• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dilakukan pada 35 orang penderita kanker kepala dan leher penerima radioterapi di RSUP Haji Adam Malik Medan, setiap subjek hanya dilakukan sekali pengumpulan saliva. Radioterapi dilakukan 5 kali seminggu dari hari Senin sampai Jumat dengan kontrol berkala setiap satu kali seminggu. Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, pada penelitian ini dikombinasikan antara pengumpulan saliva dan dibantu dengan kuesioner. Hal ini sesuai dengan teori Vissink, dkk dari sudut pandang klinik yang sangat menyarankan bahwa, kombinasi dari pemeriksaan objektif (pengukuran volume saliva) dan subjektif (kuesioner) merupakan parameter uji yang dapat menunjukkan pola keluhan pasien dan efek dari jenis terapi terhadap keluhan pasien.10 Dalam penelitian ini intensitas yang diteliti adalah 1 - 35 kali.

6.1 Karakteristik Umum Subjek yang Diteliti

Subjek termuda yang mengikuti penelitian ini berumur13 tahun dan yang tertua berumur 72 tahun. Hasil penelitian menunjukkan penderita kanker kepala dan leher paling banyak terdapat pada umur 40 - 49 tahun sebanyak 11 subjek (31,4%) (tabel 2).

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tarigan R (2009), kebanyakan pasien penderita kanker kepala dan leher yang menerima radioterapi adalah pada usia 41 50 tahun,9 Hal ini berkaitan dengan faktor umur semakin rentan terhadap zat-zat karsinogenik.7 Sesuai dengan penelitian Sihotang Z B (2007), kelompok umur penderita kanker kepala dan leher di atas usia 40 tahun.28

Data demografis menunjukkan bahwa penderita kanker kepala dan leher yang menjalani radioterapi di RSUP Haji Adam Malik lebih didominasi oleh

kelompok laki-laki 26 subjek (74,3%) dibandingkan dengan perempuan 9 subjek (25,7%) (tabel 2). Hal ini didukung oleh etiologi dari kanker kepala dan leher tersebut yaitu konsumsi alkohol dan merokok yang paling banyak dilakukan oleh laki-laki.4Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Tarigan R (2009) terhadap 13 penderita kanker kepala dan leher penerima radioterapi yaitu 7 orang laki-laki dan 6 orang perempuan.9 Sesuai dengan penelitian oleh Sihotang Z B (2007) bahwa perbandingan penderita kanker kepala dan leher antara laki-laki dan perempuan adalah 3 : 1. Pada penelitian ini, jenis kanker yang paling banyak adalah kanker nasofaring sebanyak 24 subjek (68,6%). Hal ini sesuai dengan penelitian Sihotang Z B (2007) yang mengemukakan bahwa dari seluruh kanker kepala leher dan leher di Indonesia sebanyak 71% merupakan insidensi kanker nasofaring.28

Dari 35 subjek penerima radioterapi daerah kepala dan leher yang juga menerima kemoterapi sebanyak 16 orang (45,7%) dan 12 orang (34,3%) mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menyebabkan penurunan volume saliva sepertiTramadol(8 orang)dan Efedrine(4 orang). (tabel 3).

Dari 35 responden radioterapi daerah kepala dan leher 10 responden mengatakan mengkonsumsi setidaknya 8 gelas air minum dalam sehari (normal) dengan perkiraan volume air minum yang dikonsumsi 1,6 liter dalam sehari, 19 responden (54,3%) mengkonsumsi air putih 4 - 7 gelas (sedang) dengan perkiraan volume air minum yang dikonsumsi antara 800 mL - 1,4 liter dalam sehari, sedang 6 orang responden per harinya hanya mengkonsumsi kurang dari 3 gelas air minum dengan perkiraan volume air minum yang dikonsumsi kurang dari 600 ml dalam sehari (tabel 2).

Dari kuesioner yang dibagikan kepada 35 responden penerima radioterapi daerah kepala dan leher mengenai keluhan subjektif, berupa keluhan mulut kering (xerostomia), gangguan penelanan, gangguan pengecapan dan mulut perih, yang paling banyak dikeluhkan adalah mulut kering 28 responden (80,0%), 24 responden (68,6%) mengeluhkan gangguan penelanan, 22 responden mengeluhkan gangguan pengecapan dan 22 responden lainnya yang mengeluhkan mulut perih selama radioterapi berlangsung (tabel 3).

