PENYAKIT LAYU Ralstonia solanacearum dan Fusarium sp.
PADA TANAMAN CABAI (Capsicum annuum L.)
SKRIPSI
Oleh :
IKA NURFITRIANA NPM : 0925010022
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
PENGUJIAN ISOLAT AGENSIA HAYATI Pseudomonad fluoresen
TERHADAP PENEKANAN PERKEMBANGAN LAJU INFEKSI
PENYAKIT LAYU Ralstonia solanacearum dan Fusarium sp.
PADA TANAMAN CABAI (Capsicum annuum L.)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
Program Studi Agroteknologi
Oleh :
IKA NURFITRIANA NPM : 0925010022
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN” JAWA TIMUR SURABAYA
PENGUJIAN ISOLAT AGENSIA HAYATI Pseudomonad fluoresen
TERHADAP PENEKANAN PERKEMBANGAN LAJU INFEKSI
PENYAKIT LAYU Ralstonia solanacearum dan Fusarium sp.
PADA TANAMAN CABAI (Capsicum annuum L.)
Disusun oleh
IKA NURFITRIANA 0925010022
Telah dipertahankan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian
Pada Tanggal 17 Juni 2013
Pembimbing Tim Penguji :
1. Pembimbing Utama 1. Ketua
Dr. Ir. Yenny Wuryandari, MP. Dr. Ir. Yenny Wuryandari, MP.
2. Pembimbing Pendamping 2. Sekretaris
Ir. Indriya Radiyanto, MS. Ir. Indriya Radiyanto, MS.
3. Anggota
Dr. Ir. Ketut Srie Marhaeni J., MSi.
4. Anggota
Ir. Suwandi, MP.
Mengetahui,
Ketua Progam Studi Agroteknologi Dekan Fakultas Pertanian
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan taufik serta hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan
laporan skripsi, dengan judul “ PENGUJIAN ISOLAT AGENSIA HAYATI
PSEUDOMONAD FLUORESEN TERHADAP PENEKANAN PERKEMBANGAN
LAJU INFEKSI PENYAKIT LAYU Ralstonia solanacearum DAN Fusarium sp.
PADA TANAMAN CABAI (Capsicum annuum L.)” .
Penyusunan laporan skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam
memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Pertanian
Program Studi Agroteknologi di Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Jawa Timur.
Dengan harapan semoga laporan skripsi ini dapat diterima, maka dalam
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Yenny Wuryandari, MP. selaku dosen pembimbing utama.
2. Ir. Indriya Radiyanto, MS. selaku dosen pembimbing pendamping.
3. Ir. Mulyadi, MS. selaku Ketua Program Studi Agroteknologi Fakultas
Pertanian UPN “Veteran” Jawa Timur.
4. Dr. Ir. Ramdan Hidayat, MS. Selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
5. Kedua orang tua yang selalu mendukung penulis dalam berbagai hal,
khususnya dalam dukungan material dan spiritual.
6. Teman-teman yang senantiasa mendukung penulis untuk menyelesaikan
proposal ini.
Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini masih banyak kekurangan,
mudah-mudahan pembaca berkenan untuk melengkapi, demi sempurnanya
memberikan sumbangan, serta bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan bagi semua pihak yang membutuhkan. Aamiin.
Surabaya, Mei 2013
iii
2.2. Penyakit Layu Ralstonia solanacearum ... 8
2.2.1. Arti Penting Penyakit Layu Ralstonia solanacearum ... 8
2.2.2. Gejala Penyakit ... 9
2.2.3. Patogen Penyebab ... 10
2.2.4. Siklus Hidup Patogen ... 11
2.3. Penyakit Layu Fusarium ... 12
2.3.1. Arti Penting Penyakit Layu Fusarium ... 12
2.3.2. Gejala Penyakit ... 13
2.3.3. Patogen Penyebab ... 13
2.3.4. Siklus Hidup ... 14
2.4. Pengendalian Penyakit Secara Hayati ... 15
2.5. Pseudomonad Fluoresen Sebagai Agensia Hayati ... 17
2.5.1. Sistematika Pseudomonas fluoresen ... 18
2.5.2. Potensi dan Kelebihan Pseudomonas fluoresen ... 18
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian... 22
3.2. Alat dan Bahan. ... 22 4.1. Pengaruh Pseudomonad fluoresen terhadap Perkembangan Penyakit ... 35
4.1.1. Masa Inkubasi ... 35
4.1.2. Indeks Penyakit ... 38
4.2. Pengaruh Pseudomonad fluoresen terhadap Pertumbuhan Tanaman Cabai ... 42
4.2.1. Tinggi Tanaman Cabai ... 42
4.2.2. Jumlah Daun Tanaman Cabai... 44
4.2.3. Berat Kering Daun Tanaman Cabai ... 46
4.3. Panjang Gejala pada Pangkal Batang Tanaman Cabai ... 47
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 50
5.2. Saran ... 50
DAFTAR PUSTAKA ... 51
v
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Teks
1. Perkembangan Produksi Cabai Besar Menurut Wilayah Pulau Jawa
dan Luar Pulau Jawa Tahun 2009-2011 ... 7
2. Rata-rata masa inkubasi penyakit layu kompleks pada tanaman cabai ... 36
3. Rata-rata indeks penyakit layu kompleks Ralstonia solanacearum dan Fusarium sp. pada tanaman cabai ... 38
4. Pengaruh perlakuan terhadap rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun dan berat kering daun tanaman cabai ... 42
5. Pengaruh Perlakuan Terhadap Panjang Gejala Penyakit Pada Pangkal Batang Tanaman Cabai... 47
Lampiran 1. Anova masa inkubasi ... 56
2. Anova indeks penyakit hari ke-10 ... 56
3. Anova indeks penyakit hari ke-15 ... 56
4. Anova indeks penyakit hari ke-20 ... 56
5. Anova indeks penyakit hari ke-25 ... 56
6. Anova indeks penyakit hari ke-30 ... 57
7. Anova rata-rata tinggi tanaman cabai pada hari ke-30 ... 57
8. Anovarata-rata jumlah daun tanaman cabai pada hari ke-30 ... 57
9. Anova rata-rata berat kering tanaman cabai pada hari ke-30 ... 57
Nomor Halaman
Teks
1. Gejala Penyakit Layu Bakteri yang disebabkan oleh
Ralstonia solanacearum Pada Tanaman Cabai ... 10
2. Koloni Bakteri Ralstonia solanacearum ... . 11
3. Siklus Hidup Ralstonia solanacearum ... 12
4. Gejala Penyakit Layu yang Disebabkan oleh Jamur Fusarium sp. ... 13
5. Fusarium sp ... . 14
6. Siklus Hidup Fusarium sp ... 15
7. Denah Penempatan Perlakuan dan Ulangan ... 25
8. Koloni Ralstonia solanacearum pada media YPGA... 26
9. Perbanyakan isolat murni Ralstonia solanacearum pada tabung reaksi ... 27
10. Koloni jamur Fusarium sp. pada media PDA v8 di cawan petri 28
11. Makrokonidia jamur Fusarium sp. Perbesaran : 10 x 40... 28
12. a. Koloni bakteri Pseudomonad fluoresens berpendar dibawah sinar UV b. Koloni bakteri kontrol (Ralstonia solanacearum) tidak berpendar dibawah sinar UV ... 30 bakteri Ralstonia solanacearum pada setiap lubang. ... 31
15. a. Gejala daun menguning, b. Gejala daun layu ... 35
vii
17. Rata-rata indeks penyakit setiap perlakuan pada tanaman cabai 41
18. Diagram rata-rata tinggi tanaman cabai pada hari ke 30 ... 43
19. Perbandingan tinggi tanaman cabai pada perlakuan Pf 122 dan kontrol. ... 44
20. Diagram rata-rata jumlah daun tanaman cabai hari ke 30 ... 45
21. Diagram rata-rata berat kering daun tanaman cabai pada setiap perlakuan hari ke 30 ... 46
22. Diagram rata-rata panjang gejala pada pangkal batang tanaman cabai pada setiap perlakuan hari ke 30 ... 48
Cabai (Capsicum annuum L.). Skripsi dibawah bimbingan Dr. Ir. Yenny Wuryandari, MP. sebagai pembimbing utama dan Ir. Indriya Radiyanto, MS. Sebagai pembimbing pendamping
ABSTRAK
Produksi tanaman cabai mempunyai kendala yang sering muncul setiap saat, yaitu serangan penyakit tanaman. Salah satu penyakit penting tanaman cabai disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium sp. Bakteri Pseudomonad fluoresens dikenal sebagai agensia hayati yang bisa menekan perkembangan penyakit tanaman. Oleh karena itu, dilakukan pengujian isolat agensia hayati Pseudomonad fluoresens untuk mengetahui isolat Pf yang paling baik dalam menekan perkembangan laju infeksi penyakit layu Ralstonia solanacearum dan Fusarium sp. pada tanaman cabai. Isolat Pseudomonad fluoresens yang digunakan adalah isolat-isolat pilihan dari penelitian sebelumnya, yaitu isolat Pf B, Pf 36, Pf 81, Pf 122, Pf 142 dan Pf 160 serta perbandingan dengan perlakuan kontrol (aquades steril). Bibit tanaman cabai yang telah berumur 30 hari dibersihkan perakarannya dari tanah kemudian direndam pada masing-masing suspensi isolat Pf dan kontrol selama 30 menit. Setelah itu bibit tanaman cabai yang sudah direndam ditanam pada media tanam yang diinokulasikan bakteri Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium sp. Hasil dari data pengamatan ketujuh perlakuan tersebut menunjukkan semua isolat Pf mampu menekan perkembangan penyakit layu kompleks dibandingkan kontrol. Isolat Pf 122, Pf 160 dan Pf B merupakan isolat Pf paling mampu menunda munculnya gejala dan menekan perkembangan penyakit layu kompleks pada tanaman cabai paling lama dibandingkan perlakuan lainnya. Untuk pertumbuhan tanaman baik tinggi tanaman, jumlah daun dan berat kering tanaman cabai perlakuan yang paling baik adalah perlakuan bakteri Pseudomonad fluoresens isolat Pf 122, Pf 160 dan Pf B. Agensia hayati yang berasal dari bakteri Pseudomonad fluoresens terutama isolat Pf 122 baik untuk diaplikasikan di lahan tanaman cabai.
