• Tidak ada hasil yang ditemukan

Walaupun secara umum dinyatakan bahwa ADB sejak tahun 1960 telah mengalami penurunan, namun ADB sampai sekarang masih merupakan masalah kesehatan yang penting di dunia terutama di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Hal ini karena akibat jangka panjangnya yang sangat merugikan terutama bila terjadi pada bayi dan anak, karena dapat mengganggu pertumbuhan, perkembangan mental, motorik serta perilakunya.28

Tingginya prevalensi ADB di negara yang sedang berkembang berhubungan dengan kemampuan ekonomi yang terbatas (standar hidup yang rendah dengan tingginya kejadian malnutrisi, sanitasi lingkungan yang jelek, morbiditas yang tinggi), asupan protein hewani yang rendah dan investasi parasit yang merupakan masalah endemik.3,12 Anak dengan ADB mempunyai berat badan yang kurang dan lebih pendek dari pada anak yang diklasifikasikan normal.9

Sering dijumpai adanya koeksistensi antara malnutrisi atau gizi kurang dan ADB. Kedua hal ini merupakan masalah gizi yang terpenting di Indonesia. Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan tingginya prevalensi ADB dan malnutrisi.7,9 Prevalensi gizi kurang menurut BB/TB (kurus/wasting < -2SD) tahun 1990 sampai 2001 berkisar antara

10% sampai 16%. Menurut WHO, jika prevalensi wasting >10%, menunjukkan negara tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius dan berhubungan erat dengan angka kematian balita. Kronisnya masalah gizi kurang pada balita di Indonesia ditunjukkan pula dengan tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting < -2 SD) yaitu sekitar 30% sampai 40 % dari tahun 1992 sampai 2002.29,30

Prevalensi ADB disertai malnutrisi energi – protein ringan pada anak usia 5 sampai14 tahun yang berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah berkisar 47% sampai 64%. Sedangkan prevalensi ADB pada kelompok sosial ekonomi menengah (38% sampai 67%) dan sosial ekonomi tinggi (20%).5 Pada penelitian ini, dari 300 anak yang diperiksa darahnya, didapatkan 111 (37,2%) menderita ADB. Dari 111 anak sebagai sampel penelitian, dijumpai 67 (60,3%) mempunyai status gizi yang baik, 28 (25,2%) gizi kurang, 3 (2,7%) obesitas dan 13 (11,7%) dengan overweight.

Hasil dari penelitian ini berbeda dengan penelitian / literatur sebelumnya, karena pada pada anak penderita ADB yang menjadi sampel penelitian kami, rata-rata dengan status gizi yang baik. Hal ini dapat diterangkan dengan beberapa keadaan yang mungkin menyebabkan hal ini. Di Indonesia ada 2 faktor yang menyebabkan ADB. Pertama, makanan banyak dikonsumsi dengan kandungan, bioavailabilitas dan penyerapan besi yang rendah (beras, sereal, kacang-kacangan, sayuran). Sedangkan

makanan dengan kandungan, bioavailabilitas dan penyerapan besi yang tinggi (daging, hati, ikan) sedikit dikonsumsi. Kedua, prevalensi infestasi parasit (kecacingan) yang masih tinggi.4,31 Sehingga, ADB dapat terjadi pada anak yang obesitas, gizi baik dan malnutrisi.2

Pemeriksaan kadar Hb dan hematokrit bukan merupakan tes diagnostik pilihan karena kadar Hb atau Ht tidak sensitif terhadap ADB. Namun kedua pemeriksaan ini relatif murah, mudah didapat dan merupakan pemeriksaan yang paling sering digunakan untuk skrining defisiensi besi. Tahap awal terjadinya ADB tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan kadar Hb dan Ht. Pemeriksaan ini diperlukan untuk menentukan keparahan anemia.13 Pemeriksaan kadar Hb dan Ht juga tidak spesifik karena banyak penyebab anemia selain defisiensi besi.21

Pemeriksaan darah tepi yang mengarah terhadap kecurigaan ADB adalah mikrositik hipokromik, sedangkan pemeriksaaan kadar feritin serum merupakan tes diagnostik yang paling baik untuk ADB dengan sensitivitas dan spesifisitas paling baik. Kadar feritin serum pada anak ADB < 12 ug/L, namun pemeriksaan ini kurang lazim dipakai sebagai pemeriksaan skrining karena relatif mahal.13,21