Penelitian ini sesuai dengan peneltian klinis dan anamnesis yang dilakukan oleh Tarigan R (2009), dalam penelitian tersebut dikatakan sebagian besar pasien mengalami xerostomia dan saliva bersifat lebih kental sehingga menimbulkan

keluhan mual sewaktu mengkonsumsi makanan dan rasa kering pada tenggorokan sehingga terasa sakit pada saat menelan makanan.9Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Vissink, dkk mengatakan bahwa penurunan volume saliva dapat menyebabkan mukosa mulut menjadi kering, fisur yang dalam pada mukosa lidah, bibir menjadi kering dan gangguan fungsi seperti berbicara, mengunyah dan menelan.10 Namun penelitian oleh Logemann JA, dkk (2003) menyatakan bahwa xerostomia bukanlah penyebab utama gangguan penelanan dan meskipun volume saliva menurun tetapi tidak menyebabkan terjadi keluhan penelanan secara signifikan, melainkan penurunan volume saliva merubah persepsi pasien terhadap kemampuan menelan dan mempengaruhi pemilihan makanan.23,29

Pengumpulan saliva dilakukan dengan metode spitting. Saliva ditampung selama 2 menit dimana subjek diinstruksikan untuk tidak menelan saliva selama waktu yang ditentukan. Adapun metode spitting yang dipilih dalam penelitian ini karena dianggap metode ini merupakan teknik yang paling aman dan nyaman bagi pasien dibanding dengan metode-metode yang lain. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan kepada pasien penerima radioterapi oleh Mohammadi N, dkk (2007) menggunakan metode ini.33

Alat yang digunakan adalah pot saliva dan timbangan digital untuk mengukur volume saliva. Hasilnya disesuaikan dengan kriteria yang ditentukan. Dalam penelitian ini saliva yang dikumpul pada jam 9 hingga 11. Aliran saliva pada umumya lebih rendah pada malam hari karena produksi saliva berada pada circadian level yaitu paling rendah selama tidur. Hal ini karena pada malam hari sekresi saliva hampir berhenti. Kelenjar parotis pada malam hari sama sekali tidak menghasilkan saliva. Oleh sebab itu, pemeriksaan keadaan saliva dilakukan pada pagi hari untuk mendapatkan hasil yang baik.7

6.2 Pengukuran volume saliva

6.2.1 Pengukuran volume saliva pada Penerima Radioterapi Daerah Kepala dan Leher Berdasarkan Intensitas Radioterapi

Pada penelitian ini diukur volume unstimulated saliva pada penerima radioterapi daerah kepala dan leher berdasarkan intensitas radioterapi Subjek

terbagi atas 7 kelompok yaitu kelompok intensitas radioterapi 1 - 5 x, 6 - 10 x, 11 - 15 x, 16 - 20 x, 21 - 25 x, 26 - 30 x, 31 - 35 x dengan jumlah subjek 5 orang pada setiap kelompok. Kemudian dari masing-masing kelompok dihitung nilai rata-ratanya dan dilihat volume saliva tertinggi dan terendahnya (tabel 4).

Nilai rata-rata volume saliva tertinggi berada pada kelompok intensitas radioterapi 1 - 5 x dengan mean±sd = 0.15060 ± 0.067818 ml/menit kemudian menurun drastis pada kelompok intensitas radioterapi 6 - 10 x dengan mean±sd = 0.07600 ± 0.31185 ml/menit sesuai dengan teori bahwa produksi saliva dengan cepat menurun dan dapat berkurang sampai 40 % pada minggu pertama tindakan radioterapi,3 menurun lagi pada kelompok intensitas radioterapi 11 - 15 x dengan mean±sd = 0.06980 ± 0.021788 ml/menit, tetapi mengalami peningkatan pada kelompok intensitas 16 - 20 x dengan mean±sd = 0.07160 ± 0.031643 ml/menit, kembali turun pada kelompok intensitas radioterapi 21 - 25 x dengan mean±sd = 0.05140 ± 0.019552 ml/menit, menurun lagi pada kelompok intensitas radioterapi 26 - 30 x dengan mean±sd = 0.0.02600 ± 0.006731 ml/menit dan terus mengalami penurunan sampai mencapai kelompok intensitas radioterapi 31 - 35 x dimana volume saliva terendah terdapat pada kelompok ini dengan mean±sd = 0.00840 ± 0.0066731 ml/menit. volume tertinggi dan terendah pada masing-masing kelompok intensitas radioterapi yaitu 1 - 5 x (0.268, 0.103 ml/menit), 6 - 10 x (0.115, 0.038 ml/menit), 11 - 15 x (0.101, 0.043 ml/menit), 16 - 20 x (0.112, 0.026 ml/menit), 21 - 25 x (0.075, 0.028 ml/menit), 26 - 30 x (0.047, 0.013 ml/menit), 31 - 35 x (0.018, 0.000 ml/menit) (tabel 4).

