme P. fluoresens sebagai PGPR yaitu, dapat memproduksi fitohormon (biostimulant) : IAA (Indole Acetic Acid), sitokinin, giberellin, dan penghambat pembentukan etilen, dapat menambah luas permukaan akar-akar halus : meningkatkan ketersediaan nutrisi bagi tanaman (biofertilizer) (Widodo, dkk., 2006), sehingga pertumbuhan tanaman khususnya jumlah daun tanaman yang diperlakukan P. fluoresens lebih banyak dibandingkan jumlah daun tanaman tanpa perlakuan P. fluoresens.

0 5 10 15 20 25 Kont rol Pf 142 Pf 36 Pf 81 Pf B Pf 160 Pf122 Rata-rata

Jumlah Daun (helai)

Rat a-rat a

4.2.3. Berat Kering Daun Tanaman Cabai

Pada tabel 4 perbandingan uji beda nyata jujur kesalahan 5 % menunjukkan bahwa Pf 122 dan Pf B mempunyai berat kering daun lebih besar dibandingkan perlakuan kontrol dan Pseudomonad fluoresens yang lain.

Pseudomonas flouresens yang hidup di daerah perakaran tanaman dapat berperan sebagai jasad renik pelarut fosfat, mengikat nitrogen dan menghasilkan zat pengatur tumbuh bagi tanaman (Baharuddin, dkk., 2005). Pseudomonas flouresens dapat dimanfaatkan sebagai pupuk biologis yang dapat menyediakan hara untuk pertumbuhan tanaman. Hal ini dibuktikan dari rata-rata berat kering daun tanaman cabai pada perlakuan kontrol (tanpa perlakuan Pseudomonad fluoresens) menunjukkan hasil terkecil bila dibandingkan dengan Pf 122, Pf B dan Pf 160 (dapat dilihat pada Gambar 21). Pseudomonad fluoresens di daerah perakaran tanaman cabai diduga berperan menyediakan unsur hara untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman cabai, sehingga jika dibandingkan antara perlakuan

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 Pf122 Pf 81 Pf 36 Pf 160 Pf 142 Pf B Kont rol Rata-rata Berat Kering (g) Rat a-Rat a

Gambar 21. Diagram rata-rata berat kering daun tanaman cabai pada setiap perlakuan hari ke 30

47

pemberian pseudomonad fluoresens menunjukkan hasil berat kering daun lebih baik dibandingkan perlakuan kontrol.

4.3. Pengaruh Pseudomonad fluoresen Terhadap Panjang Gejala pada Pangkal BatangTanaman Cabai

Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan pemberian Pseudomonad fluoresens terhadap panjang gejala pada pangkal batang tanaman cabai menunjukkan hasil berpengaruh nyata (ditunjukkan pada Lampiran 3. Tabel 14 ). Pada perbandingan uji beda nyata jujur kesalahan 5 % perlakuan Pf 122, Pf B, Pf 160, Pf 36, Pf 81 dan Pf 142 menunjukkan hasil berbeda nyata dibandingkan kontrol terhadap pengaruh panjang gejala pada pangkal batang tanaman cabai. Perlakuan Pf 122, Pf B, Pf 160, Pf 36, Pf 81 dan Pf 142 pada tabel 5 tidak menunjukkan adanya perbedaan satu sama lain terhadap pengaruh panjang gejala pada pangkal batang tanaman cabai.

Tabel 5. Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Gejala Penyakit Pada Pangkal Batang Tanaman Cabai

Perlakuan Panjang Gejala Penyakit Pada Pangkal Batang (cm) Pf 142 0,19 a Pf 36 0,08 a Pf 81 0,16 a Pf 160 0,16 a Pf B 0,19 a Pf122 0,19 a Kontrol 0,56 b BNJ 5 % 0,36

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata (pada taraf kesalahan α = 0,05)

Daerah perakaran yang diinokulasi dengan suspensi agensia hayati Pseudomonad Fluoresens mungkin bisa menghambat sebelum patogen masuk ke dalam jaringan yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium sp. dibandingkan

tanpa diberi suspensi agensia hayati Pseudomonad fluoresens. Pemaparan itu berdasarkan pendapat peneliti sebelumnya Husen (2003) Pseudomonas fluoresens berperan sebagai agensia hayati melalui kompetisi, penginduksi sistem pertahanan terhadap patogen dan penghasil siderofor.

