• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pola Asuh Keluarga 2.1.1 Definisi Pola Asuh Keluarga - Pola Asuh Keluarga yag Memiliki Anak Tunagrahita di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pola Asuh Keluarga 2.1.1 Definisi Pola Asuh Keluarga - Pola Asuh Keluarga yag Memiliki Anak Tunagrahita di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pola Asuh Keluarga

2.1.1 Definisi Pola Asuh Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul serta tinggal disuatu tempat dibawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI, 1998 dalam Santun S & Agus Citra D, 2008).

Menurut Friedman, 1998 dalam Santun S & Agus Citra D, (2008) keluarga merupakan kesatuaan dari orang-orang yang terikat dalam perkawinan, ada hubungan darah, atau adopsi dan tinggal dalam satu rumah.

Pola asuh adalah bentuk-bentuk yang diterapkan dalam rangka merawat, memelihara, membimbing dan melatih dan memberikan pengaruh (Tarmuji, 2004). Pola pengasuhan anak adalah perilaku yang dipraktekkan oleh pengasuh (bapak, ibu, nenek, keluarga, pengasuh) dalam memberikan pemeliharaan kesehatan, memberikan stimulasi, serta dukungan emosional yang dibutuhkan anak untuk pertunbuhan dan perkembangan (Husaini, 2000).

Pola asuh adalah pola interaksi antara anak dengan keluarga yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik dan kebutuhan psikologis, tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat (Gunarsa, 2002).

(2)

mengasuh anak. Pola asuh merupakan pola interaksi antara anak dengan keluarga bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lainlain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang, dan lainlain), tetapi

juga mengajarkan norma‐norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan.

2.1.2 Macam-macam Pola Asuh

Menurut Baumrind (1991), terdapat empat macam pola asuh yaitu:

1. Pola Asuh Demokratis, yaitu pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orangtua dalam pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Pada tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan terhadap kemampuan anak. Tipe ini juga member kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.

2. Pola Asuh Otoriter yaitu pola asuh yang cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Tipe ini cenderung memaksa, memerintah dan menghukum. Orangtua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi bersifat satu arah. Dan pada tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.

(3)

apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh orangtua kepada anaknya. Namun pada tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.

4. Pola Asuh Penelantar, umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim kepada anak-anaknya. Waktu yang dimiliki orangtua atau keluarga banyak yang digunakan untuk kepribadian mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah perilaku secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi.

Hurlock (1999) membagi bentuk pola asuh menjadi tiga macam pola asuh, yaitu:

1. Pola Asuh Demokratis yaitu pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Keluarga pada pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio dan pemikiran-pemikiran. Keluarga tipe ini bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Keluarga juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak yang bersikap hangat.

(4)

3. Pola Asuh Permisif, memberikan pengawasan yang sangat longgar kepada anak. Keluarga cenderung tidak menegur atau memperingati anak apabila sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan kepada mereka.

2.1.3 Syarat Pola Asuh Efektif

Menurut Shanti (2007) dalam Aprisanti (2010) agar pola asuh menjadi efektif antara lain :

1. Pola asuh harus dinamis: harus sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan dan perkembangan anak, misalnya pola asuh batita berbeda dengan pola asuh anak usia sekolah.

2. Pola asuh harus sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak, hal ini dilakukan karena setiap anak memiliki minat dan bakat berbeda.

3. Ayah – ibu mesti kompak. Ayah dan ibu sebaiknya menerapkan pola asuh yang sama. Dalam hal ini, kedua orang tua sebaiknya “berkompromi” dalam menetapkan nilai – nilai yang boleh dan tidak boleh. Jangan sampai orang tua saling bersebrangan karena hanya akan membuat anak binggung..

(5)

5. Komunikasi efektif merupakan sub bagian dari pola asuh efektif. Syaratnya sederhana meluangkan waktu untuk berbincang – bincang dengan anak menjadi pendengar yang baik dan tidak meremehkan pendapat anak. Dalam setiap diskusi orang tua dapat memberikan saran atau meluruskan pendapat anak yang keliru sehingga anak lebih terarah dan dapat mengembangkan potensi yang maksimal.