Ika Nurftriana, 2009. NPM : 0925010022. Testing of Pseudomonads fluorescent isolates Agencia Biological Emphasis Against Infectious Disease Progress Rate Wilt Ralstonia solanacearum and Fusarium sp. At Chilli Plants (Capsicum annuum L.). Supervised by Dr. Ir. Yenny Wuryandari, MP. as chairperson of guidance and Ir. Indriya Radiyanto, MS. as member of guidance.
ABSTRACT
Production of chilli plants have constraints that often arise at any time, are the plant disease. One of the important diseases of chilli plants caused by Ralstonia solanacearum and Fusarium sp. Pseudomonads fluorescent bacteria known as biological agents that can suppress plant disease development. Therefore, the isolates tested biological agents to determine Pseudomonads fluorescent isolates Pf most good in reducing the rate of progression of infection Ralstonia solanacearum wilt and Fusarium sp. in chilli. Pseudomonads fluorescent isolates used were isolates choice of previous studies, namely isolate Pf B, Pf 36, Pf 81, Pf 122, Pf 142 and 160 as well as a comparison to the control treatment (sterile distilled water). Chilli plant seeds that have been outstanding for 30 days cleared roots from the soil and then soaked in a suspension of each isolate Pseudomonads fluorescent and control for 30 minutes. After the seeds that have been soaked in chilli plants grown in media inoculated bacteria Ralstonia solanacearum and Fusarium sp. Results from observational data that shows all seven treatments Pseudomonads fluorescent isolates capable of suppressing the development of wilt disease complex compared to controls. Isolates Pf 122, Pf and Pf 160 isolates Pf B is most able to delay the appearance of symptoms and suppress the development of wilt disease complex in chilli longest compared to other treatments. For good plant growth plant height, leaf number and dry weight of chilli plants best treatment is the treatment of bacterial isolates of Pseudomonads fluorescent Pf 122, Pf and Pf 160 B. Biological agents derived from bacteria, especially Pseudomonads fluorescent isolates Pf 122 the best for land applied in chilli plants.
annuum L.).
Dibimbing oleh : Dr. Ir. Yenny Wuryandari, MP. dan Ir. Indriya Radiyanto, MS.
RINGKASAN
Permintaan produksi tanaman cabai merah di Indonesia meningkat setiap tahun,
namun OPT terutama penyakit layu kompleks Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium
sp. menjadi kendala pembatas produksi tanaman cabai merah. Penelitian ini bertujuan untuk
membuktikan agensia hayati Pseudomonad fluoresens dapat menekan perkembangan laju
infeksi penyakit layu kompleks yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum dan
jamur Fusarium sp. pada tanaman cabai, dapat mengetahui isolat bakteri agensia hayati
Pseudomonad fluoresens paling efektif terhadap penekanan perkembangan laju infeksi
penyakit layu kompleks yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum dan jamur
Fusarium sp. pada tanaman cabai dan mengetahui isolat bakteri agensia hayati
Pseudomonad fluoresens paling baik sebagai pemacu pertumbuhan tanaman cabai.
Penelitian ini dilaksanakan mulai Oktober 2012 – Maret 2013 dan tempat
pelaksanaan penelitian ini adalah Green House Fakultas Peertanian UPN “Veteran” Jawa
Timur. Penelitian ini menggunakan faktor tunggal dengan tujuh macam perlakuan yang
diletakkan dalam Rancangan Acak Lengkap dengan diulang sebanyak tiga kali. Perlakuan
yang dilakukan, yaitu Pf160, yaitu bibit direndam pada agensia hayati Pf isolat 160, Pf122,
yaitu bibit direndam pada agensia hayati Pf isolat 122, Pf142 yaitu bibit direndam pada
agensia hayati Pf isolat 142, Pf81, yaitu bibit direndam dengan agensia hayati Pf isolat 81,
PfB, yaitu bibit direndam pada agensia hayati Pf isolat B, Pf36, yaitu bibit direndam pada
agensia hayati Pf isolat 36 dan K, yaitu kontrol murni. Data yang diperoleh dianalisis
menggunakan analisis sidik ragam (anova). Apabila F hitung > F tabel maka dilanjutkan uji
perbandingan rata-rata hasil dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ 5%).
Hasil dari data pengamatan ketujuh perlakuan tersebut menunjukkan bahwa semua
isolat Pf mampu menekan perkembangan penyakit layu kompleks dibandingkan kontrol.
Isolat Pf 122, Pf 160 dan Pf B merupakan isolat Pf paling mampu menunda munculnya
gejala dan menekan perkembangan penyakit layu kompleks pada tanaman cabai paling
lama dibandingkan perlakuan lainnya. Perlakuan Pf 122, Pf 160 dan Pf B secara
berturut-turut menunjukkan persentase penekanan perkembangan penyakit layu kompleks sebesar
37,47 %, 30,67 % dan 24,56 %. Untuk pertumbuhan tanaman baik tinggi tanaman, jumlah
daun, dan berat kering tanaman cabai perlakuan yang paling baik adalah perlakuan bakteri
Pseudomonad fluoresens isolat Pf 122, Pf 160 dan Pf B. Agensia hayati yang berasal dari
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu tanaman cabai yang banyak dibudidayakan di Indonesia
adalah tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.), tanaman ini juga
merupakan salah satu tanaman sayuran yang penting di Indonesia. Ciri buah
cabai adalah mempunyai rasa pedas dan aroma khas. Cabai merah merupakan
sayuran yang dikonsumsi setiap saat, sehingga kebutuhan cabai akan
meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan perekonomian
nasional.
Menurut Badan Pusat Statistik (2012), peningkatan produksi cabai besar
segar Indonesia tahun 2011, yaitu sebesar 888,852 ribu ton dengan luas panen
sebesar 121,063 ribu hektar dan rata-rata produktivitas sebesar 7,34 ton per
hektar. Dibandingkan tahun 2010 telah terjadi kenaikan produksi sebesar 81,692
ribu ton (10,12%). Kenaikan tersebut disebabkan oleh kenaikan produktivitas
sebesar 0,76 ton per hektar (11,55%) dengan keadaan luas panen terjadi
penurunan sebesar 1,692 ribu hektar (1,38%) dibandingkan tahun 2010.
Rata-rata produksi cabai nasional baru mencapai 7,34 ton/ha, sementara potensi
produksi cabai dapat mencapai 10 ton/ha.
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) merupakan salah satu faktor
pembatas hasil produksi tanaman cabai. Kondisi cuaca yang tidak stabil
merupakan faktor utama munculnya berbagai penyakit utama pada tanaman
cabai. Gangguan penyakit maupun hama pada tanaman cabai kompleks, baik
pada musim hujan maupun musim kemarau. Bahkan dapat menimbulkan
kerugian cukup besar, terlebih pada musim pancaroba seperti saat ini
Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) sering menghadapi
kendala yang setiap saat selalu ada dalam produksinya, yaitu munculnya gejala
penyakit tanaman. Di antara penyakit tanaman yang ada, penyakit busuk basah
karena bakteri Ralstonia solanacearum dan penyakit layu karena jamur Fusarium
sp. merupakan penyakit karena patogen tular tanah yang sering dijumpai di
pertanaman cabai (Soesanto, 2010).
Jamur Fusarium sp. merupakan jamur yang sangat merugikan karena
dapat menyerang tanaman cabai mulai dari masa perkecambahan sampai
dewasa. Meskipun dikenal sebagai patogen tular tanah, infeksi jamur ini tidak
hanya di perakaran tetapi dapat juga menginfeksi organ lain seperti batang,
daun, bunga dan buah, misalnya melalui luka. Penularan penyakit selain dengan
spora yang terdapat di dalam tanah dapat juga dengan spora yang terbawa
angin dan air (Mulyaman et al. 2002 dan Semangun, 2000). Spesies dari jamur
Fusarium yang dapat menyerang tanaman cabai di antaranya adalah
Fusarium oxysporum, F. solani, F. moniliforme dan F. clamidosporium
(Mulyaman et al. 2002; Semangun 2000; Syamsuddin 2003; Zahara & Harahap
2007).