Terjadi penurunan yang sangat signifikan pada setiap kelompok intensitas radioterapinya dimana p = 0,0001, semakin tinggi intensitas radioterapi maka semakin rendah volume saliva penerima radioterapi daerah kepala dan leher meski pada kelompok intensitas 16 - 20 x nilai rata-rata volume saliva mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh subjek pada kelompok ini berusia muda (24 - 47 tahun), setiap subjek pada kelompok ini juga tidak menerima kemoterapi dan tidak mengkonsumsi obat-obatan sebagai terapi pendukung serta konsumsi minum yang kebanyakan sedang - normal (lampiran 8). Namun meskipun terjadi peningkatan pada kelompok ini namun peningkatan tersebut tidak mempengaruhi ke-signifikansi-an penurunan volume saliva berdasarkan intensitas radioterapi yang diterima (Grafik 1).

Berdasarkan volume saliva terdapat 3 kategori, yaitu penerima radioterapi daerah kepala dan leher yang memiliki volume saliva normal ( 0,25 ml/menit), volume saliva rendah ( 0,1 - 0,25 ml/menit) dan yang mengalami hiposalivasi (< 0,1 ml/menit).32

Pada kelompok intensitas radioterapi 1 - 5 x, 1 subjek (20%) dan merupakan satu-satunya dari ke-35 subjek yang diteliti termasuk kategori volume saliva normal, sebanyak 4 subjek (80%) termasuk kategori volume saliva rendah dan tidak ada satupun (0%) yang mengalami hiposalivasi. Pada kelompok intensitas radioterapi 1 - 5 x kelenjar saliva masih mengalami reduksi yang tidak tetap sekresi saliva sehingga belum ada subjek yang mengalami hiposalivasi.5,6

Pada kelompok intensitas radioterapi 6 - 20 x, 0 subjek (0%) memiliki volume saliva normal, 1 subjek (20%) memiliki volume saliva rendah dan 4 subjek (80%) lainnya mengalami hiposalivasi (tabel 5). Hal ini dikarenakan pada intensitas 6 - 20 x sudah terjadi penyusutan jaringan parenkim diikuti pengecilan dan penyumbatan kelenjar saliva sehingga terjadi fibrosis yang mengakibatkan reduksi sekresi saliva.5,6

Pada kelompok intensitas radioterapi 21 - 35 x, 0 subjek (0%) yang termasuk kategori volume saliva normal, 0 subjek (0%) termasuk kategori volume saliva rendah dan 5 subjek (100%) mengalami hiposalivasi, karena intensitas radioterapi 21 - 35 x menyebabkan kerusakan yang sangat signifikan pada kelenjar saliva akibat banyaknya kehilangan sel asinar yang menyebabkan terjadi hiposalivasi.5,6,31 Kelompok intensitas radioterapi 11 - 35 x memiliki resiko mengalami hiposalivasi 17,25 kali lebih besar dari kelompok intensitas 1 - 10 x, yaitu pada kelompok intensitas radioterapi 1 - 10 x, 40% mengalami hiposalivasi, pada kelompok intensitas radioterapi 11 - 35 x meningkat persentasenya sebesar 92% (tabel 6). Hal ini menujukkan semakin tinggi intensitas radioterapi semakin beresiko seseorang mengalami hiposalivasi.

