• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Asuh Keluarga yag Memiliki Anak Tunagrahita di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pola Asuh Keluarga yag Memiliki Anak Tunagrahita di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

POLA ASUH KELUARGA YANG MEMILIKI ANAK

TUNAGRAHITA DI YAYASAN PEMBINAAN ANAK

CACAT(YPAC) MEDAN

SKRIPSI

Oleh

ELZA CAROLINA SIMARMATA 101101067

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Pola Asuh Keluarga yag Memiliki Anak Tunagrahita di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan”. Skripsi penelitian ini ditulis untuk menyelesaikan tugas akhir dan mendapatkan gelar sarjana Keperawatan Fakultas Keperawatan.

Selama penyelesaian skripsi penelitian ini penulis telah banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil. Pada kesempatan ini penlis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan

USU

2. Ibu Eryunita Lubis S.kep, Ns selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan, petunjuk, dan saran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. Ibu Siti Zahara Nasution S.Kp, MNS selaku dosen penguji I yang telah

banyak memberikan kritik dan saran dalam penulisan proposal ini.

4. Ibu Yesi Ariani S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen penguji IIyang telah

banyak memberi kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini.

5. Ibu Sri Eka Wahyuni S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen pembimbing

akademik yang telah membimbing penulis selama belajar di Fakultas Keperawatan USU.

6. Terima kasih tiada tara penulis persembahkan kepada kedua orang tua

penulis, Bapak Juniar Simarmata dan Ibu Amida Siringo-ringo yang telah membesarkan dengan penuh kasih sayang dan selalu mendoakan serta memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan. Serta kakak dan adik tercinta Rika Oktaviana Simarmata dan Kristina Simarmata

7. Kepada semua sahabat – sahabat yang telah banyak membantu dalam

menyelesaikan skripsi ini khususnya Widyastuti, Cecilia Sevenwita, Cut Nirwana, Chabz dan Valentino Sitepu yang telah member inspirasi dan motivasi bagiku.

8. Kepada Bapak Suratno dan Suster Grace yang telah memberi izin

penelitian kepada penulis.

9. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara.

10.Kepada seluruh keluarga yang sudah bersedia menjadi responden

(4)

11.Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberi bantuan dalam terlaksananya penelitian dan penulisan proposal skripsi ini.

Penulis berhadap semoga Skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmad dan karunia-Nya kepada kita semua, Amin.

Medan, Juli 2014

(5)

DAFTAR ISI

1.3Tujuan Penelitian ... 4

1.4Manfaat Penelitian ... 4

1.4.1 Bagi Pendidikan Keperawatan ... 4

1.4.2 Bagi Masyarakat ... 4

1.4.3 Bagi Penelitian Selanjutnya ... 4

Bab 2 KAJIAN PUSTAKA ... 5

2.1 Pola Asuh Keluarga ... 5

2.1.1 Definisi Pola Asuh Keluarga ... 6

2.1.2 Macam-macam Pola Asuh ... 6

2.1.3 Syarat Pola Asuh Efektif ... 8

2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Pola Asuh ... 10

2.1.5 Karakteristik Anak Berdasarkan Pola Asuh ... 13

2.2 Tunagrahita ... 14

2.2.1 Definisi Tunagrahita ... 14

2.3.2 Klasifikasi Anak Tunagrahita ... 16

2.3.3 Penyebab Tunagrahita ... 17

2.2.4 Karakteristik Anak Tunagrahita ... 20

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 21

3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 21

3.2 Defenisi Operasional ... 22

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ... 24

4.1 Desain Penelitian ... 24

4.2 Populasi dan Sampel ... 24

4.2.1 Populasi ... 24

4.2.2 Sampel ... 24

4.3 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 25

4.4 Etika Penelitian ... 25

4.5 Instrumen Penelitian ... 26

4.5.1 Kuisioner ... 26

(6)

4.6Pengumpulan Data ... 28

4.7 Analisis Data ... 29

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

5.1 Hasil Penelitian ... 30

5.2 Pembahasan Pola Asuh Keluarga yang Memiliki Anak Tunagrahita ... 44

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

6.1 Kesimpulan ... 51

6.2 Saran ... 51

6.2.1 Pendidikan Keperawatan ... 51

6.2.2 Masyarakat ... 51

6.2.3 Peneliti Selanjutnya ... 52

Daftar Pustaka ... 53 Lampiran

Informed Consent

• Lembar Validitas

• Tabulasi Data

• Reliabilitas

• Taksasi Dana

• Surat penelitian

• Jadwal tentative penelitian

• Kuesioner Penelitian

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Operasional...22 Tabel 5.1.1 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden...31 Tabel 5.1.2 Pola Asuh Responden yang Memiliki Anak Tunagrahita di YPAC

Medan...32 Tabel 5.1.3 Distribusi frekuensi dan persentase karekteristik responden

yang menerapkan pola asuh demokratif...33

Tabel 5.1.4 Distribusi frekuensi dan persentase karekteristik responden

yang menerapkan pola asuh permisif...35 Tabel 5.1.5 Distribusi frekuensi dan persentase karekteristik responden

yang menerapkan pola asuh otoriter...37 Tabel 5.1.6. Distribusi frekuensi dan persentase pola asuh orang keluarga yang

memiliki anak tunagrahita berdasarkan pernyataan pola asuh

demokratif………..………39

Tabel 5.1.7. Distribusi frekuensi dan persentase pola asuh orang keluarga yang

memiliki anak tunagrahita berdasarkan pernyataan pola asuh

permisif………..……41

Tabel 5.1.8. Distribusi frekuensi dan persentase pola asuh orang keluarga yang

memiliki anak tunagrahita berdasarkan pernyataan pola asuh

(8)

DAFTAR SKEMA

(9)

Judul : Pola Asuh Keluarga yang Memiliki Anak Tunagrahita di

Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan

Nama : Elza Carolina Simarmata

NIM : 101101067

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Abstrak

Pola pengasuhan pada setiap anak berbeda-beda karena orang tua dan keluarga mempunyai pola asuh tertentu. Pada masa ini keluarga dan lingkungan mempunyai peran besar dalam perkembangan anak sehingga anak dapat menjalani proses perkembangan yang baik. Pola asuh dan peran aktif keluarga dalam perkembangan anak sangat diperlukan terutama pada anak tunagrahita. Pola asuh merupakan pola interaksi antara anak dengan keluarga yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik dan kebutuhan psikologis, tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi tipe pola asuh keluarga yang memiliki anak tunagrahita di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan. Sampel pada penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anak tunagrahita dan sedang berada di YPAC Medan pada saat penelitian. Pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling dan dengan jumlah sampel sebanyak 33 responden. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode angket (kuisioner). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki pola asuh yang otoriter sebanyak 2 responden (6,06%), yang memiliki pola asuh demokratif yaitu sebanyak 28 responden (84,85%), dan yang memiliki pola asuh permisif yaitu sebanyak 3 responden (9,09%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden di YPAC Medan memiliki pola asuh demokratif pada anak tunagrahita.

(10)

Title : Parenting Styles of Families Having Children with Mental Retardation in Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan

Name : Elza Carolina Simarmata

NIM : 101101067

Major : Sarjana Keperawatan (S.Kep) / Bachelor of Nursing

Abstract

Parenting style for every child is different because parents and families have their own styles of parenting. Nowadays, the family and the environment have a major role in the development of the child so that the child can live a good development process. Parenting styles and family support in child development are needed especially a child with mental retardation. Parenting is a pattern of interaction between children and families which includes not only the physical and psychological needs, but also the norms prevailing in the society. This study is a descriptive study which aims to identify the types of the parenting styles on children with mental retardation in Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan. The samples of the study are the families who have children with mental retardation and were in YPAC when the study was being done. The sampling was done by using purposive sampling and there were 33 respondents. Data collection method used was a questionnaire method (questionnaire). The results showed that there were 2 respondents (6,1%) who used authoritative parenting, 28 respondents (84.8%) used democratic parenting, and 3 respondents (9.1%) used permissive parenting. So, it can be concluded that the majority of the respondents in YPAC Medan used democratic parenting on children with mental retardation.

(11)

Judul : Pola Asuh Keluarga yang Memiliki Anak Tunagrahita di

Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan

Nama : Elza Carolina Simarmata

NIM : 101101067

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Abstrak

Pola pengasuhan pada setiap anak berbeda-beda karena orang tua dan keluarga mempunyai pola asuh tertentu. Pada masa ini keluarga dan lingkungan mempunyai peran besar dalam perkembangan anak sehingga anak dapat menjalani proses perkembangan yang baik. Pola asuh dan peran aktif keluarga dalam perkembangan anak sangat diperlukan terutama pada anak tunagrahita. Pola asuh merupakan pola interaksi antara anak dengan keluarga yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik dan kebutuhan psikologis, tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi tipe pola asuh keluarga yang memiliki anak tunagrahita di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan. Sampel pada penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anak tunagrahita dan sedang berada di YPAC Medan pada saat penelitian. Pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling dan dengan jumlah sampel sebanyak 33 responden. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode angket (kuisioner). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki pola asuh yang otoriter sebanyak 2 responden (6,06%), yang memiliki pola asuh demokratif yaitu sebanyak 28 responden (84,85%), dan yang memiliki pola asuh permisif yaitu sebanyak 3 responden (9,09%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden di YPAC Medan memiliki pola asuh demokratif pada anak tunagrahita.