Selain jamur Fusarium sp. patogen lain pada cabai yang menimbulkan
kerugian cukup besar adalah Ralstonia solanacearum penyebab penyakit layu
bakteri (Djafruddin 2004; Semangun 2007 dan Pracaya 2007). Menurut Agrios
(2005), penyakit layu bakteri umum dijumpai di wilayah tropis, subtropis dan pada
daerah dengan iklim hangat di wilayah dunia. Patogen ini menyerang lebih dari
50 spesies tanaman dan merupakan patogen penghuni tanah (Schaad et al.
2001).
Ralstonia solanacearum berkembang di dalam jaringan tanaman setelah
3
misalnya stomata. Secara alami, patogen ini menginfeksi akar dengan kisaran
inang yang luas dan secara agresif mengkolonisasi jaringan xilem, menyebabkan
layu letal yang diketahui sebagai penyakit layu bakteri (Meyer et al. 2006)
bahkan tidak jarang dapat menyebabkan kematian pada inang (Schaad et al.
2001).
Penyakit layu kompleks yang disebabkan oleh bakteri
Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium sp. sulit dikendalikan, baik
ditanaman cabai maupun tanaman lainnya. Penyakit terpenting yang merusak
tanaman pisang adalah penyakit layu, yang disebabkan jamur
Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) bersama dengan penyakit layu bakteri
Ralstonia solanacearum ditemukan di Sumatera barat (Nasir dan Jumjunidang,
2004). Hal ini disebabkan karena kedua patogen tular tanah tersebut saling
bersinergi didalam jaringan akar sehingga pertumbuhan tanaman tidak bisa
berlangsung dengan baik.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wuryandari et al. (2005)
membuktikan bahwa dari 10 isolat Pseudomonad yang diuji daya hambatnya
terhadap perkembangan penyakit layu R. solanacearum di rumah kaca,
menunjukkan hasil yang bervariasi. Beberapa isolat Pseudomonad fluoresens
yang mampu menghambat perkembangan penyakit layu bakteri yang
disebabkan oleh bakteri R. solanacearum yaitu Pf 122 dengan indeks
penyakitnya hanya 49,9%, sehingga dapat menekan pertumbuhan
R. solanacearum sampai 51,1%. Sedangkan untuk Pf 81, Pf 142, Pf 36 dan Pf
160 indeks penyakitnya secara berturut-turut sebesar 63,33%, 66,67%, 67,78%
dan 71,11%.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Krisnawan (2011) membuktikan
mampu menekan perkembangan serangan penyakit layu Fusarium sp., hasil
akhir pengamatan rata-rata indeks penyakit pemberian isolat Pf 36 merupakan
isolat yang baik untuk menghambat Fusarium sp. pada tanaman cabai, kemudian
diikuti oleh isolat Pf 160 dan Pf 122 yang indeks penyakitnya kurang dari 20%.
Hal ini sesuai dengan penelitian Maqqon et al. (2006), Santoso et al.
(2007) dan Hastopo et al.(2008), bahwa penerapan antagonis Pseudomonad
fluoresens mampu menurunkan tingkat populasi patogen tanaman di dalam
tanah dan meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Berdasarkan permasalahan yang ada dan mengaji pada hasil penelitian
sebelumnya, maka perlu dilakukan uji beberapa agensia hayati isolat
Pseudomonad fluoresens terhadap penekanan perkembangan laju infeksi
penyakit layu kompleks Ralstonia solanacearum dan Fusarium sp.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Apakah agensia hayati Pseudomonad fluoresens dapat menekan
perkembangan laju infeksi penyakit layu yang disebabkan oleh bakteri
Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium sp. pada tanaman cabai ?
2. Isolat agensia hayati Pseudomonad fluoresens mana yang paling dapat
menekan perkembangan laju infeksi penyakit layu bakteri
Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium sp. pada tanaman cabai ?
3. Isolat agensia hayati Pseudomonad fluoresens mana yang paling dapat
5
1.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Membuktikan agensia hayati Pseudomonad fluoresens dapat menekan
perkembangan laju infeksi penyakit layu kompleks yang disebabkan oleh
bakteri Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium sp. pada tanaman
cabai.
2. Mengetahui isolat bakteri agensia hayati Pseudomonad fluoresens paling
efektif terhadap penekanan perkembangan laju infeksi penyakit layu
kompleks yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum dan jamur
Fusarium sp. pada tanaman cabai.
3. Mengetahui isolat bakteri agensia hayati Pseudomonad fluoresens paling
baik sebagai pemacu pertumbuhan tanaman cabai.
1.4. Hipotesis
1. Pemberian agensia hayati Pseudomonad fluoresens pada akar tanaman
cabai sebelum tanam diduga dapat menekan perkembangan laju infeksi
penyakit layu kompleks yang disebabkan oleh bakteri
Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium sp.
2. Pemberian isolat Pf 122 dan Pf 36 pada akar tanaman cabai diduga lebih
efektif menekan perkembangan laju infeksi penyakit layu kompleks yang
disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium sp.
3. Pemberian isolat Pf 122 pada akar tanaman cabai diduga dapat memacu
1.5. Manfaat
1. Ilmu pengetahuan, agar mahasiswa mengetahui tentang manfaat dari
Pseudomonad fluoresen dapat efektif mengendalikan bakteri
Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium sp. dengan lebih ramah
lingkungan daripada penggunaan pestisida yang berbahaya bagi lingkungan.
2. Masyarakat, agar masyarakat dapat mengaplikasikan agensia hayati
Pseudomonad fluoresen untuk menekan perkembangan penyakit layu
kompleks yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum dan jamur
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Produksi Cabai di Indonesia
Hasil pengukuran Badan Pusat Statistik (2012) menunjukkan,
peningkatan produksi cabai besar segar Indonesia tahun 2011, yaitu sebesar
888,852 ribu ton dengan luas panen sebesar 121,063 ribu hektar dan rata-rata
produktivitas sebesar 7,34 ton per hektar. Dibandingkan tahun 2010 telah terjadi
kenaikan produksi sebesar 81,692 ribu ton (10,12%). Kenaikan tersebut
disebabkan oleh kenaikan produktivitas sebesar 0,76 ton per hektar (11,55%)
dengan keadaan luas panen terjadi penurunan sebesar 1,692 ribu hektar
(1,38%) dibandingkan tahun 2010. Rata-rata produksi cabai nasional baru
mencapai 7,34 ton/ha, sementara potensi produksi cabai dapat mencapai 10
ton/ha.
Peningkatan produksi cabai besar tahun 2011, berdasarkan prosentase
menurut wilayah peningkatan produksi di Pulau Jawa sebesar 15,424 ribu ton
(45,67%), sedangkan untuk luar Pulau Jawa peningkatannya sebesar 66,268
ribu ton (54,33%).
Tabel 1. Perkembangan Produksi Cabai Besar Menurut Wilayah Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa Tahun 2009-2011
Wilayah Produksi (Ribu Ton)
2009 2010 2011
Jawa 434,22 390,50 405,93
Luar Pulau Jawa 353,21 416,66 482,92
Indonesia 787,43 807,16 888,85
2.1.1. Kendala Produksi Cabai di Indonesia
Kendala produksi cabai di Indonesia kompleks, salah satu faktor
pembatas produksi tanaman cabai adalah adanya Organisme Penggangu
Tanaman. Budidaya tanaman cabai mempunyai resiko tinggi akibat adanya
serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang dapat menyebabkan
kegagalan panen. Jamur adalah OPT yang dapat menurunkan kualitas dan
kuantitas produksi cabai sampai 100% (Asian Vegetable Research and
Development Center 1990 dalam Syamsuddin 2003).
Jamur Fusarium sp. merupakan jamur yang sangat merugikan karena
dapat menyerang tanaman cabai mulai dari masa perkecambahan sampai
dewasa (Mulyaman et al. 2002 dan Semangun, 2000). Patogen lain pada cabai
yang menimbulkan kerugian cukup besar adalah Ralstonia solanacearum
penyebab penyakit layu bakteri (Djafruddin 2004; Semangun 2007; Pracaya
2007). Menurut Agrios (2005), penyakit layu bakteri umum dijumpai di wilayah
tropis, subtropis dan pada daerah dengan iklim hangat di wilayah dunia. Patogen
ini menyerang lebih dari 50 spesies tanaman dan merupakan patogen penghuni
tanah (Schaad et al. 2001).
