POLA ASUH KELUARGA YANG MEMILIKI ANAK
TUNAGRAHITA DI YAYASAN PEMBINAAN ANAK
CACAT(YPAC) MEDAN
SKRIPSI
OlehELZA CAROLINA SIMARMATA 101101067
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Pola Asuh Keluarga yag Memiliki Anak Tunagrahita di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan”. Skripsi penelitian ini ditulis untuk menyelesaikan tugas akhir dan mendapatkan gelar sarjana Keperawatan Fakultas Keperawatan.
Selama penyelesaian skripsi penelitian ini penulis telah banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil. Pada kesempatan ini penlis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan
USU
2. Ibu Eryunita Lubis S.kep, Ns selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan, petunjuk, dan saran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
3. Ibu Siti Zahara Nasution S.Kp, MNS selaku dosen penguji I yang telah
banyak memberikan kritik dan saran dalam penulisan proposal ini.
4. Ibu Yesi Ariani S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen penguji IIyang telah
banyak memberi kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini.
5. Ibu Sri Eka Wahyuni S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen pembimbing
akademik yang telah membimbing penulis selama belajar di Fakultas Keperawatan USU.
6. Terima kasih tiada tara penulis persembahkan kepada kedua orang tua
penulis, Bapak Juniar Simarmata dan Ibu Amida Siringo-ringo yang telah membesarkan dengan penuh kasih sayang dan selalu mendoakan serta memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan. Serta kakak dan adik tercinta Rika Oktaviana Simarmata dan Kristina Simarmata
7. Kepada semua sahabat – sahabat yang telah banyak membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini khususnya Widyastuti, Cecilia Sevenwita, Cut Nirwana, Chabz dan Valentino Sitepu yang telah member inspirasi dan motivasi bagiku.
8. Kepada Bapak Suratno dan Suster Grace yang telah memberi izin
penelitian kepada penulis.
9. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara.
10.Kepada seluruh keluarga yang sudah bersedia menjadi responden
11.Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberi bantuan dalam terlaksananya penelitian dan penulisan proposal skripsi ini.
Penulis berhadap semoga Skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmad dan karunia-Nya kepada kita semua, Amin.
Medan, Juli 2014
DAFTAR ISI
1.3Tujuan Penelitian ... 4
1.4Manfaat Penelitian ... 4
1.4.1 Bagi Pendidikan Keperawatan ... 4
1.4.2 Bagi Masyarakat ... 4
1.4.3 Bagi Penelitian Selanjutnya ... 4
Bab 2 KAJIAN PUSTAKA ... 5
2.1 Pola Asuh Keluarga ... 5
2.1.1 Definisi Pola Asuh Keluarga ... 6
2.1.2 Macam-macam Pola Asuh ... 6
2.1.3 Syarat Pola Asuh Efektif ... 8
2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Pola Asuh ... 10
2.1.5 Karakteristik Anak Berdasarkan Pola Asuh ... 13
2.2 Tunagrahita ... 14
2.2.1 Definisi Tunagrahita ... 14
2.3.2 Klasifikasi Anak Tunagrahita ... 16
2.3.3 Penyebab Tunagrahita ... 17
2.2.4 Karakteristik Anak Tunagrahita ... 20
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 21
3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 21
3.2 Defenisi Operasional ... 22
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ... 24
4.1 Desain Penelitian ... 24
4.2 Populasi dan Sampel ... 24
4.2.1 Populasi ... 24
4.2.2 Sampel ... 24
4.3 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 25
4.4 Etika Penelitian ... 25
4.5 Instrumen Penelitian ... 26
4.5.1 Kuisioner ... 26
4.6Pengumpulan Data ... 28
4.7 Analisis Data ... 29
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30
5.1 Hasil Penelitian ... 30
5.2 Pembahasan Pola Asuh Keluarga yang Memiliki Anak Tunagrahita ... 44
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 51
6.1 Kesimpulan ... 51
6.2 Saran ... 51
6.2.1 Pendidikan Keperawatan ... 51
6.2.2 Masyarakat ... 51
6.2.3 Peneliti Selanjutnya ... 52
Daftar Pustaka ... 53 Lampiran
• Informed Consent
• Lembar Validitas
• Tabulasi Data
• Reliabilitas
• Taksasi Dana
• Surat penelitian
• Jadwal tentative penelitian
• Kuesioner Penelitian
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Definisi Operasional...22 Tabel 5.1.1 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden...31 Tabel 5.1.2 Pola Asuh Responden yang Memiliki Anak Tunagrahita di YPAC
Medan...32 Tabel 5.1.3 Distribusi frekuensi dan persentase karekteristik responden
yang menerapkan pola asuh demokratif...33
Tabel 5.1.4 Distribusi frekuensi dan persentase karekteristik responden
yang menerapkan pola asuh permisif...35 Tabel 5.1.5 Distribusi frekuensi dan persentase karekteristik responden
yang menerapkan pola asuh otoriter...37 Tabel 5.1.6. Distribusi frekuensi dan persentase pola asuh orang keluarga yang
memiliki anak tunagrahita berdasarkan pernyataan pola asuh
demokratif………..………39
Tabel 5.1.7. Distribusi frekuensi dan persentase pola asuh orang keluarga yang
memiliki anak tunagrahita berdasarkan pernyataan pola asuh
permisif………..……41
Tabel 5.1.8. Distribusi frekuensi dan persentase pola asuh orang keluarga yang
memiliki anak tunagrahita berdasarkan pernyataan pola asuh
DAFTAR SKEMA
Judul : Pola Asuh Keluarga yang Memiliki Anak Tunagrahita di
Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan
Nama : Elza Carolina Simarmata
NIM : 101101067
Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Abstrak
Pola pengasuhan pada setiap anak berbeda-beda karena orang tua dan keluarga mempunyai pola asuh tertentu. Pada masa ini keluarga dan lingkungan mempunyai peran besar dalam perkembangan anak sehingga anak dapat menjalani proses perkembangan yang baik. Pola asuh dan peran aktif keluarga dalam perkembangan anak sangat diperlukan terutama pada anak tunagrahita. Pola asuh merupakan pola interaksi antara anak dengan keluarga yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik dan kebutuhan psikologis, tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi tipe pola asuh keluarga yang memiliki anak tunagrahita di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan. Sampel pada penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anak tunagrahita dan sedang berada di YPAC Medan pada saat penelitian. Pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling dan dengan jumlah sampel sebanyak 33 responden. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode angket (kuisioner). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki pola asuh yang otoriter sebanyak 2 responden (6,06%), yang memiliki pola asuh demokratif yaitu sebanyak 28 responden (84,85%), dan yang memiliki pola asuh permisif yaitu sebanyak 3 responden (9,09%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden di YPAC Medan memiliki pola asuh demokratif pada anak tunagrahita.
Title : Parenting Styles of Families Having Children with Mental Retardation in Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan
Name : Elza Carolina Simarmata
NIM : 101101067
Major : Sarjana Keperawatan (S.Kep) / Bachelor of Nursing
Abstract
Parenting style for every child is different because parents and families have their own styles of parenting. Nowadays, the family and the environment have a major role in the development of the child so that the child can live a good development process. Parenting styles and family support in child development are needed especially a child with mental retardation. Parenting is a pattern of interaction between children and families which includes not only the physical and psychological needs, but also the norms prevailing in the society. This study is a descriptive study which aims to identify the types of the parenting styles on children with mental retardation in Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan. The samples of the study are the families who have children with mental retardation and were in YPAC when the study was being done. The sampling was done by using purposive sampling and there were 33 respondents. Data collection method used was a questionnaire method (questionnaire). The results showed that there were 2 respondents (6,1%) who used authoritative parenting, 28 respondents (84.8%) used democratic parenting, and 3 respondents (9.1%) used permissive parenting. So, it can be concluded that the majority of the respondents in YPAC Medan used democratic parenting on children with mental retardation.
Judul : Pola Asuh Keluarga yang Memiliki Anak Tunagrahita di
Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan
Nama : Elza Carolina Simarmata
NIM : 101101067
Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Abstrak
Pola pengasuhan pada setiap anak berbeda-beda karena orang tua dan keluarga mempunyai pola asuh tertentu. Pada masa ini keluarga dan lingkungan mempunyai peran besar dalam perkembangan anak sehingga anak dapat menjalani proses perkembangan yang baik. Pola asuh dan peran aktif keluarga dalam perkembangan anak sangat diperlukan terutama pada anak tunagrahita. Pola asuh merupakan pola interaksi antara anak dengan keluarga yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik dan kebutuhan psikologis, tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi tipe pola asuh keluarga yang memiliki anak tunagrahita di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan. Sampel pada penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anak tunagrahita dan sedang berada di YPAC Medan pada saat penelitian. Pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling dan dengan jumlah sampel sebanyak 33 responden. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode angket (kuisioner). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki pola asuh yang otoriter sebanyak 2 responden (6,06%), yang memiliki pola asuh demokratif yaitu sebanyak 28 responden (84,85%), dan yang memiliki pola asuh permisif yaitu sebanyak 3 responden (9,09%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden di YPAC Medan memiliki pola asuh demokratif pada anak tunagrahita.