6. Disiplin, penerapannya harus fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak misalnya dalam kondisi kelelahan jangan lantas diminta mengerjakan tugas sekolah hanya karena saat itu merupakan waktunya untuk belajar.

7. Orang tua konsisten, bisa menerapkan konsistensi sikap, misalnya anak tak boleh minum air dingin kalau sedang terserang batuk. Tapi kalau anak dalam keadaan sehat ya boleh-boleh saja. Dari situ ia belajar untuk konsisten terhadap sesuatu. Yang penting setiap aturan mesti disertai penjelasan yang bisa dipahami anak, kenapa ini tak boleh, kenapa itu boleh. Lama-lama, anak akan mengerti atau terbiasa mana yang boleh dan tidak. Orang tua juga sebaiknya konsisten. Jangan sampai lain kata dengan perbuatan. Misalnya, ayah atau ibu malah minum air dingin saat sakit batuk.

(6)

Pola asuh yang diberikan orang tua pada anak dapat berbeda-beda dan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Yang termasuk faktor internal, misalnya latar belakang keluarga, usia, jenis kelamin keluarga dan anak, pendidikan dan wawasan, karakter anak dan konsep peranan orang tua dalam keluarga. Sedangkan yang termasuk faktor eksternal, misalnya tradisi yang berlaku dalam lingkungan, sosial ekonomi lingkungan dan semua hal yang berasal dari luar keluarga tersebut yang bisa mempengaruhi orang tua dalam menerapkan pola asuhnya (Afriani, dkk (2012) dalam Yusuf, H (2013). Faktor-faktor tersebut kemudian dijabarkan ke dalam beberpa poin, antara lain:

1. Usia

Umur merupakan indikator kedewasaan seseorang, semakin bertambah umur semakin bertambah pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki mengenai perilaku yang sesuai untuk mendidik anak.Anak-anak dengan orang tua usia muda akan mendapatkan pengawasan yang lebih longgar karena dalam diri orang tua usia muda cenderung memiliki sifat toleransi yang tinggi dan memaklumi terhadap anak. Usia ibu muda juga dapat mempengaruhi sumber daya yang tersedia untuk anak.

2. Jenis kelamin

(7)

putrinya menjadi lebih tegas dan mahir dalam bersosialisasi dan seorang ayah ingin anaknya menjadi, lebih fleksibel, tumbuh dengan tegas dan berkepribadian kuat.

3. Pendidikan dan wawasan

Tingkat pendidikan dan pengetahuan dalam keluarga serta pengalaman sangat berpengaruh dalam mengasuh anak. Pendidikan akan memberikan dampak bagi pola pikir dan pandangan keluarga dalam mendidik anak. Pada keluarga yang memiliki tingkat pendidikan dan wawasan yang tinggi akan memperhatikan dan merawat anak sesuai dengan usia perkembangannya dan akan menunjukkan penyesuaian pribadi dan sosial yang lebih baik yang akan membuat anak memiliki pandangan positif terhdap orang lain dan masyarakat. 4. Kondisi sosial ekonomi

Tingkat sosial ekonomi sangat mempengaruhi pola asuh yang dilakukan oleh suatu masyarakat, rata-rata keluarga dengan sosial ekonomi yang cukup baik akan memilih pola asuh yang sesuai dengan perkembangan anak.

5. Kondisi psikologis

Psikologis juga mempengaruhi cara dalam mengasuh anak, keluarga yang rentan terhadap emosi negatif, baik itu depresi, lekas marah, cenderung berperilaku kurang peka dan lebih keras dari keluarga lainnya. Karakteristik kepribadian keluarga juga berperan dalam mempengaruhi emosi yang mereka alami, kognitif dan atribusi yang berdampak pada perkembangan kepribadian anak.

