• Tidak ada hasil yang ditemukan

Volume Kayu Tebangan dan Faktor Eksploitasi

Kegiatan penebangan yang baik adalah yang tidak menyisakan limbah pemanenan. Pengukuran terhadap volume kayu tebangan adalah suatu kegiatan untuk dapat memprediksi besaran limbah yang tertinggal di lokasi penebangan. Volume log yang diharapkan termanfaatkan, volume log termanfaatkan, dan faktor eksploitasi dapat dilihat pada Tabel 3

Tabel 3. Volume log yang diharapkan termanfaatkan dan volume log yang termanfaatkan No. Jenis Volume Diharapkan Termanfaatka n (Vph) Volume Termanfaatkan (Vp) Kelas kuat Kelas Awet Fe 1 Meranti Merah (Shorea leprosula) 186.5 138.2 III-IV III 0.74 2 Meranti Cengkawang (Shorea parvifolia) 104.15 83.67 III-V III 0.80 3 Meranti Sepat (Shorea palembanica) 149.52 97.81 III-V IV 0.65 4

Meranti Kulit Buaya

(Shorea platycladus) 63.18 44.73 II II 0.71 5 Meranti Batu (Hopea mengarawan) 104.63 83.73 II-I II 0.80 Jumlah 607.98 448.14

Sumber : data primer penelitian (2009).

Tabel 3 menunjukkan bahwa adanya perbedaan antara volume log yang diharapkan termanfaatkan dengan volume log yang termanfaatkan. Volume log yang termanfaatkan diperoleh dari pengukuran volume log yang diangkut ke TPn, dengan asumsi volume log tersebut termanfaatkan. Sedangkan untuk volume log yang diharapkan termanfaatkan adalah volume log yang diharapkan dapat termanfaatkan secara keseluruhan tanpa adanya limbah.

Rata-rata Fe yang diperoleh adalah 0,74 dengan Fe terbesar diperoleh dari jenis meranti cengkawang dan meranti batu yaitu sebesar 0,80. Sedangkan untuk nilai Fe terkecil diperoleh dari jenis meranti sepat yaitu sebesar 0,65. Berdasarkan Widiyanti (2005) bahwa besarnya nilai Fe menunjukkan melalui sistem pemanenan yang ada seberapa besar kayu yang dapat dimanfaatkan, setelah mempertimbangkan kondisi topografi lapangan. Nilai Fe yang rendah dapat mengindikasikan bahwa semakin banyak volume pohon yang seharusnya termanfaatkan menjadi limbah pemanenan. Semakin tinggi nilai Fe maka akan semakin baik. Karena kondisi ini mengindikasikan semakin minimnya limbah kayu yang dihasilkan.

Hasil nilai Fe yang diperoleh pada penelitian ini sebesar 0,74 menunjukkan nilai Fe yang lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Widiyanti (2005) di areal PT. Inanta Timber yaitu sebesar 0,85. Perbedaaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan kondisi topografi lapangan. Demikian juga nilai Fe yang diperoleh pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Elias (2002) dalam Widiyanti (2005) yang dilakukan di areal PT. Kiani Lestari yaitu sebesar 0,90. Besarnya faktor eksploitasi yang diperoleh pada penelitian tersebut dapat disebabkan oleh kondisi topografi lapangan yang mudah serta sistem pengelolaannya sebagai HPHTI.

Menurut Elias (2002) dalam Widiyanti (2005), besarnya Fe pada dasarnya ditentukan oleh adanya 2 faktor dominan, yaitu:

1. Efisiensi pemanenan kayu

Efisiensi pemanenan kayu terutama sekali dipengaruhi oleh sistem dan teknik kegiatan pemanenan kayu. Teknik pemanenan kayu tidak terlepas dari tahapan penebangan yang merupakan komponen dari kegiatan pemanenan kayu, dan tidak terlepas dari kegiatan penentuan arah rebah pohon, pelaksana penebangan, pembagian batang, penyaradan, pengupasan dan pengangkutan. Teknik penebangan yang baik, yang mengusahakan pembuatan arah rebah yang tepat dan pembuatan teknik rebah yang serendah mungkin dapat meminimalisasi tingkat kerusakan kayu di lokasi penebangan.