2.2. Penyakit Layu Ralstonia solanacearum
2.2.1. Arti Penting Penyakit Layu Ralstonia solanacearum
Penyakit pada tanaman Solanaceae sangat beragam, antara lain adalah
penyakit layu bakteri. Penyakit tersebut hingga saat ini masih merupakan faktor
pembatas produksi tanaman Solanaceae. Penyakit tersebut disebabkan oleh
bakteri Ralstonia solanacearum yang bisa menyerang pada lebih 200 jenis
tanaman inang. Kisaran inang penyakit sangat luas, sehingga menyebabkan
9
tanaman (Denny & Hayward 2001), seperti tomat, kentang, lada, tembakau,
terung, pisang, jahe dan kacang (Jeung et al. 2007; Aeny 2001 dan Handayani
2005). Penyakit tersebut mampu menyerang tanaman dengan intensitas hingga
35 % (Anonim, 2001).
Penyakit penting yang sering menyerang tanaman cabai adalah penyakit
layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum (Djafruddin 2004;
Semangun 2004 dan Pracaya 2007). Penyakit layu telah lama dikenal sebagai
penyakit yang paling merugikan tanaman cabai dan tomat yang dilaporkan pada
tahun 1921 dan 1922 di Madiun dan Kediri (Van Hall 1922 dan 1923 dalam
Semangun 2004) serta Irian Jaya (Anonim 1987 dan 1988 dalam Semangun
2004). Patogen ini merupakan bakteri penyebab penyakit yang cukup penting di
daerah tropis, subtropis dan daerah bersuhu hangat (Jeung et al. 2007).
2.2.2. Gejala Penyakit
Gejala khas penyakit layu bakteri oleh Ralstonia solanacearum adalah
daun menguning dimulai dari daun tua dan diikuti daun muda. Gejala daun
menguning dimulai dari pinggir daun, kemudian menyebar ke seluruh helai daun.
Tanaman akan layu, mengering dan mati. Proses kematian berlangsung cepat.
Pada bagian pangkal batang terlihat cekung basah dan garis-garis hitam atau
abu-abu, serta akan menimbulkan bau busuk. Batang mudah dicabut dari
pangkalnya. Bila pangkal batang atau akar dipotong dan ditekan akan keluar
eksudat/lendir berwarna putih susu. Penyakit berkembang paling cepat pada
suhu 27 derajat Celcius. Cara mudah mendiagnosa bakteri
Ralstonia solanacearum dari tanaman yang terserang yaitu dengan memotong
pangkal batang atau akar lalu rendam dalam air akan berubah menjadi keruh
Gambar 1. Gejala Penyakit Layu Bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum Pada Tanaman Cabai
(Sumber : Moekasan, 2002)
2.2.3. Patogen Penyebab
Ralstonia solanacearum mempunyai morfologi dengan ukuran 0,5-0,7 x
1,5-2,5 mikron, berbentuk batang dengan ujung membulat, tidak membentuk
kapsul, tanpa spora, motil dengan satu flagela polar, isolat yang virulen
umumnya flagelnya pendek dan pergerakan lambat, sedang yang avirulen
flagelnya lebih panjang dan memungkinkan bergerak lebih cepat. Sel bakteri
mengandung poli-beta hidrosibutirat berwarna biru/hitam bila diberi zat warna
sudan hitam, tidak membentuk pigmen fluorecent, gram negatif, bersifat aerobik
dan oksidatif, mereduksi nitrat, beberapa strain dapat menghasilkan gas nitrat,
mampu menghidrolisa gelatin dan tween 80, tidak menghasilkan asam dari
sukrosa, tidak dapat tumbuh pada suhu ± 41oC dan jumlah guanin dan sitosin
dalam DNA 66-69%. Pada media padat koloni berbentuk kecil dengan ukuran
3-5 mm, tidak teratur, ramping dan licin. Bila diinokulasikan pada media agar (suhu
28oC) koloni akan muncul dalam waktu 36-48 jam, dan bila diinokulasikan pada
suhu yang lebih rendah koloni nampak dalam waktu 3-4 hari. Suhu optimum
11
Suhu optimum untuk perkembangan patogen ini dialam berkisar 28-32oC
(Anonim, 2008).
Gambar 2. Koloni Bakteri Ralstonia solanacearum (Sumber : Spriyono, 2010)
2.2.4. Siklus Hidup Patogen
Siklus hidup R. solanacearum merupakan bagian penting untuk menyusun
strategi pengendalian. Secara ringkas, siklus hidup R. solanacearum dapat
dimulai dari terjadinya infeksi patogen ke dalam akar, baik secara sendiri maupun
melalui luka yang dibuat oleh nematoda peluka akar, atau akibat serangga dan
alat-alat pertanian. Setelah berhasil masuk ke dalam jaringan akar,
R. solanacearum akan berkembang biak di dalam pembuluh kayu (xylem) dalam
akar dan pangkal batang, kemudian menyebar ke seluruh bagian tanaman.
Akibat tersumbatnya pembuluh kayu oleh jutaan sel R. solanacearum,
transportasi air dan mineral dari tanah terhambat sehingga tanaman menjadi layu
dan mati (Supriadi 1994; Hartati et al., 1994 dan Supriadi et al., 1995).
Kenyataan ini dimanfaatkan untuk memproduksi benih kentang bebas
R. solanacearum di dataran tinggi yang suhunya cukup dingin (Hayward, 1991).
Sumber utama R. solanacearum berasal dari benih rimpang yang sudah
terinfeksi dari tanaman induk yang sakit. Patogen masuk ke dalam tanaman
inang melalui luka-luka pada akar akibat serangan nematoda atau faktor lainnya.
penyakit. Sehingga tidak dianjurkan menanam tanaman rimpang berulang-ulang
di lahan yang sama. Patogen menyebar melalui bibit terinfeksi, tanah, air,
alat-alat pertanian dan pekerja di lapang. R. solanacearum menyebar melalui air
tanah, benih yang terinfeksi atau terkontaminasi, luka yang terbentuk pada saat
pemindahan tanaman, melalui alat-alat pertanian yang terkontaminasi (Denny &
Hayward, 2001).
Gambar 3. Siklus Hidup Ralstonia solanacearum (Sumber : Belen, 2010)
2.3. Penyakit Layu Fusarium
2.3.1. Arti Penting Penyakit Layu Fusarium
Salah satu penyakit penting pada tanaman cabai adalah penyakit layu
Fusarium. Penyakit layu Fusarium pada tanaman cabai merupakan penyakit
yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum f.sp capsici. Jamur ini
menyerang empulur batang melalui akar yang luka dan terinfeksi (Anonim, 1997).
Penyakit ini merupakan penyakit paling berbahaya yang menyerang tanaman
cabai. Kerugian hasil akibat penyakit layu Fusarium dapat mencapai 45 – 60%
atau lebih terutama pada kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan
13
Bahkan menurut Estiati (1993) di Amerika Serikat patogen layu Fusarium
menduduki peringkat ke lima sebagai patogen yang merugikan, yaitu sekitar 0,72
% dari produksi cabai di seluruh Amerika Serikat. Bila dikonversi dalam biaya
nilainya sekitar 6,6 juta dollar Amerika Serikat di tahun 1988 sampai 1989.
Penyakit ini bisa mengakibatkan gagal panen sampai 50% (Wiryanta, 2002).
2.3.2. Gejala Penyakit
Gejala yang mencolok penyakit layu Fusarium pada awalnya adalah
terjadinya penguningan tepi daun yang lebih tua. Gejala ini awalnya sulit
dibedakan dari gejala defisiensi kalium, terutama pada kondisi kering atau dingin.
Penguningan berkembang dari daun tertua menuju ke daun termuda, kemudian
seeara berangsur-angsur tangkainya layu sehingga patah di sekitar pangkal
daun, dan menggantung di sekeliling batang semu. Ukuran daun-daun yang
baru muncul menjadi lebih kecil, tampak berkerut dan rusak. Buah tidak
bergejala, namun kuaIitas dan kuantitas buahnya menurun (Hermanto, 2002).
Gambar 4. Gejala Penyakit Layu yang Disebabkan oleh Jamur Fusarium sp. (Sumber : Moekasan, 2002)
2.3.3. Patogen Penyebab
Jamur Fusarium sp. menghasilkan 3 spora tak kawin, yaitu
mikrokonidium, makrokonidium, dan klamidospora. Konidiofor jarang bercabang,
sederhana, fialid lateral dan berukuran (5-12) x (2,3-3,5) µm (Domsch et al.,
1993). Mikrokonidium mempunyai satu atau dua sel, terdapat jumlah banyak
dan sering dihasilkan pada semua kondisi. Jenis spora ini banyak dijumpai di
dalam jaringan tanaman terinfeksi. Makrokonidium mempunyai tiga sampai lima
sel dan berbentuk lengkung. Jenis spora ini umumnya banyak dijumpai di
permuakaan tanaman yang mati karena infeksi jamur ini (Agrios, 2005).
Menurut Domsch et al. (1993), makrokonidium berbentuk gelendong,
lonjong, ujung tajam, mempunyai 3-5 sekat dan ukuran [(20-27) – (46-60) x
(3,5-4,5 (5)] µm. Klamidospora berbentuk bulat, berdinding tebal, dihasilkan di bagian
ujung maupun di tengah miselium yang tua atau pada makrokonidium, dengan
diameter 5-15 µm.