Ada hubungan yang erat antara intensitas radioterapi dengan volume saliva, dimana H0ditolak pada p < 0,05 pada volume saliva penerima radioterapi daerah kepala dan leher akibat banyaknya intensitas radioterapi yang diterima subjek, dimana semakin tinggi intensitas radioterapi maka semakin rendah volume saliva yang dihasilkan.hal ini berkaitan dengan dosis dari tiap intensitas radioterapi yang terakumulasi yang dapat menyebabkan terjadinya fibrosis kelenjar saliva, bila intensitas bertambah maka akan memperparah kondisi

kelenjar saliva sehingga volume saliva yang dihasilkan pun berkurang secara signifikan.10

Penurunan volume saliva menyebabkan mulut kering, terlihat fisur yang dalam pada mukosa lidah, bibir kering, dan gangguan fungsi mulut seperti berbicara, mengunyah dan menelan, akibatnya kualitas hidup penderita kanker kepala dan leher yang menerima radioterapi akan menurun. Sesuai dengan penelitian Tarigan R (2009), intensitas radioterapi tertentu akan memberikan efek negatif terhadap rongga mulut seperti sulit berbicara, menelan dan bernafas yang akan mempengaruhi kesehatan pasien serta menurunkan kualitas hidup pasien.9

6.2.2 Pengukuran volume saliva pada Penerima Radioterapi Daerah Kepala dan Leher Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 7 menunjukkan volume unstimulated saliva pada penerima radioterapi daerah kepala dan leher berdasarkan jenis kelamin. Subjek terbagi atas 2 kelompok yaitu kelompok laki-laki sebanyak 26 orang dan perempuan sebanyak 9 orang, kemudian dari masing-masing kelompok dihitung nilai rata-ratanya dan dilihat volume saliva tertinggi dan terendahnya. Nilai rata-rata volume saliva tertinggi berada pada kelompok laki-laki dengan mean±sd = 0.06685 ± 0.057853 ml/menit dan terendah pada kelompok perempuan dengan mean±sd = 0.05900 ± 0.032943 ml/menit, volume tertinggi dan terendah pada masing-masing kelompok laki-laki (0.268, 0.000 ml/menit), dan kelompok perempuan (0,115, 0,011 ml/menit). Pada penelitian ini tidak dilakukan uji statistika terhadap jenis kelamin dikarenakan masing-masing subjek baik laki-laki maupun perempuan memiliki intensitas radioterapi yang berbeda-beda sehingga data tidak terdistribusi dengan baik selain itu jumlah subjek dalam masing-masing kelompok yang sangat berbeda sehingga sulit melihat perbedaan volume saliva diantara masing-masing kelompok.

6.2.3 Pengukuran volume saliva pada Penerima Radioterapi Daerah Kepala dan Leher Berdasarkan Umur

Tabel 8 menunjukkan volume unstimulated saliva pada penerima radioterapi daerah kepala dan leher berdasarkan umur. Subjek terbagi atas 7 kelompok yaitu kelompok umur 11 20 tahun, 21 30 tahun, 31 40 tahun, 41 -50 tahun, 51 - 60 tahun, 61 - 70 tahun, 71 - 80 tahun kemudian dari masing-masing kelompok dihitung nilai rata-ratanya dan dilihat volume saliva tertinggi

dan terendahnya. Nilai rata-rata volume saliva tertinggi berada pada kelompok umur 71 - 80 tahun dengan mean±sd = 0.08800 ± 0.018385 ml/menit dan terendah pada kelompok umur 31 - 40 tahun dengan mean±sd = 0.04500 ± 0.031401 ml/menit, volume tertinggi dan terendah pada masing-masing kelompok umur 71 - 80 tahun (0.101, 0.075 ml/menit), dan kelompok umur 31 - 40 tahun ( 0,083, 0,008 ml/menit). Pada penelitian ini tidak dilakukan uji statistika terhadap jenis kelamin dikarenakan masing-masing kelompok umur memiliki intensitas radioterapi yang berbeda-beda sehingga data tidak terdistribusi dengan baik selain itu jumlah subjek dalam masing-masing kelompok yang sangat berbeda sehingga sulit melihat perbedaan volume saliva diantara masing-masing kelompok.