2. Kerusakan biologis

Kerusakan biologis merupakan salah satu hal yang paling banyak menimbulkan masalah limbah pemanenan kayu setelah sistem dan teknik pemanenan kayu yang kurang tepat.

Limbah Pemanenan Kayu

Menurut Sastrodimejo dan Simarmata (1978) dalam Muhdi (2006) Limbah pemanenan adalah bagian pohon yang seharusnya dapat dimanfaatkan, tetapi karena berbagai sebab terpaksa ditinggalkan di hutan. Besarnya limbah tersebut dinyatakan dalam persentase antara volume bagian batang yang ditinggalkan dengan volume seluruh batang yang diharapkan dapat dimanfaatkan.

Limbah pemanenan kayu pada lokasi penebangan juga berarti kayu sisa yang tidak termanfaatkan lagi yang ditinggalkan pada lokasi penebangan. Artinya kayu tersebut seharusnya dapat termanfaatkan namun karena ditinggalkan di lokasi penebangan maka disebut limbah. Limbah pemanenan kayu merupakan

suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pemanenan kayu. Limbah-limbah yang diamati dan diukur pada lokasi penebangan adalah sisa-sisa kayu yang tertinggal pada lokasi penebangan dengan dimensinya dapat dimanfaatkan. Sedangkan untuk limbah dengan ukuran kecil tidak dilakukan pengamatan dan pengukuran disebabkan sudah tidak dapat termanfaatkan lagi. Besarnya limbah tersebut dinyatakan dalam persentase antara volume bagian batang yang ditinggalkan dengan volume seluruh batang yang diharapkan dapat dimanfaatkan. Besarnya persentase limbah pada lokasi penebangan dapat dilihat pada Tabel 4 Tabel 4. Persentase limbah pemanenan kayu pada lokasi penebangan berdasarkan

jenis

No. Jenis Pohon Volume Log yang diharapkanTermanfaatkan (m3) Volume Limbah (m3) Persentase Limbah (%) 1 2 3 4 5 Meranti Merah Meranti Cengkawang Meranti Sepat Meranti Kulit Buaya

Meranti Batu 186,5 104,15 149,52 63,18 104,63 23,37 16,92 31,47 5,36 16,62 12,53 16,25 21,05 8,48 15,88 Total 607,98 93,74 14,84

Sumber : data primer penelitian (2009).

Hasil persentase limbah pemanenan yang terbesar diperoleh dari jenis meranti sepat dengan nilai sebesar 21,05 % dan persentase terkecil diperoleh dari jenis meranti kulit buaya yaitu sebesar 8,48 %. Rata-rata persentase limbah pemanenan yang terdapat pada lokasi penebangan dalam bentuk batang adalah sebesar 14,84 %. Persentase limbah yang diperoleh pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan penelitian Widiananto (1981) dalam Muhdi (2006) mengemukakan bahwa limbah pemanenan kayu di hutan alam tropika basah dari suatu HPH di Kalimantan Timur mencapai 39,9 %, yang terdiri dari 26,5 % dalam bentuk batang dan 13,4 % dalam bentuk cabang. Persentase limbah pemanenan

yang lebih baik tersebut dapat disebabkann oleh penerapan RIL pada kegiatan pemanenan kayu pada IUPHHK-HA PT. AMT. Salah satu contoh limbah pemanenan kayu pada lokasi penebangan dapat dilihat pada Gambar 1

Gambar 1. Limbah pemanenan kayu pada lokasi penebangan.