Menurut Sastrahidayat (1992), klamidospora dihasilkan apabila keadaan
lingkungan tidak sesuai bagi patogen dan berfungsi untuk mempertahankan
kelangsungan hidup patogen.
Gambar 5. Fusarium sp. (Sumber : Krisnawan, 2011)
2.3.4. Siklus Hidup
Daur hidup Fusarium sp. mengalami fase patogenesis dan saprogenesis.
Pada fase patogenesis, jamur hidup sebagai parasit pada tanaman inang.
15
pada sisa tanaman dan masuk fase saprogenesis, yang dapat menjadi sumber
inokulum untuk menimbulkan penyakit pada tanaman lain. Penyebaran propagul
dapat terjadi melalui angin, air tanah, serta tanah terinfeksi dan terbawa oleh alat
pertanian dan manusia (Doolite et al., 1961 dalam Winarni, 2004).
Gambar 6. Siklus Hidup Fusarium sp. (Sumber : Martha, 2010)
2.4. Pengendalian Penyakit Secara Hayati
Usaha untuk mengendalikan patogen umumnya dilakukan dengan
menggunakan bahan kimia atau pestisida. Petani sebagai pelaku utama
kegiatan pertanian seringkali menggunakan pestisida sintetis terutama untuk
patogen yang sulit dikendalikan seperti patogen tular tanah. Petani cenderung
menggunakan pestisida sintetis secara berlebihan sehingga menimbulkan
dampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan. (Istikorini, 2002).
Sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu lingkungan
maka usaha pengendalian hama dan penyakit sekarang lebih diarahkan kepada
pemanfaatan musuh-musuh alami hama dan patogen yang lebih kita kenal
Pengendalian penyakit tanaman secara hayati dalam arti luas adalah
setiap cara pengendalian penyebab penyakit atau pengurangan jumlah atau
pengaruh patogen tersebut yang berhubungan dengan mekanisme kehidupan
oganisma lain selain manusia (Campbell, 1989). Pengendalian hayati ini dapat
meliputi: 1). pergiliran tanaman dan beberapa system pengelolaan tanah,
pemupukan, dan sebagainya yang dapat mempengaruhi mikroba tanah, 2).
Menempatkan atau menambahkan lansung mikroba antagonistik pada patogen
atau yang sesuai dengan tanamannya, 3). Penggunaan bahan kimia untuk
merubah mikroflora dan 4). Pemuliaan tanaman yang diketahui dapat merubah
genom tanaman yang dapat mempengaruhi mikloflora baik pada pilosfere
maupun rizosfere.
Pengendalian penyakit secara hayati dalam arti sempit dapat didefinisikan
sebagai penambahan suatu mikroflora antagonis secara buatan ke dalam
lingkungan untuk mengendalikan patogen. Pengendalian hayati dapat juga
didefinisi sebagai upaya pengurangan kepadatan inokulum atau pengurangan
kegiatan patogen atau parasit baik pada waktu aktif maupun dorman dengan
menggunakan satu atau lebih organisma yang dilakukan secara alami atau
melalui manipulasi lingkungan, inang atau antagonis atau melalui penambahan
satu atau lebih antagonis (Cook and Baker, 1983).
Tujuan pengendalian penyakit secara hayati tidak lain adalah mengurangi
laju perkembangan penyakit melalui penurunan daya hidup patogen pada
tanaman, menurunkan jumlah propagul yang diproduksi serta mengurangi
penyebaran inokulum, mengurangi infeksi patogen pada tanaman serta
mengurangi serangan yang berat oleh patogen.
Mekanisme antibiosis merupakan penghambatan patogen oleh senyawa
17
volatile, zat pelisis dan senyawa antibiotik lainnya. Salah satu contoh adalah
agensia hayati kelompok bakteri. Bakteri sebagai agensia hayati diketahui
mampu menghasilkan senyawa beracun (toksis) untuk melawan organisme lain.
Senyawa racun yang mampu dihasilkan oleh bakteri adalah siderofor, siderofor
merupakan senyawa organik selain antibiotik yang dapat berperan dalam
pengendalian hayati penyakit tumbuhan. Siderofor diproduksi secara ekstrasel,
senyawa dengan berat molekul rendah dengan affinitas yang sangat kuat
terhadap besi (III). Kemampuan siderofor mengikat besi (III) merupakan pesaing
terhadap mikroorganisme lain, bukti-bukti yang menyatakan bahwa siderofor
berperan aktif dalam menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen (Fravel,
1988). Selain peranannya sebagai agen pengangkutan besi (III), siderofor juga
aktif sebagai faktor pertumbuhan dan beberapa diantaranya berpotensi sebagai
antibiotik (Neilands, 1981).
2.5. Pseudomonas fluoresens Sebagai Agensia Hayati
Bakteri Pseudomonas fluorescens dapat memberikan pengaruh
menguntungkan terhadap perkembangan dan pertumbuhan tanaman, yaitu
sebagai “Plant Growth Promoting Rhizobacteria” (PGPR). Bakteri juga
menghasilkan siderofor yang dapat menghambat pertumbuhan patogen,
terutama patogen tular tanah dan mempunyai kemampuam mengoloni akar
tanaman. Bakteri mempunyai tipe interaksi dengan patogen berupa pesaing
hara, penghasil antibiotika, siderofor dan asam sianida (Soesanto, 2008).
Pseudomonad fluoresens (Pf) adalah kelompok bakteri genus
Pseudomonas yang mempunyai asam mycelium pigmen fluorescens, koloni akan
bakteri ini antara lain Pseudomonas fluorescens dan P. putida. Bakteri tersebut
hidup dalam tanah sebagai saprofit dan cepat berkembang (Cristianti, 2004).
2.5.1. Sistematika Pseudomonas fluoresen
Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Gamaproteobacteria
Order : Pseudomonadales
Famili : Pseudomonadadceae
Genus : Pseudomonas
Spesies : Pseudomonas fluorescens
2.5.2. Potensi dan Kelebihan Pseudomonas fluoresen
Pseudomonad fluoresen merupakan pengkoloni akar yang agresif dan
efektif. Hal ini diduga karena kebutuhan nutrisinya yang mudah, karena mampu
menggunakan berbagai sumber karbon serta kemampuannya untuk membentuk
berbagai senyawa penghambat seperti HCN, Monoacetilphloroglucinol, siderofor,
2,4-diacetilphloroglucinol ,piolutrin, asam salisilat, pyrrolnitrin, altericidins dan
cepacin (Arwiyanto, 1997).
Pseudomonad fluoresen banyak digunakan sebagai agens hayati yang
potensial karena: 1) habitat alami bakteri ini adalah pada partikel bahan organik
dan rizosfer, 2) pseudomonad fluoresens menggunakan sejumlah besar bahan
organik dan eksudat akar yang dapat menstimulasi pertumbuhannya, 3) laju
pertumbuhan pseudomonad fluoresen relatif cepat dibanding bakteri lain di
rizosfer, 4) kebutuhan nutrisi yang mudah, 5) pengkoloni akar yang agresif, 6)
menghasilkan berbagai macam senyawa penghambat dan 7) dapat mengimbas
19
Secara umum, metabolit sekunder yang dihasilkan oleh P. fluorescens
memegang peranan penting dalam pengendalian hayati penyakit tanaman.
Siderofor merupakan metabolit sekunder yang berperan penting dalam
pengendalian hayati. Metabolit sekunder tertentu berperan di dalam membunuh
secara langsung atau hanya menghambat patogen. Produksi metabolit sekunder
antimikroba dan pengaruhnya terhadap patogen tanaman sangat tergantung
pada faktor lingkungan, seperti kimia tanah, suhu, dan potensi air (Soesanto,
2008).
Pseudomonas fluoresens yang hidup di daerah perakaran tanaman dapat
berperan sebagai jasad renik pelarut fosfat, mengikat nitrogen, menghasilkan zat
pengatur tumbuh bagi tanaman (Baharuddin, dkk, 2005) sehingga dengan
kemampuan tersebut Pseudomonas fluoresens dapat dimanfaatkan sebagai
pupuk biologis yang dapat menyediakan kebutuhan hara bagi tanaman.
2.5.3. Penekan Pseudomonad fluoresens Terhadap R.solanacearum
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wuryandari et al. (2005)
membuktikan bahwa dari 10 isolat Pseudomonad yang diuji daya hambatnya
terhadap perkembangan penyakit layu R. solanacearum di rumah kaca,
menunjukkan hasil yang bervariatif. Beberapa isolat Pseudomonad fluoresens
yang mampu menghambat perkembangan penyakit layu bakteri yang
disebabkan oleh bakteri R. solanacearum yaitu Pf 122 dengan indeks
penyakitnya hanya 49,9%, sehingga dapat menekan pertumbuhan
R. solanacearum sampai 51,1%. Sedangkan untuk Pf 81, Pf 142, Pf 36 dan Pf
160 indeks penyakitnya secara berturut-turut sebesar 63,33%, 66,67%, 67,78%
dan 71,11%. Isolat Pf-122 menunjukkan kemampuan yang paling tinggi dalam
menekan perkembangan penyakit layu R. solanacearum terbukti dengan
bakteri. Isolat yang kedua adalah Isolat Pf-142 yang dapat menekan
mengendalikan pertumbuhan R. solanacearum secara bakteriosida. Isolat
Pseudomonad fluoresen yang digunakan mempunyai kemampuan yang
berbeda-beda dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri yang
disebabkan oleh R. solanacearum. Adanya perbedaan kemampuan isolat-isolat
Pseudomonad fluoresen dalam menghambat perkembangan penyakit layu
mungkin disebabkan karena pseudomonad fluoresen mempunyai kemampuan
mengeluarkan senyawa penghambat yang berbeda, selain itu juga memiliki
kemampuan kompetisi nutrisi dengan R. solanacearum dan mikroorganisme lain
dalam tanah lebih baik.