(8)

Orang tua, terutama ibu yang bekerja di luar rumah dan memiliki lebih banyak waktu di luar rumah, seringkali mempercayakan pengasuhan anak kepada nenek, tante atau keluarga dekat lain. Bila tidak ada keluarga tersebut maka biasanya anak dipercayakan pada pembantu (babysitter).Dalam tipe keluarga seperti ini, anak memperoleh jenis pengasuhan yang kompleks sehingga pembentukan kepribadian anak tidak sepenuhnya berasal dari pola asuh orang tua.

7. Budaya.

Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak.Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan.Orang tua mengaharapkan kelak anaknya dapat diterima di masyarakat dengan baik.Oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan pola asuh pada anaknya.

2.1.5 Karakteristik Anak Berdasarkan Pola Asuh

Menurut Afriani, dkk (2012) dalam Yusuf, H. (2013), karakteristik anak berdasarkan pola asuh di dalam keluarga terbagi tiga, yaitu:

1. Pola asuh otoriter.

(9)

lingkungan sosialnya, bersikap menunggu dan tak dapat merencakan sesuatu dengan baik.

2. Pola asuh demokratif.

Literatur yang ada telah mendokumentasikan bahwa pola asuh demokratif secara signifikan terkait dengan hasil perkembangan yang positif antara anak-anak. Baumrind dari hasil penelitiannya menemukan bahwa teknik-teknik asuhan yang demokratif akan menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri maupun mendorong tindakan-tindakan mandiri membuat keputusan sendiri akan berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggung jawab. 3. Pola asuh permisif.

Pola asuh permisif ini dapat mengakibatkan anak agresif, tidak patuh pada orang tua, merasa berkuasa dan kurang mampu mengontrol diri.Karakter anak dengan pola asuh demikian menjadikan anak impulsif, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri dan kurang matang secara sosial.

2.2 Tunagrahita

2.2.1 Definisi Tunagrahita.

Menurut Wardani, dkk. (2009) adapun peristilahan di Indonesia mengenai penyandang tunagrahita, mengalami perkembangan, seperti berikut:

a) Lemah pikiran, lemah ingatan, digunakan sekitar tahun 1967

(10)

c) Tunagrahita, digunakan sejak tahun 1983 hingga sekarang dan diperkuat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 72/1991 tentang Pendidikan Luar Biasa.

Beragamnya istilah yang digunakan disebabkan oleh perbedaan latar belakang keilmuan dan kepentingan para ahli yang mengemukakannya. Namun demikian, semua istilah tersebut tertuju pada pengertian yang sama, yaitu menggambarkan kondisi terlambat dan terbatas nya perkembangan kecerdasan seseorang sedemikian rupa jika dibandingkan dengan rata-rata atau anak pada ummumnya disertai dengan keterbatasan dalam perilaku penyesuaian. Kondisi ini berlangsung pada masa perkembangan.

Pemahaman yang jelas tentang siapa dan bagaimanakah anak tunagrahita ini merupakan hal yang sangat penting untuk menyelenggarakan layanan pendidikan dan pengajaran yang tepat bagi mereka. Berbagai definisi telah dikemukakan oleh para ahli. Salah satu definisi yang diterima secara luas dan menjadi rujukan utama ialah definisi yang dirumuskan Grossman (1983) dalam Wardani,dkk. (2009), ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara nyata (signifikan) berada di bawah rata-rata (normal) bersamaan dengan kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian diri dan semua ini berlangsung (termanifestasi) pada masa perkembangannya.

Dari definisi tersebut, beberapa hal yang perlu kita perhatikan adalah sebagai berikut:

(11)

yang bersangkutan memerlukan layanan pendidikan khusus. Sebagai contoh, anak nomal rata-rata mempunyai IQ (Intelligence Quotient) 100, sedangkkan anak tunagrahita memiliki IQ paling tinggi 70.

b) Kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian (perilaku adaptif), maksudnya bahwa yang bersangkutan tidak/kurang memiliki kesanggupan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan usianya. Ia hanya mampu melakukan pekerjaan seperti yang dapat dilakukan oleh anak yang usianya lebih muda darinya.

c) Ketunagrahitaan berlangsung pada periode perkembangan, maksudnya adalah ketunagrahita itu terjadi pada usia perkembangan, yaitu sejak konsepsi hingga usia 18 tahun.