Title : Parenting Styles of Families Having Children with Mental Retardation in Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan
Name : Elza Carolina Simarmata
NIM : 101101067
Major : Sarjana Keperawatan (S.Kep) / Bachelor of Nursing
Abstract
Parenting style for every child is different because parents and families have their own styles of parenting. Nowadays, the family and the environment have a major role in the development of the child so that the child can live a good development process. Parenting styles and family support in child development are needed especially a child with mental retardation. Parenting is a pattern of interaction between children and families which includes not only the physical and psychological needs, but also the norms prevailing in the society. This study is a descriptive study which aims to identify the types of the parenting styles on children with mental retardation in Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan. The samples of the study are the families who have children with mental retardation and were in YPAC when the study was being done. The sampling was done by using purposive sampling and there were 33 respondents. Data collection method used was a questionnaire method (questionnaire). The results showed that there were 2 respondents (6,1%) who used authoritative parenting, 28 respondents (84.8%) used democratic parenting, and 3 respondents (9.1%) used permissive parenting. So, it can be concluded that the majority of the respondents in YPAC Medan used democratic parenting on children with mental retardation.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama dan utama bagi anak
sehingga memberi pengaruh terbesar bagi perkembangan anak (Somantri,2006).
Keluarga terutama ayah dan ibu memberikan dasar pembentukan tingkah laku,
watak, moral dan pendidikan anak. Pengalaman interaksi di dalam keluarga akan
menentukan pola dan tingkah laku anak terhadap orang lain dalam masyarakat
(Soetjiningsih, 2005). Orang tua selalu mempunyai pengaruh yang paling kuat
pada anak. Setiap orang tua mempunyai gaya tersendiri dalam hubungannya
dengan anak-anaknya,dan ini mempengaruhi perkembangan sosial anak
(Djiwandono,2003).
Kenyataan yang terjadi di masyarakat tentang pengasuhan anak
berkebutuhan khusus yaitu banyak keluarga yang justru menyembunyikan
anaknya yang berkebutuhan khusus dan membiarkannya tanpa dilatih
keterampilan sedikit pun. Keluarga terkesan menutup diri dari lingkungan,
sehingga anak menjadi tidak mandiri dan pada akhirnya tidak dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan. Tetapi ada pula keluarga yang justru memberikan
dukungan yang besar karena merasa bahwa anak berkebutuhan khusus pun perlu
diangkat harkat dan martabatnya di masyarakat. Salah satu caranya adalah melatih
kondusif di masyarakat bahwa mereka adalah kelompok yang membutuhkan
(Wirawan, 2008).
Halllahan & Kauffman (2006) dalam Susanandari (2009) menjelaskan
bahwa anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang membutuhkan
pendidikan dan pelayanan khusus untuk mengembangkan segenap potensi yang
mereka miliki. Para anak berkebutuhan khusus mungkin saja mengalami
gangguan atau ketunaan, seperti gangguan fisik (tunadaksa), penglihatan
(tunanetra), komunikasi, pendengaran (tunarungu), kesulitan belajar (tunalaras),
atau mengalami retardasi mental (tunagrahita).
Menurut Maramis (2008), penderita tunagrahita di Indonesia diperkirakan
1-3%, yang terdapat di kota dan di desa, dikalangan atas dan rakyat jelata, dalam
keluarga terpelajar dan keluarga kurang terdidik, baik dalam keluarga kaya
maupun miskin. Tunagrahita banyak ditemukan pada anak yang berusia 5-6 tahun,
dan puncaknya pada golongan remaja umur 15 tahun (Surapratiknya, 1995).
Prevalensi tunagrahita di Indonesia hingga saat ini belum diketahui secara pasti.
Sekitar 3% dari populasi umum mempunyai Intelegensia (IQ) kurang dari
simpang baku dibawah rata-rata yaitu 70. Diperkirakan bahwa 80-90% individu
dalam populasi adalah tunagrahita dalam kisaran ringan, sementara hanya 5%
populasi dengan tunagrahita yang gangguannya berat sampai sangat berat.
Sedangkan sisanya adalah tunagrahita dalam kisaran sedang (Nelson, 2000).
Menurut penelitian Adelia (2012), menunjukkan pola asuh anak retardasi
mental di SLB Kota Padang di tempat penelitian ini hamper sebagian keluarga
telah mampu menerapkan pola asuh yang baik pada anak. Pola asuh yang tepat
akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak. Pola asuh merupakan
pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu
ke waktu. Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua mencakup perilaku mengasuh,
merawat, memenuhi kebutuhan makanan bergizi dan pemenuhan akan kasih
sayang. Pola asuh didalamnya juga mengandung unsur pemenuhan kebutuhan
fisik maupun psikis pada anak (Dasilva, 2012).
Berdasarkan survey awal dan interview yang dilakukan tanggal 21
Desember 2013, jumlah penyandang tunagrahita di YPAC Medan yaitu 110
orang. Dari jumlah anak-anak tunagrahita yang didapat, dimana 40% dari
keluarga mereka masih berperan aktif dalam pengasuhan anaknya dengan
mendampingi dan mengawasi anaknya sampai kegiatan belajar selesai. Dan
menurut wawancara dengan beberapa guru di YPAC, anak-anak tunagrahita
memiliki latar belakang keluarga yang berbeda dan cara pengasuhan yang
berbeda. Misalnya ada anak yang dilarang bermain dengan anak normal lainnya
serta mendampingi anaknya bersosialisasi dengan anak lainnya dan sebaliknya.
Dan berdasarkan wawancara 2 keluarga di YPAC Medan, mereka memarahi anak
ketika tidak sengaja merusak barang.
Dari uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang pola asuh keluarga yang memiliki anak tunagrahita di YPAC Medan.
Dari uraian di atas maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah
“Bagaimana pola asuh keluarga yang memiliki anak tunagrahita di YPAC
Medan?”.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah utuk mengidentifikasi pola asuh
keluarga yang memiliki anak tunagrahita di YPAC Medan.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Pendidikan Keperawatan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah informasi dan
pengetahuan bagi pendidikan keperawatan khususnya keperawatan keluarga
mengenai pola asuh keluarga yang memiliki anak tunagrahita.
1.4.2 Bagi Masyarakat
Dasar penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
gambaran pola asuh keluarga yang memiliki anak tunagrahita.
1.4.3 Bagi Peneliti yang Akan Datang
Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan
perbandingan apabila ada peneliti yang ingin melakukan penelitian dengan konsep
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pola Asuh Keluarga
2.1.1 Definisi Pola Asuh Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari atas kepala
keluarga dan beberapa orang yang berkumpul serta tinggal disuatu tempat
dibawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI, 1998 dalam
Santun S & Agus Citra D, 2008).
Menurut Friedman, 1998 dalam Santun S & Agus Citra D, (2008) keluarga
merupakan kesatuaan dari orang-orang yang terikat dalam perkawinan, ada
hubungan darah, atau adopsi dan tinggal dalam satu rumah.
Pola asuh adalah bentuk-bentuk yang diterapkan dalam rangka merawat,
memelihara, membimbing dan melatih dan memberikan pengaruh (Tarmuji,
2004). Pola pengasuhan anak adalah perilaku yang dipraktekkan oleh pengasuh
(bapak, ibu, nenek, keluarga, pengasuh) dalam memberikan pemeliharaan
kesehatan, memberikan stimulasi, serta dukungan emosional yang dibutuhkan
anak untuk pertunbuhan dan perkembangan (Husaini, 2000).
Pola asuh adalah pola interaksi antara anak dengan keluarga yang meliputi
bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik dan kebutuhan psikologis, tetapi juga
norma-norma yang berlaku di masyarakat (Gunarsa, 2002).
Taganing (2008), mengatakan bahwa pola asuh merupakan suatu
mengasuh anak. Pola asuh merupakan pola interaksi antara anak dengan keluarga
bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lain‐lain)
dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang, dan lain‐lain), tetapi
juga mengajarkan norma‐norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat
hidup selaras dengan lingkungan.