Selanjutnya Baharuddin, dkk (2005) mengatakan bahwa
Pseudomonas spp. kelompok fluorescens yang ada dalam perakaran tanaman
mampu berkolonisasi dengan baik sehingga dapat menekan serangan
R. solanacearum. Ini berarti bakteri Pseudomonad fluoresen berpotensi sebagai
agen pengendalian hayati penyakit tumbuhan. Tetapi tidak semua
Pseudomonad fluoresen yang diisolasi dari risosfer tanaman bersifat antagonistik
terhadap R. solanacearum (Arwiyanto, 1997).
2.5.4. Penekan Pseudomonad fluoresens terhadap Fusarium sp.
Pseudomonas fluoresens secara nyata meningkatkan aktivitas enzim
peroksidase yang berhubungan dengan penyakit layu Fusarium sp.
(Ramamoorthy, 2002). Peroksidase mempunyai beberapa fungsi yang
mempengaruhi resistensi tanaman. Salah satu fungsinya adalah berperan
sebagai polimerisasi oksidatif dari hidroksisinamil alkohol untuk membentuk
lignin. Proses ini merupakan salah satu mekanisme ketahanan tanaman. Fungsi
21
yang dihasilkan oleh patogen melalui pembentukan struktural pada dinding sel
(Vance et.al., 1980).
Hastopo (2007) melaporkan bahwa agensia hayati yang paling efektif
untuk mengendalikan penyakit layu fusarium pada tanaman tomat adalah
P. fluorescens P60 yang diberikan 2 minggu sebelum tanam karena dapat
menekan penyakit layu fusarium sebesar 28,51%, menurunkan populasi akhir
patogen Fusarium sp. sebesar 35,08% dan populasi P. fluorescens P60
meningkat. Sementara itu Krisnawan (2011) melaporkan bahwa dari hasil akhir
pengamatan rata-rata indeks penyakit pemberian isolat Pf 36 merupakan isolat
yang baik untuk menghambat Fusarium sp pada tanaman cabai, kemudian diikuti
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan mulai Oktober 2012 – Maret 2013 dan tempat
pelaksanaan penelitian ini adalah Green House Fakultas Pertanian UPN
“Veteran” Jawa Timur.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian, yaitu : bak tanam,
alat tulis, semprotan, cawan petri, laminar air flow, pinset, tabung reaksi, gelas
beaker, Erlenmeyer, spektrofotometer, oven dan ose.
3.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian, yaitu : benih
tanaman cabai, tanah steril, isolat Pseudomonad fluoresens berasal dari isolasi
Dr. Ir. Yenny Wuryandari, isolat Fusarium sp, isolat Ralstonia solanacearum,
alkohol, aquades steril, media YPGA, king’s B, air suling, PDA v8 dan air suling.
1. Pembuatan Media Kings’B
Bahan-bahan pembuatan media Kings’B adalah sebagai berikut :
a. Protease pepton 20 g d. MgSO4.7H2O 1,5 g
b. Gliserol 10 ml e. Agar-agar 15 g
c. K2HPO4 (tanpa air) 1,5 g f. Air suling 1 liter
Langkah-langkah pembuatan media King’s B :
a. Memasukkan semua bahan ke dalam beakerglass kemudian
mengaduk sampai homogen sambil memanaskan diatas hotplate
23
a. Air sari V-8 disaring sebanyak 300 ml
b. CaCO3 4,5 g
c. Agar 15 g
d. Air suling (air steril) 1000 ml
Langkah-langkah pembuatan media V8 adalah sebagai berikut :
a. Menambahkan CaCO3 4,5 g ke dalam V-8 juice
b. Mensentrifuse/mengaduk V-8 juice, kemudian membuang endapan
V8 juice dan mengambil larutan bening sebanyak 200 ml
c. Menambahkan air steril hingga menjadi 1 liter
d. Menambahkan agar-agar sebanyak 15 g, kemudian mengaduk
larutan media V-8 dan memanaskan diatas hotplate
d. Mensterilkan media V-8 ke dalam autoklaf pada suhu 121oC selama
25 menit
3. Pembuatan Media YPGA
Media YPGA berfungsi untuk mengisolasi dan merupakan media
yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Bahan-bahan yang digunakan
untuk pembuatan media YPGA adalah sebagai berikut :
a. Yeast 5 g b. Pepton 10 g
c. Glukosa 10 g d. Agar 15 g
Langkah-lagkah pembuatan media YPGA adalah sebagai berikut :
a. Memasukkan semua bahan ke dalam beakerglass kemudian
mengaduk sampai homogen sambil memanaskan diatas hotplate
b. Mensterilkan media di dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 25
menit.
3.3. Metodologi
Percobaan ini menggunakan faktor tunggal dengan tujuh macam
perlakuan yang diletakkan dalam Rancangan Acak Lengkap dengan diulang
sebanyak tiga kali. Tujuh level perlakuan tersebut yaitu Isolat Pf 160 (P160),
Isolat Pf 142 (P1142), Isolat Pf 122 (P122), Isolat Pf 81 (P81), Isolat Pf 36 (P36),
Isolat Pf B (PB), dan Kontrol (K).
3.3.1. Perlakuan
Perlakuan yang dilakukan, yaitu :
25
Gambar 7. Denah Penempatan Perlakuan dan Ulangan
3.3.2. Persiapan Umum
a. Media Tanam
Medium tanam merupakan campuran tanah, pasir dan pupuk
organik dengan perbandingan 2 : 1 : 1. Tanah, pasir dan pupuk organik
tersebut masing-masing disterilkan dengan uap panas selama 2 jam.
Tanah, pasir dan pupuk organik yang telah steril dicampur dan
didistribusikan dalam bak ukuran 9 x 17 cm (volume media setiap bak
sebanyak 8 kg).
b. Bakteri Ralstonia solanacearum
Ralstonia solanacearum yang digunakan berasal dari hasil isolasi
tanaman tomat yang menunjukkan gejala layu di areal pertanaman
tanaman tomat. Ralstonia solanacearum merupakan bakteri patogen tular
tanah yang menyerang pada perakaran tanaman dari famili Solanaceae.
Menurut Caitilyn, dkk. (2005) menyatakan bahwa isolat R. solanacearum
diisolasi dari eksudat bakteri mengalir dari segmen bawah-batang tanaman
layu dalam air suling steril.
Koloni Ralstonia solanacearum hasil isolasi yang tumbuh pada
berlendir dan basah (diperlihatkan pada Gambar 8.). Ciri-ciri tersebut
sesuai dengan penelitian yang dilakukan Supriyono (2010) yang
menyatakan bahwa koloni R. solanacearum berwarna putih susu kotor,
koloni berbentuk fluidal dan tidak beraturan, apabila dihadapkan lampu
tidak tembus cahaya, kenampakan koloni selalu kelihatan basah dan
berlendir. Peneliti sebelumnya juga menunjukkan hasil isolasi Ralstonia
solanacearum berwarna putih, datar, koloni berbentuk tidak teratur dan
fluidal koloni pada media YPGA (Allen, et al., 2005).
Gambar 8. Koloni Ralstonia solanacearum pada media YPGA
Setelah mendapatkan koloni khas Ralstonia solanacearum yang
berada dalam cawan petri dipindah pada media miring untuk memurnikan
isolat Ralstonia solanacearum. Gambar 9 menunjukkan koloni Ralstonia
solanacearum pada tabung reaksi berwarna putih susu dan mengendap
pada bagian bawah media seperti lendir dan basah. Ralstonia
solanacearum ditumbuhkan pada media YPGA pada cawan petri dan
diinkubasikan selama 3 x 24 jam untuk mendapatkan koloni Ralstonia
27
YPGA yang diinkubasi pada suhu 28-30o C selama dua sampai tiga hari.
Konsentrasi bakteri R. solanacearum yang digunakan sebesar 108 cfu/ml.
Gambar 9. Perbanyakan isolat murni Ralstonia solanacearum pada tabung reaksi
c. Jamur patogen Fusarium sp.
Jamur patogen yang digunakan berasal dari hasil isolasi tanaman
cabai yang menunjukkan gejala layu di areal pertanaman cabai besar.
Jamur patogen hasil isolasi tersebut ditumbuhkan pada media PDA v8.
Setelah diinkubasikan selama 10 hari nampak koloni jamur Fusarium sp
menyebar pada hampir seluruh permukaan berwarna putih (Gambar 10).