Menurut Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 212/Kpts/IV-PHH/1990 Tentang Pedoman Teknis Penekanan dan Pemanfaatan Kayu Limbah Pembalakan dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :6886/Kpts-II/2002 Tentang Pedoman dan Tata Cara Pemberian Izin Pemungutan Hasil Hutan (HPH) pada Hutan Produksi, Kayu limbah pembalakan adalah kayu yang tidak atau belum dimanfaatkan pada kegiatan pembalakan yang berasal dari pohon yang boleh ditebang berupa sisa pembagian batang, tunggak, cabang, ranting, pucuk dan kayu bulat yang mempunyai ukuran diameter kurang dari 30 cm atau panjang kurang dari 2 meter atau kayu cacat/gerowong lebih dari 40%. Tujuan dari pemanfaatan limbah pemanenan kayu pada lokasi penebangan adalah untuk peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat disekitar lokasi IUPHHK PT. AMT

dan juga berguna untuk mengurangi kegiatan illegal logging pada areal kerja IUPHHK PT. AMT.

Limbah Pemanenan Berdasarkan Sebaran Diameter Sortimen

Hasil pengamatan dan pengukuran sortimen limbah pemanenan pada lokasi penebangan diklasifikasikan berdasarkan kelas diameter limbah. Sebaran sortimen yang paling banyak dengan kelas diameter 41 cm hingga 61 cm yaitu sebanyak 19 sortimen dan persentasenya sebesar 35,19 %, sedangkan kelompok sortimen yang paling sedikit adalah kelas diameter diatas 100 cm dengan jumlah 11 sortimen dan dengan persentasenya sebesar 20,37 %. Jumlah sortimen yang memiliki limbah pemanenan yaitu sebanyak 54 sortimen sedangkan sortimen selebihnya adalah sortimen yang diamati tanpa limbah.

Jumlah sortimen terbanyak dengan persentase terbesar untuk kelas diameter 41 cm hingga 61 cm disebabkan limbah yang diperoleh kebanyak adalah berasal dari ujung batang yang dipanenan. Sehingga diameter limbah yang diperoleh relative lebih kecil. Untuk jumlah sortimen dan persentase terkecil adalah diameter di atas 100 cm disebabkan limbah yang diperoleh lebih sedikit berasal dari pangkal batang yang dipanen. Jenis-jenis kayu yang memiliki diameter yang lebih besar dari 100 cm relative jarang, namun ada. Persentase sebaran diameter limbah pemanenan kayu pada lokasi penebangan dapat dilihat dari Gambar 2

Gambar 2. Sebaran diameter sortimen limbah pemanenan kayu pada lokasi penebangan.

Limbah Pemanenan Berdasarkan Sebaran Panjang Sortimen

Hasil pengamatan dan pengukuran limbah pemanenan kayu pada lokasi penabangan untuk sebaran panjang sortimen. Sebaran sortimen yang paling banyak dengan kelas panjang 1,6 m hingga 2,6 m yaitu sebanyak 27 sortimen dan persentasenya sebesar 50 %, sedangkan kelompok sortimen yang paling sedikit adalah dengan kelas panjang 2,6 m hingga 3,6 m dengan jumlah 9 sortimen dan dengan persentasenya sebesar 16,67 %.

Dimensi limbah yang terdapat pada lokasi penebangan relative berbeda-beda. Hal tersebut juga terpengaruh oleh jenis-jenis kayu yang dihasilkan, apakan kayu tersebut memiliki cacat alami sehingga ditinggalkan dengan ukuran sortimen yang relative panjang. Demikian juga dipengaruhi oleh medan yang dilalui, bila kemiringan lapangannya besar maka akan semakin susah menyarad log yang memiliki ukuran yang panjang. Sehingga limbah yang dihasilkan relative panjang. Limbah pemanenan berdasarkan sebaran panjang sortimen dapat dilihat pada

Gambar 3. Sebaran panjang sortimen limbah pemanenan kayu pada lokasi penebangan.

Gambar 3 menunjukkan besarnya persentase sebaran panjang sortimen limbah pemanenan yang terdapat pada lokasi penebangan. Persentase yang paling besar ditunjukkan dengan panjang 1,6 m hingga 2,6 m yaitu sebesar 50 %.