2.1.2 Macam-macam Pola Asuh
Menurut Baumrind (1991), terdapat empat macam pola asuh yaitu:
1. Pola Asuh Demokratis, yaitu pola asuh yang memprioritaskan kepentingan
anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orangtua dalam
pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau
pemikiran-pemikiran. Pada tipe ini juga bersikap realistis terhadap
kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan terhadap kemampuan anak.
Tipe ini juga member kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan
suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
2. Pola Asuh Otoriter yaitu pola asuh yang cenderung menetapkan standar yang
mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Tipe ini
cenderung memaksa, memerintah dan menghukum. Orangtua tipe ini juga
tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi bersifat satu arah. Dan
pada tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti
mengenai anaknya.
3. Pola Asuh Permisif yaitu pola asuh yang memberikan pengawasan yang
apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang
diberikan oleh orangtua kepada anaknya. Namun pada tipe ini biasanya
bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.
4. Pola Asuh Penelantar, umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat
minim kepada anak-anaknya. Waktu yang dimiliki orangtua atau keluarga
banyak yang digunakan untuk kepribadian mereka. Termasuk dalam tipe ini
adalah perilaku secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi.
Hurlock (1999) membagi bentuk pola asuh menjadi tiga macam pola asuh,
yaitu:
1. Pola Asuh Demokratis yaitu pola asuh yang memprioritaskan kepentingan
anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Keluarga pada
pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio dan
pemikiran-pemikiran. Keluarga tipe ini bersikap realistis terhadap
kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui
kemampuan anak. Keluarga juga memberikan kebebasan kepada anak untuk
memilih suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak yang bersikap
hangat.
2. Pola Asuh otoriter, cenderung menetapkan standar yang harus dituruti,
biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Apabila anak tidak mau
melakukan apa yang dikatakan oleh keluarga, maka keluarga pada tipe ini
tidak segan menghukum anak. Keluarga pada tipe ini juga tidak mengenal
3. Pola Asuh Permisif, memberikan pengawasan yang sangat longgar kepada
anak. Keluarga cenderung tidak menegur atau memperingati anak apabila
sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan kepada
mereka.
2.1.3 Syarat Pola Asuh Efektif
Menurut Shanti (2007) dalam Aprisanti (2010) agar pola asuh menjadi
efektif antara lain :
1. Pola asuh harus dinamis: harus sejalan dengan meningkatnya
pertumbuhan dan perkembangan anak, misalnya pola asuh batita berbeda
dengan pola asuh anak usia sekolah.
2. Pola asuh harus sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak, hal ini
dilakukan karena setiap anak memiliki minat dan bakat berbeda.
3. Ayah – ibu mesti kompak. Ayah dan ibu sebaiknya menerapkan pola asuh
yang sama. Dalam hal ini, kedua orang tua sebaiknya “berkompromi”
dalam menetapkan nilai – nilai yang boleh dan tidak boleh. Jangan sampai
orang tua saling bersebrangan karena hanya akan membuat anak
binggung..
4. Pola asuh disertai perilaku positif orang tua orang tua sehingga bisa
dijadikan contoh atau panutan bagi anaknya. Menanamkan nilai – nilai
kebaikan dengan disertai penjelasan yang mudah dipahami. Diharapkan
kelak anak bisa menjadi manusia yang memiliki aturan dan norma yang
5. Komunikasi efektif merupakan sub bagian dari pola asuh efektif.
Syaratnya sederhana meluangkan waktu untuk berbincang – bincang
dengan anak menjadi pendengar yang baik dan tidak meremehkan
pendapat anak. Dalam setiap diskusi orang tua dapat memberikan saran
atau meluruskan pendapat anak yang keliru sehingga anak lebih terarah
dan dapat mengembangkan potensi yang maksimal.
6. Disiplin, penerapannya harus fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi anak misalnya dalam kondisi kelelahan jangan lantas diminta
mengerjakan tugas sekolah hanya karena saat itu merupakan waktunya
untuk belajar.
7. Orang tua konsisten, bisa menerapkan konsistensi sikap, misalnya anak tak
boleh minum air dingin kalau sedang terserang batuk. Tapi kalau anak
dalam keadaan sehat ya boleh-boleh saja. Dari situ ia belajar untuk
konsisten terhadap sesuatu. Yang penting setiap aturan mesti disertai
penjelasan yang bisa dipahami anak, kenapa ini tak boleh, kenapa itu
boleh. Lama-lama, anak akan mengerti atau terbiasa mana yang boleh dan
tidak. Orang tua juga sebaiknya konsisten. Jangan sampai lain kata dengan
perbuatan. Misalnya, ayah atau ibu malah minum air dingin saat sakit
batuk.
Pola asuh yang diberikan orang tua pada anak dapat berbeda-beda dan
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Yang termasuk
faktor internal, misalnya latar belakang keluarga, usia, jenis kelamin keluarga dan
anak, pendidikan dan wawasan, karakter anak dan konsep peranan orang tua
dalam keluarga. Sedangkan yang termasuk faktor eksternal, misalnya tradisi yang
berlaku dalam lingkungan, sosial ekonomi lingkungan dan semua hal yang berasal
dari luar keluarga tersebut yang bisa mempengaruhi orang tua dalam menerapkan
pola asuhnya (Afriani, dkk (2012) dalam Yusuf, H (2013). Faktor-faktor tersebut
kemudian dijabarkan ke dalam beberpa poin, antara lain:
1. Usia
Umur merupakan indikator kedewasaan seseorang, semakin bertambah umur
semakin bertambah pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki mengenai
perilaku yang sesuai untuk mendidik anak.Anak-anak dengan orang tua usia
muda akan mendapatkan pengawasan yang lebih longgar karena dalam diri
orang tua usia muda cenderung memiliki sifat toleransi yang tinggi dan
memaklumi terhadap anak. Usia ibu muda juga dapat mempengaruhi sumber
daya yang tersedia untuk anak.
2. Jenis kelamin
Perbedaan gender pada keluarga akan ikut berpengaruh dalam cara mereka
mengasuh anak, hal ini mungkin disebabkan karena realisasi perbedaan dalam
bagaimana mereka berpikir dan berperilaku. Diantara ayah dan ibu, keduanya
memiliki keinginan untuk melakukan apa yang menurut mereka benar untuk
putrinya menjadi lebih tegas dan mahir dalam bersosialisasi dan seorang ayah
ingin anaknya menjadi, lebih fleksibel, tumbuh dengan tegas dan
berkepribadian kuat.
3. Pendidikan dan wawasan
Tingkat pendidikan dan pengetahuan dalam keluarga serta pengalaman sangat
berpengaruh dalam mengasuh anak. Pendidikan akan memberikan dampak
bagi pola pikir dan pandangan keluarga dalam mendidik anak. Pada keluarga
yang memiliki tingkat pendidikan dan wawasan yang tinggi akan
memperhatikan dan merawat anak sesuai dengan usia perkembangannya dan
akan menunjukkan penyesuaian pribadi dan sosial yang lebih baik yang akan
membuat anak memiliki pandangan positif terhdap orang lain dan masyarakat.
4. Kondisi sosial ekonomi
Tingkat sosial ekonomi sangat mempengaruhi pola asuh yang dilakukan oleh
suatu masyarakat, rata-rata keluarga dengan sosial ekonomi yang cukup baik
akan memilih pola asuh yang sesuai dengan perkembangan anak.
5. Kondisi psikologis
Psikologis juga mempengaruhi cara dalam mengasuh anak, keluarga yang
rentan terhadap emosi negatif, baik itu depresi, lekas marah, cenderung
berperilaku kurang peka dan lebih keras dari keluarga lainnya. Karakteristik
kepribadian keluarga juga berperan dalam mempengaruhi emosi yang mereka
alami, kognitif dan atribusi yang berdampak pada perkembangan kepribadian
anak.
Orang tua, terutama ibu yang bekerja di luar rumah dan memiliki lebih banyak
waktu di luar rumah, seringkali mempercayakan pengasuhan anak kepada
nenek, tante atau keluarga dekat lain. Bila tidak ada keluarga tersebut maka
biasanya anak dipercayakan pada pembantu (babysitter).Dalam tipe keluarga
seperti ini, anak memperoleh jenis pengasuhan yang kompleks sehingga
pembentukan kepribadian anak tidak sepenuhnya berasal dari pola asuh orang
tua.