Menurut Nurasiah (2011) jamur Fusarium sp. pada media PDA mula-mula
miselium berwarna putih semakin tua warna menjadi krem atau kuning
Gambar 10. Koloni jamur Fusarium sp. pada media PDA v8 di cawan petri
Pada gambar 11 menunjukkan bahwa jamur Fusarium sp.
merupakan makrokonidia, spora jamur Fusarium sp. berbentuk bulan sabit,
bersekat sekitar 2-4 dan tidak berwarna. Hal ini sesuai dengan pemaparan
Sastrahidayat (1992) bahwa makrokonidium berbentuk sabit, bertangkai
kecil, kebanyakan bersel empat, hialin, berukuran 22-36 x 4-5 μ m.
Klamidospora bersel satu, jorong atau bulat, berukuran 7-13 x 7-8 μ m,
terbentuk di tengah hifa atau pada makrokoniudium, seringkali
berpasangan.
Gambar 11. Makrokonidia jamur Fusarium sp. Perbesaran : 10 x 40
d. Agensia Hayati Pseudomonad fluoresens
Bakteri Pseudomonad fluoresens yang digunakan adalah
29
Pseudomonad fluoresens tersebut menunjukkan hasil baik dalam menekan
perkembangan penyakit layu yang disebabkan oleh jamur Fusarium sp.
pada tanaman cabai yaitu Pf 160 Pf 142, Pf 122, Pf 81, Pf 36 dan Pf B
(Krisnawan, 2011). Konsentrasi bakteri Pseudomonad fluoresens yang
digunakan sebesar 1010 cfu/ml
Bakteri Pseudomonad fluoresens pada media Kings’B dapat dilihat
dengan adanya pigmen warna hijau kekuningan dan berpendar di bawah
sinar UV (dapat dilihat pada Gambar 12. a.), hal tersebut karena
Pseudomonad fluoresens menghasilkan pigmen fluoresens. Jika
dibandingkan dengan bakteri patogen/Ralstonia solanacearum pada media
yang sama koloni Pseudomonad fluoresens seperti mengeluarkan
cahaya/berpendar dibawah sinar UV sedangkan bakteri patogen tidak
berpendar (Gambar 12. b.). Menurut Allen, et al. (2005), mengatakan
bahwa sinar UV difokuskan pada media yang sudah diisolasi untuk
membedakan sel-sel bakteri fluorescing dan nonfluorescing. Sementara itu
Cristianti (2004) memaparkan bahwa Pseudomonad fluoresens (Pf) adalah
kelompok bakteri genus Pseudomonas yang mempunyai asam mycelium
pigmen fluorescens, koloni akan berpendar bila diletakan dibawah sinar
ultra violet (UV). Hasil Peneliti sebelumnya Dodi (2008) menyatakan uji
fluorescent merupakan salah satu uji yang memberikan kemudahan untuk
dapat membedakan bakteri Pseudomonas sp. kelompok fluorescent
dengan kelompok bakteri lainnya. Ciri khas P. fluorescens adalah
berpendar di bawah sinar ultraviolet. Fluoresensi ini dihasilkan oleh
pigmen fluorescent berupa senyawa fluoresein atau pioverdin yang akan
terbentuk apabila bakteri tumbuh pada media yang kurang unsur besi
Gambar 12. a. Koloni bakteri Pseudomonad fluoresens berpendar dibawah sinar UV. b. Koloni bakteri kontrol (Ralstonia solanacearum) tidak berpendar dibawah sinar UV
3.3.3. Cara Perlakuan
Bibit tanaman cabai yang telah berumur 30 hari setelah disemaikan
dicabut, kemudian akar tanaman cabai tersebut dibersihkan dengan
menggunakan air mengalir. Setelah itu merendam akar tanaman cabai tersebut
dengan suspensi Pseudomonad fluoresens konsentrasi 1010 cfu/ml selama 30
menit dengan menggunakan beaker gelas, volume suspensi Pseudomonad
fluoresens yang dibutuhkan sebanyak 250 ml/perlakuan (setiap perlakuan
terdapat ulangan sebanyak tiga kali dan setiap ulangan membutuhkan enam
tanaman sehingga untuk tujuh kali perlakuan perlu disiapkan 126 tanaman)
(ditunjukkan pada Gambar 13). Kemudian tanaman diambil dan ditanam pada
lubang-lubang di media. Sebelum ditanam, lubang tanaman tersebut diberi
suspensi Ralstonia solanacearum dan Fusarium sp. masing-masing lubang
sebanyak 10 ml (dapat dilihat pada Gambar 14).
a
31
Gambar 13. Perendaman bibit tanaman cabai sesuai dengan perlakuan a. Suspensi Pf 160, b. Suspensi Pf 142, c. Suspensi Pf 122, d. Suspensi Pf 81, e. Suspensi Pf 36, f. Suspensi Pf B dan g. Aquades steril.
Gambar 14. a. Suspensi jamur Fusarium sp. dan bakteri Ralstonia
solanacearum, b. Inokulasi suspensi jamur Fusarium sp. dan bakteri Ralstonia solanacearum pada setiap lubang.
a
b
c
d
e
f
ga
3.3.4. Pengamatan
Parameter pengamatan meliputi masa inkubasi dan indeks penyakit :
a. Masa inkubasi (satuan hari)
Pengamatan mulai dari inokulasi patogen sampai munculnya gejala
layu pada tanaman cabai. Masa inkubasi diamati setiap hari sampai
munculnya gejala.
b. Indeks penyakit (satuan %)
Pengamatan perkembangan gejala layu pada tanaman cabai,
interval waktu pengamatan setiap 5 hari sekali sampai hari ke-30 setelah
perlakuan (hsp).
Berat serangan dihitung menurut skala sebagai berikut
Arwiyanto (1994):
a). 0 adalah tidak ada daun layu
b). 1 adalah 1 % sampai dengan 10 % daun layu
2012) mengacu pada penelitian Krisnawan (2012):
k
33
• N adalah jumlah total tanaman yang diinokulasi
• Z adalah kategori serangan tertinggi
c. Tinggi tanaman (satuan cm)
Pengamatan tinggi tanaman diamati pada hari ke 30 setelah
perlakuan. Pengamatan dilakukan dengan mengukur tinggi tanaman dari
pangkal batang sampai titik tumbuh tertinggi pada masing-masing
tanaman cabai.
d. Jumlah daun tanaman cabai (helai)
Pengamatan jumlah daun tanaman cabai diamati pada hari ke 30
setelah perlakuan. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah
daun yang berada pada batang tanaman cabai dan daun tersebut telah
terbuka sempurna.
e. Berat kering daun tanaman cabai (satuan gram)
Penimbangan berat daun tanaman cabai diamati pada hari ke 30
setelah perlakuan. Pengamatan dilakukan dengan menimbang berat
kering daun yang sebelumnya sudah dikeringkan selama 1 x 24 jam pada
suhu 60 oC.
f. Pengukuran panjang perubahan warna jaringan pangkal batang
tanaman cabai (satuan cm)
Pengukuran panjang gejala penyakit pada pangkal batang tanaman
cabai diamati pada hari ke 30 setelah perlakuan. Pengamatan dilakukan
dengan cara membelah batang secara vertikal dan diamati perubahan
3.3.5. Analisis Data
Data diperoleh dengan menggunakan analisis sidik ragam (anova).
Apabila F hitung > F tabel maka dilanjutkan uji perbandingan rata-rata hasil
35
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengaruh Pseudomonad fluoresen terhadap Perkembangan Penyakit
4.1.1. Masa Inkubasi
Masa inkubasi merupakan waktu awal munculnya gejala penyakit pada tanaman yang
telah diinokulasikan patogen. Pada penelitian ini pengamatan masa inkubasi dilakukan
setiap hari sampai munculnya gejala penyakit pada tanaman cabai. Gejala penyakit layu
kompleks pada tanaman cabai yang muncul pertama kali yaitu daun tanaman berwarna
kuning pucat (dapat dilihat pada Gambar 15. a) dan dilanjutkan dengan layu pada daun
bagian atas (ditunjukkan pada Gambar 15. b). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Abdjad
(2006) bahwa gejala awal penyakit layu berupa daun menguning kemudian sebagian
tanaman menjadi layu, tanaman menjadi kerdil dan akhirnya tanaman layu total sesuai
dengan tingkat serangan penyakit.
Gambar 15. a. Gejala daun menguning, b. Gejala daun layu
Tabel 2. Rata-rata masa inkubasi penyakit layu kompleks pada tanaman cabai
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata (pada taraf kesalahan α = 0,05)
Berdasarkan data analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa pengaruh pemberian
Pseudomonad fluoresens terhadap masa inkubasi menunjukkan hasil berpengaruh sangat
nyata (data ditunjukkan pada Lampiran 1. Tabel 5). Pada uji beda nyata jujur kesalahan 5 %
rata-rata masa inkubasi memperlihatkan bahwa perlakuan menggunakan Pf 122 mampu
menunda paling lama munculnya gejala penyakit layu kompleks pada tanaman cabai.