(12)

Title : Parenting Styles of Families Having Children with Mental Retardation in Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan

Name : Elza Carolina Simarmata

NIM : 101101067

Major : Sarjana Keperawatan (S.Kep) / Bachelor of Nursing

Abstract

Parenting style for every child is different because parents and families have their own styles of parenting. Nowadays, the family and the environment have a major role in the development of the child so that the child can live a good development process. Parenting styles and family support in child development are needed especially a child with mental retardation. Parenting is a pattern of interaction between children and families which includes not only the physical and psychological needs, but also the norms prevailing in the society. This study is a descriptive study which aims to identify the types of the parenting styles on children with mental retardation in Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan. The samples of the study are the families who have children with mental retardation and were in YPAC when the study was being done. The sampling was done by using purposive sampling and there were 33 respondents. Data collection method used was a questionnaire method (questionnaire). The results showed that there were 2 respondents (6,1%) who used authoritative parenting, 28 respondents (84.8%) used democratic parenting, and 3 respondents (9.1%) used permissive parenting. So, it can be concluded that the majority of the respondents in YPAC Medan used democratic parenting on children with mental retardation.

(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama dan utama bagi anak

sehingga memberi pengaruh terbesar bagi perkembangan anak (Somantri,2006).

Keluarga terutama ayah dan ibu memberikan dasar pembentukan tingkah laku,

watak, moral dan pendidikan anak. Pengalaman interaksi di dalam keluarga akan

menentukan pola dan tingkah laku anak terhadap orang lain dalam masyarakat

(Soetjiningsih, 2005). Orang tua selalu mempunyai pengaruh yang paling kuat

pada anak. Setiap orang tua mempunyai gaya tersendiri dalam hubungannya

dengan anak-anaknya,dan ini mempengaruhi perkembangan sosial anak

(Djiwandono,2003).

Kenyataan yang terjadi di masyarakat tentang pengasuhan anak

berkebutuhan khusus yaitu banyak keluarga yang justru menyembunyikan

anaknya yang berkebutuhan khusus dan membiarkannya tanpa dilatih

keterampilan sedikit pun. Keluarga terkesan menutup diri dari lingkungan,

sehingga anak menjadi tidak mandiri dan pada akhirnya tidak dapat menyesuaikan

diri dengan lingkungan. Tetapi ada pula keluarga yang justru memberikan

dukungan yang besar karena merasa bahwa anak berkebutuhan khusus pun perlu

diangkat harkat dan martabatnya di masyarakat. Salah satu caranya adalah melatih

(14)

kondusif di masyarakat bahwa mereka adalah kelompok yang membutuhkan

(Wirawan, 2008).

Halllahan & Kauffman (2006) dalam Susanandari (2009) menjelaskan

bahwa anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang membutuhkan

pendidikan dan pelayanan khusus untuk mengembangkan segenap potensi yang

mereka miliki. Para anak berkebutuhan khusus mungkin saja mengalami

gangguan atau ketunaan, seperti gangguan fisik (tunadaksa), penglihatan

(tunanetra), komunikasi, pendengaran (tunarungu), kesulitan belajar (tunalaras),

atau mengalami retardasi mental (tunagrahita).

Menurut Maramis (2008), penderita tunagrahita di Indonesia diperkirakan

1-3%, yang terdapat di kota dan di desa, dikalangan atas dan rakyat jelata, dalam

keluarga terpelajar dan keluarga kurang terdidik, baik dalam keluarga kaya

maupun miskin. Tunagrahita banyak ditemukan pada anak yang berusia 5-6 tahun,

dan puncaknya pada golongan remaja umur 15 tahun (Surapratiknya, 1995).

Prevalensi tunagrahita di Indonesia hingga saat ini belum diketahui secara pasti.

Sekitar 3% dari populasi umum mempunyai Intelegensia (IQ) kurang dari

simpang baku dibawah rata-rata yaitu 70. Diperkirakan bahwa 80-90% individu

dalam populasi adalah tunagrahita dalam kisaran ringan, sementara hanya 5%

populasi dengan tunagrahita yang gangguannya berat sampai sangat berat.

Sedangkan sisanya adalah tunagrahita dalam kisaran sedang (Nelson, 2000).

Menurut penelitian Adelia (2012), menunjukkan pola asuh anak retardasi

mental di SLB Kota Padang di tempat penelitian ini hamper sebagian keluarga

(15)

telah mampu menerapkan pola asuh yang baik pada anak. Pola asuh yang tepat

akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak. Pola asuh merupakan

pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu

ke waktu. Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua mencakup perilaku mengasuh,

merawat, memenuhi kebutuhan makanan bergizi dan pemenuhan akan kasih

sayang. Pola asuh didalamnya juga mengandung unsur pemenuhan kebutuhan

fisik maupun psikis pada anak (Dasilva, 2012).

Berdasarkan survey awal dan interview yang dilakukan tanggal 21

Desember 2013, jumlah penyandang tunagrahita di YPAC Medan yaitu 110

orang. Dari jumlah anak-anak tunagrahita yang didapat, dimana 40% dari

keluarga mereka masih berperan aktif dalam pengasuhan anaknya dengan

mendampingi dan mengawasi anaknya sampai kegiatan belajar selesai. Dan

menurut wawancara dengan beberapa guru di YPAC, anak-anak tunagrahita

memiliki latar belakang keluarga yang berbeda dan cara pengasuhan yang

berbeda. Misalnya ada anak yang dilarang bermain dengan anak normal lainnya

serta mendampingi anaknya bersosialisasi dengan anak lainnya dan sebaliknya.

Dan berdasarkan wawancara 2 keluarga di YPAC Medan, mereka memarahi anak

ketika tidak sengaja merusak barang.

Dari uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang pola asuh keluarga yang memiliki anak tunagrahita di YPAC Medan.

(16)

Dari uraian di atas maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah

“Bagaimana pola asuh keluarga yang memiliki anak tunagrahita di YPAC

Medan?”.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah utuk mengidentifikasi pola asuh

keluarga yang memiliki anak tunagrahita di YPAC Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Pendidikan Keperawatan

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah informasi dan

pengetahuan bagi pendidikan keperawatan khususnya keperawatan keluarga

mengenai pola asuh keluarga yang memiliki anak tunagrahita.

1.4.2 Bagi Masyarakat

Dasar penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang

gambaran pola asuh keluarga yang memiliki anak tunagrahita.

1.4.3 Bagi Peneliti yang Akan Datang

Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan

perbandingan apabila ada peneliti yang ingin melakukan penelitian dengan konsep

(17)

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pola Asuh Keluarga

2.1.1 Definisi Pola Asuh Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari atas kepala

keluarga dan beberapa orang yang berkumpul serta tinggal disuatu tempat

dibawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI, 1998 dalam

Santun S & Agus Citra D, 2008).

Menurut Friedman, 1998 dalam Santun S & Agus Citra D, (2008) keluarga

merupakan kesatuaan dari orang-orang yang terikat dalam perkawinan, ada

hubungan darah, atau adopsi dan tinggal dalam satu rumah.

Pola asuh adalah bentuk-bentuk yang diterapkan dalam rangka merawat,

memelihara, membimbing dan melatih dan memberikan pengaruh (Tarmuji,

2004). Pola pengasuhan anak adalah perilaku yang dipraktekkan oleh pengasuh

(bapak, ibu, nenek, keluarga, pengasuh) dalam memberikan pemeliharaan

kesehatan, memberikan stimulasi, serta dukungan emosional yang dibutuhkan

anak untuk pertunbuhan dan perkembangan (Husaini, 2000).

Pola asuh adalah pola interaksi antara anak dengan keluarga yang meliputi

bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik dan kebutuhan psikologis, tetapi juga

norma-norma yang berlaku di masyarakat (Gunarsa, 2002).

Taganing (2008), mengatakan bahwa pola asuh merupakan suatu

(18)

mengasuh anak. Pola asuh merupakan pola interaksi antara anak dengan keluarga

bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lain‐lain)

dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang, dan lain‐lain), tetapi

juga mengajarkan norma‐norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat

hidup selaras dengan lingkungan.

2.1.2 Macam-macam Pola Asuh

Menurut Baumrind (1991), terdapat empat macam pola asuh yaitu:

1. Pola Asuh Demokratis, yaitu pola asuh yang memprioritaskan kepentingan

anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orangtua dalam

pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau

pemikiran-pemikiran. Pada tipe ini juga bersikap realistis terhadap

kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan terhadap kemampuan anak.