Mean Corpuscular Volume (MCV) berguna untuk menentukan apakah

mikrositik, normositik atau makrositik. Pada penelitian terhadap bayi berusia 12 bulan didapati RDW yang tinggi (>14%) dengan sensitifitas 100% dan

spesifisitas 82%. Disebabkan spesifisitasnya yang relatif rendah, maka pemeriksaan RDW saja tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan skrining, tetapi sering digunakan bersama dengan MCV untuk membedakan diantara variasi anemia.13 Nilai RDW yang meningkat dengan MCV yang menurun mengarah kepada diagnosis defisiensi besi.14

Salah satu cara untuk membedakan ADB dengan talasemia minor adalah dengan pemeriksaan Mentzer index, dimana bila Mentzer index >13 merupakan ADB dan bila <13 menunjukkan talasemia minor dengan spesifisitas sebesar 82%. Bila RDW index >220 merupakan ADB, namun bila <220 menunjukkan talasemia dengan spesifisitas 92%.19 Pada penelitian ini digunakan pemeriksaan yang sederhana untuk menegakkan diagnosis ADB yaitu Hb, MCV, RDW, Mentzer index dan RDW index. Pada pemeriksaan awal, didapatkan rerata kadar Hb 10,1 g/dl; MCHC 29,91%; RDW index 258,60; Mentzer index 17,13.

Adanya respon terhadap terapi besi juga dapat membantu untuk diagnosis ADB, dimana jika terdapat peningkatan Hb 1 sampai 2 g/dl dalam 3 sampai 4 minggu terapi besi dengan dosis 3 sampai 6 mg besi elemental/kg/hari dapat diterima sebagai bukti adanya defisiensi besi sebelum terapi dan pemberian preparat besi dilanjutkan 2 sampai 3 bulan lagi sejak Hb normal.13,32,33

Pemberian preparat besi dapat secara oral atau parenteral.34 Pemberian secara oral menggunakan tablet besi merupakan cara yang mudah, murah dan memuaskan hasilnya.2,35 Pada penelitian ini, kami memberikan fero sulfat yang dikemas dalam kapsul pada semua sampel agar mudah dalam pemberian serta lebih menarik bagi anak dan orangtua. Terdapat perubahan yang bermakna pada kadar hemoglobin setelah diberikan terapi besi selama tiga bulan pada kedua kelompok. Sayangnya pada penelitian ini tidak diperiksa profil besi (Fe serum, TIBC, feritin serum, saturasi transferin dan Free erythrocyte porphyrin/FEP) karena biaya yang mahal.

Untuk pengobatan ADB, pemberian besi untuk meningkatkan kadar Hb menjadi normal dan mengisi cadangan besi. Sangat penting untuk mengobati penyebab terjadinya ADB seperti meningkatkan asupan nutrisi yang mengandung energi, protein dan besi yang cukup ataupun mengatasi investasi parasit (kecacingan).4

Suatu laporan dari penelitian di Jawa Tengah yang mendapatkan rata–rata asupan energi, protein dan besi yang dikonsumsi anak di daerah pedesaan hanya setengah sampai dua pertiga dari angka kecukupan gizi (AKG).9 Dari karakteristik sampel pada awal penelitian, kami mendapatkan

sekitar 70% sampel dengan penghasilan keluarga/bulan di bawah Rp. 600.000,-. Pendidikan ibu yang terbanyak (60%) adalah sekolah dasar.

Mengobati defisiensi besi tanpa mengobati penyebabnya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Penyebab defisiensi besi biasanya dapat dideteksi pada 80% sampai 82% kasus. Faktor nutrisi merupakan penyebab utama, disamping beberapa faktor lain. Penyebab ADB berdasarkan umur perlu diketahui untuk dapat mendeteksi dan mengatasinya berdasarkan skala prioritas untuk menghemat waktu dan biaya.4

Pencegahan defisiensi besi merupakan hal yang kompleks dan masalah yang urgen di banyak negara berkembang. Untuk pencegahan ADB, ada beberapa cara yang dapat dilakukan, antara lain pendidikan gizi, pemberian suplemen / fortifikasi besi dan pendidikan kebersihan lingkungan. Pendidikan gizi pada keluarga dan masyarakat sangat penting, karena faktor nutrisi merupakan penyebab utama ADB. Meningkatkan konsumsi besi dari sumber alami terutama sumber hewani yang mudah diserap serta peningkatan penggunaan makanan yang mengandung vitamin C dan A.3,36