Rata-rata panjang gejala pada pangkal batang tanaman cabai pada perlakuan kontrol sebesar 0,56 cm, sedangkan pada perlakuan isolat Pf 36 sebesar 0,08 (dapat dilihat pada Gambar 22). Apabila dilihat dari rata-rata panjang gejala pada pangkal batang tanaman cabai pada setiap perlakuan Pseudomonad fluoresens menunjukkan hasil tidak berbeda, sedangkan pada perlakuan kontrol rata-rata panjang gejala pada pangkal batang tanaman cabai berbeda dibandingkan perlakuan Pseudomonad fluoresens. Hal tersebut mungkin dikarenakan Pseudomonad fluoresens mampu berkolonisasi diperakaran tanaman cabai dan berkompetisi dengan mikroorganisme lain termasuk bakteri R. solanacearum dan jamur Fusarium sp. Kompetisi antara patogen bakteri R. solanacearum dan jamur Fusarium sp.

Gambar 22. Diagram rata-rata panjang gejala pada pangkal batang tanaman cabai pada setiap perlakuan hari ke 30

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 Pf 36 Pf 81 Pf 160 Pf 142 Pf B Pf122 Kont rol Rata-rata

Panjang Gejala pada pangkal batang(cm)

49

dengan agensia hayati Pseudomonad fluoresens di daerah perakaran tanaman cabai mampu menghambat patogen tersebut masuk ke dalam jaringan tanaman cabai, sehingga panjang gejala pada akar tanaman cabai tidak sepanjang pada perlakuan tanpa Pseudomonad fluoresens. Inokulasi tanaman dengan Pseudomonad fluoresens secara nyata meningkatkan aktivitas enzim peroksidase yang berhubungan dengan penyakit layu Fusarium sp. (Ramamoorthy et al., 2002). Disisi lain Baharuddin, dkk (2005) dari penelitiannya menjelaskan bahwa Pseudomonas spp. kelompok fluoresens dalam perakaran tanaman mampu berkolonisasi dengan baik sehingga dapat menekan serangan R. solanacearum. Pemberian Pseudomonad fluoresens diduga dapat menghambat bakteri Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium sp. yang berada di daerah rizosfer sebelum patogen masuk pada jaringan perakaran.

5.1. Kesimpulan

1. Semua bakteri Pseudomonad fluoresens isolat Pf 122, Pf 160, Pf B, Pf 81, Pf 36 dan Pf 142 mampu menekan perkembangan penyakit layu kompleks disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium sp secara berturut-turut sebesar 37,47 %, 30,67 %, 24,56 %, 19,70 %, 19,09 % dan 10,03 %.

2. Isolat Pseudomonad fluoresens yang paling lama menunda munculnya gejala dan paling mampu menekan perkembangan penyakit layu kompleks disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium sp. adalah bakteri Pseudomonad fluoresesns isolat Pf 122, Pf 160 dan Pf B. 3. Indikator pertumbuhan tanaman cabai baik tinggi tanaman, jumlah daun dan

berat kering tanaman cabai yang paling baik adalah perlakuan dengan bakteri Pseudomonad fluoresesns isolat Pf 122, Pf 160 dan Pf B.

5.2. Saran

Setelah didapatkan isolat Pseudomonad fluoresens yang efektif terhadap penekanan perkembangan laju infeksi penyakit layu kompleks tanaman cabai pada skala Green House, perlu dilakukan penelitian terhadap isolat Pseudomonad fluoresens tersebut pada skala lapang. Sehingga akan diperoleh satu isolate Pseudomonad fluoresens yang paling baik untuk pengendalian penyakit layu kompleks disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium sp. dan meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman cabai.

51

DAFTAR PUSTAKA

Aeny, T.N. 2001. Patogenisitas bakteri layu pisang (Ralstonia sp) pada beberapa tanaman lain. Jurnal Hama dan Penyakit Tanaman Tropika 1(2): 60-62 [jurnal on-line]. http://www.google.com/Ralstonia/jhpt/titikurae. Diakses tanggal 7 Desember 2012.

Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology 5th ed. Elsevier Academic Press, California. 922 p. Allen, C; P. Prior dan A.C. Hayward. 2005. Bacterial Wilt Disease and the Ralstonia

solanacearum Species Complex. The American Phytopathological Society. Hlm : 510

Anonim. 2001. Total Unmanufactured Tobacco Planeted Area For Selected Countries. United State Department Of Agriculture. Journal. Hlm : 72-73.