Limbah Pemanenan Berdasarkan Sebaran Diameter dan Panjang Sortimen

Sebaran diameter dan panjang sortimen limbah pemanenan pada lokasi penebangan terbanyak yaitu terdapat pada kelas panjang 1,6 m sampai 2,6 m dengan kelas diameter 41 cm sampai 61 cm yaitu sebesar 18,51 %. Sedangkan sebaran diameter dan panjang sortimen limbah pemanenan kayu pada lokasi penebangan terkecil yaitu pada kelas panjang 2,6 m hingga 3,6 m dengan kelas diameter 61 cm hingga 81 cm. Hasil persentase sebaran diameter dan panjang sortimen limbah pemanenan kayu pada lokasi penebangan dapat dilihat pada Gambar 4

Gambar 4. Sebaran diameter dan panjang sortimen limbah pemanenan kayu pada lokasi penebangan.

Faktor Penyebab Limbah Pemanenan

Perbedaan persentase limbah pemanenan kayu pada lokasi penebangan dipengaruhi beberapa faktor penyebab terjadinya limbah. Menurut Sularso (1996) dalam Muhdi, 2003 ada beberapa faktor yang diduga mempengaruhi besarnya limbah kayu antara lain : diameter pohon yang ditebang, bentuk tajuk dan percabangannya, kemiringan lapangan serta kerapatan tegakan. Faktor-faktor tersebutlah yang mempengaruhi persentase limbah, semakin banyak limbah pemanenan pada lokasi penebangan mengindikasikan bahwa ada pengaruh dari faktor penyebab tersebut. Salah satu contoh limbah pada lokasi penebangan yang ditinggalkan karena faktor kelerengan dapat dilihat pada Gambar 5

Gambar 5. Limbah pada lokasi penebangan yang ditinggalkan karena faktor kelerengan

Hasil penelitian Yudiarto (1997) dalam Widiyanti (2005) juga menyatakan bahwa pada limbah pemanenan terdapat kecenderungan bahwa besarnya limbah pemanenan kayu sebagian besar disebabkan oleh faktor-faktor teknis pelaksanaan metode penebangan dan permintaan pasar. Semakin terampil seorang operator, maka limbah yang ditimbulkan akan semakin kecil, sehingga bagian kayu yang termanfaatkan akan semakin besar. Hal ini sangat menguntungkan karena akan meminimalisasi limbah pemanenan kayu dan peningkatan nilai ekonomis kayu.

Limbah-limbah yang berasal dari kegiatan pemanenan pada lokasi penebangan disebabkan oleh berbagai faktor. Diantaranya yaitu disebabkan oleh cacat alami kayu, cacat mekanis yang disebabkan oleh teknik penebangan, dan yang terakhir adalah faktor alam yang disebabkan oleh kemiringan medan. Faktor-faktor tersebut saling berhubungan dengan potensi limbah pada lokasi penebangan. Cacat alami yang terdapat pada limbah yaitu berupa gerowong (Gambar 6), mata kayu (Gambar 7), bengkok (Gambar 8), dan banir (Gambar 9)

Gambar 6. Limbah pemanenan kayu yang disebabkan oleh faktor alami (gerowong)

Gambar 7. Limbah pemanenan kayu yang disebabkan oleh faktor alami (mata kayu)

Gerowong

Mata Kayu

Gambar 9. Limbah pemanenan kayu yang disebabkan oleh faktor alami (banir) Cacat mekanis yang terjadi pada limbah pemanenan kayu dapat disebabkan teknik pelaksanaan metode penabangan oleh operator tebang. Cacat mekanis yang terjadi dapat berupa pecah pada log sehingga ditinggalkan pada lokasi penebangan. Gambar limbah yang diakibatkan oleh cacat mekanis berupa pecah dapat dilihat pad Gambar 10

Gambar 10. Limbah pemanenan kayu yang disebabkan oleh faktor mekanis (pecah).

