BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.2 Pembahasan Pola Asuh Keluarga yang Memiliki Anak Tunagrahita
memiliki anak tunagrahita menerapkan pola asuh demokratif sebanyak 28 responden (84,8%). Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa pola asuh demokratis lebih kondusif daripada pola asuh otoriter dan permisif terhadap perkembangan kognitif, keberhasilan/prestasi akademik dan juga kemampuan psikososial (Nurul, 2011).
Hasil penelitian menunjukkan mayoritas rentang usia 36-45 tahun, dimana pada rentang usia tersebut sudah dewasa untuk hal berpikir dan berperilaku dalam mengasuh dan merawat anak. Hal ini didukung oleh penelitian Afriani, dkk (2012) dalam Yusuf (2013) yang menyatakan bahwa semakin bertambah umur semakin bertambah pula pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki mengenai perilaku yang sesuai untuk mendidik anak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebahagian besar keluarga yang menerapkan pola asuh demokratif memiliki latar belakang pendidikan rata-rata SMA sebanyak 14 orang (50%). Peneliti mengasumsikan bahwa pendidikan SMA merupakan jenjang pendidikan yg formal dimana seseorang telah dilatih belajar secara mandiri untuk mendapatkan informasi dari luar untuk menyelesaikan tugas- tugas pelajaran seperti artikel, makalah dan media cetak lainnya. Sejalan dengan penelitian Suci, dkk (2011) di SLB-C Sumber Dharma Malang menyatakan bahwa proses formal yang ditempuh melalui pendidikan yang tinggi dalam praktek pola asuhnya tampak lebih sering membaca artikel maupun mengikuti kemajuan mengenai perkembangan dalam mengasuh anak mereka.
Hasil penelitian menunjukan bahwa mayoritas keluarga yang menerapkan pola asuh demokratif berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 25 orang (89,3%) dan karakteristik pekerjaan paling banyak pada item dll (ibu rumah tangga, mahasiswa, notaris) sebanyak 17 orang (60,7%) dengan mayoritas adalah ibu rumah tangga. Perempuan mempunyai status sebagai ibu rumah tangga dan melaksanakan semua pekerjaan yang berkaitan dengan rumah tangga seperti merawat, mendidik dan mengasuh anak. Hal ini sejalan dengan penelitian Yanti (2011) menyatakan bahwa pekerjaan adalah salah satu faktor yang memperngaruhi pembentukan pola asuh, orang tua yang tidak atau kurang memperhatikan pendidikan anaknya dikarenakan terlalu sibuk dengan pekerjaannya dapat mengakibatkan anak tidak atau kurang berhasil dalam belajarnya sehingga mendapatkan hasil yang kurang memuaskan dalam belajarnya. Peneliti mengasumsikan bahwa keluarga yang menerapkan pola asuh
demokratif rata-rata sebagai ibu rumah tangga yang berarti pekerjaan ibu rumah tangga tidak terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga ibu rumah tangga dapat memperhatikan setiap perkembangan yang terjadi pada anaknya khususnya anak tunagrahita.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mayoritas tingkat penghasilan keluarga dengan pola asuh demokratif memiliki penghasilan keluarga di atas UMR yaitu Rp. > 1.851.500,- sebanyak 22 orang (78,6%). Peneliti mengasumsikan bahwa keluarga yang berpendapatan yang lebih tinggi akan lebih mudah dalam memenuhi kebutuhan anaknya khususnya pada anak tunagrahita. Pada anak tunagrahita memerlukan pendidikan khusus untuk mendidik dan melatihnya, untuk itu dibutuhkan juga biaya yang tinggi dalam memberikan pendidikan pada anak tunagrahita. Hal ini sejalan dengan penelitian Afriani, dkk (2012) dalam Yusuf (2013) menyatakan bahwa tingkat sosial ekonomi sangat mempengaruhi pola asuh yang dilakukan oleh suatu masyarakat, rata-rata keluarga dengan sosial ekonomi yang cukup baik akan memilih pola asuh yang sesuai dengan perkembangan anak.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga dengan pola asuh demokratis yang selalu mendampingi anak saat bersosialisasi (27,3%) dan keluarga selalu mengawasi anak ketika bermain (36,4%), menurut pendapat Gunarsa (2002) keluarga khususnya orangtua mempunyai peranan yang sangat penting dalam menjaga, mengajar, mendidik, serta memberikan contoh bimbingan kepada anak-anak untuk mengetahui, mengenal, mengerti, dan akhirnya dapat
menerapkan tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga sering memperhatikan setiap perkembangan anak (66,7%) dan keluarga selalu bermusyawarah tentang setiap sikap perkembangan yang terjadi pada anak (54,5%), pernyataan ini didukung oleh pendapat Nirwana (2013) yang menyatakan bahwa setiap perkembangan anak merupakan suatu proses yang kompleks, tidak dapat terbentuk hanya dari dalam diri saja, tetapi juga lingkungan tempat tinggal anak. Lingkungan yang pertama dan paling berpengaruh adalah lingkungan keluarga, dimana orangtua sangat berperan didalamnya .
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa keluarga selalu terlibat langsung pada perawatan diri anak (39,4%), menurut Wall (1993) dalam Prasetyo (2012) berpendapat bahwa anak atau individu yang mengalami retardasi mental memerlukan bantuan orang lain dalam aktivitasnya untuk menunjang hubungan dengan individu lain agar dapat berjalan lancar.