6.2.4 Pengukuran volume saliva pada Penerima Radioterapi Daerah Kepala dan Leher Berdasarkan Jenis Kanker

Pengukuran volume unstimulated saliva pada penerima radioterapi daerah kepala dan leher berdasarkan jenis kanker. Subjek terbagi atas 5 kelompok yaitu kelompok kanker nasofaring, kanker laring, kanker tonsil, kanker parotis dan kanker sinonasal kemudian dari masing-masing kelompok dihitung nilai rata-ratanya dan dilihat volume saliva tertinggi dan terendahnya. Nilai rata-rata volume saliva tertinggi berada pada kelompok kanker tonsil dengan mean±sd = 0.08450 ± 0.013435 ml/menit dan terendah pada kelompok kanker sinonasal dengan mean±sd = 0.05133 ± 0.036774 ml/menit (tabel 9). Pada penelitian ini tidak dilakukan uji statistika terhadap jenis kanker dikarenakan masing-masing kelompok jenis kanker memiliki intensitas radioterapi yang berbeda-beda sehingga data tidak terdistribusi dengan baik selain itu jumlah subjek dalam masing-masing kelompok yang sangat berbeda sehingga sulit melihat perbedaan volume saliva diantara masing-masing kelompok.

6.3 Distribusi Frekuensi Kemoterapi, Konsumsi Obat-obatan dan

Konsumsi Air Minum terhadap Volume Saliva Penerima Radioterapi

Daerah Kepala dan Leher

Kombinasi kemoterapi dan radioterapi ternyata beresiko terhadap penurunan volume saliva. kelompok yang tidak menerima kemoterapi dan tidak mengalami hiposalivasi sebesar 36,8% dan yang tidak menerima kemoterapi tetapi mengalami hiposalivasi sebesar 63,2% sedangkan kelompok yang menerima kemoterapi ternyata hanya 6,3% yang tidak mengalami hiposalivasi

sementara yang mengalami hiposalivasi meningkat persentasenya menjadi 93,8% (tabel 10), kelompok yang menerima kemoterapi memiliki resiko mengalami hiposalivasi 8,75 kali lebih besar dari kelompok yang tidak menerima kemoterapi, dari hasil ini ternyata hampir semua (93,8%) subjek penelitian yang menerima kemoterapi mengalami hiposalivasi, terjadi peningkatan persentase hiposalivasi sebesar 30,6% dari subjek yang tidak menkonsumsi obat-obatan dibandingkan dengan yang mengkonsumsi obat-obatan. Hal ini menunjukkan kemoterapi yang diterima penerima radioterapi daerah kepala dan radioterapi menyebabkan semakin rendah volume saliva sesuai dengan teori yang menyatakan khemoterapi dapat menyebabkan terjadinya degenerasi kelenjar saliva mayor terutama parotis, infeksi ini makin parah bila disertai radioterapi karena dapat menyebabkan hiposalivasi yang parah.20

Kombinasi Obat-obatan dan radioterapi juga beresiko terhadap penurunan volume saliva. kelompok yang tidak mengkonsumsi obat-obatn dan tidak mengalami hiposalivasi sebesar 30,4% dan yang tidak mengkonsumsi obat-obatan tetapi mengalami hiposalivasi sebesar 69,6% sedangkan kelompok yang mengkonsumsi obat-obatan, 8,3% yang tidak mengalami hiposalivasi sementara yang mengalami hiposalivasi sebesar 91,7% (tabel 11), kelompok yang mengkonsumsi obat-obatan memiliki resiko mengalami hiposalivasi 4,813 kali lebih besar dari kelompok yang tidak mengkonsumsi obat-obatan, dari hasil ini ternyata hampir semua (91,7%) subjek penelitian yang mengkonsumsi obat-obatan mengalami hiposalivasi, terjadi peningkatan persentase hiposalivasi sebesar 22,1% dari subjek yang tidak menkonsumsi obat-obatan dibandingkan dengan yang mengkonsumsi obat-obatan. Hal ini menunjukkan dengan konsumsi obat-obatan pada penerima radioterapi daerah kepala dan radioterapi menyebabkan resiko penurunan volume saliva semakin besar.karena obat-obat tersebut mempengaruhi aliran saliva dengan langsung beraksi pada proses seluler sehingga keseimbangan seluler terganggu.6