Banir

Penyebab yang terakhir terjadinya limbah pemanean pada lokasi penebangan yaitu faktor alam yang disebabkan oleh kemiringan medan. Data yang diperoleh dari PT. AMT mengenai kemiringan medan pada areal kerja PT. AMT menunjukkan bahwa sebagian besar dari areal kerja memiliki kemiringan lereng curam dengan persentase kemiringan antara 25 % sampai 40 % sebesar 57,66 % dari keseluruhan areal kerja PT. AMT. Hal tersebut menunjukkan limbah yang terjadi pada lokasi penebangan disebabkan oleh faktor alam, sehingga sulit untuk menyarad kayu dengan kemiringan medan curam.

Faktor terbesar penyebab terjadinya limbah pemanenan kayu pada lokasi penebangan adalah cacat alami yaitu sebesar 70,61 %, dengan jumlah sortimen yaitu sebanyak 40 sortimen. Kemudian untuk faktor penyebab limbah yang disebabkan oleh faktor alam yaitu sebesar 17,51 %. Sedangkan faktor terkecil penyebab terjadinya limbah pemanenan kayu pada lokasi penebangan adalah cacat mekanis sebesar 11,88 %. Persentase limbah berdasarkan faktor penyebabnya dapat dilihat dari Gambar 11 dan Tabel 5

Tabel 5. Persentase limbah pemanenan kayu berdasarkan faktor penyebabnya

No. Jenis Cacat Jenis Kayu

Jumlah Sortimen Volume (m3) Persentase (%) 1 Cacat Alami

a. Gerowong Meranti Merah 3 5.31 5.67

Meranti Cengkawang 2 8.72 9.30 Meranti Sepat 4 17.69 18.87

Meranti Kulit Buaya 0 0 0

Meranti Batu 1 3.34 3.56

b. Mata Kayu Meranti Merah 8 4.27 4.56

Meranti Cengkawang 1 2.28 2.43

Meranti Sepat 1 0.76 0.81

Meranti Kulit Buaya 0 0 0.00

Meranti Batu 4 2.71 2.89

c. Bengkok Meranti Merah 2 1.81 1.93

Meranti Cengkawang 1 0.54 0.58

Meranti Sepat 0 0 0.00

Meranti Kulit Buaya 1 0.63 0.67

Meranti Batu 3 2.23 2.38

d. Banir Meranti Merah 3 4.25 4.53

Meranti Cengkawang 0 0 0.00

Meranti Sepat 1 4.94 5.27

Meranti Kulit Buaya 2 4.25 4.53

Meranti Batu 2 2.46 2.62

2 Cacat Mekanis

a. Pecah Meranti Merah 4 7.72 8.24

Meranti Cengkawang 0 0 0.00

Meranti Sepat 0 0 0.00

Meranti Kulit Buaya 0 0 0.00

Meranti Batu 2 3.42 3.65 3 Faktor Alam a. Kelerengan (25%-40%) Meranti Merah 0 0 0.00 Meranti Cengkawang 3 5.38 5.74 Meranti Sepat 3 8.08 8.62

Meranti Kulit Buaya 1 0.48 0.51

Meranti Batu 2 2.46 2.62

Jumlah 54 93.73 100.00

Hasil pengamatan dan pengukuran yang dilakukan terhadap faktor penyebab terjadinya limbah diperoleh persentase terkecil dari faktor mekanis. PT. AMT telah mulai melaksanakan penerapan RIL (reduce impact logging) Suatu usaha yang dilakukan untuk mengurangi dampak pemanenan kayu terhadap lingkungan (sistem pemanenan kayu ramah lingkungan). Salah satunya yaitu meminimalilsasikan limbah pemanenan kayu. Teknik penebangan dan pembagian batang oleh operator sudah dilaksanakan semaksimal mungkin. Salah satunya yaitu penebangan dengan menyisakan tonggak yang lebih kecil (gambar 12). Pemotongan batang yang dilakukan pada lokasi penebangan adalah memotong batang pada batas cabang pertama untuk meminimalkan limbah pemanenan.