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa untuk dikategorikan sebagai penyandang tunagrahita, seseorang harus memiliki ketiga ciri-ciri tersebut. Apabila seseorang hanya memiliki salah satu dari ciri-ciri tersebut maka yang bersangkutan belum dapat dikategorikan sebgai penyandang tunagrahita.

2.2.2 Klasifikasi Anak Tunagrahita

Penting bagi Anda untuk memahami bahwa pada anak tunagrahita terdapat perbedaan indiidual yang variasinya sagat besar. Artinya, berasa pada level usia yang hampir sama serta jenjang pendidikan yang sama, kenyataannya kemampuan individu berbeda satu dengan lainnya (Wardani, dkk. 2009).

(12)

sedangkan klasifikasi yang dilakukan oleh kaum pendidik di Amerika adalah educable mentally retarded (mampu didik), trainable mentally retarded (mampu

latih) dan totally/custodial dependent (mampu rawat). Pengelompokan yang telah disebutkan itu telah jarang digunakan karena terlampau mempertimbangkan kemampuan akademik seseorang.

Menurut Hallahan (1982) dalam Waradi,dkk., (2009), klasifikasi yang digunakan sekarang adalah yang dikemukakan oleh AAMD (American Association on Mental Deficiency)sebagai berikut:mild mental retardation

(tunagrahita nya 55-70, ringan), moderate mental retardaton (tunagrahita IQ-nya 40-55, sedang), severe mental retardation (tunagrahita IQ-IQ-nya 25-40, berat), profound mental retardation (tunagrahita IQ-nya dibawah 25, sangat berat).

Klasifikasi yang digunakan di Indonesia saat ini sesuai dengan PP 72 Tahun 1991 adalah sebagai berikut: tunagrahita ringan IQ-nya 50-70, tunagrahita sedang IQ-nya 30-50, tuunagrahita berat dan sangat berat IQ-nya kurang dari 30.

Selain klasifikasi di atas ada pula pengelompokan berdasarkan kelainan jasmani yang disebut tipe klinis. Tipe-tipe klinis yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Down Syndrome (Mongoloid), anak tunagrahita jenis ini disebut demikian karena memiliki raut muka menyerupai orang Mongol dengan mata sipit dan miring, lidah tebal suka menjulur ke luar, telinga kecil, kulit kasar, susunan gigi kurang baik.

(13)

keriput, rambut kering, lidah dan bibir, kelopak mata, telapak tangan dan kaki tebal, pertumbuhan gigi terlambat.

3. Hydrochepal, anak ini memiliki ciri-ciri kepala besar, raut muka kecil, pandangan dan pendengaran tidak sempurana, mata kadang-kadang juling. 4. Microchepal, anak ini memiliki ukuran kepala yang kecil

5. Macrochepal, memiliki ukuran kepala yang besar dari ukuran normal.

2.2.3 Penyebab Tunagrahita

Seseorang menjadi tunagrahita disebabkan oleh berbagai faktor. Para ahli membagi faktor penyebab tersebut atas beberapa kelompok.

Strauss membagi faktor penyebab ketunagrahitaan menjadi dua gugus yaitu endogen dan eksogen. Faktor endogen apabila letak penyebabnya pada sel keturunan dan eksogen adalah hal-hal yang di luar sel keturunan, misalnya infeksi, virus menyerang otak, benturan kepala yang keras, radiasi, dan lain-lain (Moh.Amin, 1995 dalam buku Wardani, dkk. 2009).

Cara lain yang sering digunakan dalam pengelompokkan faktor penyebab ketunagrahitaan adalah berdasarkan waktu terjadinya, yaitu faktor yang terjadi sebelum lahir (prenatal); saat kelahiran (natal); dan setelah lahir (postnatal).

Berikut ini akan dibahas beberapa penyebab ketunagrahitaan yang sering ditemukan baik yang berasal dari faktor keturunan maupun faktor lingkungan.