Berdasarkan konsumsi air minum subjek terbagi atas 3 kategori, yaitu konsumsi air minum normal (lebih dari 8 gelas/hari), konsumsi air minum sedang (4 - 7 gelas/hari), dan konsumsi air minum sedikit (kurang dari 3 gelas/hari).27 Pada kelompok konsumsi air minum normal sebanyak 4 subjek (40%) tidak mengalami hiposalivasi dan sebanyak 6 subjek (60%) mengalami hiposalivasi. Pada kelompok konsumsi air minum normal sebanyak 4 subjek (21,1%) tidak

mengalami hiposalivasi dan sebanyak 15 subjek (78,9%) mengalami hiposalivasi. Pada kelompok konsumsi air minum sedikit sebanyak 0 subjek (0%) tidak mengalami hiposalivasi dan sebanyak 6 subjek (100%) mengalami hiposalivasi (tabel 12), dari hasil ini ternyata semua subjek penelitian yang sedikit mengkonsumsi air minum mengalami hiposalivasi, terjadi peningkatan persentase hiposalivasi sebesar 18,9% dari subjek yang konsumsi air minumnya normal dibandingkan dengan yang konsumsi air minumnya sedang. Dan terjadi peningkatan persentase hiposalivasi sebesar 21,1% dari subjek yang konsumsi air minumnya sedang dibandingkan dengan yang konsumsi air minumnya sedikit.

Konsumsi air minum yang teratur lebih dari 8 gelas/hari sangat dianjurkan pada orang yang sehat untuk mencegah dehidrasi dan menjaga keseimbangan rongga mulut terutama lagi pada penerima radioterapi daerah kepala dan mulut. Oleh sebab itu untuk menghindari terjadinya hiposalivasi, sangat disarankan penerima radioterapi memperhatikan kuantitas asupan air minum yang dikonsumsi tiap harinya, dan hendaknya dilakukan secara teratur dan berkesinambungan.

6.4 Hubungan Antara Hiposalivasi dengan Keluhan Mulut Kering Penerima Radioterapi Daerah Kepala dan Leher

Sebanyak 5 subjek (71,4%) melaporkan tidak mengalami keluhan mulut kering dan diidentifikasikan memang tidak terjadi hiposalivasi dan sebanyak 2 subjek (28,6%) melaporkan tidak mengalami keluhan mulut kering tetapi ternyata terjadi hiposalivasi. Sebanyak 3 subjek (10,7%) melaporkan mengalami keluhan mulut kering dan diidentifikasikan tidak terjadi hiposalivasi dan sebanyak 25 subjek (89,3%) melaporkan mengalami keluhan mulut kering dan diidentifikasikan memang terjadi hiposalivasi (tabel 13).

Dari penelitian ternyata banyak subjek (89,3%) menyadari terjadi perubahan pada volume saliva akibat radioterapi sehingga dapat menyatakan keluhan mulut kering namun yang perlu diperhatikan adalah kelompok yang tidak menyadari dirinya mengalami hiposalivasi sehingga melaporkan tidak ada keluhan mulut kering, pada kelompok ini ada kecenderungan tidak melakukan perawatan xerostomia yang dikhawatirkan akan meningkatkan resiko hiposalivasi yang dialaminya.

Dari penelitian diperoleh nilai p = 0,003 artinya ada hubungan yang signifikan antara hiposalivasi dengan keluhan mulut kering pada penerima

radioterapi daerah kepala dan leher. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wiener RC,dkk (2010) bahwa penilaian mulut kering mempunyai hubungan yang sederhana, namun signifikan dengan hiposalivasi (Koefisien Korelasi Pearson = 0,2, P = .003) dan pengakuan sampel sendiri mengalami xerostomia (Koefisien Korelasi Pearson = 0,2, P = 0.010).24

Penurunan volume saliva dapat memicu penurunan pH saliva dan bila disertai dengan konsumsi makanan yang kariogenik, seperti biskuit, wafer, kue kering, gula-gula, dan lain-lain menyebabkan peningkatan jumlah koloni Streptococcus mutans, Lactobacillus sp, danCandida sp menyebabkan terjadinya peningkatan karies gigi yang disebut juga karies radiasi. Berkurangnya volume saliva juga meningkatkan infeksi jaringan periodonsium. Peningkatan viskositas dan penurunan volume saliva menyebabkan gangguan dalam pemakaian protesa karena saliva merupakan cairan lubrikasi atau pelumas yang efektif pada batasan basis gigi tiruan dan mukosa mulut. Jumlah volume saliva yang terbatas akan meyebabkan berkurangnya retensi gigi tiruan terhadap mukosa dan menyebabkan trauma pada mukosa selama pemakaian gigi tiruan. Waktu yang diperlukan untuk mengembalikan kecepatan sekresi saliva menjadi normal kembali tergantung pada individu dan dosis radioterapi yang telah diterima.3,5,10,30