Tipe ini juga member kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan

suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.

2. Pola Asuh Otoriter yaitu pola asuh yang cenderung menetapkan standar yang

mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Tipe ini

cenderung memaksa, memerintah dan menghukum. Orangtua tipe ini juga

tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi bersifat satu arah. Dan

pada tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti

mengenai anaknya.

3. Pola Asuh Permisif yaitu pola asuh yang memberikan pengawasan yang

(19)

apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang

diberikan oleh orangtua kepada anaknya. Namun pada tipe ini biasanya

bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.

4. Pola Asuh Penelantar, umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat

minim kepada anak-anaknya. Waktu yang dimiliki orangtua atau keluarga

banyak yang digunakan untuk kepribadian mereka. Termasuk dalam tipe ini

adalah perilaku secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi.

Hurlock (1999) membagi bentuk pola asuh menjadi tiga macam pola asuh,

yaitu:

1. Pola Asuh Demokratis yaitu pola asuh yang memprioritaskan kepentingan

anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Keluarga pada

pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio dan

pemikiran-pemikiran. Keluarga tipe ini bersikap realistis terhadap

kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui

kemampuan anak. Keluarga juga memberikan kebebasan kepada anak untuk

memilih suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak yang bersikap

hangat.

2. Pola Asuh otoriter, cenderung menetapkan standar yang harus dituruti,

biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Apabila anak tidak mau

melakukan apa yang dikatakan oleh keluarga, maka keluarga pada tipe ini

tidak segan menghukum anak. Keluarga pada tipe ini juga tidak mengenal

(20)

3. Pola Asuh Permisif, memberikan pengawasan yang sangat longgar kepada

anak. Keluarga cenderung tidak menegur atau memperingati anak apabila

sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan kepada

mereka.

2.1.3 Syarat Pola Asuh Efektif

Menurut Shanti (2007) dalam Aprisanti (2010) agar pola asuh menjadi

efektif antara lain :

1. Pola asuh harus dinamis: harus sejalan dengan meningkatnya

pertumbuhan dan perkembangan anak, misalnya pola asuh batita berbeda

dengan pola asuh anak usia sekolah.

2. Pola asuh harus sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak, hal ini

dilakukan karena setiap anak memiliki minat dan bakat berbeda.

3. Ayah – ibu mesti kompak. Ayah dan ibu sebaiknya menerapkan pola asuh

yang sama. Dalam hal ini, kedua orang tua sebaiknya “berkompromi”

dalam menetapkan nilai – nilai yang boleh dan tidak boleh. Jangan sampai

orang tua saling bersebrangan karena hanya akan membuat anak

binggung..

4. Pola asuh disertai perilaku positif orang tua orang tua sehingga bisa

dijadikan contoh atau panutan bagi anaknya. Menanamkan nilai – nilai

kebaikan dengan disertai penjelasan yang mudah dipahami. Diharapkan

kelak anak bisa menjadi manusia yang memiliki aturan dan norma yang

(21)

5. Komunikasi efektif merupakan sub bagian dari pola asuh efektif.

Syaratnya sederhana meluangkan waktu untuk berbincang – bincang

dengan anak menjadi pendengar yang baik dan tidak meremehkan

pendapat anak. Dalam setiap diskusi orang tua dapat memberikan saran

atau meluruskan pendapat anak yang keliru sehingga anak lebih terarah

dan dapat mengembangkan potensi yang maksimal.

6. Disiplin, penerapannya harus fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan

kondisi anak misalnya dalam kondisi kelelahan jangan lantas diminta

mengerjakan tugas sekolah hanya karena saat itu merupakan waktunya

untuk belajar.

7. Orang tua konsisten, bisa menerapkan konsistensi sikap, misalnya anak tak

boleh minum air dingin kalau sedang terserang batuk. Tapi kalau anak

dalam keadaan sehat ya boleh-boleh saja. Dari situ ia belajar untuk

konsisten terhadap sesuatu. Yang penting setiap aturan mesti disertai

penjelasan yang bisa dipahami anak, kenapa ini tak boleh, kenapa itu

boleh. Lama-lama, anak akan mengerti atau terbiasa mana yang boleh dan

tidak. Orang tua juga sebaiknya konsisten. Jangan sampai lain kata dengan

perbuatan. Misalnya, ayah atau ibu malah minum air dingin saat sakit

batuk.

(22)

Pola asuh yang diberikan orang tua pada anak dapat berbeda-beda dan

dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Yang termasuk

faktor internal, misalnya latar belakang keluarga, usia, jenis kelamin keluarga dan

anak, pendidikan dan wawasan, karakter anak dan konsep peranan orang tua

dalam keluarga. Sedangkan yang termasuk faktor eksternal, misalnya tradisi yang

berlaku dalam lingkungan, sosial ekonomi lingkungan dan semua hal yang berasal

dari luar keluarga tersebut yang bisa mempengaruhi orang tua dalam menerapkan

pola asuhnya (Afriani, dkk (2012) dalam Yusuf, H (2013). Faktor-faktor tersebut

kemudian dijabarkan ke dalam beberpa poin, antara lain:

1. Usia

Umur merupakan indikator kedewasaan seseorang, semakin bertambah umur

semakin bertambah pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki mengenai

perilaku yang sesuai untuk mendidik anak.Anak-anak dengan orang tua usia

muda akan mendapatkan pengawasan yang lebih longgar karena dalam diri

orang tua usia muda cenderung memiliki sifat toleransi yang tinggi dan

memaklumi terhadap anak. Usia ibu muda juga dapat mempengaruhi sumber

daya yang tersedia untuk anak.

2. Jenis kelamin

Perbedaan gender pada keluarga akan ikut berpengaruh dalam cara mereka

mengasuh anak, hal ini mungkin disebabkan karena realisasi perbedaan dalam

bagaimana mereka berpikir dan berperilaku. Diantara ayah dan ibu, keduanya

memiliki keinginan untuk melakukan apa yang menurut mereka benar untuk

(23)

putrinya menjadi lebih tegas dan mahir dalam bersosialisasi dan seorang ayah

ingin anaknya menjadi, lebih fleksibel, tumbuh dengan tegas dan

berkepribadian kuat.

3. Pendidikan dan wawasan

Tingkat pendidikan dan pengetahuan dalam keluarga serta pengalaman sangat

berpengaruh dalam mengasuh anak. Pendidikan akan memberikan dampak

bagi pola pikir dan pandangan keluarga dalam mendidik anak. Pada keluarga

yang memiliki tingkat pendidikan dan wawasan yang tinggi akan

memperhatikan dan merawat anak sesuai dengan usia perkembangannya dan

akan menunjukkan penyesuaian pribadi dan sosial yang lebih baik yang akan

membuat anak memiliki pandangan positif terhdap orang lain dan masyarakat.

4. Kondisi sosial ekonomi

Tingkat sosial ekonomi sangat mempengaruhi pola asuh yang dilakukan oleh

suatu masyarakat, rata-rata keluarga dengan sosial ekonomi yang cukup baik

akan memilih pola asuh yang sesuai dengan perkembangan anak.

5. Kondisi psikologis

Psikologis juga mempengaruhi cara dalam mengasuh anak, keluarga yang

rentan terhadap emosi negatif, baik itu depresi, lekas marah, cenderung

berperilaku kurang peka dan lebih keras dari keluarga lainnya. Karakteristik

kepribadian keluarga juga berperan dalam mempengaruhi emosi yang mereka

alami, kognitif dan atribusi yang berdampak pada perkembangan kepribadian

anak.

(24)

Orang tua, terutama ibu yang bekerja di luar rumah dan memiliki lebih banyak

waktu di luar rumah, seringkali mempercayakan pengasuhan anak kepada

nenek, tante atau keluarga dekat lain. Bila tidak ada keluarga tersebut maka

biasanya anak dipercayakan pada pembantu (babysitter).Dalam tipe keluarga

seperti ini, anak memperoleh jenis pengasuhan yang kompleks sehingga

pembentukan kepribadian anak tidak sepenuhnya berasal dari pola asuh orang

tua.

7. Budaya.

Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat

dalam mengasuh anak.Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam

mendidik anak kearah kematangan.Orang tua mengaharapkan kelak anaknya

dapat diterima di masyarakat dengan baik.Oleh karena itu kebudayaan atau

kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang

tua dalam memberikan pola asuh pada anaknya.