1.Faktor keturunan

(14)

dilihat dari bentuknya dapat berupa inverse (kelainan yang menyebabkan berubahnya urutan gene karena melilitnya kromosom; delesi (kegagalan meiosis, yaitu salah satu pasangan tidak membelah sehingga terjadi kekurangan kromosom pada salah satu sel); duplikasi (kromosom tidak berhasil memisahkan diri sehingga terjadi kelebihan kromosom pada salah satu sel yang lain); translokasi (adanya kromosom yang patah dan patahnya menempel pada kromosom lain). Kelainan gene terjadi pada waktu mutasi, tidak selamanya tampak dari luar (tetap dalam tingkat genotip).

2. Gangguan metabolisme dan gizi

Kelainan yag disebabkan oleh kegagalan metabolisme dan gizi, antara lain phenylketonuria (akibat gangguan metabolisme asam amino) dengan gejala yang tampak berupa: tunagrahita, kekurangan pigmen, kejang saraf, kelainan tingkah laku ; gargoylism (kerusakan metabolisme saccharide yang menjadi tempat penyimpanan asam mucopolysaccharide dalam hati, limpa kecil, dan otak) dengan gejala yang tampak berupa ketidaknormalan tinggi badan, kerangka tubuh yang tidak proposional, telapak tangan lebar dan pendek, persendian kaku, lidah lebar dan menonjol dan tunagrahita ; cretinism (keadaan hypohydroidism kronik yang terjadi selama masa janin atau saat dilahirkan) dengan gejala kelainan yang tampak adalah ketidaknormalan fisik yang khas dan ketunagrahitaan.

3. Infeksi dan keracunan

(15)

mengakibatkan ketunagrahitaan serta adanya kelainan pendengaran, penyakit jantung bawaab, berat badab sangat kurang ketika lahir; syphilis bawaan; syndrome gravidity beracun, hampir pada semua kasus berakibat

ketunagrahitaan.

4. Trauma dan zat radioaktif

Terjadinya trauma pada otak ketika bayi dilahirkan atau terkena radiasi zat radioaktif saat hamil dapat mengakibatkan ketunagrahitaan. Trauma terjadi pada saat dilahirkan biasanya disebabkan oleh kelahiran yang sulit sehingga memerlukan alat bantu. Ketidaktepatan penyinaran atau radiasi sinar X selama bayi dalam kandungan mengakibatkan cacat mental microsephaly.

5. Masalah pada kelahiran

Masalah yang terjadi pada saat kelahiran, misalnya kelahiran yang disertai hypoxia yang dipastikan bayi akan menderita kerusakan otak, kejang, dan napas pendek. Kerusakan juga dapat disebabkan oleh trauma mekanis terutama pada kelahiran yang sulit.

6. Faktor lingkungan

(16)

Latar belakang pendidikan orang tua sering juga dihubungkan dengan masalah-masalah perkembangan. Kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan dini serta kurangnya pengetahuan dalam memberikan rangsang positif dalam masa perkembangan anak menjadi salah satu penyebab timbulnya gangguan.

2.2.4 Karakteristik Anak Tunagrahita

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengisolasi bakteri yang bersimbiosis dengan spons dan menentukan karakteristik morfologi serta sifat Gram dari isolat

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Khalimatul Ulyah NIM : 14630014 Jurusan : Kimia Fakultas : Sains dan Teknologi Judul penelitian : Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak

Kabupaten Kutai Barat,terdapat Piutang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) tahun … sampai dengan tahun…..Badan Pengelola Pendapatan

Syekh Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yang diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu komunitas dan kampung model yang dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni kerajaan. Wajar

Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam perancangan basisdata kluster ini adalah dengan menginstal virtualbox, kemudian membuat beberapa server pada virtualbox dengan Ubuntu

Hasil dari penelitian sama dengan hasil penelitian yang diperoleh oleh Hanum dan zulaikha (2013) yang menunjukkan bahwa komite audit tidak berpengaruh signifikan

Pada perspektif kontribusi organisasi pada Tabel 4 terdapat beberapa tujuan strategi yang diturunkan dalam key performance indicator yaitu presentasi anggaran dengan