7. Budaya.
Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat
dalam mengasuh anak.Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam
mendidik anak kearah kematangan.Orang tua mengaharapkan kelak anaknya
dapat diterima di masyarakat dengan baik.Oleh karena itu kebudayaan atau
kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang
tua dalam memberikan pola asuh pada anaknya.
2.1.5 Karakteristik Anak Berdasarkan Pola Asuh
Menurut Afriani, dkk (2012) dalam Yusuf, H. (2013), karakteristik anak
berdasarkan pola asuh di dalam keluarga terbagi tiga, yaitu:
1. Pola asuh otoriter.
Pola asuh otoriter ini dapat mengakibatkan anak menjadi penakut, pencemas,
menarik diri dari pergaulan, kurang adaptif, mudah curiga pada orang lain dan
mudah stress. Selain itu, orang tua seperti ini juga akan membuat anak tidak
percaya diri, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka
lingkungan sosialnya, bersikap menunggu dan tak dapat merencakan sesuatu
dengan baik.
2. Pola asuh demokratif.
Literatur yang ada telah mendokumentasikan bahwa pola asuh demokratif
secara signifikan terkait dengan hasil perkembangan yang positif antara
anak-anak. Baumrind dari hasil penelitiannya menemukan bahwa teknik-teknik
asuhan yang demokratif akan menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri
maupun mendorong tindakan-tindakan mandiri membuat keputusan sendiri
akan berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggung jawab.
3. Pola asuh permisif.
Pola asuh permisif ini dapat mengakibatkan anak agresif, tidak patuh pada
orang tua, merasa berkuasa dan kurang mampu mengontrol diri.Karakter anak
dengan pola asuh demikian menjadikan anak impulsif, manja, kurang mandiri,
mau menang sendiri, kurang percaya diri dan kurang matang secara sosial.
2.2 Tunagrahita
2.2.1 Definisi Tunagrahita.
Menurut Wardani, dkk. (2009) adapun peristilahan di Indonesia mengenai
penyandang tunagrahita, mengalami perkembangan, seperti berikut:
a) Lemah pikiran, lemah ingatan, digunakan sekitar tahun 1967
c) Tunagrahita, digunakan sejak tahun 1983 hingga sekarang dan diperkuat
dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 72/1991 tentang Pendidikan
Luar Biasa.
Beragamnya istilah yang digunakan disebabkan oleh perbedaan latar
belakang keilmuan dan kepentingan para ahli yang mengemukakannya. Namun
demikian, semua istilah tersebut tertuju pada pengertian yang sama, yaitu
menggambarkan kondisi terlambat dan terbatas nya perkembangan kecerdasan
seseorang sedemikian rupa jika dibandingkan dengan rata-rata atau anak pada
ummumnya disertai dengan keterbatasan dalam perilaku penyesuaian. Kondisi ini
berlangsung pada masa perkembangan.
Pemahaman yang jelas tentang siapa dan bagaimanakah anak tunagrahita
ini merupakan hal yang sangat penting untuk menyelenggarakan layanan
pendidikan dan pengajaran yang tepat bagi mereka. Berbagai definisi telah
dikemukakan oleh para ahli. Salah satu definisi yang diterima secara luas dan
menjadi rujukan utama ialah definisi yang dirumuskan Grossman (1983) dalam
Wardani,dkk. (2009), ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual umum
yang secara nyata (signifikan) berada di bawah rata-rata (normal) bersamaan
dengan kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian diri dan semua ini
berlangsung (termanifestasi) pada masa perkembangannya.
Dari definisi tersebut, beberapa hal yang perlu kita perhatikan adalah
sebagai berikut:
a) Fungsi intelektual umum secara signifikan berada di bawah rata-rata,
yang bersangkutan memerlukan layanan pendidikan khusus. Sebagai
contoh, anak nomal rata-rata mempunyai IQ (Intelligence Quotient) 100,
sedangkkan anak tunagrahita memiliki IQ paling tinggi 70.
b) Kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian (perilaku adaptif),
maksudnya bahwa yang bersangkutan tidak/kurang memiliki kesanggupan
untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan usianya. Ia
hanya mampu melakukan pekerjaan seperti yang dapat dilakukan oleh
anak yang usianya lebih muda darinya.
c) Ketunagrahitaan berlangsung pada periode perkembangan, maksudnya
adalah ketunagrahita itu terjadi pada usia perkembangan, yaitu sejak
konsepsi hingga usia 18 tahun.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa untuk dikategorikan sebagai
penyandang tunagrahita, seseorang harus memiliki ketiga ciri-ciri tersebut.
Apabila seseorang hanya memiliki salah satu dari ciri-ciri tersebut maka yang
bersangkutan belum dapat dikategorikan sebgai penyandang tunagrahita.
2.2.2 Klasifikasi Anak Tunagrahita
Penting bagi Anda untuk memahami bahwa pada anak tunagrahita terdapat
perbedaan indiidual yang variasinya sagat besar. Artinya, berasa pada level usia
yang hampir sama serta jenjang pendidikan yang sama, kenyataannya kemampuan
individu berbeda satu dengan lainnya (Wardani, dkk. 2009).
Pengklasifikasian ini pun bermacam-macam sesuai dengan disiplin ilmu
maupun perubahan pandangan terhadap keberadaan anak tunagrahita. Klasifikasi
sedangkan klasifikasi yang dilakukan oleh kaum pendidik di Amerika adalah
educable mentally retarded (mampu didik), trainable mentally retarded (mampu
latih) dan totally/custodial dependent (mampu rawat). Pengelompokan yang telah
disebutkan itu telah jarang digunakan karena terlampau mempertimbangkan
kemampuan akademik seseorang.
Menurut Hallahan (1982) dalam Waradi,dkk., (2009), klasifikasi yang
digunakan sekarang adalah yang dikemukakan oleh AAMD (American
Association on Mental Deficiency)sebagai berikut:mild mental retardation
(tunagrahita IQ-nya 55-70, ringan), moderate mental retardaton (tunagrahita
IQ-nya 40-55, sedang), severe mental retardation (tunagrahita IQ-nya 25-40, berat),
profound mental retardation (tunagrahita IQ-nya dibawah 25, sangat berat).
Klasifikasi yang digunakan di Indonesia saat ini sesuai dengan PP 72
Tahun 1991 adalah sebagai berikut: tunagrahita ringan IQ-nya 50-70, tunagrahita
sedang IQ-nya 30-50, tuunagrahita berat dan sangat berat IQ-nya kurang dari 30.
Selain klasifikasi di atas ada pula pengelompokan berdasarkan kelainan
jasmani yang disebut tipe klinis. Tipe-tipe klinis yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
1. Down Syndrome (Mongoloid), anak tunagrahita jenis ini disebut demikian
karena memiliki raut muka menyerupai orang Mongol dengan mata sipit
dan miring, lidah tebal suka menjulur ke luar, telinga kecil, kulit kasar,
susunan gigi kurang baik.
2. Kretin (Cebol), anak ini memperlihatkan ciri-ciri, seperti badan gemuk dan
keriput, rambut kering, lidah dan bibir, kelopak mata, telapak tangan dan
kaki tebal, pertumbuhan gigi terlambat.
3. Hydrochepal, anak ini memiliki ciri-ciri kepala besar, raut muka kecil,
pandangan dan pendengaran tidak sempurana, mata kadang-kadang juling.
4. Microchepal, anak ini memiliki ukuran kepala yang kecil
5. Macrochepal, memiliki ukuran kepala yang besar dari ukuran normal.
2.2.3 Penyebab Tunagrahita
Seseorang menjadi tunagrahita disebabkan oleh berbagai faktor. Para ahli
membagi faktor penyebab tersebut atas beberapa kelompok.
Strauss membagi faktor penyebab ketunagrahitaan menjadi dua gugus
yaitu endogen dan eksogen. Faktor endogen apabila letak penyebabnya pada sel
keturunan dan eksogen adalah hal-hal yang di luar sel keturunan, misalnya infeksi,
virus menyerang otak, benturan kepala yang keras, radiasi, dan lain-lain
(Moh.Amin, 1995 dalam buku Wardani, dkk. 2009).
Cara lain yang sering digunakan dalam pengelompokkan faktor penyebab
ketunagrahitaan adalah berdasarkan waktu terjadinya, yaitu faktor yang terjadi
sebelum lahir (prenatal); saat kelahiran (natal); dan setelah lahir (postnatal).
Berikut ini akan dibahas beberapa penyebab ketunagrahitaan yang sering
ditemukan baik yang berasal dari faktor keturunan maupun faktor lingkungan.