Pada bayi yang terpenting adalah pemberian ASI eksklusif sampai enam bulan. Juga diperlukan, pemberian suplementasi besi pada bayi cukup bulan pada umur 4 sampai 6 bulan dengan dosis 1 mg besi elemental/kgbb, diberikan dalam bentuk tetes dalam vitamin. Bayi prematur dan bayi dengan BBLR rendah memerlukan dosis lebih tinggi yaitu 2 mg/kg BB yang di mulai usia 2 sampai 4 bulan.4,37 Tujuan utama suplementasi besi

dini adalah untuk menjaga kebutuhan oksigen dan jaringan anak yang mengalami pertumbuhan yang cepat. Kecukupan besi sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak.38 Tidak kalah penting adalah memberikan pendidikan kebersihan lingkungan untuk mengurangi kemungkinan infeksi bakteri/parasit dan defisiensi besi yang merupakan lingkaran setan yang harus diputus.4,5

Sebelum pemberian besi kami memberikan penyuluhan / pendidikan gizi keluarga (orang tua, anak dan guru) antara lain mengenai makanan yang banyak mengandung besi, hal-hal yang membantu dan mengurangi penyerapan besi. Penyuluhan juga diberikan tentang kebersihan lingkungan, yang merupakan hal yang penting dalam pencegahan dan pengobatan ADB. Pengaruh pemberian suplementasi besi terhadap BB dan TB anak atau status gizi mendapatkan hasil yang tidak sama. Suatu penelitian acak tersamar ganda memberikan sulfas ferosus pada anak SD selama 12 minggu, mendapatkan peningkatan yang bermakna terhadap pertumbuhan setelah intervensi.9

Penelitian lain yang di lakukan di Thailand, mendapatkan hasil bahwa suplementasi besi pada anak SD selama 16 minggu memberikan efek terhadap pertumbuhan (penambahan TB).39

Dijkhuizen dkk (2001) melakukan penelitian dengan memberikan suplementasi besi dan zinkum pada bayi di Indonesia. Penelitian ini

mendapatkan hasil prevalensi defisiensi besi masih tinggi. Suplementasi besi dan zinkum mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan pertumbuhan dan kesehatan bayi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa suplementasi besi dan zinkum dapat digunakan secara aman dan efektif.40

Smuths dkk tahun 2005 melakukan penelitian di Afrika Selatan terhadap bayi usia 6 sampai12 bulan dengan memberikan suplementasi besi setiap hari. Dari hasil pengukuran BB dan TB yang dilakukan setiap bulan, didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada pertumbuhan bayi setelah tiga bulan suplementasi.41 Hal ini sama dengan hasil yang didapatkan pada penelitian oleh Dewey dkk di Swedia dan Honduras tahun 2002, dengan memberikan suplementasi besi 1 mg/kg BB /hari pada bayi usia 4 sampai 9 bulan yang mendapat ASI ekslusif selama enam bulan. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa tidak ada efek pemberian suplementasi terhadap penambahan BB dan PB.42

Pada penelitian ini efek pemberian besi terhadap peningkatan Hb, BB, TB dan perubahan status gizi dinilai dengan melakukan pemeriksaan darah dan pengukuran antropometri sebelum dan setelah intervensi selama tiga bulan. Data kami menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna rata-rata BB dan TB pada kedua kelompok sebelum dan sesudah terapi.

Kelemahan dari penelitian ini, kami tidak mengevaluasi pola makan secara mendetail dan lengkap. Kemudian, angka kesakitan anak yang

menjadi sampel penelitian tidak diketahui, serta pemeriksaan dan pengobatan terhadap investasi parasit tidak dilakukan secara lengkap, waktu intervensi yang pendek (3 bulan) disebabkan keterbatasan dana dan waktu penelitian. Kepatuhan minum obat pada sampel penelitan hanya dipercayakan pada guru dan orangtua, tanpa didampingi petugas pemantau minum obat untuk memastikan apakah obat diminum dengan teratur dan mencatat efek samping obat.

BAB. 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini bahwa pemberian besi selama 3 bulan tidak memberikan perbedaan yang bermakna terhadap perubahan status gizi anak dengan ADB.