2.1.5 Karakteristik Anak Berdasarkan Pola Asuh

Menurut Afriani, dkk (2012) dalam Yusuf, H. (2013), karakteristik anak

berdasarkan pola asuh di dalam keluarga terbagi tiga, yaitu:

1. Pola asuh otoriter.

Pola asuh otoriter ini dapat mengakibatkan anak menjadi penakut, pencemas,

menarik diri dari pergaulan, kurang adaptif, mudah curiga pada orang lain dan

mudah stress. Selain itu, orang tua seperti ini juga akan membuat anak tidak

percaya diri, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka

(25)

lingkungan sosialnya, bersikap menunggu dan tak dapat merencakan sesuatu

dengan baik.

2. Pola asuh demokratif.

Literatur yang ada telah mendokumentasikan bahwa pola asuh demokratif

secara signifikan terkait dengan hasil perkembangan yang positif antara

anak-anak. Baumrind dari hasil penelitiannya menemukan bahwa teknik-teknik

asuhan yang demokratif akan menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri

maupun mendorong tindakan-tindakan mandiri membuat keputusan sendiri

akan berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggung jawab.

3. Pola asuh permisif.

Pola asuh permisif ini dapat mengakibatkan anak agresif, tidak patuh pada

orang tua, merasa berkuasa dan kurang mampu mengontrol diri.Karakter anak

dengan pola asuh demikian menjadikan anak impulsif, manja, kurang mandiri,

mau menang sendiri, kurang percaya diri dan kurang matang secara sosial.

2.2 Tunagrahita

2.2.1 Definisi Tunagrahita.

Menurut Wardani, dkk. (2009) adapun peristilahan di Indonesia mengenai

penyandang tunagrahita, mengalami perkembangan, seperti berikut:

a) Lemah pikiran, lemah ingatan, digunakan sekitar tahun 1967

(26)

c) Tunagrahita, digunakan sejak tahun 1983 hingga sekarang dan diperkuat

dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 72/1991 tentang Pendidikan

Luar Biasa.

Beragamnya istilah yang digunakan disebabkan oleh perbedaan latar

belakang keilmuan dan kepentingan para ahli yang mengemukakannya. Namun

demikian, semua istilah tersebut tertuju pada pengertian yang sama, yaitu

menggambarkan kondisi terlambat dan terbatas nya perkembangan kecerdasan

seseorang sedemikian rupa jika dibandingkan dengan rata-rata atau anak pada

ummumnya disertai dengan keterbatasan dalam perilaku penyesuaian. Kondisi ini

berlangsung pada masa perkembangan.

Pemahaman yang jelas tentang siapa dan bagaimanakah anak tunagrahita

ini merupakan hal yang sangat penting untuk menyelenggarakan layanan

pendidikan dan pengajaran yang tepat bagi mereka. Berbagai definisi telah

dikemukakan oleh para ahli. Salah satu definisi yang diterima secara luas dan

menjadi rujukan utama ialah definisi yang dirumuskan Grossman (1983) dalam

Wardani,dkk. (2009), ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual umum

yang secara nyata (signifikan) berada di bawah rata-rata (normal) bersamaan

dengan kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian diri dan semua ini

berlangsung (termanifestasi) pada masa perkembangannya.

Dari definisi tersebut, beberapa hal yang perlu kita perhatikan adalah

sebagai berikut:

a) Fungsi intelektual umum secara signifikan berada di bawah rata-rata,

(27)

yang bersangkutan memerlukan layanan pendidikan khusus. Sebagai

contoh, anak nomal rata-rata mempunyai IQ (Intelligence Quotient) 100,

sedangkkan anak tunagrahita memiliki IQ paling tinggi 70.

b) Kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian (perilaku adaptif),

maksudnya bahwa yang bersangkutan tidak/kurang memiliki kesanggupan

untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan usianya. Ia

hanya mampu melakukan pekerjaan seperti yang dapat dilakukan oleh

anak yang usianya lebih muda darinya.

c) Ketunagrahitaan berlangsung pada periode perkembangan, maksudnya

adalah ketunagrahita itu terjadi pada usia perkembangan, yaitu sejak

konsepsi hingga usia 18 tahun.

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa untuk dikategorikan sebagai

penyandang tunagrahita, seseorang harus memiliki ketiga ciri-ciri tersebut.

Apabila seseorang hanya memiliki salah satu dari ciri-ciri tersebut maka yang

bersangkutan belum dapat dikategorikan sebgai penyandang tunagrahita.

2.2.2 Klasifikasi Anak Tunagrahita

Penting bagi Anda untuk memahami bahwa pada anak tunagrahita terdapat

perbedaan indiidual yang variasinya sagat besar. Artinya, berasa pada level usia

yang hampir sama serta jenjang pendidikan yang sama, kenyataannya kemampuan

individu berbeda satu dengan lainnya (Wardani, dkk. 2009).

Pengklasifikasian ini pun bermacam-macam sesuai dengan disiplin ilmu

maupun perubahan pandangan terhadap keberadaan anak tunagrahita. Klasifikasi

(28)

sedangkan klasifikasi yang dilakukan oleh kaum pendidik di Amerika adalah

educable mentally retarded (mampu didik), trainable mentally retarded (mampu

latih) dan totally/custodial dependent (mampu rawat). Pengelompokan yang telah

disebutkan itu telah jarang digunakan karena terlampau mempertimbangkan

kemampuan akademik seseorang.

Menurut Hallahan (1982) dalam Waradi,dkk., (2009), klasifikasi yang

digunakan sekarang adalah yang dikemukakan oleh AAMD (American

Association on Mental Deficiency)sebagai berikut:mild mental retardation

(tunagrahita IQ-nya 55-70, ringan), moderate mental retardaton (tunagrahita

IQ-nya 40-55, sedang), severe mental retardation (tunagrahita IQ-nya 25-40, berat),

profound mental retardation (tunagrahita IQ-nya dibawah 25, sangat berat).

Klasifikasi yang digunakan di Indonesia saat ini sesuai dengan PP 72

Tahun 1991 adalah sebagai berikut: tunagrahita ringan IQ-nya 50-70, tunagrahita

sedang IQ-nya 30-50, tuunagrahita berat dan sangat berat IQ-nya kurang dari 30.

Selain klasifikasi di atas ada pula pengelompokan berdasarkan kelainan

jasmani yang disebut tipe klinis. Tipe-tipe klinis yang dimaksud adalah sebagai

berikut:

1. Down Syndrome (Mongoloid), anak tunagrahita jenis ini disebut demikian

karena memiliki raut muka menyerupai orang Mongol dengan mata sipit

dan miring, lidah tebal suka menjulur ke luar, telinga kecil, kulit kasar,

susunan gigi kurang baik.

2. Kretin (Cebol), anak ini memperlihatkan ciri-ciri, seperti badan gemuk dan

(29)

keriput, rambut kering, lidah dan bibir, kelopak mata, telapak tangan dan

kaki tebal, pertumbuhan gigi terlambat.

3. Hydrochepal, anak ini memiliki ciri-ciri kepala besar, raut muka kecil,

pandangan dan pendengaran tidak sempurana, mata kadang-kadang juling.

4. Microchepal, anak ini memiliki ukuran kepala yang kecil

5. Macrochepal, memiliki ukuran kepala yang besar dari ukuran normal.

2.2.3 Penyebab Tunagrahita

Seseorang menjadi tunagrahita disebabkan oleh berbagai faktor. Para ahli

membagi faktor penyebab tersebut atas beberapa kelompok.

Strauss membagi faktor penyebab ketunagrahitaan menjadi dua gugus

yaitu endogen dan eksogen. Faktor endogen apabila letak penyebabnya pada sel

keturunan dan eksogen adalah hal-hal yang di luar sel keturunan, misalnya infeksi,

virus menyerang otak, benturan kepala yang keras, radiasi, dan lain-lain

(Moh.Amin, 1995 dalam buku Wardani, dkk. 2009).

Cara lain yang sering digunakan dalam pengelompokkan faktor penyebab

ketunagrahitaan adalah berdasarkan waktu terjadinya, yaitu faktor yang terjadi

sebelum lahir (prenatal); saat kelahiran (natal); dan setelah lahir (postnatal).

Berikut ini akan dibahas beberapa penyebab ketunagrahitaan yang sering

ditemukan baik yang berasal dari faktor keturunan maupun faktor lingkungan.

1.Faktor keturunan

Penyebab kelainan yang berkaitan dengan faktor keturunan meliputi

(30)

dilihat dari bentuknya dapat berupa inverse (kelainan yang menyebabkan

berubahnya urutan gene karena melilitnya kromosom; delesi (kegagalan

meiosis, yaitu salah satu pasangan tidak membelah sehingga terjadi

kekurangan kromosom pada salah satu sel); duplikasi (kromosom tidak

berhasil memisahkan diri sehingga terjadi kelebihan kromosom pada salah

satu sel yang lain); translokasi (adanya kromosom yang patah dan patahnya

menempel pada kromosom lain). Kelainan gene terjadi pada waktu mutasi,

tidak selamanya tampak dari luar (tetap dalam tingkat genotip).