1.Faktor keturunan
Penyebab kelainan yang berkaitan dengan faktor keturunan meliputi
dilihat dari bentuknya dapat berupa inverse (kelainan yang menyebabkan
berubahnya urutan gene karena melilitnya kromosom; delesi (kegagalan
meiosis, yaitu salah satu pasangan tidak membelah sehingga terjadi
kekurangan kromosom pada salah satu sel); duplikasi (kromosom tidak
berhasil memisahkan diri sehingga terjadi kelebihan kromosom pada salah
satu sel yang lain); translokasi (adanya kromosom yang patah dan patahnya
menempel pada kromosom lain). Kelainan gene terjadi pada waktu mutasi,
tidak selamanya tampak dari luar (tetap dalam tingkat genotip).
2. Gangguan metabolisme dan gizi
Kelainan yag disebabkan oleh kegagalan metabolisme dan gizi, antara lain
phenylketonuria (akibat gangguan metabolisme asam amino) dengan gejala
yang tampak berupa: tunagrahita, kekurangan pigmen, kejang saraf, kelainan
tingkah laku ; gargoylism (kerusakan metabolisme saccharide yang menjadi
tempat penyimpanan asam mucopolysaccharide dalam hati, limpa kecil, dan
otak) dengan gejala yang tampak berupa ketidaknormalan tinggi badan,
kerangka tubuh yang tidak proposional, telapak tangan lebar dan pendek,
persendian kaku, lidah lebar dan menonjol dan tunagrahita ; cretinism
(keadaan hypohydroidism kronik yang terjadi selama masa janin atau saat
dilahirkan) dengan gejala kelainan yang tampak adalah ketidaknormalan fisik
yang khas dan ketunagrahitaan.
3. Infeksi dan keracunan
Keadaan ini disebabkan oleh terjangkitnya penyakit-penyakit selama janin
mengakibatkan ketunagrahitaan serta adanya kelainan pendengaran, penyakit
jantung bawaab, berat badab sangat kurang ketika lahir; syphilis bawaan;
syndrome gravidity beracun, hampir pada semua kasus berakibat
ketunagrahitaan.
4. Trauma dan zat radioaktif
Terjadinya trauma pada otak ketika bayi dilahirkan atau terkena radiasi zat
radioaktif saat hamil dapat mengakibatkan ketunagrahitaan. Trauma terjadi
pada saat dilahirkan biasanya disebabkan oleh kelahiran yang sulit sehingga
memerlukan alat bantu. Ketidaktepatan penyinaran atau radiasi sinar X selama
bayi dalam kandungan mengakibatkan cacat mental microsephaly.
5. Masalah pada kelahiran
Masalah yang terjadi pada saat kelahiran, misalnya kelahiran yang disertai
hypoxia yang dipastikan bayi akan menderita kerusakan otak, kejang, dan
napas pendek. Kerusakan juga dapat disebabkan oleh trauma mekanis
terutama pada kelahiran yang sulit.
6. Faktor lingkungan
Banyak faktor lingkungan yang diduga menjadi penyebab terjadinya
ketunagrahitaan. Studi yang dilakukan Kirk (Prasadio, 1982 dalam Wardani,
dkk., 2009) menemukan bahwa anak yang berasal dari keluarga yang tingkat
sosial ekonominya rendah menunjukkan kecenderungan mempertahankan
mentalnya pada taraf yang sama, bahkan prestasi belajarnya semakin
Latar belakang pendidikan orang tua sering juga dihubungkan dengan
masalah-masalah perkembangan. Kurangnya kesadaran orang tua akan
pentingnya pendidikan dini serta kurangnya pengetahuan dalam memberikan
rangsang positif dalam masa perkembangan anak menjadi salah satu penyebab
timbulnya gangguan.
2.2.4 Karakteristik Anak Tunagrahita
Menurut Kemis & Rosnawati (2013) karakteristik anak tunagrahita adalah
sebagai berikut: lamban dalam mempelajari hal-hal yang baru, kesulitan dalam
menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru, kemampuan bicara sangat
kurang bagi anak tunagrahita berat, cacat fisik dan perkembangan gerak, kurang
dalam kemampuan menolong diri sendiri, tingkah lakuinteraksi tidak lazim dan
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konseptual dalam penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan
pola asuh keluarga yang memiliki anak.tunagrahita.
Bagan : Kerangka konsep pola asuh keluarga yang memiliki anak tunagrahita di
YPAC Medan.
Ket.
= Variabel yang diteliti Pola asuh keluarga yang memiliki anak tunagrahita
- Pola Asuh Otoriter
3.2 Definisi Operasional
No Variabel Defenisi
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yaitu
metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk menggambarkan pola asuh
keluarga yang memiliki anak tunagrahita di Yayasan Pembinaan Anak Cacat
(YPAC) Medan.
4.2 Populasi dan Sampel
4.2.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2010). Populasi
dalam penelitian ini adalah semua keluarga yang memiliki anak tunagrahita di
YPAC (Yayasan Pembinaan Anak Cacat) Medan yaitu 110 orang.
4.2.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan teknik tertentu
untuk dapat mewakili populasi. Sampel yang akan digunakan yaitu dengan teknik
purposive sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan sesuai dengan
kriteria sampel yang telah ditentukan (Hidayat, A. A. , 2011). Kriteria sampel
pada penelitian ini adalah keluarga yang mempunyai anak tunagrahita di YPAC
Menurut Arikunto (2005), jika peneliti memiliki beberapa ratus subjek
populasi, maka peneliti dapat menentukan kurang lebih 25-30% dari jumlah
populasi tersebut.
Sampel dalam penelitian ini adalah 30% dari 110 orang dengan rumus:
n= 30
100× 110
= 33 orang
Jadi sampel dalam penelitian ini adalah 33 orangtua yang memiliki anak
tunagrahita di YPAC Medan.
4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di YPAC (Yayasan Pembinaan Anak Cacat) di Jl.
Adinegoro No.2 Medan. Adapun alasan pemilihan lokasi karena jumlah anak
tunagrahita di tempat penelitian banyak sehingga memungkinkan peneliti untuk
mendapatkan sampel. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2014.
4.4 Pertimbangan Etik
Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin dari Komite Etik Fakultas
Keperawatan USU dan izin dari Ketua Yayasan YPAC Medan.Lembar
persetujuan diberikan kepada responden. Tujuannya adalah agar responden
mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta prosedur pelaksanaan penelitian.
Apabila calon responden bersedia, maka responden dipersilahkan untuk
maka calon responden berhak untuk menolak atau mengundurkan diri selama
proses pengumpulan data berlangsung. Peneliti tidak akan memaksa dan tetap
menghormati haknya.
Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak akan
mencantumkan nama subjek pada lembar pengumpulan data yang diisi oleh
peneliti. Lembar tersebut hanya diberi nomor kode tertentu. Kerahasiaan subjek
dijamin oleh peneliti.
4.5 Instrumen Penelitian
4.5.1 Kuesioner
Alat pengumpulan data berupa kuesioner yang terdiri dari dua bagian
berisi data demografi yang meliputi nama (inisial), usia, jenis kelamin, suku,
pendidikan terakhir , pekerjaan, penghasilan keluarga per bulan,nama anak
(inisial), jenis ketunagrahitaan anak, dan kuesioner pola asuh orangtua berupa
pernyataan yang dibuat oleh peneliti berdasarkan literatur yang ada yang terdiri
dari pernyataan nomor 1-7 pola asuh otoriter, pernyataan nomor 8-14 pola asuh
demokratif dan pernyataan nomor 15-21 pola asuh permisif.
4.5.2 Validitas dan Realibilitas Instrumen
Uji validitas bertujuan untuk mengetahui kemampuan instrumen untuk
mengukur apa yang harus diukur, mendapatkan data yang relevan dengan apa
yang diukur (Dempsey & Dempsey, 2002). Pada penelitian ini digunakan validitas
validitas instrumen ini akan dilakukan oleh dosen yang sesuai bidangnya yaitu
dosen Keperawatan Jiwa dan Komunitasdi Universitas Sumatera Utara.
Kuesioner penelitian ini disusun sendiri oleh peneliti. Oleh karena itu
penting untuk dilakukan uji reliabilitas. Uji reliabilitas instrumen ini bertujuan
untuk mengetahui sebeberapa besar derajat atau kemampuan alat ukur untuk
mengukur secara konsisten sasaran yang akan diukur. Untuk mengetahui
reliabilitas instrumen akan diuji cobakan kepada 20 keluarga yang memiliki anak
tunagrahita di SLB-C Santa Lusia Medan. Uji reliabilitas yang dilakukan
menggunakan uji Cronbach’s Alpha yaitu sebuah instrumen dikatakan reliable
apabila koefisien reliabilitasnya (r)>0,7 (Dempsey& Dempsey, 2002). Instrumen
pada penelitian ini sudah dinyatakan valid. Hasil uji reliabilitas pada pola asuh
otoriter 0,76 ; pola asuh demokratif 0,87 dan pola asuh permisif 0,722.