6.2. Saran

Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan pemberian besi yang lebih lama serta menggunakan parameter status besi yang lebih baik seperti pemeriksaan feritin serum dan saturasi transferin serum.

RINGKASAN

Defisiensi besi merupakan penyebab paling banyak anemia gizi di seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Anemia defisiensi besi paling sering dijumpai pada bayi, anak dan remaja karena pertumbuhan yang cepat membutuhkan banyak besi dan diet yang rendah mengandung besi. Sering dijumpai adanya koeksistensi antara malnutrisi dan ADB. Kedua hal ini merupakan masalah gizi yang terpenting di Indonesia.

Pertumbuhan merupakan indikator kesehatan dan status gizi anak yang penting. Penilaian status pertumbuhan dan status gizi merupakan bagian yang esensial dalam evaluasi klinis dan penanganan pasien anak, karena status gizi akan mempengaruhi respon pasien terhadap penyakit. Beberapa penelitian sebelumnya mengenai pengaruh pemberian suplementasi besi terhadap BB, TB dan status gizi mendapatkan hasil yang tidak sama.

Pada penelitian ini kami ingin membuktikan efek dari besi terhadap penambahan BB dan perbaikan status gizi pada anak SD yang menderita ADB.

Penelitian ini bersifat uji klinis acak terkontrol pada anak SD usia 8 sampai 12 tahun di kecamatan Bilah Hulu Kabupaten Labuhan Batu, pada bulan November 2006 sampai Februari 2007. Diagnosis ADB bila Hb < 12

g/dL, Mentzer index > 13, dan RDW index > 220. Penyakit darah yang lain, gizi buruk dan anemia berat dieksklusikan.

Anak dengan ADB dibagi secara acak menjadi kelompok mendapat besi dan mendapat plasebo. Pengukuran antropometri BB dan TB dilakukan sebelum dan setelah tiga bulan pemberian besi. Status gizi dihitung berdasarkan baku rujukan antropometri menurut NCHS-WHO, dengan menggunakan Z–score (standar deviasi/SD) sebagai batas ambang. Analisis data dilakukan untuk mengetahui perubahan nilai Hb dan pengukuran antropometri kedua kelompok sesudah intervensi menggunakan “ t-independent test” Uji bermakna bila P < 0,05.

Sebanyak 108 anak dapat menyelesaikan penelitian. Status gizi anak yang diteliti rata-rata baik (60,3%).Terdapat perubahan kadar Hb yang bermakna pada kedua kelompok setelah terapi besi (P < 0,05). Sedangkan rerata peningkatan BB dan TB, tidak terdapat perbedaan yang bermakna setelah intervensi pada ke 2 kelompok (P < 0,34).

Dapat disimpulkan bahwa pemberian terapi besi tidak memberikan perbedaan yang bermakna dalam peningkatan BB dan TB pada kedua kelompok.

SUMMARY

Iron deficiency continous to be the most common nutritional cause of anemia worldwide, especially in many developing countries. The iron deficiency anemia (IDA) was most frequently found in infants, children and adolescents, because of high requirements due to growth spurt and dietary deficiencies. Often found a coexistence between protein energy malnutrition and iron deficiency and both of this causes are the leading nutritional problems in Indonesia.

Growth is an essential indicator of health and nutritional status. The assessment of nutritional and growth status is an essential part of clinical evaluation and care in the pediatric setting, because nutritional status affects a patient’s response to illness. In many study, effect of iron supplementation to body weight (wt) and body height (ht) of children or nutritional status found different results.

In the present study, we wish to find the effect of iron on the increase in weight and improved nutritional status of the school children with IDA.

This study is a randomized control clinical trial and carried out for three months since November 2006 until February 2007 at 5 primary schools of Bilah Hulu, a subdistrict of Labuhan Batu in North Sumatera. The determination of IDA is made when there is the Hb is < 12 g/dl, MCHC

< 31%, RDW > 220 and the Mentzer index > 13. The exclusion criterion includes other blood diseases, severe malnutrition and severe anemia.

The children were divided into two treatment groups. One group with iron therapy and another group with placebo. Anthropometrical measurement of weight and height were carried out pre and post therapy of iron. The nutritional status are calculated on the base of anthropometric reference according to NCHS-WHO using Z-score (standard deviation/SD) as a threshold. The analysis data was done to know the changes in laboratory and anthropometric findings of both groups post intervention using “ t-independent test “. The test is significant when P < 0,05.