2. Gangguan metabolisme dan gizi

Kelainan yag disebabkan oleh kegagalan metabolisme dan gizi, antara lain

phenylketonuria (akibat gangguan metabolisme asam amino) dengan gejala

yang tampak berupa: tunagrahita, kekurangan pigmen, kejang saraf, kelainan

tingkah laku ; gargoylism (kerusakan metabolisme saccharide yang menjadi

tempat penyimpanan asam mucopolysaccharide dalam hati, limpa kecil, dan

otak) dengan gejala yang tampak berupa ketidaknormalan tinggi badan,

kerangka tubuh yang tidak proposional, telapak tangan lebar dan pendek,

persendian kaku, lidah lebar dan menonjol dan tunagrahita ; cretinism

(keadaan hypohydroidism kronik yang terjadi selama masa janin atau saat

dilahirkan) dengan gejala kelainan yang tampak adalah ketidaknormalan fisik

yang khas dan ketunagrahitaan.

3. Infeksi dan keracunan

Keadaan ini disebabkan oleh terjangkitnya penyakit-penyakit selama janin

(31)

mengakibatkan ketunagrahitaan serta adanya kelainan pendengaran, penyakit

jantung bawaab, berat badab sangat kurang ketika lahir; syphilis bawaan;

syndrome gravidity beracun, hampir pada semua kasus berakibat

ketunagrahitaan.

4. Trauma dan zat radioaktif

Terjadinya trauma pada otak ketika bayi dilahirkan atau terkena radiasi zat

radioaktif saat hamil dapat mengakibatkan ketunagrahitaan. Trauma terjadi

pada saat dilahirkan biasanya disebabkan oleh kelahiran yang sulit sehingga

memerlukan alat bantu. Ketidaktepatan penyinaran atau radiasi sinar X selama

bayi dalam kandungan mengakibatkan cacat mental microsephaly.

5. Masalah pada kelahiran

Masalah yang terjadi pada saat kelahiran, misalnya kelahiran yang disertai

hypoxia yang dipastikan bayi akan menderita kerusakan otak, kejang, dan

napas pendek. Kerusakan juga dapat disebabkan oleh trauma mekanis

terutama pada kelahiran yang sulit.

6. Faktor lingkungan

Banyak faktor lingkungan yang diduga menjadi penyebab terjadinya

ketunagrahitaan. Studi yang dilakukan Kirk (Prasadio, 1982 dalam Wardani,

dkk., 2009) menemukan bahwa anak yang berasal dari keluarga yang tingkat

sosial ekonominya rendah menunjukkan kecenderungan mempertahankan

mentalnya pada taraf yang sama, bahkan prestasi belajarnya semakin

(32)

Latar belakang pendidikan orang tua sering juga dihubungkan dengan

masalah-masalah perkembangan. Kurangnya kesadaran orang tua akan

pentingnya pendidikan dini serta kurangnya pengetahuan dalam memberikan

rangsang positif dalam masa perkembangan anak menjadi salah satu penyebab

timbulnya gangguan.

2.2.4 Karakteristik Anak Tunagrahita

Menurut Kemis & Rosnawati (2013) karakteristik anak tunagrahita adalah

sebagai berikut: lamban dalam mempelajari hal-hal yang baru, kesulitan dalam

menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru, kemampuan bicara sangat

kurang bagi anak tunagrahita berat, cacat fisik dan perkembangan gerak, kurang

dalam kemampuan menolong diri sendiri, tingkah lakuinteraksi tidak lazim dan

(33)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konseptual dalam penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan

pola asuh keluarga yang memiliki anak.tunagrahita.

Bagan : Kerangka konsep pola asuh keluarga yang memiliki anak tunagrahita di

YPAC Medan.

Ket.

= Variabel yang diteliti Pola asuh keluarga yang memiliki anak tunagrahita

- Pola Asuh Otoriter

(34)

3.2 Definisi Operasional

No Variabel Defenisi

(35)
(36)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yaitu

metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk menggambarkan pola asuh

keluarga yang memiliki anak tunagrahita di Yayasan Pembinaan Anak Cacat

(YPAC) Medan.

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2010). Populasi

dalam penelitian ini adalah semua keluarga yang memiliki anak tunagrahita di

YPAC (Yayasan Pembinaan Anak Cacat) Medan yaitu 110 orang.

4.2.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan teknik tertentu

untuk dapat mewakili populasi. Sampel yang akan digunakan yaitu dengan teknik

purposive sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan sesuai dengan

kriteria sampel yang telah ditentukan (Hidayat, A. A. , 2011). Kriteria sampel

pada penelitian ini adalah keluarga yang mempunyai anak tunagrahita di YPAC

(37)

Menurut Arikunto (2005), jika peneliti memiliki beberapa ratus subjek

populasi, maka peneliti dapat menentukan kurang lebih 25-30% dari jumlah

populasi tersebut.

Sampel dalam penelitian ini adalah 30% dari 110 orang dengan rumus:

n= 30

100× 110

= 33 orang

Jadi sampel dalam penelitian ini adalah 33 orangtua yang memiliki anak

tunagrahita di YPAC Medan.

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di YPAC (Yayasan Pembinaan Anak Cacat) di Jl.

Adinegoro No.2 Medan. Adapun alasan pemilihan lokasi karena jumlah anak

tunagrahita di tempat penelitian banyak sehingga memungkinkan peneliti untuk

mendapatkan sampel. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2014.

4.4 Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin dari Komite Etik Fakultas

Keperawatan USU dan izin dari Ketua Yayasan YPAC Medan.Lembar

persetujuan diberikan kepada responden. Tujuannya adalah agar responden

mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta prosedur pelaksanaan penelitian.

Apabila calon responden bersedia, maka responden dipersilahkan untuk

(38)

maka calon responden berhak untuk menolak atau mengundurkan diri selama

proses pengumpulan data berlangsung. Peneliti tidak akan memaksa dan tetap

menghormati haknya.

Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak akan

mencantumkan nama subjek pada lembar pengumpulan data yang diisi oleh

peneliti. Lembar tersebut hanya diberi nomor kode tertentu. Kerahasiaan subjek

dijamin oleh peneliti.

4.5 Instrumen Penelitian

4.5.1 Kuesioner

Alat pengumpulan data berupa kuesioner yang terdiri dari dua bagian

berisi data demografi yang meliputi nama (inisial), usia, jenis kelamin, suku,

pendidikan terakhir , pekerjaan, penghasilan keluarga per bulan,nama anak

(inisial), jenis ketunagrahitaan anak, dan kuesioner pola asuh orangtua berupa

pernyataan yang dibuat oleh peneliti berdasarkan literatur yang ada yang terdiri

dari pernyataan nomor 1-7 pola asuh otoriter, pernyataan nomor 8-14 pola asuh

demokratif dan pernyataan nomor 15-21 pola asuh permisif.

4.5.2 Validitas dan Realibilitas Instrumen

Uji validitas bertujuan untuk mengetahui kemampuan instrumen untuk

mengukur apa yang harus diukur, mendapatkan data yang relevan dengan apa

yang diukur (Dempsey & Dempsey, 2002). Pada penelitian ini digunakan validitas

(39)

validitas instrumen ini akan dilakukan oleh dosen yang sesuai bidangnya yaitu

dosen Keperawatan Jiwa dan Komunitasdi Universitas Sumatera Utara.

Kuesioner penelitian ini disusun sendiri oleh peneliti. Oleh karena itu

penting untuk dilakukan uji reliabilitas. Uji reliabilitas instrumen ini bertujuan

untuk mengetahui sebeberapa besar derajat atau kemampuan alat ukur untuk

mengukur secara konsisten sasaran yang akan diukur. Untuk mengetahui

reliabilitas instrumen akan diuji cobakan kepada 20 keluarga yang memiliki anak

tunagrahita di SLB-C Santa Lusia Medan. Uji reliabilitas yang dilakukan

menggunakan uji Cronbach’s Alpha yaitu sebuah instrumen dikatakan reliable

apabila koefisien reliabilitasnya (r)>0,7 (Dempsey& Dempsey, 2002). Instrumen

pada penelitian ini sudah dinyatakan valid. Hasil uji reliabilitas pada pola asuh

otoriter 0,76 ; pola asuh demokratif 0,87 dan pola asuh permisif 0,722.

4.6 Pengumpulan Data

Prosedur yang dilakukan dalam pengumpulan data yaitu pada tahap awal

peneliti mengajukan ethical clearance kepada komisi etik peneletian kesehatan

(KEPK) Fakultas Keperawatan USU. Setelah mendapatkan ethical clearance,

kemudian permohonan izin yang telah diperoleh diajukan ke tempat penelitian

(YPAC Medan). Setelah mendapatkan izin dari YPAC Medan, peneliti

melaksanakan pengumpulan dan penelitian. Peneliti menentukan respondenyang

telah ditentukan. Setelah mendapatkan calon responden, selanjutnya peneliti

menjelaskan kepada responden tersebut tentang tujuan, manfaat dan proses

(40)

menandatangani surat persetujuan dan mengisi lembar kuesioner. Apabila ada

pertanyaan yang tidak dipahami, responden diberi kesempatan untuk bertanya.