4.6 Pengumpulan Data
Prosedur yang dilakukan dalam pengumpulan data yaitu pada tahap awal
peneliti mengajukan ethical clearance kepada komisi etik peneletian kesehatan
(KEPK) Fakultas Keperawatan USU. Setelah mendapatkan ethical clearance,
kemudian permohonan izin yang telah diperoleh diajukan ke tempat penelitian
(YPAC Medan). Setelah mendapatkan izin dari YPAC Medan, peneliti
melaksanakan pengumpulan dan penelitian. Peneliti menentukan respondenyang
telah ditentukan. Setelah mendapatkan calon responden, selanjutnya peneliti
menjelaskan kepada responden tersebut tentang tujuan, manfaat dan proses
menandatangani surat persetujuan dan mengisi lembar kuesioner. Apabila ada
pertanyaan yang tidak dipahami, responden diberi kesempatan untuk bertanya.
Selesai pengisian, peneliti mengambil kuesioner yang telah diisi responden,
kemudian memeriksa kelengkapan data. Jika ada data yang kurang, dapat
langsung dilengkapi. Selanjutnya data yang telah terkumpul dianalisa.
4.7 Analisa Data
Setelah semua data terkumpul, dilakukan analisa data kembali dengan
memeriksa semua kuesioner apakah data dan jawaban sudah lengkap dan benar
(editing). Kemudian data diberi kode (coding) untuk memudahkan peneliti dalam
melakukan analisa data dan pengolahan data serta pengambilan kesimpulan data
yang dimasukkan ke dalam bentuk table. Entry data dilakukan dengan
menggunakan teknik komputerisasi. Tahap terakhir dilakukan cleaning dan entry
yakni pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam program
komputer guna menghindari terjadinya kesalahan. Analisis data dilakukan
menggunakan sistem komputerisasi yang disesuaikan, dengan langkah-langkah
bersifat univariat yaitu data yang bersifat kategori dicari frekuensi dan
proporsinya yakni data demografi keluarga meliputi; usia, jenis kelamin, suku,
pendidikan terakhir, pekerjaan, penghasilan keluarga per bulan, jenis
ketunagrahitaan anak, dan instrumen pola asuh yang berupa kuesioner. Berikutnya
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
Pada bab ini akan menguraikan hasil penelitian tentang pola asuh keluarga yang
memiliki anak tunagrahita di YPAC Medan melalui proses pengumpulan data
dari tanggal 09 Juni 2014 sampai 12 Juni 2014 dengan jumlah responden 33 orang
di YPAC Medan. Penyajian data hasil penelitian meliputi data demografi
responden dan kuisioner pola asuh keluarga yang memiliki anak tunagrahita di
YPAC Medan.
5.1.1. Karakteristik Responden dan Anak Tunagrahita
Berdasarkan hasil penelitian karakteristik responden paling banyak dengan
usia 36-45 sebanyak 12 orang (36,4%), dengan jenis kelamin reponden yang
mayoritas adalah perempuan 30 orang (90,9%), suku responden paling banyak
berasal dari suku Batak yaitu sebanyak 15 orang (45,5%) dengan tingkat
pendidikan pada umumnya adalah setingkat SMA yaitu sebanyak 16 orang
(48,5%), status pekerjaan paling dominan adalah item dll yang terdiri dari (Ibu
Rumah Tangga, Mahasiswa, Notaris) sebanyak 19 orang (57,6%), dan
penghasilan keluarga mayoritas diatas Rp. 1.851.500,- perbulan yaitu sebanyak
25 keluarga (75,8%). Berdasarkan karakteristik tingkat ketunagrahitaan yang
tentang karakteristik responden dan anak tungrahita dalam penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 5.1.1 berikut:
Tabel 5.1.1 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden yang
memiliki anak tunagrahita di YPAC Medan (n=33 orang)
5.1.2 Pola Asuh Keluarga yang Memiliki Anak Tunagrahita di YPAC Medan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas keluarga menerapkan pola
asuh yang demokratif sebanyak 28 orang (84,85%).
Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.1.2.1 dan 5.1.2.2 berikut:
Tabel 5.1.2. Pola Asuh Responden yang Memiliki Anak Tunagrahita di YPAC
Medan (n=33 orang).
Kategori Pola Asuh Frekuensi Persentase (%)
Demoktaif 28 84,8
Permisif 3 9,1
Tabel 5.1.3 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden yang
menerapkan pola asuh demokratif (n=28)
No. Data
4 Tingkat Pendidikan terakhir
SD 3 10,7
6 Penghasilan sebulan
<Rp. 1.851.500,- 6 21,4
>Rp. 1.851.500,- 22 78,6
7 Jenis Ketunagrahitaan Anak
Ringan 17 57,1
Hasil penelitian menunjukkan karakteristik responden dengan pola asuh
demokratif paling banyak dengan usia 36-45 sebanyak 8 orang (28,6%), dengan
jenis kelamin reponden yang mayoritas adalah perempuan 25 orang (89,3%),
suku responden paling banyak berasal dari suku Batak yaitu sebanyak 12 orang
(42,9%) dengan tingkat pendidikan pada umumnya adalah setingkat SMA yaitu
sebanyak 14 orang (50,0%), status pekerjaan paling dominan adalah item dll yang
terdiri dari (Ibu Rumah Tangga, Mahasiswa, Notaris) sebanyak 17 orang (60,7%),
penghasilan keluarga mayoritas diatas Rp. 1.851.500,- perbulan yaitu sebanyak
22 keluarga (78,6%), dan karakteristik tingkat ketunagrahitaan yang paling
Tabel 5.1.4 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden yang
menerapkan pola asuh permisif (n=3)
No. Data
2 Jenis Kelamin Responden
Perempuan 3 100
4 Tingkat Pendidikan terakhir
SD - -
6 Penghasilan sebulan
<Rp. 1.851.500,- 1 33,3
>Rp. 1.851.500,- 2 66,7
7 Jenis Ketunagrahitaan Anak
Ringan 1 33,3
Hasil penelitian menunjukkan karakteristik responden dengan pola asuh
permisif paling banyak dengan usia 36-45 sebanyak 2 orang (66,7%), dengan jenis
kelamin reponden yang mayoritas adalah perempuan 3 orang (100%), suku
responden paling banyak berasal dari suku Batak yaitu sebanyak 2 orang (66,7%)
dengan tingkat pendidikan pada umumnya adalah setingkat SD, SMP dan SMA
yaitu masing-masing sebanyak 1 orang (33,3%), status pekerjaan paling dominan
adalah item dll yang terdiri dari (Ibu Rumah Tangga, Mahasiswa, Notaris)
sebanyak 2 orang (66,7%), penghasilan keluarga mayoritas diatas Rp. 1.851.500,-
perbulan yaitu sebanyak 2 keluarga (66,7%), dan karakteristik tingkat
ketunagrahitaan yang paling banyak yaitu tingkat sedang sebanyak 2 orang
Tabel 5.1.5 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden yang
menerapkan pola asuh otoriter (n=2)
No. Data
2 Jenis Kelamin Responden
Perempuan 2 100
4 Tingkat Pendidikan terakhir
SD - -
6 Penghasilan sebulan
<Rp. 1.851.500,- 1 50,0
>Rp. 1.851.500,- 1 50,0
7 Jenis Ketunagrahitaan Anak
Ringan - -
Hasil penelitian menunjukkan karakteristik responden dengan pola asuh
otoriter semua berada pada rentang usia 36-45 sebanyak 2 orang, dengan jenis
kelamin reponden yang semua adalah perempuan 2 orang, suku responden
paling banyak berasal dari suku Batak dan Jawa yaitu masig-masing sebanyak 1
orang (50%) dengan tingkat pendidikan pada umumnya adalah setingkat SMA
dan Perguruan Tinggi yaitu masing-masing sebanyak 1 orang (50%), status
pekerjaan pada umumnya wiraswasta dan pegawai swasta yaitu masing-masing
sebanyak 1 orang (50%), penghasilan keluarga pada umunya di atas dan di bawah