Perlakuan kontrol paling cepat menunjukkan gejala penyakit layu kompleks pada tanaman
cabai (dapat dilihat pada Tabel 2).
Perlakuan Rata-rata (hari) Notasi
Kontrol 4,33 a
37
Berdasarkan gambar 16 dapat dilihat bahwa rata-rata perlakuan kontrol menunjukkan
awal munculnya gejala penyakit pada hari ke-4 setelah inokulasi. Perlakuan yang
menunjukkan gejala penyakit muncul paling lambat adalah perlakuan dengan isolat
Pseudomonad fluoresens 122. Rata-rata gejala muncul pada tiap tanaman perlakuan Pf
122 pada hari ke 14 hst dan diikuti oleh perlakuan Pf 81, Pf 160, Pf 142, Pf 36 dan Pf B.
Dibandingkan dengan kontrol, Pf 122 mampu menunda masa inkubasi penyakit layu selama
10 hari. Berturut-turut perlakuan Pf 81, Pf 160, Pf 142, Pf 36 dan Pf B mampu menunda
masa inkubasi selama 13, 12, 10, 9 dan 7 hst bakteri Ralstonia solanacearum dan jamur
Fusarium sp.
Pemberian isolat Pf 122 pada tanaman cabai yang telah diinokulasi bakteri Ralstonia
solanacearum dan jamur Fusarium sp. mampu memperlambat munculnya gejala penyakit
layu kompleks pada tanaman cabai. Senyawa siderofor yang terkandung pada Pf 122
diduga dapat menghambat patogen-patogen tersebut sebelum masuk ke dalam jaringan
tanaman. Begitu pula dengan perlakuan Pf 81, Pf 160, Pf 142, Pf 36 dan Pf B juga mampu
memperlambat munculnya gejala. Hal ini membuktikan dengan pemberian Pseudomonad
fluoresens pada daerah perakaran dapat menunda munculnya gejala penyakit layu
kompleks yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium sp.
pada tanaman cabai. Ditunjang hasil penelitian yang dilakukan Agrios (2005), bahwa
agensia hayati seperti Pseudomonas fluoresens memiliki kemampuan untuk mengaktifkan
berbagai enzim atau menghasilkan senyawa metabolit sekunder/siderofor pada tanaman
yang berhubungan dengan pertahanan terhadap laju infeksi patogen. Menurut Samuel
(2007) beberapa strain Pseudomonas hasil isolasi menunjukkan P. fluoresens mampu
menekan beragam penyakit soilborne, sehingga P. fluoresens dianggap sebagai
mikroorganisme agensia hayati yang baik dalam mengkoloni akar tanaman karena
kemampuannya menghasilkan senyawa siderofor yang dapat menekan perkembangan
menekan populasi patogen diasosiasikan dengan kemampuan untuk melindungi akar dari
infeksi patogen tanah dengan cara mengkolonisasi permukaan akar, menghasilkan senyawa
kimia seperti antijamur/antibakteri dan siderofor serta kompetisi dalam penyerapan kation Fe
(Supriadi, 2006)
4.1.2. Indeks Penyakit
Berdasarkan data analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa pemberian
Pseudomonad fluoresens terhadap indeks penyakit tanaman cabai menunjukkan
berpengaruh sangat nyata (data dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2 Tabel 6, 7,8, 9 dan
10.).
Mencermati data pada tabel 3 tentang rata-rata indeks penyakit, indeks penyakit
paling rendah pada pengamatan ke 10 hst adalah tanaman cabai yang diperlakukan dengan
Pf B yaitu 3,63 %. Kemudian diikuti berturut-turut indeks penyakit sebesar 4,34 %, 6,17 %,
11,68 %, 15,60 % dan 16,83 % pada perlakuan Pf 122, Pf 160, Pf 36, Pf 81 dan kontrol.
Indeks penyakit tertinggi pada pengamatan hari ke 10 adalah perlakuan Pf 142 yaitu
sebesar 19,62 %.
Tabel 3. Rata-rata indeks penyakit layu kompleks Ralstonia solanacearum dan Fusarium sp. pada tanaman cabai
Perlakuan Indeks Penyakit (%) Pengamatan hari ke-
39
Perlakuan Pf 122 pada pengamatan ke 15 hst menunjukkan indeks penyakit
terendah sebesar 11,44 % diikuti berturut-turut indeks penyakit sebesar 17,25 %, 23,78 %,
27,26 %, 28,63 % dan 32,36 % pada isolat Pf 160, Pf B, Pf 36, Pf 142 dan Pf 81. Indeks
penyakit tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan kontrol dibandingkan perlakuan lainnya yaitu
sebesar 35,8 %.
Perlakuan Pf 122 pada pengamatan ke 20 hst menunjukkan indeks penyakit terendah
sebesar 24,75 % diikuti berturut-turut indeks penyakit sebesar 24,96 %, 31,06 %, 33,21
%,37,22 % dan 37,81 % pada isolat Pf 160, Pf B, Pf 142, Pf 81 dan Pf 36. Perlakuan
kontrol menunjukkan indeks penyakit tertinggi sebesar 44,43 %.
Perlakuan Pf 122 pada pengamatan ke 25 hst menunjukkan indeks penyakit terendah
sebesar 29,48 % diikuti berturut-turut indeks penyakit sebesar 32,58 %, 38,23 %, 46,91 %,
48,07 % dan 54,55 % pada isolat Pf 160, Pf B, Pf 36, Pf 81 dan Pf 142. Perlakuan kontrol
menunjukkan indeks penyakit tertinggi sebesar 56,83 %.
Selanjutnya Pf 122 pada pengamatan ke 30 hst menunjukkan indeks penyakit
terendah sebesar 33,78 % diikuti berturut-turut indeks penyakit sebesar 40,58 %, 46,69 %,
51,55 %, 52, 16 % dan 61,22 % pada isolat Pf 160, Pf B, Pf 81, Pf 36 dan Pf 142.
Perlakuan kontrol menunjukkan indeks penyakit tertinggi sebesar 71,25 %. Perlakuan Pf
122 dapat menekan perkembangan penyakit layu kompleks yang disebabkan oleh bakteri
Ralstonia solanacearum dan jamur Fusarium sp. sebesar 37,47 % diikuti berturut-turut
penekanan perkembangan penyakit layu kompleks sebesar 30,67 %, 24,56 %, 19,70 %,
19,09 % dan 10,03 % pada perlakuan Pf 160, Pf B, Pf 81, Pf 36 dan Pf 142.
Setelah melihat data indeks penyakit dari hari ke 10 sampai dengan 30 hst perlakuan
yang menunjukkan indeks penyakit terendah pada tanaman cabai adalah Pf 122. Hal ini
diduga karena senyawa siderofor yang dikeluarkan oleh bakteri agensia hayati Pf isolat 122
lebih banyak dibandingkan dengan bakteri Pseudomonad fluoresens isolat yang lain. Hasil
Pseudomonad yang diuji daya hambatnya terhadap perkembangan penyakit layu R.
solanacearum di rumah kaca, menunjukkan hasil yang bervariasi. Beberapa isolat
Pseudomonad fluoresens yang mampu menghambat perkembangan penyakit layu bakteri
yang disebabkan oleh bakteri R. solanacearum yaitu Pf 122 dengan indeks penyakitnya
hanya 49,9%, sehingga dapat menekan pertumbuhan R. solanacearum sampai 51,1%.
Sedangkan untuk Pf 81, Pf 142, Pf 36 dan Pf 160 indeks penyakitnya secara berturut-turut
sebesar 63,33%, 66,67%, 67,78% dan 71,11%. Isolat Pf-122 menunjukkan kemampuan
yang paling tinggi dalam menekan perkembangan penyakit layu R. solanacearum terbukti
dengan rendahnya laju infeksi atau rendahnya kecepatan perkembangan penyakit layu
bakteri. Isolat yang kedua adalah Isolat Pf-142 yang dapat menekan mengendalikan
pertumbuhan R. solanacearum secara bakteriosida. Isolat Pseudomonad fluoresen yang
digunakan mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam menekan perkembangan
penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R. solanacearum. Adanya perbedaan
kemampuan isolat-isolat Pseudomonad fluoresen dalam menghambat perkembangan
penyakit layu mungkin disebabkan karena Pseudomonad fluoresen mempunyai kemampuan
mengeluarkan senyawa penghambat yang berbeda, selain itu juga memiliki kemampuan
kompetisi nutrisi dengan R. solanacearum dan mikroorganisme lain dalam tanah lebih baik.
Sementara itu Krisnawan (2011) melaporkan bahwa dari hasil akhir pengamatan
rata-rata indeks penyakit pemberian isolat Pf 36 merupakan isolat yang baik untuk
menghambat Fusarium sp pada tanaman cabai, kemudian diikuti oleh isolat Pf 160 dan Pf
122 yang indeks penyakitnya kurang dari 20%.
Menurut Ilan (1993) kontribusi strain pseudomonas ke rhizosfer sangat penting.
Beberapa isolat P. fluoresens mengeluarkan siderofor yang khelat ion besi, dengan