Selesai pengisian, peneliti mengambil kuesioner yang telah diisi responden,

kemudian memeriksa kelengkapan data. Jika ada data yang kurang, dapat

langsung dilengkapi. Selanjutnya data yang telah terkumpul dianalisa.

4.7 Analisa Data

Setelah semua data terkumpul, dilakukan analisa data kembali dengan

memeriksa semua kuesioner apakah data dan jawaban sudah lengkap dan benar

(editing). Kemudian data diberi kode (coding) untuk memudahkan peneliti dalam

melakukan analisa data dan pengolahan data serta pengambilan kesimpulan data

yang dimasukkan ke dalam bentuk table. Entry data dilakukan dengan

menggunakan teknik komputerisasi. Tahap terakhir dilakukan cleaning dan entry

yakni pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam program

komputer guna menghindari terjadinya kesalahan. Analisis data dilakukan

menggunakan sistem komputerisasi yang disesuaikan, dengan langkah-langkah

bersifat univariat yaitu data yang bersifat kategori dicari frekuensi dan

proporsinya yakni data demografi keluarga meliputi; usia, jenis kelamin, suku,

pendidikan terakhir, pekerjaan, penghasilan keluarga per bulan, jenis

ketunagrahitaan anak, dan instrumen pola asuh yang berupa kuesioner. Berikutnya

(41)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Pada bab ini akan menguraikan hasil penelitian tentang pola asuh keluarga yang

memiliki anak tunagrahita di YPAC Medan melalui proses pengumpulan data

dari tanggal 09 Juni 2014 sampai 12 Juni 2014 dengan jumlah responden 33 orang

di YPAC Medan. Penyajian data hasil penelitian meliputi data demografi

responden dan kuisioner pola asuh keluarga yang memiliki anak tunagrahita di

YPAC Medan.

5.1.1. Karakteristik Responden dan Anak Tunagrahita

Berdasarkan hasil penelitian karakteristik responden paling banyak dengan

usia 36-45 sebanyak 12 orang (36,4%), dengan jenis kelamin reponden yang

mayoritas adalah perempuan 30 orang (90,9%), suku responden paling banyak

berasal dari suku Batak yaitu sebanyak 15 orang (45,5%) dengan tingkat

pendidikan pada umumnya adalah setingkat SMA yaitu sebanyak 16 orang

(48,5%), status pekerjaan paling dominan adalah item dll yang terdiri dari (Ibu

Rumah Tangga, Mahasiswa, Notaris) sebanyak 19 orang (57,6%), dan

penghasilan keluarga mayoritas diatas Rp. 1.851.500,- perbulan yaitu sebanyak

25 keluarga (75,8%). Berdasarkan karakteristik tingkat ketunagrahitaan yang

(42)

tentang karakteristik responden dan anak tungrahita dalam penelitian ini dapat

dilihat pada Tabel 5.1.1 berikut:

Tabel 5.1.1 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden yang

memiliki anak tunagrahita di YPAC Medan (n=33 orang)

(43)

5.1.2 Pola Asuh Keluarga yang Memiliki Anak Tunagrahita di YPAC Medan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas keluarga menerapkan pola

asuh yang demokratif sebanyak 28 orang (84,85%).

Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.1.2.1 dan 5.1.2.2 berikut:

Tabel 5.1.2. Pola Asuh Responden yang Memiliki Anak Tunagrahita di YPAC

Medan (n=33 orang).

Kategori Pola Asuh Frekuensi Persentase (%)

Demoktaif 28 84,8

Permisif 3 9,1

(44)

Tabel 5.1.3 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden yang

menerapkan pola asuh demokratif (n=28)

No. Data

4 Tingkat Pendidikan terakhir

SD 3 10,7

6 Penghasilan sebulan

<Rp. 1.851.500,- 6 21,4

>Rp. 1.851.500,- 22 78,6

7 Jenis Ketunagrahitaan Anak

Ringan 17 57,1

(45)

Hasil penelitian menunjukkan karakteristik responden dengan pola asuh

demokratif paling banyak dengan usia 36-45 sebanyak 8 orang (28,6%), dengan

jenis kelamin reponden yang mayoritas adalah perempuan 25 orang (89,3%),

suku responden paling banyak berasal dari suku Batak yaitu sebanyak 12 orang

(42,9%) dengan tingkat pendidikan pada umumnya adalah setingkat SMA yaitu

sebanyak 14 orang (50,0%), status pekerjaan paling dominan adalah item dll yang

terdiri dari (Ibu Rumah Tangga, Mahasiswa, Notaris) sebanyak 17 orang (60,7%),

penghasilan keluarga mayoritas diatas Rp. 1.851.500,- perbulan yaitu sebanyak

22 keluarga (78,6%), dan karakteristik tingkat ketunagrahitaan yang paling

(46)

Tabel 5.1.4 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden yang

menerapkan pola asuh permisif (n=3)

No. Data

2 Jenis Kelamin Responden

Perempuan 3 100

4 Tingkat Pendidikan terakhir

SD - -

6 Penghasilan sebulan

<Rp. 1.851.500,- 1 33,3

>Rp. 1.851.500,- 2 66,7

7 Jenis Ketunagrahitaan Anak

Ringan 1 33,3

(47)

Hasil penelitian menunjukkan karakteristik responden dengan pola asuh

permisif paling banyak dengan usia 36-45 sebanyak 2 orang (66,7%), dengan jenis

kelamin reponden yang mayoritas adalah perempuan 3 orang (100%), suku

responden paling banyak berasal dari suku Batak yaitu sebanyak 2 orang (66,7%)

dengan tingkat pendidikan pada umumnya adalah setingkat SD, SMP dan SMA

yaitu masing-masing sebanyak 1 orang (33,3%), status pekerjaan paling dominan

adalah item dll yang terdiri dari (Ibu Rumah Tangga, Mahasiswa, Notaris)

sebanyak 2 orang (66,7%), penghasilan keluarga mayoritas diatas Rp. 1.851.500,-

perbulan yaitu sebanyak 2 keluarga (66,7%), dan karakteristik tingkat

ketunagrahitaan yang paling banyak yaitu tingkat sedang sebanyak 2 orang

(48)

Tabel 5.1.5 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden yang

menerapkan pola asuh otoriter (n=2)

No. Data

2 Jenis Kelamin Responden

Perempuan 2 100

4 Tingkat Pendidikan terakhir

SD - -

6 Penghasilan sebulan

<Rp. 1.851.500,- 1 50,0

>Rp. 1.851.500,- 1 50,0

7 Jenis Ketunagrahitaan Anak

Ringan - -

(49)

Hasil penelitian menunjukkan karakteristik responden dengan pola asuh

otoriter semua berada pada rentang usia 36-45 sebanyak 2 orang, dengan jenis

kelamin reponden yang semua adalah perempuan 2 orang, suku responden

paling banyak berasal dari suku Batak dan Jawa yaitu masig-masing sebanyak 1

orang (50%) dengan tingkat pendidikan pada umumnya adalah setingkat SMA

dan Perguruan Tinggi yaitu masing-masing sebanyak 1 orang (50%), status

pekerjaan pada umumnya wiraswasta dan pegawai swasta yaitu masing-masing

sebanyak 1 orang (50%), penghasilan keluarga pada umunya di atas dan di bawah

UMR Rp. 1851.500,- yaitu masing-masing 1 orang (50%), dan semua keluarga

(50)

Tabel 5.1.6. Distribusi frekuensi dan persentase pola asuh orang keluarga yang

memiliki anak tunagrahita berdasarkan pernyataan pola asuh demokratif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang menerapkan pola asuh

demokratif kadang-kadang/sering atau selalu mendampingi anak ketika

bersosialisasi dengan anak-anak lainnya sebanyak 27,3%, keluarga sering

No. Pernyataan

Jawaban Responden

Tidak Pernah

Kadang-kadang Sering Selalu

F (%) F (%) F (%) F (%)

1

Keluarga selalu mendampingi anak saat bersosialisasi dengan

anak-anak lainnya 6 (18,2) 9 (27,3) 9 (27,3) 9 (27,3)

2

Keluarga selalu memperhatikan perkembangan yang terjadi pada

anak 2 (6,1) 9 (27,3) 22 (66,7) - -

3

Keluarg aselalu terlibat langsung dalam perawatan diri anak

3 (9,1) 9 (27,3) 8 (24,2) 13 (39,4)

4

Keluarga akan dengan sabar pada anak apabila ia melakukan kesalahan

9 (27,3) 6 (18,2) 18 (54,5) - -

5

Keluarga selalu mengawasi anak ketika bermain dengan

teman-temannya 1 (3,0) 12 (36,4) 8 (24,2) 12 (36,4)