Dibandingkan dengan penelitian-penelitian terdahulu, penelitian yang dilakukan ini masih banyak memiliki kekurangan karena hanya menganalisa volume saliva pada 35 subjek yang berbeda-beda sehingga sulit untuk dikelompokkan. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih homogen untuk memudahkan pengelompokan untuk mencari rata-rata volume saliva tiap kelompoknya karena pada dasarnya respon tiap individu terhadap radioterapi berbeda satu dengan yang lainnya.

Penelitian ini memiliki kekurangan disebabkan subjek yang digunakan hanya berdasarkan intensitas radioterapi yang diterima sehingga menimbulkan hasil yang tidak signifikan berdasarkan pembagian jenis kelamin, umur, dan jenis kanker maka subjek yang digunakan sebaiknya merupakan individu yang sama dari awal dan di follow-up setiap radioterapi sampai dosis dan intensitas tertentu agar penelitian ini menunjukkan hasil yang lebih signifikan.

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah terjadi penurunan volume saliva selama radioterapi. Respon tiap individu terhadap radioterapi berbeda-beda sehingga menyebabkan jumlah volume saliva yang dihasilkan pun sangat bervariasi, terutama dipengaruhi oleh intensitas radioterapi. Pada penelitian ini ternyata ada hubungan yang sangat signifikan antara intensitas radioterapi dengan penurunan volume saliva (p < 0,05) yang artinya semakin tinggi intensitas radioterapi pada penerima radioterapi daerah kepala dan leher, semakin rendah volume saliva yang disekresikan kelenjar salivanya.

Hiposalivasi dapat disebabkan oleh banyak hal, diantaranya konsumsi obat-obatan, kemoterapi serta kurangnya konsumsi air minum, selain itu dapat juga disebabkan oleh kondisi umum yang memburuk serta gangguan kelenjar saliva.5,6,20,27Pada penelitian ini juga diperoleh hasil bahwa kemoterapi, konsumsi obat-obatan dan konsumsi air minum dapat meningkatkan resiko seseorang yang sedang menerima radioterapi daerah kepala dan leher terhadap penurunan volume saliva. Hal-hal tersebut harus menjadi perhatian terutama bagi para pasien penerima radioterapi kepala dan leher yang sedang menerima kemoterapi maupun mengkonsumsi obat-obatan agar memperhatikan kuantitas saliva dan mengikuti langkah-langkah manajemen pencegahan xerostomia yang dianjurkan untuk menghindari resiko terjadinya hiposalivasi selama perawatan radioterapi.

BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian pengukuran volume saliva pada penerima radioterapi daerah kepala dan leher dapat disimpulkan bahwa:

1. Ada penurunan volume saliva pada penerima radioterapi daerah kepala dan leher.

2. Ada hubungan yang sangat signifikan antara intensitas radioterapi dengan penurunan volume saliva (p < 0,05).

7.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan melibatkan subjek yang sama dan di-follow up sampai intensitas tertentu. Penelitian lanjutan juga sebaiknya hanya pada penerima radioterapi tanpa menerima kemoterapi untuk mendapatkan data yang lebih akurat.Penelitian lanjutan sebaiknya dilakukan terhadap volume saliva stimulated pada penerima radioterapi daerah kepala dan leher

2. Diharapkan penerima radioterapi daerah kepala dan leher: mengkonsumsi air dan berkumur-kumur sesering mungkin, mengkonsumsi makanan hendaknya sedikit demi sedikit sampai halus, mengkonsumsi permen dan permen karet yang bebas gula, melakukan topikal fluor, menggunakan saliva pengganti serta menjaga kebersihan mulut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Asroel H A. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. USU digital library. 2002: 1-11.

2. Lukman D. Dasar-dasar radiologi dalam ilmu kedokteran gigi. Ed 3rd.

Dokumen terkait