UMR Rp. 1851.500,- yaitu masing-masing 1 orang (50%), dan semua keluarga
Tabel 5.1.6. Distribusi frekuensi dan persentase pola asuh orang keluarga yang
memiliki anak tunagrahita berdasarkan pernyataan pola asuh demokratif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang menerapkan pola asuh
demokratif kadang-kadang/sering atau selalu mendampingi anak ketika
bersosialisasi dengan anak-anak lainnya sebanyak 27,3%, keluarga sering
No. Pernyataan
Jawaban Responden
Tidak Pernah
Kadang-kadang Sering Selalu
F (%) F (%) F (%) F (%)
1
Keluarga selalu mendampingi anak saat bersosialisasi dengan
anak-anak lainnya 6 (18,2) 9 (27,3) 9 (27,3) 9 (27,3)
2
Keluarga selalu memperhatikan perkembangan yang terjadi pada
anak 2 (6,1) 9 (27,3) 22 (66,7) - -
3
Keluarg aselalu terlibat langsung dalam perawatan diri anak
3 (9,1) 9 (27,3) 8 (24,2) 13 (39,4)
4
Keluarga akan dengan sabar pada anak apabila ia melakukan kesalahan
9 (27,3) 6 (18,2) 18 (54,5) - -
5
Keluarga selalu mengawasi anak ketika bermain dengan
teman-temannya 1 (3,0) 12 (36,4) 8 (24,2) 12 (36,4)
6
Keluarga selalu bermusyawarah tentang setiap sikap perkembangan
anak 1 (3,0) 7 (21,2) 7 (21,2) 18 (54,5)
7
Keluarga ikut mengarahkan apabila anak melakukan
memperhatikan perkembangan yang terjadi pada anak sebanyak 66,7%, keluarga
selalu terlibat langsung pada perawatan diri anak sebanyak 39,4%, keluarga
dengan sabar pada anak apabila melakukan kesalahan sebanyak 54,5%, keluarga
kadang-kadang atau selalu mengawasi anak ketika bermain dengan temannya
sebanyak 36,4%, keluarga selalu bermusyawarah tentang setiap sikap
perkembangan anak sebanyak 54,5% dan sebanyak 48,5% keluarga selalu ikut
Tabel 5.1.7. Distribusi frekuensi dan persentase pola asuh orang keluarga yang
memiliki anak tunagrahita berdasarkan pernyataan pola asuh permisif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang menerapkan pola asuh
permisif sering tidak membimbing anak ketika ia memperoleh hal-hal baru dari
No. Pernyataan
Jawaban Responden
Tidak Pernah
Kadang-kadang Sering Selalu
F (%) F (%) F (%) F (%)
1
Keluarga tidak membimbing anak ketika ia memperoleh hal-hal
baru dari sekolahnya 4 (12,1) 11 (33,3) 18 (54,5) - -
2
Keluarga lebih sering berada di luar rumah dengan berbagai kegiatan yang dikerjakan daripada
mengurus anak 18 (54,5) 10 (30,3) 3 (9,1) 2 (6,1)
3
Keluarga mempercayakan perkembangan anak pada guru yang mengajarnya
2 (6,1) 10 (30,3) 7 (21,2) 14 (42,4)
4
Keluarga membiarkan anak saat ia melakukan sesuatu yang melukai dirinya
30 (90,9) 2 (6,1) 1 (3,0) - -
5 Keluarga tidak pernah membatasi
sampai jam berapa anak bermain 20 (60,6) 9 (27,3) 1 (3,0) 3 (9,1)
6 Keluarga selalu membiarkan apabila anak bersikap berontak
25 (75,8) 7 (21,2) 1 (3,0) - -
7 Keluarga tidak membimbing anak
ketika ia sedang bermain dengan
sekolahnya sebanyak 54,5%, keluarga tidak pernah lebih sering berada di luar
rumah daripada mengurus anak sebanyak 54,5%, keluarga kadang- kadang
mempercayakan perkembangan anak pada guru yang mengajarnya, keluarga tidak
pernah membiarkan anak saat ia melukai dirinya sebanyak 90,9%, keluarga selalu
membatasi sampai jam berapa anak bermain sebanyak 60,6%, keluarga tidak
pernah membiarkan anak ketika ia berontak sebanyak 75,8% dan sebanyak 57,6%
keluarga selalu membimbing anak ketika ia sedang bermain dengan
Tabel 5.1.8. Distribusi frekuensi dan persentase pola asuh keluarga yang
memiliki anak tunagrahita berdasarkan pernyataan pola asuh otoriter
Hasil penelitian menunjukan bahwa keluarga yang menerapkan pola asuh
otoriter tidak pernah memberikan hukuman kepada anak apabila perilakunya
membuat kesal sebanyak 51,5%, keluarga tidak pernah melarang untuk bermain
No. Pernyataan
Jawaban Responden
Tidak Pernah
Kadang-kadang Sering Selalu
F (%) F (%) F (%) F (%)
1
Keluarga memberi hukuman kepada anak apabila perilakunya
membuat kesal 17 (51,5) 14 (42,4) 1 (3) 1 (3)
2
Keluarga melarang anak untuk bermain dengan anak normal
lainnya 21 (63,6) 9 (27,3) 3 (9,1) - -
3
Keluarga akan melontarkan kata-kata yang kasar yang menyakiti si anak, apabila ia tidak berprilaku
sesuai yang diajarkan 26 (78,8) 7 (21,2) - - - -
4
Keluarga memberi larangan kepada anak apabila ia melakukan kesalahan dan keluarga tidak memberikan alasan apapun terhadap anak
12 (36,4) 16 (48,5) 5 (15,2) - -
5 Keluarga membiarkan anak tetap bermain ketika jam istirahat siang
15 (45,5) 15 (45,5) 3 (9,1) - -
6
Keluarga memarahi anak ketika ia tidak sengaja merusak barang di
rumah 11 (33,3) 19 (57,6) 3 (9,1) - -
7 Keluarga selalu mengatur jadwal bermain anak setiap hari
dengan anak normal lainnya sebanyak 63,6%, keluarga tidak pernah melontarkan
kata-kata kasar yang menyaiti si aanak apabila ia tidak berperilaku dengan sesuai
yang diajarkan sebanyak 78,8%, keluarga kadang-kadang memberikan larangan
kepada anak apabila membuat kesalahan dan tidak memberikan alasan apapun
sebanyak 48,5%, keluarga tidak pernah atau kadang membiarkan anak tetap
bermain ketika jam istirahat siang sebanyak 45,5%, keluarga kadang-kadang
memarahi anak ketika tidak sengaja merusak barang di rumah sebanyak 57,6%,
dan sebanyak 39,4% keluarga kadang-kadang mengatur jadwal bermain anak
setiap hari.
5.2. Pembahasan Pola Asuh Keluarga yang Memiliki Anak Tunagrahita Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pola asuh keluarga yang
memiliki anak tunagrahita menerapkan pola asuh demokratif sebanyak 28
responden (84,8%). Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa pola asuh
demokratis lebih kondusif daripada pola asuh otoriter dan permisif terhadap
perkembangan kognitif, keberhasilan/prestasi akademik dan juga kemampuan
psikososial (Nurul, 2011).
Hasil penelitian menunjukkan mayoritas rentang usia 36-45 tahun, dimana
pada rentang usia tersebut sudah dewasa untuk hal berpikir dan berperilaku dalam
mengasuh dan merawat anak. Hal ini didukung oleh penelitian Afriani, dkk (2012)
dalam Yusuf (2013) yang menyatakan bahwa semakin bertambah umur semakin
bertambah pula pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki mengenai perilaku
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebahagian besar keluarga yang
menerapkan pola asuh demokratif memiliki latar belakang pendidikan rata-rata
SMA sebanyak 14 orang (50%). Peneliti mengasumsikan bahwa pendidikan SMA
merupakan jenjang pendidikan yg formal dimana seseorang telah dilatih belajar
secara mandiri untuk mendapatkan informasi dari luar untuk menyelesaikan
tugas-tugas pelajaran seperti artikel, makalah dan media cetak lainnya. Sejalan dengan
penelitian Suci, dkk (2011) di SLB-C Sumber Dharma Malang menyatakan
bahwa proses formal yang ditempuh melalui pendidikan yang tinggi dalam
praktek pola asuhnya tampak lebih sering membaca artikel maupun mengikuti
kemajuan mengenai perkembangan dalam mengasuh anak mereka.