6

Keluarga selalu bermusyawarah tentang setiap sikap perkembangan

anak 1 (3,0) 7 (21,2) 7 (21,2) 18 (54,5)

7

Keluarga ikut mengarahkan apabila anak melakukan

(51)

memperhatikan perkembangan yang terjadi pada anak sebanyak 66,7%, keluarga

selalu terlibat langsung pada perawatan diri anak sebanyak 39,4%, keluarga

dengan sabar pada anak apabila melakukan kesalahan sebanyak 54,5%, keluarga

kadang-kadang atau selalu mengawasi anak ketika bermain dengan temannya

sebanyak 36,4%, keluarga selalu bermusyawarah tentang setiap sikap

perkembangan anak sebanyak 54,5% dan sebanyak 48,5% keluarga selalu ikut

(52)

Tabel 5.1.7. Distribusi frekuensi dan persentase pola asuh orang keluarga yang

memiliki anak tunagrahita berdasarkan pernyataan pola asuh permisif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang menerapkan pola asuh

permisif sering tidak membimbing anak ketika ia memperoleh hal-hal baru dari

No. Pernyataan

Jawaban Responden

Tidak Pernah

Kadang-kadang Sering Selalu

F (%) F (%) F (%) F (%)

1

Keluarga tidak membimbing anak ketika ia memperoleh hal-hal

baru dari sekolahnya 4 (12,1) 11 (33,3) 18 (54,5) - -

2

Keluarga lebih sering berada di luar rumah dengan berbagai kegiatan yang dikerjakan daripada

mengurus anak 18 (54,5) 10 (30,3) 3 (9,1) 2 (6,1)

3

Keluarga mempercayakan perkembangan anak pada guru yang mengajarnya

2 (6,1) 10 (30,3) 7 (21,2) 14 (42,4)

4

Keluarga membiarkan anak saat ia melakukan sesuatu yang melukai dirinya

30 (90,9) 2 (6,1) 1 (3,0) - -

5 Keluarga tidak pernah membatasi

sampai jam berapa anak bermain 20 (60,6) 9 (27,3) 1 (3,0) 3 (9,1)

6 Keluarga selalu membiarkan apabila anak bersikap berontak

25 (75,8) 7 (21,2) 1 (3,0) - -

7 Keluarga tidak membimbing anak

ketika ia sedang bermain dengan

(53)

sekolahnya sebanyak 54,5%, keluarga tidak pernah lebih sering berada di luar

rumah daripada mengurus anak sebanyak 54,5%, keluarga kadang- kadang

mempercayakan perkembangan anak pada guru yang mengajarnya, keluarga tidak

pernah membiarkan anak saat ia melukai dirinya sebanyak 90,9%, keluarga selalu

membatasi sampai jam berapa anak bermain sebanyak 60,6%, keluarga tidak

pernah membiarkan anak ketika ia berontak sebanyak 75,8% dan sebanyak 57,6%

keluarga selalu membimbing anak ketika ia sedang bermain dengan

(54)

Tabel 5.1.8. Distribusi frekuensi dan persentase pola asuh keluarga yang

memiliki anak tunagrahita berdasarkan pernyataan pola asuh otoriter

Hasil penelitian menunjukan bahwa keluarga yang menerapkan pola asuh

otoriter tidak pernah memberikan hukuman kepada anak apabila perilakunya

membuat kesal sebanyak 51,5%, keluarga tidak pernah melarang untuk bermain

No. Pernyataan

Jawaban Responden

Tidak Pernah

Kadang-kadang Sering Selalu

F (%) F (%) F (%) F (%)

1

Keluarga memberi hukuman kepada anak apabila perilakunya

membuat kesal 17 (51,5) 14 (42,4) 1 (3) 1 (3)

2

Keluarga melarang anak untuk bermain dengan anak normal

lainnya 21 (63,6) 9 (27,3) 3 (9,1) - -

3

Keluarga akan melontarkan kata-kata yang kasar yang menyakiti si anak, apabila ia tidak berprilaku

sesuai yang diajarkan 26 (78,8) 7 (21,2) - - - -

4

Keluarga memberi larangan kepada anak apabila ia melakukan kesalahan dan keluarga tidak memberikan alasan apapun terhadap anak

12 (36,4) 16 (48,5) 5 (15,2) - -

5 Keluarga membiarkan anak tetap bermain ketika jam istirahat siang

15 (45,5) 15 (45,5) 3 (9,1) - -

6

Keluarga memarahi anak ketika ia tidak sengaja merusak barang di

rumah 11 (33,3) 19 (57,6) 3 (9,1) - -

7 Keluarga selalu mengatur jadwal bermain anak setiap hari

(55)

dengan anak normal lainnya sebanyak 63,6%, keluarga tidak pernah melontarkan

kata-kata kasar yang menyaiti si aanak apabila ia tidak berperilaku dengan sesuai

yang diajarkan sebanyak 78,8%, keluarga kadang-kadang memberikan larangan

kepada anak apabila membuat kesalahan dan tidak memberikan alasan apapun

sebanyak 48,5%, keluarga tidak pernah atau kadang membiarkan anak tetap

bermain ketika jam istirahat siang sebanyak 45,5%, keluarga kadang-kadang

memarahi anak ketika tidak sengaja merusak barang di rumah sebanyak 57,6%,

dan sebanyak 39,4% keluarga kadang-kadang mengatur jadwal bermain anak

setiap hari.

5.2. Pembahasan Pola Asuh Keluarga yang Memiliki Anak Tunagrahita Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pola asuh keluarga yang

memiliki anak tunagrahita menerapkan pola asuh demokratif sebanyak 28

responden (84,8%). Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa pola asuh

demokratis lebih kondusif daripada pola asuh otoriter dan permisif terhadap

perkembangan kognitif, keberhasilan/prestasi akademik dan juga kemampuan

psikososial (Nurul, 2011).

Hasil penelitian menunjukkan mayoritas rentang usia 36-45 tahun, dimana

pada rentang usia tersebut sudah dewasa untuk hal berpikir dan berperilaku dalam

mengasuh dan merawat anak. Hal ini didukung oleh penelitian Afriani, dkk (2012)

dalam Yusuf (2013) yang menyatakan bahwa semakin bertambah umur semakin

bertambah pula pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki mengenai perilaku

(56)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebahagian besar keluarga yang

menerapkan pola asuh demokratif memiliki latar belakang pendidikan rata-rata

SMA sebanyak 14 orang (50%). Peneliti mengasumsikan bahwa pendidikan SMA

merupakan jenjang pendidikan yg formal dimana seseorang telah dilatih belajar

secara mandiri untuk mendapatkan informasi dari luar untuk menyelesaikan

tugas-tugas pelajaran seperti artikel, makalah dan media cetak lainnya. Sejalan dengan

penelitian Suci, dkk (2011) di SLB-C Sumber Dharma Malang menyatakan

bahwa proses formal yang ditempuh melalui pendidikan yang tinggi dalam

praktek pola asuhnya tampak lebih sering membaca artikel maupun mengikuti

kemajuan mengenai perkembangan dalam mengasuh anak mereka.

Hasil penelitian menunjukan bahwa mayoritas keluarga yang menerapkan

pola asuh demokratif berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 25 orang

(89,3%) dan karakteristik pekerjaan paling banyak pada item dll (ibu rumah

tangga, mahasiswa, notaris) sebanyak 17 orang (60,7%) dengan mayoritas adalah

ibu rumah tangga. Perempuan mempunyai status sebagai ibu rumah tangga dan

melaksanakan semua pekerjaan yang berkaitan dengan rumah tangga seperti

merawat, mendidik dan mengasuh anak. Hal ini sejalan dengan penelitian Yanti

(2011) menyatakan bahwa pekerjaan adalah salah satu faktor yang

memperngaruhi pembentukan pola asuh, orang tua yang tidak atau kurang

memperhatikan pendidikan anaknya dikarenakan terlalu sibuk dengan

pekerjaannya dapat mengakibatkan anak tidak atau kurang berhasil dalam

belajarnya sehingga mendapatkan hasil yang kurang memuaskan dalam

(57)

demokratif rata-rata sebagai ibu rumah tangga yang berarti pekerjaan ibu rumah

tangga tidak terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga ibu rumah tangga dapat

memperhatikan setiap perkembangan yang terjadi pada anaknya khususnya anak

tunagrahita.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mayoritas tingkat penghasilan

keluarga dengan pola asuh demokratif memiliki penghasilan keluarga di atas

UMR yaitu Rp. > 1.851.500,- sebanyak 22 orang (78,6%). Peneliti

mengasumsikan bahwa keluarga yang berpendapatan yang lebih tinggi akan lebih

mudah dalam memenuhi kebutuhan anaknya khususnya pada anak tunagrahita.