Gambar 12. Tonggak yang ditinggalkan pada lokasi penebangan.

Munurut Enters (2001) dalam Muhdi (2003) menyatakan bahwa pemotongan tonggak kayu yang ditebang yang seoptimal mungkin merupakan langkah awal dalam pengurangan limbah pemanenan kayu. Hal ini disebabkan pemotongan tonggak adalah salah satu kegiatan utama dalam pemanenan kayu tergantung seberapa besar usaha untuk mengurangi kerusakan tegakan tinggal yang diharapkan menjadi tegakan utama pada siklus tebang berikutnya.

Limbah pemanenan yang dihasilkan pada lokasi penebangan adalah sebesar 45 % dari keseluruhan pengamatan terhadap 120 batang. Jumlah pohon yang menghasilkan limbah adalah sebesar 54 dan 66 pohon lainnya adalah tidak berlimbah. Hal tersebut menunjukkan banyaknya pohon yang menghasilkan limbah.

Kegiatan pemanenan dimaksudkan untuk memanfaatkan hutan produksi dan dilaksanakan dengan memperhatikan aspek ekonomi, ekologi dan sosial dengan tujuan untuk mengoptimalkan nilai hutan, menjaga pasokan untuk industri stabil, dan meningkatkan peluang kerja, meningkatkan ekonomi lokal dan regional. Hal tersebut merupakan arti penting dalam pengelolaan secara lestari.

Pemanfaatan Limbah Pemanenan Kayu

Limbah pemanenan kayu yang diperoleh pada lokasi penebangan dapat dimanfaatkan seluruhnya. Berdasarkan Departemen Kehutanan, Direktoran Jenderal Pengusahaan Hutan Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 212/Kpts/IV-PHH/1990 Tanggal 6 Oktober 1990, tentang Pedoman Teknis Penekanan dan Pemanfaatan Kayu Limbah Pembalakan bahwa Kayu limbah pembalakan memiliki sortimen khusus lainnya dengan ukuran diameter lebih kecil dari 30 cm (panjang tanpa batasan) atau panjang kurang dari 2 meter (diameter tanpa batasan).

Pengukuran terhadap limbah pemanenan yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan ukuran terkecil untuk panjang yaitu 1,6 m. dan dengan diameter terkecil yaitu 43 m. Berdasarkan pada SNI 03-2445-1991 tentang Spesifikasi

Ukuran Kayu untuk Bangunan Rumah dan Gedung yang mensyaratkan ukuran panjang minimal yang dapat digunakan adalah 1 meter, maka kayu yang di atas 1 meter atau kurang dari 2 meter masih dapat dimanfaatkan untuk kayu pertukangan. Begitu juga dengan SNI 03-0675-1989 untuk spesifikasi ukuran kusen pintu kayu, kusen jendela kayu, daun pintu kayu dan daun jendela kayu untuk bangunan rumah dan gedung panjang kayu yang minimal yaitu 0,8 m dapat digunakan.

Tujuan dari pemanfaatan limbah kayu ini selain bernilai dari segi ekonomis juga untuk peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat sekitar lokasi IUPHHK-HA PT. Andalas Merapi Timber dan bertujuan juga untuk meredam kegiatan masyarakat untuk melakukan kegiatan illegal logging. Pemanfaatan limbah pemanenan kayu pada PT. AMT terkendala pada berbagai faktor, yaitu biaya yang dikeluarkan lebih besar dalam pengelolaan limbah. Faktor selanjutnya disebabkan oleh perizinan sawmill lokal yang belum mendapatkan izin oleh pemerintah daerah. Mengingat hal tersebut, limbah yang berada pada areal kerja PT. AMT sama sekali belum dapat dimanfaatkan.

Dokumen terkait