Hasil penelitian menunjukan bahwa mayoritas keluarga yang menerapkan
pola asuh demokratif berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 25 orang
(89,3%) dan karakteristik pekerjaan paling banyak pada item dll (ibu rumah
tangga, mahasiswa, notaris) sebanyak 17 orang (60,7%) dengan mayoritas adalah
ibu rumah tangga. Perempuan mempunyai status sebagai ibu rumah tangga dan
melaksanakan semua pekerjaan yang berkaitan dengan rumah tangga seperti
merawat, mendidik dan mengasuh anak. Hal ini sejalan dengan penelitian Yanti
(2011) menyatakan bahwa pekerjaan adalah salah satu faktor yang
memperngaruhi pembentukan pola asuh, orang tua yang tidak atau kurang
memperhatikan pendidikan anaknya dikarenakan terlalu sibuk dengan
pekerjaannya dapat mengakibatkan anak tidak atau kurang berhasil dalam
belajarnya sehingga mendapatkan hasil yang kurang memuaskan dalam
demokratif rata-rata sebagai ibu rumah tangga yang berarti pekerjaan ibu rumah
tangga tidak terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga ibu rumah tangga dapat
memperhatikan setiap perkembangan yang terjadi pada anaknya khususnya anak
tunagrahita.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mayoritas tingkat penghasilan
keluarga dengan pola asuh demokratif memiliki penghasilan keluarga di atas
UMR yaitu Rp. > 1.851.500,- sebanyak 22 orang (78,6%). Peneliti
mengasumsikan bahwa keluarga yang berpendapatan yang lebih tinggi akan lebih
mudah dalam memenuhi kebutuhan anaknya khususnya pada anak tunagrahita.
Pada anak tunagrahita memerlukan pendidikan khusus untuk mendidik dan
melatihnya, untuk itu dibutuhkan juga biaya yang tinggi dalam memberikan
pendidikan pada anak tunagrahita. Hal ini sejalan dengan penelitian Afriani, dkk
(2012) dalam Yusuf (2013) menyatakan bahwa tingkat sosial ekonomi sangat
mempengaruhi pola asuh yang dilakukan oleh suatu masyarakat, rata-rata
keluarga dengan sosial ekonomi yang cukup baik akan memilih pola asuh yang
sesuai dengan perkembangan anak.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga dengan pola asuh
demokratis yang selalu mendampingi anak saat bersosialisasi (27,3%) dan
keluarga selalu mengawasi anak ketika bermain (36,4%), menurut pendapat
Gunarsa (2002) keluarga khususnya orangtua mempunyai peranan yang sangat
penting dalam menjaga, mengajar, mendidik, serta memberikan contoh bimbingan
menerapkan tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang
ada dalam masyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga sering memperhatikan
setiap perkembangan anak (66,7%) dan keluarga selalu bermusyawarah tentang
setiap sikap perkembangan yang terjadi pada anak (54,5%), pernyataan ini
didukung oleh pendapat Nirwana (2013) yang menyatakan bahwa setiap
perkembangan anak merupakan suatu proses yang kompleks, tidak dapat
terbentuk hanya dari dalam diri saja, tetapi juga lingkungan tempat tinggal anak.
Lingkungan yang pertama dan paling berpengaruh adalah lingkungan keluarga,
dimana orangtua sangat berperan didalamnya .
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa keluarga selalu terlibat langsung
pada perawatan diri anak (39,4%), menurut Wall (1993) dalam Prasetyo (2012)
berpendapat bahwa anak atau individu yang mengalami retardasi mental
memerlukan bantuan orang lain dalam aktivitasnya untuk menunjang hubungan
dengan individu lain agar dapat berjalan lancar.
Hasil penelitian juga didapatkan bahwa keluarga sering menunjukkan
sikap sabar apabila anak tunagrahita melakukan kesalahan sebanyak (54,5%), dan
keluarga selalu ikut mengarahkan apabila anak melakukan kesalahan (48,5%).
Menurut Mahdalena (2008) menyatakan bahwa keterbatasan yang dimiliki oleh
anak cacat membawa pengaruh terhambatnya proses penyesuaian diri pada
lingkungan sosial. Pengasuhan anak cacat secara khusus diharapkan dapat
membangun rasa kepercayaan dirinya dan dapat bersosialisasi dengan
bentuk perhatian, memperlakukan anak dengan baik, dan melatihnya dengan
kesabaran agar anak tersebut merasa bahwa dirinya telah diterima dengan baik
oleh lingkungan masyarakat.
Hasil penelitian juga ada yang menunjukkan bahwa dari 33 keluarga, ada 3
keluarga yang menerapkan pola asuh permisif dan 2 keluarga yang menerapkan
pola asuh otoriter. Pola asuh permisif dan otoriter merupakan pola asuh yang tidak
baik diterapkan pada anak yang berkebutuhan khusus seperti anak tunagrahita
karena anak tunagrahita memerlukan perhatian yang khusus dalam merawat,
mengasuh dan mendidik anak. Menurut Baumrind (1991) menyatakan bahwa pola
permisif merupakan pola asuh yang cenderung sedikit memberikan bimbingan
kepada anak bahkan cenderung tidak memperingati anak apabila anak sedang
dalam bahaya dan pola asuh otoriter merupakan pola asuh yang tidak mengerti
mengenai anaknya yang cenderung memaksa, memerintah dan menghukum..
Keluarga yang menerapkan pola asuh permisif diketahui pada hasil
penelitian menunjukkan ada 1 orang responden yang memiliki tingkat pendidikan
SMP (33,3%). Peneliti mengasumsikan bahwa tingkat pendidikan SMP
merupakan jenjang pendidikan yang belum mampu secara kognitif untuk
menerapkan pola asuh yang baik dalam mendidik anak tunagrahita. Hal ini terkait
dengan penelitian Suci, dkk (2011) di SLB-C Sumber Dharma Malang
menyatakan bahwa keluarga yang memiliki latar belakang pendidikan rendah
yang sering menunjukkan kurang pengertian pada anak dan cenderung
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebanyak 2 orang dari 3 orang
yang menerapkan pola asuh permisif memiliki pekerjaan pada item dan lain-lain
yaitu ibu rumah tangga. Hal ini bertolak belakang yang dimana biasanya ibu
rumah tangga memiliki waktu luang yang lebih banyak untuk mengasuh dan
merawat anak tunagrahita di rumah. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh psikologis
atau penentuan sikap ibu dalam mendidik dan mengasuh anak berbeda-beda pada
setiap orang. Menurut Afrianni, dkk (2012) dalam Yusuf (2013) menyatakan
bahwa psikologis seseorang juga mempengaruhi cara dalam mendidik dan
mengasuh anak dan juga berdampak pada perkembangan kepribadian anak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga sering tidak membimbing
anaknya ketika memperoleh hal baru (54,5%), keluarga selalu mempercayakan
perkembangan anak kepada guru yang mengajarnya (42,4%), keluarga selalu
membatasi jam bermain anak (60,6%) dan keluarga selalu membimbing anak
ketika sedang bermain dengan teman-temannya (57,6%), menurut pernyataan
Anonim (2011) dalam Bahrul, dkk (2012) menyatakan bahwa member
kebebasany ang berlebihan, apalagi terkesan membiarkan, akan membuat si anak
bingung dan berpotensi salah arah dan hasilnya anak akan menjadi tidak patuh,
manja, kurang mandiri, dan kurang percaya diri.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden yang
menerapkan pola asuh otoriter memiliki anak dengan jenis ketunagrahitaan
sedang. Peneliti mengasumsikan bahwa anak tunagrahita berbeda dengan anak
normal lainnya. Anak tunagrahita memiliki IQ di bawah anak normal, maka
berperilaku seperti anak lainnya dan dapat diterima di lingkungan sekitar oleh
teman sebaya. Hal ini didukung oleh pendapat Dentler & Mackler (dalam Kemis
& Rosnawati, 2013) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif
antara IQ anak dengan penerimaan sosial di lingkungannya oleh teman sebaya.
Semakin tinggi IQ seorang anak, semakin populer diterima oleh kelompok teman
sebaya. Penolakan teman sebaya terhadap anak tunagrahita dikarenakan anak
tunagrahita mengalami kesulitan dalam hal belajar ketrampilan sosial yang
diperlukan dalam pergaulan. Penolakan menyebabkan munculnya penyimpangan
pola penyesuaian diri anak tunagrahita karena kehadirannya ditolak dan secara
diisolasi.
Berdasarkan analisis data yang dilakuan tentang bentuk pola asuh keluarga
yang memiliki anak tunagrahita di YPAC Medan yang tergambar dari hasil
kuisioner terhadap beberapa keluarga, dimana bentuk pola asuh yang dominan
diterapkan oleh keluarga yang memiliki anak tunagrahita adalah bentuk pola asuh