Among 111 children with IDA, only 108 children completed the three months study. Nutritional status in the initial intervention is averagely good (60,3%). After three months of therapy, there was a significant increase in haemoglobine concentration of both groups (P < 0.05), whereas there were no significant difference observed in weight and height in both groups after intervention (P < 0,34)

As a conclusion, the iron therapy has no significantly different on mean of weight and height gain.

DAFTAR PUSTAKA

1. Harmatz P, Butensky E, Lubin B. Nutritional anemia. Dalam : Walker WA, Watkins JB, Duggan C, penyunting. Nutrition in pediatrics. Basic science and clinical applications. edisi ke-3. London: BC Decker Inc, 2003. h.830-44

2. Schwartz E. Iron deficiency anemia. Dalam : Behrman RE, Kligman RM, Arvin AM, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. edisi ke-17. Philadelphia: Saunders, 2004. h.1614-16

3. Raspati H, Reniarti L, Susanah S. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, penyunting. Buku ajar hematologi onkologi anak. Jakarta: BP IDAI, 2005. h.30-43

4. Abdulsalam M. Diagnosis, pengobatan dan pencegahan anemia defisiensi besi pada bayi dan anak. Dalam: Triasih R, penyunting. Anemia defisiensi besi. Yogyakarta: MEDIKA FK-UGM, 2005. h. 55-64 5. Soemantri A. Epidemiology of iron deficiency anaemia. Dalam: Triasih R, penyunting. Anemia defisiensi besi.Yogyakarta:Medika–FK UGM, 2005. h.11

6. Nead KG, Halterman JS, Kaczorowski JM, Auinger P, Weitzman M. Overweight children and adolescents : A risk group for iron deficiency. Pediatrics. 2004; 114:104–8

7. Hadi H. Beban ganda masalah gizi dan implikasinya terhadap kebijakan pembangunan kesehatan nasional. Disampaikan pada “Pidato pengukuhan jabatan guru besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 5 Februari 2005

8. Olsen IE, Mascarenhas MR, Stallings VA. Clinical assesment of nutritional status. Dalam: Walker WA, Watkins JB, Duggan C, penyunting. Nutrition in pediatrics. Basic science and clinical applications.edisi ke-3. London: BC Decker Inc, 2003. h.6-11

9. Chwang L C, Soemantri AG, Pollitt E. Iron supplementation and physical growth of rural Indonesian children. Am J Clin Nutr. 1998; 47:496-501

10. Almatsier S. Prinsip dasar ilmu gizi. Edisi pertama. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003. h.249-57

11. Lanzowsky P. Iron deficiency anemia. Dalam: Lanzowsky P, penyunting. Manual of pediatrics hematology and oncology. edisi ke-2. Churchill Livingstone,1995. h.35-50

12. Lukens JN. Iron metabolism and iron deficiency. Dalam: Miller DR, Baehner RI, Miller LP, penyunting. Blood diseases of infancy and childhood. edisi ke-7. St. Louis: Mosby, 1995. h.193-219

13. Wu AC, Lesperance L, Bernstein H. Screening for iron deficiency. Pediatrics in Review. 2000; 23:171-7

14. Irwin JJ, Kirchner JT. Anemia in children. Am Fam Physician. 2001; 64: 1379-86.

15. Mc Cann JC, Ames BN. An overview of evidence for a causal relation between iron deficiency during development and deficits in cognitive or behavioral function. Am J Clin Nutr. 2007; 85: 931-45

16. Tjendraputra EN, Dong Fu, Phang JM, Richardson DR. Iron chelation regulates cyclin D1 expression via the proteasome: a link to iron deficiency-mediated growth suppression. Blood. 2007; 109: 4045-54

17. Bread J. Iron deficiency alters brain development and functioning. J.Nutr. 2003; 133:1468s-1472s

18. Connor JR, Menzies SL, Burdo JR, Boyer PJ. Iron and iron management proteins in neurobiology. Pediatr Neurol. 2001;25:2

19. WHO. Iron deficiency anemia: assessment, prevention and control. Diunduh dari: http://www.who.int/reproductivehealt/docs/anaemia.pdf. Diakses Agustus 2008

20. Sandoval C, Jayabose S, Eden AN. Trends in diagnosis and management of iron deficiency during infancy and early childhood. Hematol Oncol Clin N Am. 2004; 18: 1423-38.