Hasil penelitian juga didapatkan bahwa keluarga sering menunjukkan sikap sabar apabila anak tunagrahita melakukan kesalahan sebanyak (54,5%), dan keluarga selalu ikut mengarahkan apabila anak melakukan kesalahan (48,5%). Menurut Mahdalena (2008) menyatakan bahwa keterbatasan yang dimiliki oleh anak cacat membawa pengaruh terhambatnya proses penyesuaian diri pada lingkungan sosial. Pengasuhan anak cacat secara khusus diharapkan dapat membangun rasa kepercayaan dirinya dan dapat bersosialisasi dengan lingkungannya. Pengasuhan yang tepat untuk anak cacat tersebut yaitu berupa
bentuk perhatian, memperlakukan anak dengan baik, dan melatihnya dengan kesabaran agar anak tersebut merasa bahwa dirinya telah diterima dengan baik oleh lingkungan masyarakat.
Hasil penelitian juga ada yang menunjukkan bahwa dari 33 keluarga, ada 3 keluarga yang menerapkan pola asuh permisif dan 2 keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter. Pola asuh permisif dan otoriter merupakan pola asuh yang tidak baik diterapkan pada anak yang berkebutuhan khusus seperti anak tunagrahita karena anak tunagrahita memerlukan perhatian yang khusus dalam merawat, mengasuh dan mendidik anak. Menurut Baumrind (1991) menyatakan bahwa pola permisif merupakan pola asuh yang cenderung sedikit memberikan bimbingan kepada anak bahkan cenderung tidak memperingati anak apabila anak sedang dalam bahaya dan pola asuh otoriter merupakan pola asuh yang tidak mengerti mengenai anaknya yang cenderung memaksa, memerintah dan menghukum..
Keluarga yang menerapkan pola asuh permisif diketahui pada hasil penelitian menunjukkan ada 1 orang responden yang memiliki tingkat pendidikan SMP (33,3%). Peneliti mengasumsikan bahwa tingkat pendidikan SMP merupakan jenjang pendidikan yang belum mampu secara kognitif untuk menerapkan pola asuh yang baik dalam mendidik anak tunagrahita. Hal ini terkait dengan penelitian Suci, dkk (2011) di SLB-C Sumber Dharma Malang menyatakan bahwa keluarga yang memiliki latar belakang pendidikan rendah yang sering menunjukkan kurang pengertian pada anak dan cenderung mendominasi anak.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebanyak 2 orang dari 3 orang yang menerapkan pola asuh permisif memiliki pekerjaan pada item dan lain-lain yaitu ibu rumah tangga. Hal ini bertolak belakang yang dimana biasanya ibu rumah tangga memiliki waktu luang yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak tunagrahita di rumah. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh psikologis atau penentuan sikap ibu dalam mendidik dan mengasuh anak berbeda-beda pada setiap orang. Menurut Afrianni, dkk (2012) dalam Yusuf (2013) menyatakan bahwa psikologis seseorang juga mempengaruhi cara dalam mendidik dan mengasuh anak dan juga berdampak pada perkembangan kepribadian anak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga sering tidak membimbing anaknya ketika memperoleh hal baru (54,5%), keluarga selalu mempercayakan perkembangan anak kepada guru yang mengajarnya (42,4%), keluarga selalu membatasi jam bermain anak (60,6%) dan keluarga selalu membimbing anak ketika sedang bermain dengan teman-temannya (57,6%), menurut pernyataan Anonim (2011) dalam Bahrul, dkk (2012) menyatakan bahwa member kebebasany ang berlebihan, apalagi terkesan membiarkan, akan membuat si anak bingung dan berpotensi salah arah dan hasilnya anak akan menjadi tidak patuh, manja, kurang mandiri, dan kurang percaya diri.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden yang menerapkan pola asuh otoriter memiliki anak dengan jenis ketunagrahitaan sedang. Peneliti mengasumsikan bahwa anak tunagrahita berbeda dengan anak normal lainnya. Anak tunagrahita memiliki IQ di bawah anak normal, maka keluarga sering memaksakan kehendaknya pada anak tunagrahita untuk dapat
berperilaku seperti anak lainnya dan dapat diterima di lingkungan sekitar oleh teman sebaya. Hal ini didukung oleh pendapat Dentler & Mackler (dalam Kemis & Rosnawati, 2013) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara IQ anak dengan penerimaan sosial di lingkungannya oleh teman sebaya. Semakin tinggi IQ seorang anak, semakin populer diterima oleh kelompok teman sebaya. Penolakan teman sebaya terhadap anak tunagrahita dikarenakan anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam hal belajar ketrampilan sosial yang diperlukan dalam pergaulan. Penolakan menyebabkan munculnya penyimpangan pola penyesuaian diri anak tunagrahita karena kehadirannya ditolak dan secara diisolasi.
Berdasarkan analisis data yang dilakuan tentang bentuk pola asuh keluarga yang memiliki anak tunagrahita di YPAC Medan yang tergambar dari hasil kuisioner terhadap beberapa keluarga, dimana bentuk pola asuh yang dominan diterapkan oleh keluarga yang memiliki anak tunagrahita adalah bentuk pola asuh demokratif dan ada juga keluarga yang menerapkan pola asuh permif dan otoriter.