Anonim. 2012. Produksi Tanaman Cabai. Badan Pusat Statistik (Online)

(http://www.setkab.go.id/nusantara-5258-meningkat-produksi-cabai-besar-mangga-dan-bawa-sepanjang-2011.html) Diakses tanggal 5 Desember 2012. Arwiyanto, T.; M. Goto; T. Satake dan Y. Takikawa. 1994. Biological control of bacterial

wilt of tomato by an avirulent strain of Pseudomonas solanacearum isolated from Strelitzia reginae. Ann. Phytopathol. Soc. Jpn. 60:421-430

Arwiyanto, T. 1997. Pengendalian Hayati Penyakit Layu Bakteri Tembakau : I. Isolasi Bakteri Antagonis. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia I (3) : 54-60.

Baharuddin; Nursaba dan T. Kuswinanti. 2005. Pengaruh Pemberian Pseudomonas Fluorescens Dan “Effective Microorganism 4“ Dalam Menekan Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) Pada Tanaman Cabai (Capsicum annuum L.). Journal online.

http://www.peipfi-komdasulsel.org/wp-content/uploads/2012/01/33-Bahar-Prosiding1.pdf . Diakses Tanggal 10 Desember 2012

Cristianti. 2004. Prospek Pengendalian Penyakit Layu Fusarium Pisang dengan menggunakan Agens Antagonis Pseudomonad Fluerescen dan Fusarium Nonpatogenik, Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Jurnal. Hlm :212-217.

Djafaruddin. 2004. Dasar-dasar Pengendalian Penyakit Tanaman. Edisi ke-1. Cetakan ke-2. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Hlm : 122.

Djatnika, I.; W. Nuryani dan N. Rossiana 2003. Peranan Pseudomonas flourescens MR 96 Pada Layu Fusarium Tanaman Pisang. DalamJurnal Hortikultura 13 (3). hlm : 212 – 218, 2003.

Denny, T.P. dan Hayward A.C. 2001. Ralstonia. Di dalam: Schaad NW, Jones JB, Chun W, editor. Laboratory Guide for Identification of Plant Pathogenic Bacteria. Ed ke-3. St Paul: APS Press. hlm 151 – 173.

Dodi, S. S. 2008. Berbagai Mikroorganisme Rizosfer Pada Tanaman Pepaya (Carica papaya L.) Di Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika (Pkbt) Ipb Desa Ciomas, Kecamatan Pasirkuda, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Hlm : 15 [jurnal online]. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/1784/A08dss.pdf

Domsch, K.H., W. Gams, and T.H. Anderson. 1993. Compendium of Soil Fungi, vol. 1, IHW-Verlag, Eching. Hlm : 859 pp.

Dwivedi, D. and B.N. Johri. 2003. Antifungal from fluorescens pseudomonads:byosynthesis and regulation. Curr Sci 85. Hlm :1693-1703. Handayani, T. 2005. Penampilan ketahanan penyakit layu bakteri pada hibrida seksual

dan somatik Solanum khasianum Clarke dan Solanum capsicoides All. Zuriat 16(2). Hlm : 181-191 [jurnal on-line].

http://www.google.com/layubakteri. Diakses tanggal 7 Desember 2012

Hartati, S.Y.; Supriadi; E.M. Adhi dan N. Karyani. 1994. Colonization of Pseudomonas solanacearum in clove seedlings. Journal of Spice and Medicinal Crops 2 (2). Hlm :24-28.

Hastopo, K. 2007. Penekanan Hayati Patogen Fusarium oxysporum Di Tanah Terkontaminan Yang Ditanami Tanaman Tomat. Skripsi. Fakultas Pertanian Unsoed, Purwokerto. (Tidak dipublikasikan). Hlm : 43.

Hermanto, C. dan Setyawati. 2002. Pola sebaran dan perkembangan penyakit layu fusarium pada pisang Tanduk, Rajasere, Kepok dan Barangan. J Hort12(1). Hlm : 64-72.

Husen, E. 2003. Screening of soil bacteria for palnt growth promoting activities in vitro. Short communication. Indonesian J Agric Sci 4. Hlm : 27-31.

Ilan, chet. 1993. Biotechnology in Plant Disease Control. The Hebrew University of Jerussalem, Faculty of Agriculture, Rehovot, Israel. Hlm :510.

Istikorini, Y. 2002. Pengendalian Penyakit Tumbuhan secara Hayati yang Ekologis dan Berkelanjutan. (Online). Hlm : 125-126.

http://tumoutou.net/702_05123/yunik_istikorini.htm. [Diakses tanggal 12 Desember 2012]

Jeung, Y.; J. Kim dan Y. Kang. 2007. Genetic diversity and distribution of Korean isolates of Ralstonia solanacearum. Plant Disease 91(10). Hlm : 1277-1287. Krisnawan. 2011. Pengaruh Agensia Hayati Pseudomonad Fluoresen Terhadap

Dokumen terkait