21. Sherriff A, Emond A, Bell JC, Golding J. Should infants be screened for anaemia? A prospective study investigating the relation between haemoglobin at 8, 12, and 18 months and development at 18 months. Arch Dis Child. 2001; 84:480-85.

22. Lind T, Lonnerdal B, Persson L, Stenlund H, Tennefors C, Hernell O. Effects of weaning cereals with different phytate contents on hemoglobin, iron stores, and serum zinc: a randomized intervention in infants from 6 to 12 mo of age. Am J Clin Nutr. 2003; 78:68-75.

23. Needlman RD. Assessment of growth. Dalam : Behrman RE, Kligman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. edisi ke-17. Philadelphia: Saunders, 2004. h.58-62

24. Secker DJ, Jeejeeboy KN. Subjective global nutritional assessment for children. Am J Clin Nutr. 2007; 85:1083-9

25. Batubara JR. Practices of growth assessment in children: Is anthropometric measurement important?. Pediatrica Indonesiana. 2005; 45:145-53.

26. World Health Organization. Measuring change in nutritional status. guidelines for assesing the nutritional impact of supplementary feeding programmes for vulnerable groups. Geneva, 1983. h.99-101.

27. Madiyono B, Moeslichan S, Satroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sample. Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S, penyunting. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. edisi ke-3. Jakarta: Sagung Seto; 2008. h.302-30

28. Yip R, Binkin NJ, Fleshood L, Trowbridge FL. Declining prevalence of anemia among low income children in the United States. JAMA. 1987; 258(12):1619-23.

29. Atmarita, Fallah TS. Analisis situasi gizi dan kesehatan masyarakat. Disampaikan pada widyakarya nasional pangan dan gizi VIII, Jakarta, 17-19 Mei, 2004.

30. Atmarita. Nutrition problems in Indonesia. Disampaikan pada seminar “An integrated international seminar and workshop on lifestyle – related disease”, UGM Yogyakarta,2005

31. Dallman PR, Yip R, Oski FA. Iron deficiency and related nutritional anemia. Dalam: Nathan DG, Oski FA, penyunting. Hematology of infancy and childhood. edisi ke-4. Philadelphia: Saunders; 1993. h.274-310.

32. Oski FA. Iron deficiency in infancy and childhood. N Engl J Med. 1999; 329(3):190-93.

33. Lane PA, Nuss R, Ambruso DR, Hematologic disorders, Dalam: Hay WH, Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM. Penyunting. Current pediatric diagnosis and treatment. Edisi ke-16. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill. 2000. h.836-45

34. Clark SF. Iron deficiency anemia. Nutr in Clin Pract .2008; 23:128-41 35. Allen LH. Iron supplements: Scientific issues concerning efficacy and

implications for research and programs. J.Nutr . 2002; 132:813s-19s 36. Dallman PR. Nutritional anemia. Dalam: Rudolf AM, Hoffman

JIE,Rudolf CD, penyunting. Rudolph’s Pediatrics. edisi ke-20. London: Prentice Hall International; 1996. h.1176-80.

37. Pusponegoro HD. Tumbuh kembang otak, pengaruh malnutrisi dan defisiensi besi.Jakarta: FK Universitas Indonesia, 2004.

38. American Academy of Pediatrics, commite on nutrition. Iron fortification of infant formulas. Pediatrics. 1999; 104:119-22.

39. Sungthong R, Mo-suwan L, Chongsuvivatwong V, Geater AF. Once weekly is superior to daily iron supplementation on height gain, but not on hematological improvement among school children in Thailand. J. Nutr. 2002; 132:418-422.

40. Dijkhuizen MA, Wieringa FT, West CE, Martuti S, Muhilal. Effects of iron and zinc supplementation in Indonesian infants on micronutrient status and growth. J. Nutr. 2001; 131:ss2860-65

41. Smuts CM, Dhansay MA, Van Stuijvenberg ME, Faber M, Swanevelder S, Gross R dkk. Efficacy of multiple micronutrient supplementation for improving anemia, micronutrient status, and growth in South African Infants.J Nutr. 2005; 135:653s-59s.

42. Dewey KG, Domello¨M, Cohen RJ, Rivera LL, Hernell O, Bo Lo¨

Dokumen terkait