Pada anak tunagrahita memerlukan pendidikan khusus untuk mendidik dan

melatihnya, untuk itu dibutuhkan juga biaya yang tinggi dalam memberikan

pendidikan pada anak tunagrahita. Hal ini sejalan dengan penelitian Afriani, dkk

(2012) dalam Yusuf (2013) menyatakan bahwa tingkat sosial ekonomi sangat

mempengaruhi pola asuh yang dilakukan oleh suatu masyarakat, rata-rata

keluarga dengan sosial ekonomi yang cukup baik akan memilih pola asuh yang

sesuai dengan perkembangan anak.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga dengan pola asuh

demokratis yang selalu mendampingi anak saat bersosialisasi (27,3%) dan

keluarga selalu mengawasi anak ketika bermain (36,4%), menurut pendapat

Gunarsa (2002) keluarga khususnya orangtua mempunyai peranan yang sangat

penting dalam menjaga, mengajar, mendidik, serta memberikan contoh bimbingan

(58)

menerapkan tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang

ada dalam masyarakat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga sering memperhatikan

setiap perkembangan anak (66,7%) dan keluarga selalu bermusyawarah tentang

setiap sikap perkembangan yang terjadi pada anak (54,5%), pernyataan ini

didukung oleh pendapat Nirwana (2013) yang menyatakan bahwa setiap

perkembangan anak merupakan suatu proses yang kompleks, tidak dapat

terbentuk hanya dari dalam diri saja, tetapi juga lingkungan tempat tinggal anak.

Lingkungan yang pertama dan paling berpengaruh adalah lingkungan keluarga,

dimana orangtua sangat berperan didalamnya .

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa keluarga selalu terlibat langsung

pada perawatan diri anak (39,4%), menurut Wall (1993) dalam Prasetyo (2012)

berpendapat bahwa anak atau individu yang mengalami retardasi mental

memerlukan bantuan orang lain dalam aktivitasnya untuk menunjang hubungan

dengan individu lain agar dapat berjalan lancar.

Hasil penelitian juga didapatkan bahwa keluarga sering menunjukkan

sikap sabar apabila anak tunagrahita melakukan kesalahan sebanyak (54,5%), dan

keluarga selalu ikut mengarahkan apabila anak melakukan kesalahan (48,5%).

Menurut Mahdalena (2008) menyatakan bahwa keterbatasan yang dimiliki oleh

anak cacat membawa pengaruh terhambatnya proses penyesuaian diri pada

lingkungan sosial. Pengasuhan anak cacat secara khusus diharapkan dapat

membangun rasa kepercayaan dirinya dan dapat bersosialisasi dengan

(59)

bentuk perhatian, memperlakukan anak dengan baik, dan melatihnya dengan

kesabaran agar anak tersebut merasa bahwa dirinya telah diterima dengan baik

oleh lingkungan masyarakat.

Hasil penelitian juga ada yang menunjukkan bahwa dari 33 keluarga, ada 3

keluarga yang menerapkan pola asuh permisif dan 2 keluarga yang menerapkan

pola asuh otoriter. Pola asuh permisif dan otoriter merupakan pola asuh yang tidak

baik diterapkan pada anak yang berkebutuhan khusus seperti anak tunagrahita

karena anak tunagrahita memerlukan perhatian yang khusus dalam merawat,

mengasuh dan mendidik anak. Menurut Baumrind (1991) menyatakan bahwa pola

permisif merupakan pola asuh yang cenderung sedikit memberikan bimbingan

kepada anak bahkan cenderung tidak memperingati anak apabila anak sedang

dalam bahaya dan pola asuh otoriter merupakan pola asuh yang tidak mengerti

mengenai anaknya yang cenderung memaksa, memerintah dan menghukum..

Keluarga yang menerapkan pola asuh permisif diketahui pada hasil

penelitian menunjukkan ada 1 orang responden yang memiliki tingkat pendidikan

SMP (33,3%). Peneliti mengasumsikan bahwa tingkat pendidikan SMP

merupakan jenjang pendidikan yang belum mampu secara kognitif untuk

menerapkan pola asuh yang baik dalam mendidik anak tunagrahita. Hal ini terkait

dengan penelitian Suci, dkk (2011) di SLB-C Sumber Dharma Malang

menyatakan bahwa keluarga yang memiliki latar belakang pendidikan rendah

yang sering menunjukkan kurang pengertian pada anak dan cenderung

(60)

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebanyak 2 orang dari 3 orang

yang menerapkan pola asuh permisif memiliki pekerjaan pada item dan lain-lain

yaitu ibu rumah tangga. Hal ini bertolak belakang yang dimana biasanya ibu

rumah tangga memiliki waktu luang yang lebih banyak untuk mengasuh dan

merawat anak tunagrahita di rumah. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh psikologis

atau penentuan sikap ibu dalam mendidik dan mengasuh anak berbeda-beda pada

setiap orang. Menurut Afrianni, dkk (2012) dalam Yusuf (2013) menyatakan

bahwa psikologis seseorang juga mempengaruhi cara dalam mendidik dan

mengasuh anak dan juga berdampak pada perkembangan kepribadian anak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga sering tidak membimbing

anaknya ketika memperoleh hal baru (54,5%), keluarga selalu mempercayakan

perkembangan anak kepada guru yang mengajarnya (42,4%), keluarga selalu

membatasi jam bermain anak (60,6%) dan keluarga selalu membimbing anak

ketika sedang bermain dengan teman-temannya (57,6%), menurut pernyataan

Anonim (2011) dalam Bahrul, dkk (2012) menyatakan bahwa member

kebebasany ang berlebihan, apalagi terkesan membiarkan, akan membuat si anak

bingung dan berpotensi salah arah dan hasilnya anak akan menjadi tidak patuh,

manja, kurang mandiri, dan kurang percaya diri.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden yang

menerapkan pola asuh otoriter memiliki anak dengan jenis ketunagrahitaan

sedang. Peneliti mengasumsikan bahwa anak tunagrahita berbeda dengan anak

normal lainnya. Anak tunagrahita memiliki IQ di bawah anak normal, maka

(61)

berperilaku seperti anak lainnya dan dapat diterima di lingkungan sekitar oleh

teman sebaya. Hal ini didukung oleh pendapat Dentler & Mackler (dalam Kemis

& Rosnawati, 2013) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif

antara IQ anak dengan penerimaan sosial di lingkungannya oleh teman sebaya.

Semakin tinggi IQ seorang anak, semakin populer diterima oleh kelompok teman

sebaya. Penolakan teman sebaya terhadap anak tunagrahita dikarenakan anak

tunagrahita mengalami kesulitan dalam hal belajar ketrampilan sosial yang

diperlukan dalam pergaulan. Penolakan menyebabkan munculnya penyimpangan

pola penyesuaian diri anak tunagrahita karena kehadirannya ditolak dan secara

diisolasi.

Berdasarkan analisis data yang dilakuan tentang bentuk pola asuh keluarga

yang memiliki anak tunagrahita di YPAC Medan yang tergambar dari hasil

kuisioner terhadap beberapa keluarga, dimana bentuk pola asuh yang dominan

diterapkan oleh keluarga yang memiliki anak tunagrahita adalah bentuk pola asuh

Gambar

Tabel 5.1.1 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden yang
Tabel 5.1.2. Pola Asuh Responden yang Memiliki Anak Tunagrahita di YPAC
Tabel 5.1.3 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden yang
Tabel 5.1.4 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden yang
+5

Referensi

Dokumen terkait

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA TENTANG PROGRAM BINA DIRI (SELF-CARE) DENGAN KEMANDIRAN ANAK TUNADAKSA DI YAYASAN PEMBINAAN ANAK CACAT (YPAC) KOTA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dan tingkat stres orang tua dengan anak retardasi mental (tunagrahita) dan anak dengan cacat fisik (tunadaksa) di Yayasan

Berdasarkan dukungan sosial keluarga terhadap anak down sindrom di YPAC Medan mengenai dukungan informasi sebanyak 30 orang (75%) menyatakan mereka selalu memberikan dukungan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pelayanan yang diberikan oleh Pusat Rehabilitasi Anak Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan berpengaruh positif dan

Adanya kecemasan tingkat sedang akibat memiliki anak yang tidak normal (retardasi mental) belum tentu mempengaruhi konsep diri keluarga dari anak retardasi mental tersebut.

Gambaran Tingkat Kecemasan Orang Tua dalam Menghadapi Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental (YPAC) Medan.Diunduh Desember 2015 dari Repository USU.com.. Norhidayah., Wasilah.,

Kami telah melakukan beberapa studi kasus ke beberapa warga YPAC Surakarta, ternyata, program pendampingan spiritualitas cukup berarti bagi orang tua anak berkebutuhan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan; 1) pelaksanaan pendidikan agama Islam bagi anak tunagrahita di SLB C YPAC Semarang; dan 2) menjelaskan implikasi